10. penanaman modal diprioritaskan pada upaya-upaya yang mendorong tumbuhnya investasi di wilayah Kabupaten Bogor;
11. pembangunan pemberdayaan masyarakat dan desa diarahkan pada terwujudnya pemberdayaan kelembagaan masyarakat desa dan potensi
ekonomi desa, antara lain melaui peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap teknologi tepat guna, dan teknologi terkini lainnya, serta adanya
penghargaan terhadap prestasi masyarakat atas pencapaiannya di bidang ilmu pengetahuan dan penelitian;
12. pertanian diprioritaskan pada terjaminnya ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat, terutama beras; munculnya sentra-sentra produk unggulan baru
dari pertanian, perikanan, peternakan maupun perkebunan; bangkitnya sentra agrobisnis yang sesuai dengan keunggulan masing-masing wilayah.
5.5. Analisis Dampak Pengelompokkan Wilayah Kecamatan Sebelum dan
Setelah Pemekaran Wilayah Pengelompokan wilayah kecamatan setelah terjadi pemekaran wilayah
memberikan hasil yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan pada tahun 1999 atau sebelum terjadi pemekaran wilayah. Kedua penelitian ini menggunakan
metode analisis yang sama yaitu analisis faktor dan analisis cluster dengan metode pengelompokan hierarki. Adapun perbedaan penelitian pada Tahun 1999 dan
Tahun 2008 adalah jumlah peubah yang digunakan pada Tahun 1999 sebanyak 13 peubah dan pada Tahun 2008 sebanyak 12 peubah. Faktor yang terbentuk adalah
lima faktor pada tahun 1999 dan dua faktor pada Tahun 2008. Banyaknya cluster
yang terbentuk adalah sepuluh cluster pada Tahun 1999 dan 11 cluster pada Tahun 2008.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 1999 sebelum pemekaran wilayah
menggunakan 13 peubah. Peubah tersebut adalah: 1 persentase jumlah desa yang memiliki lahan kritis; 2 kepadatan penduduk; 3 rasio petugas kesehatan
per 10.000 penduduk; 4 rasio sarana kesehatan per 10.000 penduduk; 5 persentase jumlah desa yang memiliki sarana telekomunikasi; 6 persentase
jumlah desa menurut sarana angkutan utama kendaraan beroda empat; 7 perseentasee jumlah desa menurut adanya hotel; 8 persentase jumlah desa
menurut adanya restoran; 9 persentase jumlah desa menurut jenis permukaan jalan yang terluas adalah aspal; 10 jumlah sekolah SLTP; 11 jumlah sekolah
SLTA; 12 rata-rata produksi pertanian; 13 jumlah perusahaan industri. Pada awalnya penulis menggunakan peubah yang sama dengan penelitian
sebelumnya dengan menggunakan data tahun 2008. Penulis mencoba mengelompokkan kembali kecamatan di Kabupaten Bogor dengan menggunakan
13 peubah yang sama namun dari hasil penghitungan ulang beberapa peubah
Tabel 5.6. Jumlah Peubah dan Hasil Penelitian Pengelompokan Kecamatan Sebelum dan Setelah Pemekaran Wilayah di Kabupaten Bogor
Uraian Sebelum Pemekaran
Setelah Pemekaran Tahun 1999
Tahun 2008
1 2
3
Jumlah Peubah 13
12 Faktor
5 2
Cluster 10
11
sudah tidak dapat digunakan karena tidak lagi berkorelasi dengan peubah yang lainnya seperti persentase desa menurut sarana telekomunikasi, persentase desa
yang dapat dilalui angkutan roda empat, persentase desa yang jalan utamanya telah diaspal, persentase desa menurut lahan kritis, dan persentase desa menurut
keberadaan hotel. Hal ini mungkin saja disebabkan karena pembangunan yang telah dilakukan telah menyeluruh sampai ke pelosok desa ataupun adanya
kemajuan teknologi seperti penggunaan handphone yang menyebabkan peubah- peubah tersebut tidak lagi berkorelasi dengan yang lainnya.
Kemudian penulis menambah peubah baru yang dianggap cukup mewakili potensi wilayah dan sarana prasarana sosial ekonomi seperti jumlah
industri kecil dan kerajinan rumah tangga, jumlah obyek wisata, hasil perikanan, hasil peternakan dan lain sebagainya sehingga jumlah seluruhnya menjadi 50
peubah. Data yang digunakan tidak lagi dalam satuan persentase tetapi dalam bentuk agregat. Satuan antar peubah berbeda-beda, dalam arti ada data dengan
satuan kilometer persegi, ton dan ada pula data dengan satuan unit. Perbedaan satuan yang mencolok seperti ini akan menyebabkan bias dalam analisis sehingga
data asli harus ditransformasi standardisasi ke dalam bentuk z-score sebelum bisa di analisis.
Setelah melakukan penghitungan korelasi antar peubah ternyata hanya 12 peubah saja yang berkorelasi tinggi yang kemudian dipilih sebagai peubah yang
akan dijadikan bahan analisis. Peubah tersebut adalah: 1 jumlah penduduk; 2 jumlah dokter; 3 jumlah petugas kesehatan; 4 jumlah puskesmas dan pustu; 5
jumlah sekolah SLTP; 6 jumlah sekolah SLTA; 7 jumlah KUD; 8 jumlah
toko dan mini market; 9 jumlah restoran; 10 jumlah industri besar dan sedang; 11 luas wilayah; 12 produksi padi.
Hasil penelitian tahun 2008 bila dibandingkan dengan tahun 1999 adalah berkurangnya faktor yang dihasilkan yaitu dari lima faktor menjadi dua faktor.
Adapun kelima faktor tersebut adalah: 1 faktor sarana pendidikan dan industri; 2 faktor sarana sektor perdagangan; 3 faktor sarana dan prasarana transportasi;
4 faktor sumber daya manusia dan prasarana kesehatan; dan 5 faktor produktivitas dan tenaga pelayanan kesehatan. Kelima faktor ini didapat dari nilai
akar ciri yang lebih besar dari satu yang mampu menerangkan keragaman data sebesar 72,452 persen. Sementara hasil penelitian tahun 2008 didapatkan dua
faktor yaitu: 1 faktor potensi penduduk dan sarana sosial ekonomi; dan 2 faktor produksi padi. Kedua faktor ini didapat dari nilai akar ciri yang lebih besar
dari satu yang mampu menerangkan keragaman data sebesar 73,123 persen. Berkurangnya jumlah faktor dari lima pada tahun 1999 menjadi dua pada
tahun 2008 selain dari keragaman antar peubahnya juga dapat dijelaskan dari peubah yang berkorelasi erat dengan faktornya. Pada tahun 1999 peubah yang
berkorelasi dengan faktornya yang mewakili sarana pendidikan, industri, sarana kesehatan, sarana perdagangan terbagi ke dalam empat faktor dan satu faktor yang
mewakili produktivitas padi. Sementara pada tahun 2008, faktor yang mewakili peubah jumlah penduduk, sarana perdagangan, jumlah industri, sarana pendidikan
dan sarana kesehatan kini mengumpul menjadi satu dan berkorelasi erat dengan faktornya yaitu faktor potensi penduduk dan sarana sosial ekonomi. Hal ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Todaro 2000 yang mengatakan bahwa ada
tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi. Pertama, akumulasi modal yang meliputi semua bentuk dan jenis investasi baru yang
ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan sumber daya manusia. Kedua, pertumbuhan penduduk yang beberapa tahun selanjutnya dengan sendirinya
membawa pertumbuhan angkatan kerja dan ketiga adalah kemajuan teknologi. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi telah terjadi di Kabupaten Bogor selama
kurun waktu 1999-2008. Kemajuan teknologi, pertumbuhan penduduk dan akumulasi modal dalam bidang industri dan perdagangan telah membawa
pertumbuhan pada sektor lainnya. Ilustrasi sederhana adalah dengan adanya akumulasi modal di bidang industri telah menyebabkan terserapnya tenaga kerja
di sektor tersebut sehingga wilayah yang industrinya berkembang akan diikuti dengan bertambahnya jumlah penduduk di daerah tersebut. Jumlah penduduk
yang bertambah membuat investasi di sektor perdagangan juga bertambah guna memenuhi konsumsi masyarakatnya selain itu terjadi juga pertumbuhan investasi
di bidang pendidikan dan pelayanan kesehatan guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat akan pendidikan dan kesehatan. Sementara faktor lainnya hampir
sama dengan hasil sebelumnya yaitu faktor produksi padi. Oleh karena itu pada tahun 2008 hanya terdapat dua faktor saja yang mewakili potensi wilayah dan
sarana sosial ekonomi di Kabupaten Bogor. Hasil analisis cluster dengan metode hierarki juga menghasilkan hasil
yang berbeda antara tahun 1999 dengan tahun 2008. Terjadi penambahan jumlah cluster dari sepuluh cluster di tahun 1999 menjadi 11 cluster pada tahun 2008
dengan komposisi kecamatan berbeda dalam tiap kelompoknya. Hal ini
disebabkan oleh jarak kedekatan antar peubahnya yang membuat beberapa kecamatan yang memiliki ciri yang sama berada pada satu cluster. Penambahan
jumlah kecamatan yang disebabkan oleh pemekaran wilayah juga dimungkinkan dapat menambah cluster karena kecamatan-kecamatan hasil pemekaran memiliki
ciri yang sama sehingga membentuk satu cluster baru.
Tabel 5.7. Daftar Kecamatan Menurut Cluster Sebelum dan Setelah
Pemekaran Wilayah di Kabupaten Bogor
Cluster Kecamatan
Sebelum Pemekaran Setelah Pemekaran
Tahun 1999 Tahun 2008
1 2
3
I Nanggung, Leuwiliang,
Ciomas, Cijeruk, Sukaraja, Kemang, Cigudeg, Jasinga,
Parung Panjang, Ciampea Dramaga, Megamendung,
Cigombong, Gunung Sindur, Kemang, Parung, Ciomas,
Ciawi, Sukaraja, Cisarua
II Megamendung, Rumpin
Leuwisadeng, Tenjolaya, Tamansari, Ciseeng, Cijeruk,
Tajurhalang, Rancabungur
III Ciawi, Babakan Madang,
Gunung Sindur, Cariu Cibungbulang, Caringin,
Ciampea, Leuwiliang, Parungpanjang
IV Pamijahan, Sukamakmur,
Parung, Tenjo, Jonggol Babakan Madang,
Klapanunggal, Tenjo, Cariu, Sukajaya
V Bojonggede, Gunung Putri,
Citeureup, Cibinong Cigudeg. Jasinga, Pamijahan,
Jonggol VI
Cileungsi Sukamakmur, Tanjungsari,
Nanggung, Rumpin VII
Caringin Citeureup
VIII Cisarua
Bojonggede IX
Cibungbulang Cileungsi
X Dramaga
Gunung Putri XI
Cibinong
Sebelum pemekaran wilayah diberlakukan kecamatan Cijeruk, Ciampea, Cigudeg, Leuwiliang dan Kemang berada pada satu cluster yang sama yaitu
cluster yang memiliki ciri sarana prasarana sosial ekonominya di bawah rata-rata kabupaten. Tetapi setelah ada pemekaran wilayah sebagai langkah dalam
mengimplementasikan kebijakan
otonomi daerah
terlihat dari
hasil pengelompokan saat ini bahwa kecamatan-kecamatan hasil pemekaran yaitu
kecamatan Cijeruk hasil pemekaran, Tenjolaya, Leuwisadeng, Rancabungur berada dalam satu cluster yang sama yaitu cluster kedua dimana faktor produksi
padi dan potensi penduduk dan sarana prasarana sosial ekonomi sangat jauh berada di bawah rata-rata kabupaten. Begitu pula halnya dengan kecamatan lain
hasil pemekaran yang saat ini masuk cluster kedua yaitu Tamansari, Ciseeng dan Tajurhalang. Sementara pecahan kecamatannya yaitu Kecamatan Ciampea,
Leuwiliang, Cigudeg, termasuk ke dalam cluster III dan V yang semua faktornya berada di atas rata-rata kabupaten.
Penekanan potensi wilayah yang didapat sebelum dan setelah pemekaran wilayah pun berbeda, bila di tahun 1999 potensi wilayah terbagi menjadi potensi
non ekonomi sarana sosial dan potensi sarana ekonomi, kini potensi sosial dan ekonomi menjadi satu kesatuan. Pada tahun 1999 dengan melihat persamaan ciri
yang ada antar cluster maka potensi wilayah Kabupaten Bogor dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu kelompok kecamatan berpotensi
bagus, sedang non ekonomi, sedang ekonomi, dan rendah. Kecamatan yang dapat dikatakan berpotensi bagus adalah kecamatan yang memiliki produktivitas,
sarana prasarana ekonomi dan non ekonomi sarana sosial serta sumber daya
manusia berada di atas rata-rata kabupaten. Kecamatan yang dapat dikatakan berpotensi sedang non ekonomi adalah kecamatan yang memiliki sarana
prasarana ekonomi di bawah rata-rata kabupaten namun produktivitas, sumber daya manusia dan tenaga pelayanan kesehatan di atas rata-rata kabupaten.
Kecamatan yang dapat dikatakan berpotensi sedang ekonomi adalah kecamatan yang memiliki sarana prasarana ekonomi di atas rata-rata kabupaten
Tabel 5.8. Daftar Kecamatan Menurut Potensi Wilayah Sebelum dan Setelah Pemekaran Wilayah di Kabupaten Bogor
Sebelum Pemekaran Tahun 1999
Setelah Pemekaran Tahun 2008
Potensi Kecamatan
Wilayah Kecamatan
1 2
3
BAGUS Bojonggede, Gunung
Putri, Citeureup, Cibinong
I Cibungbulang, Caringin,
Ciampea, Leuwiliang, Parungpanjang, Cigudeg.
Jasinga, Pamijahan, Jonggol
SEDANG non ekonomi
Ciawi, Babakan Madang, Gunung Sindur, Cariu,
Pamijahan, Sukamakmur, Parung, Tenjo, Jonggol,
Cibungbulang II
Citeureup, Bojonggede, Cileungsi, Gunung Putri,
Cibinong
SEDANG ekonomi
Megamendung, Rumpin, Cileungsi, Caringin,
Cisarua, Dramaga III
Babakan Madang, Klapanunggal, Tenjo,
Cariu, Sukajaya, Sukamakmur, Tanjungsari,
Nanggung, Rumpin
RENDAH Nanggung, Leuwiliang,
Ciomas, Cijeruk, Sukaraja, Kemang,
Cigudeg, Jasinga, Parung Panjang, Ciampea
IV Dramaga, Megamendung,
Cigombong, Gunung Sindur, Kemang, Parung,
Ciomas, Ciawi, Sukaraja, Cisarua, Leuwisadeng,
Tenjolaya, Tamansari, Ciseeng, Cijeruk,
Tajurhalang, Rancabungur
namun produktivitas, sumber daya manusia dan tenaga pelayanan kesehatan di bawah rata-rata kabupaten. Kecamatan yang dapat dikatakan berpotensi rendah
adalah kecamatan yang memiliki produktivitas, sarana prasarana ekonomi dan non ekonomi sarana sosial serta sumber daya manusia berada di bawah rata-rata
kabupaten. Sementara pada tahun 2008 dengan melihat persamaan ciri yang ada antar
cluster maka wilayah Kabupaten Bogor dikelompokkan ke dalam empat wilayah yaitu Wilayah I, II, III dan IV. Wilayah I terdiri dari kecamatan yang memiliki ciri
produksi padi, potensi penduduk dan sarana sosial ekonomi cukup memadai. Wilayah II terdiri dari kecamatan yang potensi penduduk dan sarana sosial
ekonominya cukup memadai. Wilayah III terdiri dari kecamatan yang produksi padinya tinggi namun sarana prasarana sosial ekonomi dan potensi penduduknya
kurang memadai. Wilayah IV terdiri dari kecamatan yang potensi penduduk, sarana prasarana sosial ekonomi dan produksi padinya kurang memadai.
Seperti telah diulas sebelumnya bahwa kecamatan hasil pemekaran hampir seluruhnya masuk ke dalam wilayah I dan kecamatan yang dimekarkan yaitu
Kecamatan Ciomas, Kemang dan Parung juga masuk ke dalam wilayah I. Berbeda halnya dengan kecamatan hasil pemekaran yang memiliki potensi pertanian
seperti kecamatan Tanjungsari, Sukajaya, Sukamakmur dan Klapanunggal, masuk ke dalam Wilayah III dimana rata-rata faktor produksi padinya di atas rata-rata
kabupaten namun untuk rata-rata faktor potensi penduduk dan sarana sosial ekonominya berada di bawah rata-rata kabupaten. Berdasarkan hasil di atas dapat
disimpulkan bahwa kecamatan hasil pemekaran merupakan kecamatan yang
sarana prasarana sosial ekonominya kurang memadai untuk itu dapat dikatakan bahwa hasil pemekaran kecamatan ini belum efektif. Hasil pemekaran yang
dilakukan telah menciptakan daerah yang membutuhkan perhatian khusus dalam penyediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi serta harus dibangkitkan
keberdayaannya. Kecamatan-kecamatan baru hasil pemekaran harus mendapat prioritas utama dari pemerintah daerah dan diharapkan aparat pemerintah yang
berada di kecamatan tersebut dapat membangkitkan perekonomian dan mengawasi pelaksanaan pembangunan serta mengakomodir aspirasi masyarakat
setempat.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan