Kepulauan Seribu berkisar antara 28,5-31 ⁰C Dinas Perikanan dan kelautan DKI
Jakarta 1998 in Noor 2003 dan menurut Bruyns 2001 in Ali 2006 menyatakan bahwa lumba-lumba memiliki kisaran suhu 26-31
⁰C. Apabila dibandingkan dengan hasil pengamatan yang maka perairan Pulau Karang Congkak dan
sekitarnya merupakan daerah yang sesuai dengan habitat lumba-lumba.
Gambar 9. Sebaran horizontal suhu air laut dipermukaan
4.4.3. Salinitas
Salinitas dapat memberikan pengaruh untuk distribusi lumba-lumba menurut Ali 2006 distribusi lumba-lumba dibatasi oleh gradien salinitas
dipermukaan laut. Berdasarkan sebaran horizontal salinitas air laut Gambar 10 posisi kemunculan lumba-lumba ditemukan pada kisaran salinitas antara 30-32
‰ dengan sebaran terlihat bervariasi. Dari hasil penelitian, lumba-lumba hidung
botol Tursiops trucantus berkisar antara 30-31 ‰ sedangkan untuk lumba-
lumba biasa dengan salinitas 32 ‰. Pada beberapa wilayah seperti di Guayaquil, salinitas perairan mempengaruhi distribusi lumba-lumba hidung botol. Lumba-
lumba hidung botol yang hidup di wilayah ini hidup disekitar daerah muara, dimana tingkat salinitasnya mengalami perubahan karena adanya run off dari
daerah daratan atau sungai. Pada daerah ini, lumba-lumba hidug botol lebih
S u
h u
p er
m u
k aan
⁰ C
memilih daerah yang sedikit jauh dari muara untuk menghindari perubahan salinitas Felix 1994 in Wahyudi 2010. Untuk nilai salinitas permukaan di
kawasan perairan Kepulauan Seribu berkisar antara 30- 34 ‰ sehingga daerah
perairan Kepulauan Seribu merupakan daerah yang sesuai dengan habitat yang disukai oleh lumba-lumba.
Gambar 10. Sebaran horizontal salinitas air laut
4.4.4. Pola pasang surut
Pasang surut terjadi akibat adanya gaya gravitasi antara bulan, bumi dan matahari. Pasang surut sangat berpengaruh terhadap kondisi biota laut yang
berada di perairan dangkal atau pantai dan biota yang berada di tengah laut atau laut lepas Jong Huat 2003 in Wahyudi 2010. Dari hasil pengamatan, saat
kemunculan lumba-lumba terjadi pada saat surut terendah, surut, mulai pasang terendah, pasang.
Tabel 6. Kondisi pasang surut air laut berdasarkan waktu kemunculan lumba- lumba
S ali
n
itas ‰
Tanggal Waktu
Jenis yang ditemukan
Cuaca Kondisi pasang
surut air laut
3 Maret 2011 16.25
Tursiops truncantus Cerah
Surut terendah 17 April 2011 10.06
Tursiops truncantus Cerah
Surut terendah 17 April 2011 14.05
Delphinus delphis Cerah
Surut 17 April 2011 15.09
Delphinus delphis Cerah
Surut Tursiops truncantus
8 Mei 2011 07.19
Tursiops truncantus Cerah
Surut 12 Mei 2011
08.32 Tursiops truncantus
Cerah Surut
12 Mei 2011 09.01
Tursiops truncantus Cerah
Surut 19 Juni 2011
08.35 Tursiops truncantus
Cerah Surut terendah
19 Juni 2011 10.04
Tursiops truncantus Cerah
Mulai pasang rendah 19 Juni 2011
11.41 Tursiops truncantus
Cerah Pasang
Keterangan: Konversi dari data pasang surut wilayah Tanjung Priok Dinas Hidro-Oseaograsi 2011
Untuk kemunculan lumba-lumba biasa Delphinus delphis kondisi perairan sedang surut, sedangkan pada lumba-lumba hidung botol Tursiops truncatus
kondisi perairan dalam kedaan surut dan pasang. Lokasi kemunculan lumba- lumba hidung botol saat surut berada di daerah laut terbuka selat antar pulau dan
saat pasang lumba-lumba ditemukan dekat dengan daerah tubir terumbu karang. Air pasang memberikan pengaruh terhadap gerak renang lumba-lumba. Hanzen
1998 in Wahyudi 2010 menyatakan bahwa dekat Sarasota, Florida, lumba- lumba memanfaatkan arus air pasang menuju perairan dangkal dekat dengan
lamun untuk mencari makan terutama mangsa ikan. Pada saat air surut, arus air surut akan membawa makanan bagi biota laut yang hidup di tengah laut. Arus
laut saat air surut tersebut akan membawa fitoplankton, zooplankton, dan ikan- ikan kecil ke tengah laut, sehingga terjadi supply makanan di tengah laut,
sedangkan pada saat air pasang arus laut akan kembali membawa biota yang menjadi supply makanan ke daerah perairan dangkal. Lumba-lumba yang muncul
pada sekitar tubir memanfaatkan arus air pasang membawa makanan ke arah tubir. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa pasang surut air laut
digunakan oleh lumba-lumba untuk membantu mencari makanan, sehingga lumba-lumba lebih efisien dalam mengeluarkan energi saat mencari makan dan
bereang dengan memanfaatkan arus air tersebut. 4.4.5.
Kecepatan angin
Kecepatan angin berdasarkan waktu kemunculan yang dikonversi meggunakan skala Beaufort pada saat pengamatan adalah berkisar antara 1-10
knot. Selama penelitian, kecepatan angin sangat bervariasi lumba-lumba lebih sering muncul pada kisaran kecepatan angin 1-6 knot yaitu sebanyak 8 titik
perumpaan. Pada kisaran tersebut, kondisi permukaan air laut sangat tenang, terbentuk sedikit riak di permukaan dan tampak seperti cermin, namun tidak
terbentuk buih skala Beaufort = 1 atau 2. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Khan 2001 di Taman Nasional Komodo, Ali 2006 di
Buleleng Bali dan Setiawan 2004 di Laut Flores menyatakan bahwa semua pemunculan Cetacea terjadi pada kondisi skala Beaufort sama dengan 1 bagus
atau 2 lumayan. Pada kisaran kecepatan angin antara 7-10 knot, lumba-lumba sangat jarang
muncul, selama pengamatan hanya 2 kali muncul saat kisaran kecepatan angin tersebut. Hal ini terjadi karena pada saat itu kecepatan angin mempengaruhi
kondisi permukaan air laut menjadi mulai berombak besar, puncaknya mulai pecah bahkan sampai berbentuk buih skala Beaufort 3 atau 4.
4.4.6. Kelimpahan plankton