S
S S
S
S S
S S
S S
1
2 3
4
5 6
7 8
9 10
P. Gosong Pandan P. Gosong Keroya
P. Semakdaun P Sempit
P. Karya P. Karang Congkak
P. Pramuka P. Panggang
0.7 1.4
2.1 Kilometers
N
Lautan Tubir Karang
Daratan
S
Lokasi Pada Pertemuan I
S
Lokasi Pada Pertemuan II
S
Lokasi Pada Pertemuan III
S
Lokasi Pada Pertemuan IV
S
Lokasi Pada Pertemuan V
LEGENDA
Kartografer Mega Dewi Astuti C24070066
Tahun Pembuatan : 2011 Sumber data:
- Peta Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Indonesia
- Data Survei Lapang
INSET
Skala 1:36.000
5° 4
5 5
°4 5
5° 4
4 5
°4 4
5° 4
3 5
°4 3
5° 4
2 5
°4 2
106 °33
106 °33
106 °34
106 °34
106 °35
106 °35
106 °36
106 °36
106 °37
106 °37
9° 9
° 8°
8 °
7° 7
° 6°
6 °
104 °
104 °
105 °
105 °
106 °
106 °
107 °
107 °
108 °
108 °
Gambar 6.  Distribusi Lumba-lumba selama pengamatan di perairan Pulau Karang Congkak.
Gambar 7. Distribusi lumba-lumba berdasarkan jenis dan jumlah selama pengamatan di perairan Pulau Karang Congkak dan perairan Pulau Karang Lebar.
4.4. Keterkaitan antara Keberadaan Lumba-lumba dan Karakteristik
Lingkungan Pulau Karang Congkak. 4.4.1.
Faktor kedalaman perairan
Pulau  Karang  Congkak  merupakan  pulau  yang  memiliki  daratan  yang sempit  dan  perairan  yang  luas.    Perairan  Pulau  Karang  Congkak  memiliki
kedalaman  yang  bervariasi  pada  setiap  bagian  wilayahnya.    Berdasarkan pengamatan,  lokasi  kemunculan  lumba-lumba  terdapat  didaerah  laut  terbuka
offshore dan daerah tubir trumbu karang dengan kedalaman yang berbeda.
Gambar 8. Peta batrimetri perairan Pulau Karang Congkak berdasarkan Kemunculan lumba-lumba.
Lumba-lumba hidung botol Tursiops truncantus merupakan lumba-lumba yang  paling  sering  ditemukan  kemunculannya  saat  pengamatan  pada  setiap  titik
pertemuan  kecuali  pada  titik  3.    Lokasi  kemunculan  lumba-lumba  hidung  botol merupakan  daerah  laut  terbuka  dan  daerah  tubir  terumbu  karang  dengan  kisaran
kedalaman  yang  berbeda-beda.    Kedalaman  minimum  kemunculan  lumba-lumba hidung botol adalah  5 m dan kedalam maksimum 60 m.  Lumba-lumba jenis ini
merupakan  jenis  yang  umum  dijumpai  di  perairan  dengan  tingkat  adaptasi  yang berbeda-beda  pada  setiap  lokasi  kemunculan.    Leatherwood    Reeves  1983  in
Ingram    Rogan  2002  menyatakan  bahwa  dari  seluruh  wilayah  jelajahnya, lumba-lumba  hidung  botol  umumnya  ditemukan  di  daerah  dangkal  dan  dekat
dengan pantai.  Lumba-lumba hidung botol mampu hidup dalam berbagai macam tipe  habitat  termasuk  perairan  antar  benua,  laguna  dan  laut  dalam,  dan  perairan
disekitar pulau dan kepulauan Baerzi et al. 2008. Lumba-lumba  biasa  Delphinus  delphis  memiliki  wilayah  sebaran  yang
cukup  luas  termasuk  wilayah  perairan  tropis.    Berdasarkan  hasil  penamatan lumba-lumba  ini  ditemukan  pada  kedalaman  5  m    titik  3  dan  titik  4  yang
merupakan daerah dekat pantai inshore.  Di perairan Laut Hitam, lumba-lumba biasa  ditemukan  diperairan  dekat  pantai  sampai  dengan  laut  lepas  pada  musim
panas dan musim gugur Neumann  Orams 2005. 4.4.2.
Suhu permukaan
Suhu  menjadi  faktor  yang  sangat  berperan  dalam  proses  fisiologi  bagi seluruh  organisme,  baik  pada  ikan  maupun  mamalia  laut.    Suhu  juga  berperan
dalam persebaran biota di perairan.  Berdasarkan sebaran horizontal suhu air laut dipermukaan  Gambar 9 terlihat  ada variasi  dengan nilai  tertinggi  29,25
⁰C dan nilai  terendah  27,50
⁰C.    Lumba-lumba  lebih  sering  muncul  pada  suhu  28  ⁰C, yaitu  sebanyak  5  titik  dan  sisanya  terdapat  pada  suhu  27
⁰C dan 29 ⁰C.  Secara umum  suhu  air  di  saat  lumba-lumba  ditemukan  memiliki  kisaran  yang  sempit
yaitu  2,25 ⁰C.    Hal  ini  membuat  lumba-lumba  tidak  merasa  terganggu,  karena
kisaran suhu perairan berada dalam kisaran suhu yang disukai. Lumba-lumba hidung botol Tursiops trucantus merupakan jenis mamalia
laut yang mampu hidup pada kisaran suhu yang berbeda.  Di daerah pantai Utara Amerika, lumba-lumba hidung botol sering dijumpai pada suhu permukaan 10-32
⁰C  Well    Scott  1999  in  www.iucnredlist.org  2010.    Lumba-lumba  biasa Delphinus  delphis  memiliki  wilayah  persebaran  yang  cukup  luas  termasuk
perairan  tropis  dan  subtropis.    Dari  hasil  pengamatan  lumba-lumba  jenis  ini ditemukan pada suhu 29
⁰C.  Menurut Cawardine 1995 lumba-lumba biasa dapat hidup di perairan yang hangat dan suhu air laut dapat mempengaruhi suhu tubuh
dalam  beraktivitas  dan  pada  saat  memangsa  makanan.    Suhu  permukaan  di
Kepulauan Seribu berkisar antara 28,5-31 ⁰C Dinas Perikanan dan kelautan DKI
Jakarta 1998 in Noor 2003 dan menurut Bruyns 2001 in Ali 2006 menyatakan bahwa  lumba-lumba  memiliki  kisaran  suhu  26-31
⁰C.    Apabila  dibandingkan dengan  hasil  pengamatan  yang  maka  perairan  Pulau  Karang  Congkak  dan
sekitarnya merupakan daerah yang sesuai dengan habitat lumba-lumba.
Gambar 9. Sebaran horizontal suhu air laut dipermukaan
4.4.3. Salinitas
Salinitas  dapat  memberikan  pengaruh  untuk  distribusi  lumba-lumba menurut  Ali  2006  distribusi  lumba-lumba  dibatasi  oleh  gradien  salinitas
dipermukaan laut.  Berdasarkan sebaran horizontal salinitas air laut Gambar 10 posisi kemunculan lumba-lumba ditemukan pada kisaran salinitas antara 30-32
‰ dengan  sebaran  terlihat  bervariasi.    Dari  hasil  penelitian,  lumba-lumba  hidung
botol  Tursiops  trucantus  berkisar  antara  30-31 ‰  sedangkan  untuk  lumba-
lumba biasa dengan salinitas 32 ‰.  Pada beberapa wilayah seperti di Guayaquil, salinitas  perairan  mempengaruhi  distribusi  lumba-lumba  hidung  botol.    Lumba-
lumba  hidung  botol  yang  hidup  di  wilayah  ini  hidup  disekitar  daerah  muara, dimana  tingkat  salinitasnya  mengalami  perubahan  karena  adanya  run  off  dari
daerah  daratan  atau  sungai.    Pada  daerah  ini,  lumba-lumba  hidug  botol  lebih
S u
h u
p er
m u
k aan
⁰ C
memilih  daerah  yang  sedikit  jauh  dari  muara  untuk  menghindari  perubahan salinitas  Felix  1994  in  Wahyudi  2010.    Untuk  nilai  salinitas  permukaan  di
kawasan  perairan  Kepulauan  Seribu  berkisar  antara  30- 34  ‰  sehingga  daerah
perairan  Kepulauan  Seribu  merupakan  daerah  yang  sesuai  dengan  habitat  yang disukai oleh lumba-lumba.
Gambar 10. Sebaran horizontal salinitas air laut
4.4.4. Pola pasang surut
Pasang  surut  terjadi  akibat  adanya  gaya  gravitasi  antara  bulan,  bumi  dan matahari.    Pasang  surut  sangat  berpengaruh  terhadap  kondisi  biota  laut  yang
berada di  perairan dangkal  atau pantai dan  biota  yang berada di  tengah laut  atau laut  lepas  Jong  Huat  2003  in  Wahyudi  2010.    Dari  hasil  pengamatan,  saat
kemunculan  lumba-lumba  terjadi  pada  saat  surut  terendah,  surut,  mulai  pasang terendah, pasang.
Tabel 6. Kondisi pasang surut air laut berdasarkan waktu kemunculan lumba- lumba
S ali
n
itas ‰
Tanggal Waktu
Jenis yang ditemukan
Cuaca Kondisi pasang
surut air laut
3 Maret 2011 16.25
Tursiops truncantus Cerah
Surut terendah 17 April 2011  10.06
Tursiops truncantus Cerah
Surut terendah 17 April 2011  14.05
Delphinus delphis Cerah
Surut 17 April 2011  15.09
Delphinus delphis Cerah
Surut Tursiops truncantus
8 Mei 2011 07.19
Tursiops truncantus Cerah
Surut 12 Mei 2011
08.32 Tursiops truncantus
Cerah Surut
12 Mei 2011 09.01
Tursiops truncantus Cerah
Surut 19 Juni 2011
08.35 Tursiops truncantus
Cerah Surut terendah
19 Juni 2011 10.04
Tursiops truncantus Cerah
Mulai pasang rendah 19 Juni 2011
11.41 Tursiops truncantus
Cerah Pasang
Keterangan: Konversi dari data pasang surut wilayah Tanjung Priok Dinas Hidro-Oseaograsi 2011
Untuk kemunculan lumba-lumba biasa Delphinus delphis kondisi perairan sedang  surut,  sedangkan  pada  lumba-lumba  hidung  botol  Tursiops  truncatus
kondisi  perairan  dalam  kedaan  surut  dan  pasang.    Lokasi  kemunculan  lumba- lumba hidung botol saat surut berada di daerah laut terbuka selat antar pulau dan
saat  pasang  lumba-lumba  ditemukan  dekat  dengan  daerah  tubir  terumbu  karang. Air  pasang  memberikan  pengaruh  terhadap  gerak  renang  lumba-lumba.    Hanzen
1998  in  Wahyudi  2010  menyatakan  bahwa  dekat  Sarasota,  Florida,  lumba- lumba  memanfaatkan  arus  air  pasang  menuju  perairan  dangkal  dekat  dengan
lamun untuk  mencari makan terutama mangsa ikan.   Pada saat  air surut, arus air surut  akan  membawa  makanan  bagi  biota  laut  yang  hidup  di  tengah  laut.    Arus
laut  saat  air  surut  tersebut  akan  membawa  fitoplankton,  zooplankton,  dan  ikan- ikan  kecil  ke  tengah  laut,  sehingga  terjadi  supply  makanan  di  tengah  laut,
sedangkan  pada  saat  air  pasang  arus  laut  akan  kembali  membawa  biota  yang menjadi supply makanan ke daerah perairan dangkal.  Lumba-lumba yang muncul
pada  sekitar  tubir  memanfaatkan  arus  air  pasang  membawa  makanan  ke  arah tubir.    Berdasarkan  hal  tersebut  dapat  diduga  bahwa  pasang  surut  air  laut
digunakan  oleh  lumba-lumba  untuk  membantu  mencari  makanan,  sehingga lumba-lumba  lebih  efisien  dalam  mengeluarkan  energi  saat  mencari  makan  dan
bereang dengan memanfaatkan arus air tersebut. 4.4.5.
Kecepatan angin
Kecepatan  angin  berdasarkan  waktu  kemunculan  yang    dikonversi meggunakan  skala  Beaufort  pada  saat  pengamatan  adalah  berkisar  antara  1-10
knot.    Selama  penelitian,  kecepatan  angin  sangat  bervariasi  lumba-lumba  lebih sering  muncul  pada  kisaran  kecepatan  angin  1-6  knot  yaitu  sebanyak  8  titik
perumpaan.    Pada  kisaran  tersebut,  kondisi  permukaan  air  laut  sangat  tenang, terbentuk  sedikit  riak  di  permukaan  dan  tampak  seperti  cermin,  namun  tidak
terbentuk buih skala Beaufort = 1 atau 2.  Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang  dilakukan  oleh  Khan  2001  di  Taman  Nasional  Komodo,  Ali  2006  di
Buleleng  Bali  dan  Setiawan  2004  di  Laut  Flores  menyatakan  bahwa  semua pemunculan  Cetacea  terjadi  pada  kondisi  skala  Beaufort  sama  dengan  1  bagus
atau 2 lumayan. Pada kisaran kecepatan angin antara 7-10 knot, lumba-lumba sangat jarang
muncul,  selama  pengamatan  hanya  2  kali  muncul  saat  kisaran  kecepatan  angin tersebut.  Hal  ini  terjadi  karena  pada  saat  itu  kecepatan  angin  mempengaruhi
kondisi  permukaan  air  laut  menjadi  mulai  berombak  besar,  puncaknya  mulai pecah bahkan sampai berbentuk buih skala Beaufort 3 atau 4.
4.4.6. Kelimpahan plankton
Nekon  atau  yang  biasa  disebut  ikan  memiliki  peranan  penting  dalam kehidupan  di  dalam  air.    Keberadaan  ikan  di  dalam  perairan  memiliki  peran
konsumen dalam rantai makanan.  Lumba-lumba yang menjadi konsumen tingkat tinggi atau predator sangat tergantung terhadap keberadaan ikan untuk memenuhi
kebutuhan makanya Hutabarat  Evans 1985.  Lumba-lumba meupakan hewan karnivora  yang  memakan  hampir  semua  ikan  pelagis  dan  cumi-cumi.    Plankton
merupakan  produsen  dalam  tropik  lavel  di  perairan.    Berdasarkan  pengamatan ikan yang terdapat saat lumba-lumba melakukan aktivitas makan yaitu ikan kecil
seperti  ikan  terbang  dan  cumi-cumi.    Hal  ini  karena  lumba-lumba  ditemukan  di daerah  dekat  tubir  dan  di  dekat  tubir  banyak  ditemui  ikan  kecil  dan  cumi-cumi
kecil.  Hal ini sesuai seperti pernyataan Weber dan Thurman 1991 bahwa lumba- lumba  kecil  makanann  utamanya  ikan-ikan  kecil  dan  cumi-cumi  yang  berada
dizona  epipelagik  di  perairan  laut  terbuka,  beberapa  spesies  makananya  adalah ikan dasar dan ikan dekat dasar di perairan dangkal dekat pantai, teluk dan sungai.
Kelimpahan  plankton  pada  setiap  perjumpaan  memiliki  kelimpahan  yang berbeda dan jenis organisme yang berbeda, kelimpahan fitopalnkton lebih banyak
apabila  dibandingkan  dengan  zooplankton  Tabel  7.    Kelimpahan  plankton tertinggi  untuk  Fitoplankton  dari  semua  hari  pengamatan  terdapat  pada  kelas
Bacillariophyceae yaitu sebesar 42  sedangkan untuk zooplankton terdapat pada kelas Ciliata Gambar 11.  Hal  ini sesuai dengan pernyataan  Nyebakken 1987
bahwa  diatom  Bacillariophyceae  dan  dinoflagellata  Dinophyceae  merupakan fitoplankton  yang  paling  berlimpah  di  lautan.    Kelimpahan  total  dari  semua
pengamatan yang paling banyak yaitu pada pengamatan titik perjumpaan yang ke 5 sebesar  347.250 indm
3
, sedangkan  yang paling sedikit  yaitu pada pengamatan pertama dengan jumlah 61.500 indm
3
Gambar 11 Berdasarkan  hasil  kelimpahan  plankton  dapat  dikatakan  bahwa  perairan
Pulau  Karang  Congkak  memiliki  kondisi  yang  masih  cukup  bagus,  sehingga plankton  dapat  memanfaatkan  secara  optimal  unsur  hara  yang  ada  untuk
berproduksi  dan  menghasilkan  makanan  bagi  bitota  lainnya.    Perbedaan kelimpahan  antara  fitoplankton  dengan  zooplankton  menggambarkan  suatu
piramida makanan dimana produsen memiliki jumlah yang paling besar daripada konsumenya.  Jadi dalam suatu perairan jarang ditemukan keadaan dimana kedua-
duanya berlimpah. Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi merupakan suatu ciri yang
unik dalam suatu orgnisme kehidupan yang disebut komunitas.  Keanekaragaman jenis  adalah  suatu  karakteristik  tingkatan  komunitas  berdasarkan  organisasi
komunitasnya suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi  bila komunitas itu disusun oleh banyak spesies dengan kelimpahan spesies
yang sama atau hampir sama.  Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit  spesies  dan  jika  hanya  sedikit  spesies  yang  dominan,  maka
keanekaragaman jenisnya rendah.
Tabel 7 . Indeks Keanekaragaman H’, Keseragaman E dan Dominansi D
Plankton di perairan Pulau Karang Congkak
Pengamatan FITO
ZOO H
E D
H E
D 1
2,2685 0,1371
0,8596 0,3144
0,8558 0,2862
2 1,0781
0,4381 0,4906
1,2798 0,3010
0,9232
3 1,7434
0,2538 0,7571
1,4925 0,2430
0,9273
4 1,5494
0,3043 0,6235
1,4768 0,2399
0,9176
5 1,2993
0,4088 0,5913
0,4298 0,8157
0,2671
6 1,2829
0,3319 0,7160
0,6432 0,6420
0,5855
7 1,2562
0,3428 0,7011
0,7011 0,6176
0,6382
8 1,2221
0,3776 0,6821
0,6931 0,5001
0,9999
9 1,0165
0,5057 0,5673
0,4706 0,7055
0,6790
10 1,5753
0,2448 0,8792
0,8537 0,4974
0,7771 Nilai  Indeks  keanekaragaman  jenis  untuk  plankton  termasuk  kedalam
klasifikasi keragaman kecil Tabel 7 yaitu penyebaran individu tiap jenis rendah, keragaman  kecil  dan  kestabilan  komunitas  rendah.  Hal  ini  karena  jenis  plankton
yang  ditemukan  baik  fitoplankton  maupun  zooplankton  sedikit  dan  jumlah individu  tiap  jenisnya  sedikit.    Selain  itu  karena  jenis  yang  ditemukan  walaupun
jumlah individu yang ditemukan banyak tapi tidak bervariasi.  Nilai keseragaman untuk  fitoplankton  masuk  kedalam  kasifikasi  rendah,  hal  tersebut  menunjukan
penyebaran  individu  antara  jenis  tidak  merata  dimana  dapat  dikatakan  terdapat dominansi yang tinggi.
Hubungan  lumba-lumba  dengan  plankton  terjadi  dalam  rangkaian  proses rantai  makanan,  dimana  plankton  terutama  fitoplankton  dimakan  oleh
zooplankton,  kemudian  zooplankton  dimakan  oleh  ikan-ikan  kecil  yang  pada akhirnya ikan-ikan tersebut  dimakan oleh lumba-lumba. Kelimpahan  plankton  di
perairan  Pulau  Karang  Congkak  dapat  dikaitkan  dengan  ikan-ikan  pemakan plankton yang terdapat di perairan tersebut yang merupakan ikan pelagis makanan
lumba-lumba.    Di  Perairan  tersebut  memiliki  kelimpahan  plankton  yang  cukup tinggi  sehingga  tersedia  cukup  makanan  untuk  ikan-ikan  tersebut.    Dengan
berlimpahnya makanan bagi lumba-lumba, maka lumba-lumba akan selalu datang kedaerah tesebut untuk mencari makan.
Tabel 8. Kelimpahan jenis plankton ind m
3
di Perairan Pulau karang Congkak dan Karang Lebar.
No Jenis Organisme
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
1  Bacillariophyceae
32000 43250
92000 64500
95250 95750  116500
65750  121250 88500
2  Dinophyceae
2000 1000
5500 3000
3000 7500
9750 6000
6500 7250
3  Cyanophyceae
1500 60250
37000 35250
60000 67500
92750 81500
61750
4  Cructacea
24000 8250
18000 12250
11500 2000
7500 9250
1750 26750
5  Ciliata
2000 13250
41750 31250  177500
37000 59500
9000 8000
81250
TOTAL 61500  126000  194250  146250  347250  209750  286000  171500  137500  265500
Gambar  11. Diagram pie kelimpahan plankton berdasarkan kelas dan diagram batang kelimpahan plankton berdasarkan  titik perjumpaan
4.5. Analisis korelasi antar parameter penelitian
Berdasarkan  hasil  perhitungan  koefisien  korelasi,  didapatkan  bahwa parameter  oseanografi  dan  klimatologi  memiliki  korelasi  yang  lemah  terhadap
jumlah  pemunculan  lumba-lumba  yang  muncul  di  perairan  Pulau  Karang Congkak, karena semua  parameter memiliki nilai  koefisien menjauhi  +1  atau  -1.
Hasil  perhitungan  koefisien  korelasi  antara  y  dan  x  dapat  dilihat  pada  tabel berikut:
Tabel 9. Hasil perhitungan koefisien korelasi antar parameter penelitian Variable
Jumlah pemunculan lumba-lumba y Suhu permukaan X
1
0,1 Kecepatan Angin X
2
0,19 Salinitas X
3
0,01 Kedalaman X
4
0,05 Berdasarkan kecilnya nilai koefisien korelasi dari masing-masing parameter
pada  tabel  diatas  dapat  diduga  ada  parameter  yang  lain  yang  mempengaruhi keberadaan  lumba-lumba  selain  dari  parameter  oseanografi  dan  klimatologi,
parameter lain  yang diduga berpengaruh adalah  keberadaan makanan di  perairan tersebut.    Penganalisisan  keberadaan  makanan  di  perairan  tersebut  dapat
menggunakan  analisis  rantai  makanan  dengan  mengamati  kesuburan  perairan melalui keberadaan plankton.  Berdasarkan analisis kelimpahan plankton perairan
Pulau  Karang  Congkak  memiliki  kelimpahan  plankton  yang  cukup  tinggi sehingga tersedia cukup makanan bagi ikan-ikan pelagis.  Perairan Pulau Karang
Congkak  merupakan  salah  satu  daerah  Spawning  ground  ikan  khususnya  daerah selatan  perairan  tersebut  dekat  perairan  Pulau  Karang  Lebar  Syamsul  Hidayat;
komunikasi  pribadi  dan  menurut  data  tangkapan  pada  tahun  2010  lampiran  4, penangkapan  di  perairan  Pulau  Karang  Congkak  tergolong  sedikit  dengan
persentasi  tangkapan  selama  setahun  sebesar  10  apabila  dibanding  dengan pulau-pulau lainya di Kepulauan Seribu, sehingga diduga keberadaan ikan pelagis
di  perairaan  tersebut  masih  berlimpah.    Dengan  ketersediaan  makanan  yang berlimpah,  maka  lumba-lumba  akan  selalu  datang  kedaerah  tersebut  untuk
mencari makan.
4.6. Lumba-lumba dan Karakteristik Sosial Masyarakat Kepulauan