Wilayah Minangkabau Suku Minangkabau

keluarga. Pasangan anarchic menunjukkan lebih banyak perilaku negatif dibandingkan dengan pasangan male-dominant maupun female-dominant. Kurangnya struktur pembuatan keputusan pada pasangan ini akan merusak keberfungsian perkawinan DeGenova, 2008. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa marital power adalah kemampuan salah satu pihak suami atau istri untuk mewujudkan keinginannya meskipun bertentangan dengan pasangannya. Terdapat tiga komponen yang membentuk marital power, yaitu authority, decision-making, dan influence. Terbentuknya satu tipe marital power dipengaruhi oleh kepemilikan pada sumber- sumber marital power. Terdapat sepuluh sumber marital power, yaitu norma budaya, sumber daya ekonomi, norma gender, pendidikan dan pengetahuan, perbedaan personal, kemampuan komunikasi, faktor emosional, postur dan kekuatan tubuh, kondisi hidup, serta anak. Sumber-sumber marital power yang dimiliki oleh istri atau suami akan mengarahkan marital power ke dalam satu tipe tertentu. Terdapat empat tipe marital power, yaitu egalitarian, male-dominant, female-dominant, dan anarchic.

C. Suku Minangkabau

1. Wilayah Minangkabau

Minangkabau identik dengan istilah Sumatera Barat. Sebenarnya bila diamati dari perkembangan sejarah, wilayah Minangkabau tidak hanya meliputi daerah Provinsi Sumatera Barat, namun juga mencakup sebagian daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat Universitas Sumatera Utara daya Aceh, dan bahkan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Sedangkan daerah Kepulauan Mentawai yang merupakan bagian dari wilayah administratif Provinsi Sumatera Barat tidak termasuk ke dalam alam Minangkabau Sjarifoedin, 2011. Wilayah kebudayaan Minangkabau adalah meliputi wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah Minangkabau memiliki dua pengertian berbeda, yaitu pengertian budaya dan pengertian geografis. Wilayah Minangkabau dalam pengertian budaya meliputi suatu wilayah yang didukung oleh suatu masyarakat yang kompleks, bersatu di bawah naungan persamaan asal-usul, adat, dan falsafah hidup. Sementara wilayah Minangkabau secara geografis terbagi atas wilayah inti yang disebut Darek Darat dan wilayah perkembangannya yang disebut Rantau dan Pesisir. Daerah Darek adalah daerah dataran tinggi di antara pegunungan Bukit Barisan, meliputi Gunung Singgalang, Gunung Tandikek, Gunung Merapi, dan Gunung Sago. Darek terbagi ke dalam tiga luhak Luhak nan Tigo, yaitu: Luhak Tanah Datar sebagai luhak yang tua, buminya nyaman, airnya jernih, ikannya banyak; Luhak Agam sebagai luhak yang tengah, buminya panas, airnya keruh, ikannya liar; Luhak Limo Puluh Kota sebagai luhak yang bungsu, buminya sejuk, airnya jernih, ikannya jinak Sjarifoedin, 2011. Secara garis besar wilayah Minangkabau mencakup daerah Darat, Rantau, dan Pesisir. Daerah Darat adalah wilayah sekitar Gunung Merapi, yang biasanya disebut Semarak Alam Minangkabau Luhak nan Tiga. Daerah Darat dianggap sebagai daerah asli atau daerah utama dari pemangku kebudayaan Minangkabau. Daerah Rantau dan Pesisir merupakan daerah dataran rendah di sebelah barat Universitas Sumatera Utara daerah Darat yang berbatasan dengan Samudera Hindia serta daerah lembah- lembah sungai dan anak sungai yang berasal dari daerah Darat dan bermuara ke Selat Malaka serta Laut Cina Selatan Mansoer, 1970, dalam Sjarifoedin, 2011. Dalam perkembangannya, makna Rantau meluas menjadi daerah tempat orang Minangkabau asli mencari nafkah Geerzt, 1963, dalam Sjarifoedin, 2011. Meskipun berada dalam wilayah demografis dan budaya yang sama, tetapi terdapat perbedaan antara daerah Darat dan Rantau. Perbedaan antara keduanya tersurat dalam istilah “Luhak bapanghulu, Rantau baraja”. Artinya, pengatur tatanan pemerintah di Darat berada di tangan penghulu, sedangkan yang menjadi pemimpin di daerah Rantau adalah Raja Navis, 1984, dalam Sjarifoedin, 2011. Perbedaan kedua daerah ini semakin meluas setelah terjadi persinggungan budaya dengan dunia luar. Wilayah Rantau, terutama kota Padang, merupakan daerah pelabuhan yang selalu diperebutkan oleh berbagai kekuasaan agar bisa menguasai perdagangan lada. Pada waktu Portugis menguasai daerah Rantau, pengaruh Portugis masuk dalam tatanan kehidupan masyarakat Rantau. Ketika daerah Rantau dikuasai oleh para pedagang Aceh, warna Aceh ikut menyemarakkan kehidupan masyarakat daerah Rantau. Selanjutnya, pengaruh Belanda ikut juga mewarnai tatanan kehidupan masyarakat Rantau ketika berada di bawah kekuasaan Belanda Sjarifoedin, 2011. Kota Sawahlunto merupakan salah satu daerah yang termasuk ke dalam daerah Rantau. Kota Sawahlunto terletak 95 kilometer dari Kota Padang. Hasil Sensus Penduduk 2010 menyatakan bahwa jumlah penduduk Kota Sawahlunto adalah 56.812 orang yang tersebar di empat kecamatan, dengan rata-rata tingkat Universitas Sumatera Utara kepadatan penduduk sebesar 238 per kilometer persegi. Pada pertengahan abad ke-19, Kota Sawahlunto merupakan sebuah kota tambang yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini yang membuat orang-orang dari berbagai etnis dari penjuru dunia berdatangan, seperti Belanda, Cina, Jawa, Bugis, dan Batak. Sawahlunto menjadi kota multietnis di Sumatera Barat yang dihuni oleh berbagai etnis dari berbagai penjuru nusantara bahkan luar negeri. Selain Minangkabau, sekarang ini Sawahlunto didiami oleh suku Jawa, Sunda, Batak, Aceh, Bugis, Tionghoa, bahkan masih ada pula etnis Belanda. Bagi masyarakat Sawahlunto, keragaman suku ini sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat. Sudah terjadi komunikasi budaya yang kompleks antarsuku dalam hal organisasi, olahraga, maupun perkawinan di kota ini.

2. Masyarakat Minangkabau