seluruh dunia Indonesia menempati nomor urut ke 2 dalam konsumsi mie instan. Jika dilihat dari kandungan nutrisi yang ada pada mie instan, meski kaya akan
karbohidrat, sebenarnya sangat miskin protein. Masalahnya adalah, sebagian masyakat Indonesia ada yang menggunakan mie instan ini sebagai lauk ataupun
sayur berkuah yang digunakan sebagai teman nasi dalam kehidupan konsumsi sehari-hari. Sungguh suatu kondisi yang mengenaskan, sudah banyak makan nasi
dengan karbohidrat tinggi, masih juga makan mie instan yang juga mengandung karbohidrat tinggi Anonimous,2011.
Masalah kedaulatan pangan ini berkait dengan industri mie instan di Indonesia. Pertanyaan pokoknya adalah sejauh mana produsen mie instan dapat
menggunakan sumber bahan baku dari jenis pangan yang ada di dalam negeri, seperti yang disebutkan di atas. Dalam logika yang sederhana, menggunakan
sumber bahan baku dalam negeri akan berdampak positif terhadap pertanian, karena permintaan terhadap hasil pertanian dalam negeri akan meningkat—yang
berarti meningkatkan pula harga jualnya. Meski masih dalam skala kecil, kami mengapresiasi upaya sejumlah kalangan yang membuat terobosan dengan
memproduksi mie instan dari bahan baku sagu dan umbi-umbian Anonimous,2011.
2.1.2 Konsumsi Mie Instan
Mie instan merupakan salah satu pilihan makanan pengganti nasi bagi sebagian atau sebagian besar rakyat Indonesia. Selain murah dan cepat saji—sesuai
namanya, campuran bumbu dan zat kimia menghasilkan perpaduan rasa yang lumayan digemari. Menurut perkiraan World Instan Noodle Association WINA,
rata-rata konsumsi mie instan di Indonesia termasuk yang tertinggi yaitu 65,2 bungkus per kapita per tahun, atau sebanyak 14,99 miliar bungkus. Data ini
dilansir tahun 2007, yang artinya sangat mungkin telah terjadi penambahan sampai tahun ini Anonimous,2011.
Meningkatnya jumlah konsumsi mie instan juga berarti meningkatnya konsumsi pangan impor, mengingat mayoritas produk mie instan saat ini menggunakan
gandum sebagai bahan baku pokok. Akibatnya terjadi pula pergeseran konsumsi dari jenis pangan yang lebih dikenal sebelumnya seperti beras, sagu, umbi-
umbian, dan jagung. Pergeseran pola konsumsi atau pola makan ini, yang dimulai sejak tahun 1970-an, telah menciptakan ketergantungan terhadap pangan
impor, karena gandum tidak dapat dihasilkan di Indonesia. Dalam kaitan dengan kedaulatan pangan, hal yang sama terjadi pada jenis pangan yang lain seperti
beras, jagung, dan kedelai. Perlahan-lahan masyarakat di negeri ini, yang dianugerahi tanah subur dan beragam potensi pangan, tidak lagi menjadi penghasil
melainkan menjadi konsumen pangan Anonimous,2011.
Sementara persoalan lain yang juga mendesak adalah pengawasan terhadap hasil produk mie instan. Lembaga seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM
seharusnya telah aktif sejak awal mengenakan standar yang aman dan sehat dalam periksaan terhadap produk mie instan ini. Jenis makanan yang murah dan praktis
seperti ini perlu mendapat perhatian khusus dari BPOM karena kandungan kimia pengawet yang nyaris tak terhindarkan dan luasnya konsumen yang
menggemarinya saat ini Anonimous,2011.
2.1.3 Pengertian dan Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen
Istilah perilaku erat hubungannya dengan objek yang studinya diarahkan pada permasalahan manusia. Di bidang studi pemasaran, konsep perilaku konsumen
secara terus-menerus dikembangkan dengan berbagai pendekatan. Menurut Sumarwan 2004 menyatakan bahwa perilaku konsumen consumer behavior
diartikan sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen untuk mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka
harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka.
Menurut Engel, Blackwell dan Miniard 1990, perilaku konsumen diartikan “Those actions directly involved in obtaining, consuming, and disposing of
products and services, including the decision processes that precede and follow this action”. Perilaku konsumen merupakan tindakan–tindakan yang terlibat
secara langsung dalam memperoleh, mengkonsumsi, dan membuang suatu produk atau jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan –
tindakan tersebut.
Perilaku konsumen berhubungan dengan alasan dan tekanan yang mempengaruhi pemilihan, pembelian, penggunaan, dan pembuangan barang dan jasa yang
bertujuan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan pribadi. Perilaku konsumen menitikberatkan pada aktivitas yang berhubungan dengan konsumsi dari individu
Hanna Wozniak, 2001.
Menurut Kotler 2001, Keputusan pembelian dari pembeli merupakan hasil suatu hubungan yang saling mempengaruhi dan yang rumit antara faktor-faktor internal
yaitu budaya, sosial, pribadi, dan psikologi dari pembeli.
Pengenalan Kebutuhan
Perilaku setelah
Pembelian Keputusan
Pembelian Evaluasi
Alternatif Pencarian
Informasi 1
faktor budaya kebudayaan, subbudaya, dan kelas sosial, 2
faktor sosial kelompok acuan, keluarga, peran dan status, 3
faktor pribadi umur, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup, dan kepribadian, dan
4 faktor psikologis pengetahuan, motivasi, keyakinan, dan sikap.
Selain faktor internal juga terdapat faktor eksternal yang menimbulkan persepsi konsumen yaitu faktor stimulus pemasaran yang terdiri atas produk, harga,
distribusi, dan promosi. Faktor internal dan faktor eksternal ini kemudian menimbulkan dua persepsi konsumen yaitu persepsi internal konsumen dan
persepsi stimulus konsumen. Kedua persepsi ini sangat mempengaruhi konsumen dalam membuat keputusan membeli produk berdasarkan selera mereka
Umar, 2000.
Kotler 2001 juga menjelaskan bagaimana seseorang dalam mengambil keputusan dalam pembelian suatu produk. Keputusan membeli yang dilakukan
oleh konsumen melalui beberapa tahap yaitu: tahap pengenalan kebutuhan, tahap pencarian informasi, tahap evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan terakhir
tahap perilaku setelah pembelian.
Gambar 1. Proses pengambilan keputusan pembelian
Perilaku konsumen menggambarkan bagaimana konsumen membuat keputusan- keputusan pembelian dan bagaimana mereka menggunakan dan mengatur
pembelian barang atau jasa. Keputusan ini didasarkan atas persepsi mereka yang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
2.2 Landasan Teori