sebagai suatu alternatif bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pembangunan.
1.2. Perumusan Masalah
Sejalan dengan latar belakang dan uraian sebelumnya, maka penulis mencoba melakukan pengelompokkan wilayah baru yang berdasarkan potensi
wilayah dan kondisi sarana-prasarana sosial ekonomi. Permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. faktor-faktor apa saja yang mewakili kesamaan karakteristik dari potensi wilayah dan kondisi sarana prasarana sosial ekonomi;
2. pengelompokkan baru wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan faktor tersebut.
1.3. Tujuan Penelitian
Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. menganalisis dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mewakili kesamaan
karakteristik dari potensi wilayah yang dilihat dari sarana prasarana sosial ekonomi yang telah dibangun di wilayah Kabupaten Bogor;
2. menganalisis hasil pengelompokkan wilayah di Kabupaten Bogor yang memiliki kesamaaan karakteristik sosial ekonominya.
1.4. Kegunaan Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu: 1. gambaran potensi ekonomi per wilayah kecamatan di Kabupaten Bogor;
2. pengelompokkan wilayah kecamatan dapat menjadi masukan dan bahan evaluasi bagi Pemerintah Kabupaten Bogor dalam rangka penyusunan
perencanaan pembangunan; 3. hasil penelitian ini dapat pula digunakan sebagai bahan acuan untuk
penelitian-penelitian serupa selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor. Objek penelitian adalah 40 kecamatan di Kabupaten Bogor dengan menggunakan data agregat 12
peubah untuk mewakili variabel kependudukan, kondisi lingkungan, sarana prasarana ekonomi dan non ekonomi yang ada di wilayah Kabupaten Bogor.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teori-teori
2.1.1. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang seringkali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan
riil perkapita. Tujuan pembangunan ekonomi adalah meningkatkan pendapatan nasional riil dan meningkatkan produktivitas. Todaro 2000 mendefinisikan
pembangunan ekonomi sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup perubahan struktur, sikap hidup dan kelembagaan, selain mencakup peningkatan
pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan pemberantasan kemiskinan.
Menurut Jhingan 1988, beberapa ahli ekonomi seperti Schumpeter dan Ursula Hicks, telah membuat perbedaan antara pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan ekonomi. Pertumbuhan menurut Schumpeter merupakan perubahan secara spontan dan terputus dalam keadaan stasioner yang senantiasa mengubah
dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya. Namun pembangunan yang lebih menekankan pertumbuhan ekonomi telah
membuat kekhawatiran akan rusaknya lingkungan hidup, khususnya lingkungan alam yang dapat mendukung pembangunan secara berkelanjutan. Untuk itu
konsep pembangunan berkelanjutan merupakan jawaban terhadap kritik konsep pembangunan yang lebih menekankan pertumbuhan ekonomi.
Komisi Brundtland PBB 1987 mendefinisikan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah model pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dan
aspirasi generasi masa kini maupun masa depan secara harmonis. Definisi ini membawa beberapa konsekuensi yang antara lain menuntut adanya kesadaran dan
kemauan nasional untuk melaksanakan proses pembangunan agar berjalan seimbang dengan proses pelestarian kualitas lingkungan dan pembaharuan sumber
daya agar dapat menjamin tercapainya pemerataan antar generasi dan tidak hanya sekedar mencapai sasaran material semata-mata atau pertumbuhan ekonomi saja,
tetapi juga terpenuhinya aspirasi berbagai masyarakat. Sumber daya manusia, sumber daya alam, dan teknologi adalah tiga faktor
pembangunan yang pokok. Sumber daya manusia adalah jumlah, komposisi, karakteristik dan persebaran penduduk. Sumber daya alam adalah semua sumber
daya yang disediakan oleh alam meliputi sumber daya yang dapat diperbaharui dan yang tidak dapat diperbaharui.
2.1.2. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Arsyad 1999 menyatakan bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang
ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan
kegiatan ekonomi daerah. Untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah tersebut dibutuhkan kebijakan pembangunan yang didasarkan pada
kekhasan daerah endogenous development, dengan menggunakan potensi sumberdaya lokal.
Untuk mencapai tujuan pembangunan daerah, kebijaksanaan utama yang perlu dilakukan adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas
pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini perlu diusahakan karena potensi pembangunan yang dihadapi oleh masing-masing
daerah sangat bervariasi. Karena itu, bila prioritas pembangunan daerah kurang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, maka sumber
daya yang ada kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Keadaan tersebut mengakibatkan relatif lambatnya proses pertumbuhan ekonomi daerah
bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dikatakan berjalan jika ditandai dengan adanya pertumbuhan ekonomi.
Menurut Sjafrizal 2008 dalam konteks pembangunan ekonomi daerah maka konsep wilayah region digunakan sebagai representasi dari unsur ruang
space yang diartikan sebagai suatu kesatuan ruang yang dikelompokkan berdasarkan unsur tertentu berupa kondisi sosial ekonomi maupun keterkaitan
antar wilayah tergantung dari tujuan analisa. Berdasarkan beberapa unsur utama tersebut secara umum terdapat 4 bentuk wilayah, yaitu:
a. homogeneous region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk dengan memperhatikan kesamaan karakteristik sosial ekonomi dalam wilayah yang
bersangkutan; b. nodal region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk dengan memperhatikan
keterkaitan sosial ekonomi yang erat antar daerah;
c. planning region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk untuk tujuan perencanaan pembangunan;
d. administrative region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan dan kebutuhan administrasi pemerintahan.
Sasaran pembangunan ekonomi daerah adalah mewujudkan kemakmuran wilayah dan kemakmuran masyarakatnya. Kemakmuran wilayah adalah
terwujudnya kondisi fisik daerah yang maju meliputi sarana dan prasarana perumahan dan lingkungan pemukiman, kegiatan ekonomi masyarakat, fasilitas
pelayanan sosial dibidang pendidikan dan kesehatan, kualitas lingkungan hidup dan lain-lainnya. Kemakmuran masyarakat adalah terwujudnya sumberdaya
manusia yang berkualitas baik dari sisi pendidikan maupun kesehatan. Guna tercapainya tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus bersama-
sama mengambil inisiatif memanfaatkan seluruh potensi yang ada secara optimal dalam membangun daerah untuk kesejahteraan masyarakat.
Teori-teori pembangunan daerah banyak membahas penggunaan alat analisis dan metode statistik dalam menganalisis perekonomian suatu daerah serta
teori tentang berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Todaro 2000 mengatakan bahwa ada tiga faktor atau komponen utama dalam
pertumbuhan ekonomi. Pertama, akumulasi modal yang meliputi semua bentuk dan jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan sumber
daya manusia. Kedua, pertumbuhan penduduk yang beberapa tahun selanjutnya dengan sendirinya membawa pertumbuhan angkatan kerja dan ketiga adalah
kemajuan teknologi.
Kemudian Jhingan 1999 mengatakan bahwa suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan
ekonomi lebih tinggi daripada yang telah dicapai pada masa sebelumnya. Artinya perkembangan baru tercipta apabila jumlah barang dan jasa yang dihasilkan
tingkat output dalam perekonomian tersebut menjadi bertambah besar pada tahun-tahun berikutnya.
Menurut Syafrizal 2008, teori pertumbuhan ekonomi daerah digunakan untuk menjelaskan cepat-lambatnya suatu daerah mengalami pertumbuhan dan
terjadinya ketimpangan antar wilayah. Ada empat model yang dihasilkan dari teori yang berkembang selama ini. Pertama, model basis ekspor ekspor base
models yang dipelopori oleh Douglas C. North pada tahun 1956. Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh keuntungan
kompetitif yang dimiliki oleh daerah bersangkutan. Bila daerah yang bersangkutan dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang mempunyai
keuntungan kompetitif sebagai basis untuk ekspor, maka pertumbuhan daerah yang bersangkutan akan dapat ditingkatkan.
Kedua, model interregional income, dikembangkan oleh Harry W. Richardson menggunakan alur pemikiran ala Keynes. Ekspor diasumsikan sebagai
faktor yang berada dalam sistem yang ditentukan oleh perkembangan kegiatan perdagangan antar wilayah yang terdiri atas barang konsumsi dan barang modal
serta dimasukkan pula unsur pengeluaran dan penerimaan pemerintah daerah dan kegiatan investasi.
Ketiga, model neo classic yang dipelopori oleh George H. Bort 1960.
Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan sangat ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut utuk meningkatkan kegiatan produksinya.
Sedangkan kegiatan produksi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerahnya, tetapi juga ditentukan oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas
modal antar daerah. Keempat, model penyebab berkumulatif cumulative causation models.
Teori ini dipelopori oleh Nikolas Kaldor pada tahun 1970. Menurut model ini, ketimpangan pembangunan regional hanya akan dapat dikurangi melalui
program pemerintah. Bagaimanapun pemerintah perlu melakukan campur tangan secara aktif dalam bentuk program pembangunan wilayah, terutama untuk daerah
yang tergolong masih terbelakang.
2.2 Ketimpangan Pembangunan
Menurut Sjafrijal 2008 ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah.
Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing masing
wilayah. Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan
berwujud dalam bentuk, aspek, atau dimensi. Ketimpangan antar daerah dapat diungkap melalui berbagai variabel selain pendapatan yaitu variabel non ekonomi.
Diawali dengan mengenali berbagai ketimpangan dalam variabel-variabel non ekonomi dapat tersingkap adanya kesenjangan sosial. Adanya ketimpangan
pembangunan dan hasil-hasilnya disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor ketidaksetaraan anugrah awal diantara pelaku-pelaku ekonomi. Kondisi ini
disebabkan adanya ketidaksamaan sumber daya alam, kapital, keahlian, bakat atau potensi atau sarana dan prasarana antar daerah. Kedua, strategi pembangunan
yang lebih bertumpu pada aspek pertumbuhan tanpa pernah menetapkan target mengenai tingkat kemerataan.
Ketimpangan pembangunan juga dijelaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2004-2009. Ketimpangan pembangunan
antar wilayah ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial terutama masyarakat di perdesaan, wilayah
terpencil, perbatasan serta wilayah tertinggal. Ketimpangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat desa, tertinggalnya pembangunan kawasan perdesaan dibanding dengan perkotaan, dan tingginya ketergantungan kawasan perdesaan terhadap
kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses pada permodalan, lapangan kerja, informasi, teknologi pendukung, dan pemasaran hasil-hasil
produksi di perdesaan.
2.3. Pembangunan Wilayah