Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau Dengan Suku Lain

(1)

GAMBARAN TIPE MARITAL POWER PADA PERKAWINAN ANTARA SUKU MINANGKABAU DENGAN SUKU LAIN

SKRIPSI

oleh

ASTRINI PRIMANITA 081301037

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

SKRIPSI

GAMBARAN TIPE MARITAL POWER PADA PERKAWINAN

ANTARA SUKU MINANGKABAU DENGAN SUKU LAIN

Dipersiapkan dan disusun oleh:

ASTRINI PRIMANITA 081301037

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 13 Juli 2012

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog

NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Debby Anggraini Daulay, M.Psi.,psikolog Penguji I

NIP. 198101222008122002 Merangkap Pembimbing

2. Meidriani Ayu Siregar, M.Kes., psikolog Penguji II NIP.196605111995022002

3. Zulkarnai, Ph.D Penguji III NIP. 197312102000121001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau Dengan Suku Lain

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 30 Juli 2012

Astrini Primanita NIM 081301037


(4)

Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau

Dengan Suku Lain

Astrini Primanita dan Debby Anggraini Daulay

ABSTRAK

Marital power merupakan hal yang penting dalam perkawinan yang

sukses dan bahagia, namun masih sedikit penelitian yang memberikan fokus pada hal ini. Marital power adalah kemampuan salah satu pasangan untuk mempengaruhi emosi, kognisi, sikap, dan perilaku pasangannya dalam sebuah perkawinan. Terdapat empat tipe marital power; egalitarian, male-dominant,

female-dominant, dan anarchic. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan tipe marital power pada perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain. Terdapat 166 pasangan menikah yang terlibat dalam penelitian ini dimana salah satu pasangan harus bersuku Minangkabau. Pengumpulan data dilakukan di Sawahlunto, Sumatera Barat, menggunakan teknik pengambilan sampel multistages cluster random. Peneliti menggunakan Skala Marital Power untuk mengumpulkan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe marital power yang ditemukan secara dominan dari penelitian ini adalah egalitarian (26.51%). Penelitian ini memberikan informasi mengenai nilai kebudayaan, khususnya nilai kebudayaan Minangkabau, dan pengaruhnya dalam perkawinan.


(5)

The Description of Marital Power Type in Marriage between Minangkabau Ethnic

and Other Ethnic

Astrini Primanita dan Debby Anggraini Daulay

ABSTRACT

Marital power is an important part in a successful and happy marriage, yet few studies have focused on it. Marital power is the ability of one partner to give influence toward emotion, cognition, attitude, and behavior of his or her partner in a marriage. There are four type of marital power; egalitarian, male-dominant, female-dominant, and anarchic. This is a quantitative descriptive study aims to describe marital power type in marriage between Minangkabau ethnic and other ethnic. There were 166 married couples involved in this study which one partner of the couple must has Minangkabau ethnic. Data collection took place in Sawahlunto, West Sumatera, using a multistages cluster random sampling. Researcher used a Marital Power Scale to collect data. The result showed that marital power type found dominantly from this study was uncategorized (68.67%). This study gives information about cultural value, especially cultural value of Minangkabau, and its influence in marriage.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas karunia kekuatan dan

kemudahan yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau

dengan Suku Lain” ini. Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat

mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Peneliti telah melalui berbagai tahap dan proses dalam menyelesaikan

skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan dukungan

dari berbagai pihak, mulai dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi

ini, sangatlah sulit bagi peneliti untuk melaluinya. Untuk itu penulis ingin

mnegucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati selaku Dekan Fakultas Psikologi USU

2. Ibu Debby Anggraini Daulay, M.Psi., psikolog selaku Pembimbing Skripsi

yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan dengan sabar

selama seminar dan pengerjaan skripsi ini

3. Ibu Meidriani Ayu, M.Kes., psikolog selaku Pembimbing Akademik atas

nasehat dan motivasinya selama 4 tahun masa perkuliahan ini

4. Ibu Etty Rahmawati, M.Si yang telah banyak membantu khususnya dalam

proses pengolahan data

5. Seluruh staff pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi USU atas


(7)

6. Kedua orangtua, Ibu Astuti Sucianingsih dan Bapak Ir. Supriyadi, atas

dukungan moril, materil, serta doa yang selalu diberikan

7. Astari Priardhyni, S.H., Astirta Priyoga, serta Nanda Chairunisa selaku

kakak dan adik atas bantuan yang diberikan, khususnya dalam mengurangi

kepenatan dan kelelahan peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini

8. Keluarga besar PsikoNolapan, khususnya Astri Pratiwi, Naya Sukma,

Olyfia CS, Ruth Lingga, dan Corry Tri Yanti, atas kebersamaan dan

kekeluargaannya selama ini

9. Sahabat-sahabat penulis, khususnya Novalita, Chairil, Elsa, Erick dan

Mutiara Sari atas bantuan, dukungan, serta segala prosesnya

10.Kakanda Lily Sahfitri, Ikhwanisifa, Yuwelda, dan Yasir Arfan atas semua

kebaikan hatinya yang telah menyediakan begitu banyak kemudahan bagi

penulis

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih mengandung

banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun dari semua pihak guna menyempurnakannya. Akhir kata, penulis

berharap semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah

memberikan bantuannya. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, Juli 2012


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GRAFIK viii

DAFTAR LAMPIRAN x

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 14

C. Tujuan Penelitian 14

D. Manfaat Penelitian 14

1. Manfaat teoritis 14

2. Manfaat praktis 15

E. Sistematika Penulisan 15

BAB II LANDASAN TEORI 17

A. Masa Dewasa Dini 17

B. Marital Power 19

1. Definisi Marital Power 19

2. Komponen Marital Power 20

3. Sumber-sumber Marital Power 21

4. Tipe Marital Power 27


(9)

1. Wilayah Minangkabau 28

2. Masyarakat Minangkabau 31

3. Sistem Kekerabatan Suku Minangkabau 33

4. Sistem Perkawinan Suku Minangkabau 35

B. Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan

Antara Suku Minangkabau Dengan Suku Lain 37

BAB III METODE PENELITIAN 43

A. Identifikasi Variabel 43

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 43

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel 45

1. Populasi dan Sampel 45

2. Metode Pengambilan Sampel 45

D. Alat Ukur Penelitian 46

1. Validitas 47

2. Reliabilitas 48

3. Hasil Uji Coba Alat Ukur Penelitian 49

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 51

1. Persiapan Penelitian 51

2. Pelaksanaan Penelitian 53

3. Pengolahan Data 54

F. Metode Analisis Data 54

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 56


(10)

1. Gambaran Subjek Berdasarkan Suku 56

2. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia 58

3. Gambaran Subjek Berdasarkan Pendidikan Terakhir 59

4. Gambaran Subjek Berdasarkan Status Pekerjaan 60

5. Gambaran Subjek Berdasarkan Penghasilan Perbulan 62

6. Gambaran Subjek Berdasarkan Anak 63

B. Analisis Data 64

C. Hasil Penelitian 66

1. Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan

Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain 66

2. Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan

Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Berdasarkan Percampuran Suku dalam Perkawinan 66

3. Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan

Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Berdasarkan Selisih Usia Pasangan 69

4. Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan

Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Berdasarkan Perbedaan Pendidikan Terakhir 70

5. Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan

Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Berdasarkan Perbedaan Status Pekerjaan 71


(11)

Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Berdasarkan Perbedaan Penghasilan Perbulan 73

7. Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan

Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Berdasarkan Anak 74

D. Pembahasan 75

E. Keterbatasan Penelitian 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 79

A. Kesimpulan 79

B. Saran 81

1. Saran Praktis 81

2. Saran Metodologis 82

DAFTAR PUSTAKA 84


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue Print Distribusi Aitem Skala Marital Power

Sebelum Uji Coba 49

Tabel 2 Blue Print Distribusi Aitem Skala Marital Power

Setelah Uji Coba 50

Tabel 3 Blue Print Distribusi Aitem Skala Marital Power

Untuk Penelitian 51

Tabel 4 Hasil Analisis Deskriptif Skor Power Suami dan Istri 64

Tabel 5 Kriteria Kategorisasi Skor Power Suami 65

Tabel 6 Kriteria Kategorisasi Skor Power Istri 65


(13)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1 Gambaran Subjek Berdasarkan Suku 57

Grafik 2 Gambaran Subjek Berdasarkan Percampuran Suku

Dalam Perkawinan 57

Grafik 3 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia Suami dan Istri 58

Grafik 4 Gambaran Subjek Berdasarkan Selisih Usia 59

Grafik 5 Gambaran Subjek Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Suami dan Istri 59

Grafik 6 Gambaran Subjek Berdasarkan Perbedaan

Pendidikan Terakhir Suami dan Istri 60

Grafik 7 Gambaran Subjek Berdasarkan Status Pekerjaan

Suami dan Istri 61

Grafik 8 Gambaran Subjek Berdasarkan Perbedaan Status

Pekerjaan Suami dan Istri 61

Grafik 9 Gambaran Subjek Berdasarkan Penghasilan Perbulan 62

Grafik 10 Gambaran Subjek Berdasarkan Perbedaan Penghasilan

Perbulan Suami-Istri 63

Grafik 11 Gambaran Subjek Berdasarkan Anak 63

Grafik 12 Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan


(14)

Grafik 13 Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Berdasarkan Percampuran Suku dalam Perkawinan 67

Grafik 14 Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Berdasarkan Pihak yang Bersuku Minangkabau

dalam Perkawinan 68

Grafik 15 Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Berdasarkan Selisih Usia Pasangan 69

Grafik 16 Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Berdasarkan Perbedaan Pendidikan Terakhir 70

Grafik 17 Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Berdasarkan Perbedaan Status Pekerjaan 72

Grafik 18 Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Berdasarkan Perbedaan Penghasilan Perbulan 73

Grafik 19 Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Marital Power Sebelum Uji Coba 88

Lampiran 2 Skor Mentah Subjek Uji Coba Alat Ukur 108

Lampiran 3 Analisis Data Uji Coba Alat Ukur 116

Lampiran 4 Skala Marital Power Setelah Uji Coba 123

Lampiran 5 Skor Mentah Subjek Penelitian 139

Lampiran 6 Data Subjek Penelitian 155


(16)

Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau

Dengan Suku Lain

Astrini Primanita dan Debby Anggraini Daulay

ABSTRAK

Marital power merupakan hal yang penting dalam perkawinan yang

sukses dan bahagia, namun masih sedikit penelitian yang memberikan fokus pada hal ini. Marital power adalah kemampuan salah satu pasangan untuk mempengaruhi emosi, kognisi, sikap, dan perilaku pasangannya dalam sebuah perkawinan. Terdapat empat tipe marital power; egalitarian, male-dominant,

female-dominant, dan anarchic. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan tipe marital power pada perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain. Terdapat 166 pasangan menikah yang terlibat dalam penelitian ini dimana salah satu pasangan harus bersuku Minangkabau. Pengumpulan data dilakukan di Sawahlunto, Sumatera Barat, menggunakan teknik pengambilan sampel multistages cluster random. Peneliti menggunakan Skala Marital Power untuk mengumpulkan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe marital power yang ditemukan secara dominan dari penelitian ini adalah egalitarian (26.51%). Penelitian ini memberikan informasi mengenai nilai kebudayaan, khususnya nilai kebudayaan Minangkabau, dan pengaruhnya dalam perkawinan.


(17)

The Description of Marital Power Type in Marriage between Minangkabau Ethnic

and Other Ethnic

Astrini Primanita dan Debby Anggraini Daulay

ABSTRACT

Marital power is an important part in a successful and happy marriage, yet few studies have focused on it. Marital power is the ability of one partner to give influence toward emotion, cognition, attitude, and behavior of his or her partner in a marriage. There are four type of marital power; egalitarian, male-dominant, female-dominant, and anarchic. This is a quantitative descriptive study aims to describe marital power type in marriage between Minangkabau ethnic and other ethnic. There were 166 married couples involved in this study which one partner of the couple must has Minangkabau ethnic. Data collection took place in Sawahlunto, West Sumatera, using a multistages cluster random sampling. Researcher used a Marital Power Scale to collect data. The result showed that marital power type found dominantly from this study was uncategorized (68.67%). This study gives information about cultural value, especially cultural value of Minangkabau, and its influence in marriage.


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia terdiri dari banyak suku. Menurut data statistik terakhir, jumlah

suku di Indonesia mencapai 1.128 suku. Setiap suku memiliki sistem kekerabatan

masing-masing. Sistem kekerabatan adalah hubungan kekeluargaan melalui

perkawinan. Secara garis besar, Indonesia mengenal tiga bentuk sistem

kekerabatan, yaitu matrilineal, patrilineal, dan bilateral. Sistem kekerabatan

matrilineal menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu), misalnya suku

Minangkabau. Sedangkan sistem kekerabatan patrilineal menarik garis keturunan

dari pihak laki-laki (ayah), misalnya suku Batak. Sementara bilateral menarik

garis keturunan dari kedua pihak, ayah dan ibu, misalnya suku Jawa

(Hadikusuma, 1987; Oemarsalim, 2000).

Salah satu suku yang ada di Indonesia adalah suku Minangkabau. Suku

Minangkabau meyakini bahwa sejarah mereka bermula dari sekelompok orang

yang bermukim di dataran rendah sebelah selatan Gunung Merapi, sebuah gunung

api di Sumatera Barat (Bahar, dalam Murad 1980). Berdasarkan data dari Badan

Pusat Statistik (2010), Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia

dengan jumlah penduduk sebanyak 4.845.998 jiwa, dengan komposisi suku

Minangkabau (88,35%), Batak (4,42%), Jawa (4,15%), Mentawai (1,28%), dan

lain-lain (1,8%).

Suku Minangkabau merupakan suku yang unik. Masyarakat Minangkabau


(19)

Kelompok masyarakat yang dominan menganut ajaran Islam biasanya diprediksi

menganut sistem kekerabatan patrilineal. Namun hal ini tidak terjadi pada suku

Minangkabau. Sistem kekerabatan merupakan salah satu adat yang telah

dimantapkan oleh nenek moyang masyarakat Minangkabau sehingga adat ini tetap

dilestarikan. Sistem kekerabatan matrilineal ini berarti keturunan dan harta

warisan diturunkan melalui garis keturunan ibu. Setiap individu akan melihat

dirinya sebagai keturunan ibu dan neneknya tanpa melihat keturunan bapaknya.

Garis keturunan ini memiliki makna dalam hal pewarisan. Harta warisan,

khususnya yang berupa barang tetap seperti sawah, ladang, dan rumah akan jatuh

kepada anak perempuan. Prinsip matrilineal ini juga menentukan pewarisan gelar

pusaka yang disebut sako, yaitu gelar atau jabatan dalam keluarga (Chairiyah,

2008). Seorang anak akan mendapat gelar sesuai dengan suku ibunya.

Selain karena sistem kekerabatannya, suku Minangkabau dinilai unik karena

sistem perkawinannya. Perkawinan di Minangkabau bersifat matrilokal

(Chairiyah, 2008). Sistem perkawinan ini memiliki arti bahwa suami bertempat

tinggal di rumah istrinya setelah perkawinan. Perempuan di dalam rumahnya

sendiri akan memegang kekuasaan yang sebenarnya, sedangkan di rumah

suaminya ia dihormati. Laki-laki, setelah menikah, tetap terikat pada rumah

ibunya. Mereka pulang ke rumah itu setiap hari untuk mengolah sawah dan

ladang, memulihkan diri di rumah tersebut kala sakit, serta akhirnya dimakamkan

di perkuburan keluarga ibunya (Hadler, 2010).

Suku Minangkabau ini berada hampir di seluruh provinsi Sumatera Barat,


(20)

kemungkinan adanya keragaman suku di sana. Terdapat satu daerah di Sumatera

Barat yang dikenal sebagai kawasan multietnis, yaitu Kota Sawahlunto. Kota

Sawahlunto terletak 95 km dari Kota Padang. Berdasarkan data dari Badan Pusat

Statistik (2010), kota ini memiliki luas daerah 238,61 km2 dengan jumlah

penduduk sebanyak 56.812 jiwa yang tersebar di empat kecamatan. Kota

Sawahlunto diakui sebagai kota multietnis di Sumatera Barat. Menurut Walikota

Sawahlunto saat ini, Kota Sawahlunto merupakan gambaran kecil dari Indonesia

karena banyaknya suku yang ada di sana, mencakup Jawa, Sunda, Tionghoa,

Bugis, Irian, dan Maluku (http://www.kompas.com/kompas.cetak/03

/04/10/Kel/411327.Htmx).

Penduduk yang mendiami kota ini mayoritas bersuku Minangkabau dan

Jawa. Masyarakat Jawa di sini masih mempertahankan kebudayaannya. Pada 11

Desember 2010 lalu, diadakan upacara grebeg suro di kota ini, yaitu upacara

memandikan benda keramat yang biasanya hanya dilakukan di daerah Jawa

Tengah (http://www.bakinnews.com).

Migrasi yang terjadi di satu daerah memunculkan satu isu baru dalam

perkawinan, yaitu perkawinan antarkelompok etnis. Hal ini bukan hanya terjadi di

Indonesia, melainkan juga di beberapa negara lain, misalnya Amerika Serikat.

Suku bangsa Irish dan Latin di Amerika awalnya hanya melakukan perkawinan

sesama sukunya saja, namun karena semakin meningkatnya jumlah kedua suku

bangsa ini di Amerika maka perkawinan antara kedua kelompok etnis ini pun

terjadi (Egelman, 2004). Perkawinan antarkelompok etnis adalah perkawinan


(21)

Perbedaan yang terjadi dapat mencakup perbedaan nilai, keyakinan, tradisi,

ataupun gaya hidup (Tseng, Dermot, & Maretzki, T.W., 1977). Perkawinan

antarkelompok etnis yang terjadi di Minangkabau umumnya terjadi antara suku

yang berbeda. Perkawinan antara suku yang berbeda ini bisa terjadi antara suku

Minangkabau dengan suku Bugis, suku Minangkabau dengan suku Batak, atau

suku Jawa dengan suku Batak.

Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita

sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang RI, 1974).

Perkawinan akan melahirkan sebuah keluarga. Keluarga merupakan sekelompok

orang yang disatukan oleh perkawinan, darah atau adopsi, atau hubungan

pengekspresian seksual lainnya. Orang-orang yang terlibat dalam sebuah keluarga

(anggota keluarga) saling berkomitmen di dalam sebuah hubungan yang intim.

Setiap anggota keluarga juga melihat identitas pribadinya terlekat dalam

kelompok tersebut, dan kelompok itu juga memiliki identitasnya sendiri

(DeGenova, 2008). Keluarga merupakan representasi terkecil dari kehidupan

sosial masyarakat. Oleh karena itu bila ingin memahami hubungan, pola, atau

proses dalam kehidupan masyarakat, maka harus memahami pula hubungan, pola,

atau proses dalam sebuah keluarga. Keluarga merupakan sebuah sistem sosial

yang juga memiliki proses sosial antara dua pihak, salah satunya adalah

kekuasaan (power).

Kekuasaan dalam hubungan intim didefinisikan sebagai kemampuan salah


(22)

bertentangan dengan pasangannya (DeGenova, 2008). Kekuasaan di dalam sebuah

perkawinan dikenal dengan marital power. Terdapat empat tipe berbeda untuk

menggambarkan kekuasaan di dalam sebuah perkawinan, yaitu male-dominant,

female-dominant, egalitarian, dan anarchic. Pada tipe male-dominant, kekuasaan

dalam pengambilan keputusan mayoritas berada di tangan suami. Sementara pada

tipe female-dominant, kekuasaan dalam pengambilan keputusan mayoritas berada

di tangan istri. Kedua tipe berikutnya, yaitu egalitarian dan anarchic, terlihat

sama. Namun, pada tipe egalitarian, suami dan istri bekerja sama dalam membuat

setiap keputusan. Sedangkan pada tipe anarchic, suami dan istri memliki

kekuasaan untuk memutuskan hal-hal yang berbeda (DeGenova, 2008).

Kekuasaan dalam perkawinan tidak hanya dapat dinilai melalui

pengambilan keputusan saja. Pengukuran marital power yang hanya didasarkan

pada siapa yang paling banyak membuat keputusan dalam perkawinan tidak dapat

menggambarkan apa yang melatarbelakangi perilaku mengambil keputusan itu.

Oleh karena itu, Rothschild mengungkapkan tiga komponen yang terdapat dalam

marital power, yaitu authority, decision-making, dan influence. Komponen

authority menjelaskan siapa yang berhak mengambil keputusan dalam perkawinan

menurut norma budaya dan sosial yang dianut pasangan suami-istri. Komponen

decision-making mengungkapkan siapa yang paling banyak mengambil keputusan

dalam perkawinan. Sementara komponen influence mengungkapkan siapa yang

memiliki derajat kemampuan yang paling tinggi untuk mempengaruhi sudut

pandang pasangan dalam menanggapi peristiwa atau membuat keputusan (dalam


(23)

Terbentuknya satu tipe marital power dipengaruhi oleh banyak hal, yaitu

norma budaya, norma gender, sumber daya ekonomi, pendidikan dan

pengetahuan, perbedaan personal, faktor emosional, kemampuan komunikasi,

postur dan kekuatan tubuh, kondisi hidup, serta anak (DeGenova, 2008). Norma

budaya secara tidak langsung akan mempengaruhi sumber-sumber marital power

lainnya.

Norma budaya menjadi sumber marital power yang penting. Budaya

menentukan siapa yang berkuasa di dalam sebuah keluarga. Beberapa budaya

menganggap laki-laki sebagai pemegang otoritas dan figur kekuasaan dalam

keluarga dan meyakini bahwa perempuan harus tunduk kepada laki-laki

(patriarchal). Pada beberapa budaya lain, keluarga menempatkan wanita sebagai

kepala keluarganya (matriarchal) dimana perempuan membantu dalam hal

pengasuhan anak dan pemenuhan kebutuhan ekonomi sehingga mereka memiliki

kekuasaan dan tanggung jawab yang lebih besar daripada laki-laki (Burton, dalam

Mabry, Beth, Giarrusso, Bengston 2007). Norma gender dapat menjadi sumber

kekuasaan melalui proses sosialisasi. Sosialisasi peran gender yang menekankan

kepasifan, kepatuhan, dan ketergantungan perempuan akan menguatkan posisi

laki-laki sebagai pemegang otoritas dan figur kekuasaan (DeGenova, 2008).

Sumber daya ekonomi dapat menjadi sumber kekuasaan dalam perkawinan

melalui kontrol yang dimiliki suami/istri atas sumber daya ekonomi tersebut.Pihak

yang memiliki kontrol terhadap sumber daya bernilai yang dibutuhkan oleh

anggota keluarga, khususnya uang dan properti, merupakan pihak yang memiliki


(24)

2008). Tidak hanya ekonomi, sumber daya lainnya seperti pendidikan dan

pengetahuan, juga merupakan sumber kekuasaan yang penting. Pada masyarakat

yang menghargai pendidikan, seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang

lebih tinggi akan memiliki kekuasaan yang lebih tinggi pula dalam perkawinannya

(DeGenova, 2008).

Perbedaan personal sebagai sumber kekuasaan dapat dilihat data

karakteristik demografis, seperti usia maupun karakteristik kepribadian lainnya.

Pasangan yang lebih tua biasanya berkuasa atas pasangan yang lebih muda

(DeGenova, 2008). Namun terlepas dari usia, beberapa orang memang memiliki

karakteristik dominasi yang lebih besar yang menjadikannya lebih berkuasa atas

pasangannya. Dalam sebuah perkawinan, setiap pasangan berbeda pula kondisi

emosionalnya. Faktor emosional ini dapat mempengaruhi rasa cinta yang dimiliki

pasangan. Pasangan yang memiliki cinta dan kebutuhan emosional yang paling

besar akan memiliki kekuasaan yang paling kecil (Warner, Lee & Lee, dalam

DeGenova, 2008).

Kemampuan komunikasi yang baik juga dapat membuat salah satu pasangan

memiliki kekuasaan yang lebih besar. Pasangan yang memiliki kemampuan

komunikasi yang lebih baik mampu mengkomunikasikan ide-ide mereka dengan

lebih baik sehingga dapat meyakinkan anggota keluarga lain bahwa ia memiliki

kekuasaan melalui kata-katanya. Kekuasaan juga dapat dipengaruhi oleh tampilan

fisik seseorang. Postur tubuh yang menunjukkan kekuatan dapat berfungsi sebagai

sumber kekuasaan bila pasangan meyakini bahwa postur tubuh demikian dapat


(25)

Kekuasaan dalam keluarga juga dapat berubah seiring dengan berubahnya

kondisi hidup keluarga. Semakin sedikit pilihan hidup yang dimiliki oleh salah

satu pasangan, maka semakin kecil kekuasaan yang dimilikinya. Hal terakhir yang

yang menjadi sumber kekuasaan dalam perkawinan adalah anak. Anak memiliki

kekuasannya sendiri sehingga anak dapat memberikan pengaruh yang penting

bagi kedua orangtuanya maupun anggota keluarga lainnya (DeGenova, 2008).

Beberapa penelitian dilakukan untuk mempelajari kekuasaan dalam sebuah

perkawinan. Penelitian mengenai marital power yang paling dikenal adalah

penelitian yang dilakukan oleh Blood dan Wolfe mengenai pengambilan

keputusan dalam perkawinan. Penelitian ini dilakukan pada ratusan istri kulit

putih dengan kelas sosial ekonomi menengah di Detroit, Michigan (dalam

Ponzetti, 2003). Dari penelitiannya, Blood & Wolfe menemukan bahwa distribusi

marital power bergantung pada sumber daya bernilai yang diberikan oleh istri

atau suami dalam perkawinan tersebut (dalam Yount, 2005). Blood & Wolfe

mengkhususkan sumber daya yang bernilai dalam bentuk pendapatan, prestise

pekerjaan, dan tingkat pendidikan (dalam Ponzetti, 2003). Penelitian lain yang

mendukung hasil penelitian ini dilakukan di Amerika Serikat. Penelitian ini

menemukan bahwa jika laki-laki memiliki pendapatan yang lebih besar dari istri

mereka maka mereka akan memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam

pengambilan keputusan bila dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki

pendapatan yang sama dengan istri mereka (Blumstein dan Schwartz, dalam


(26)

Namun, hasil penelitian lain menemukan bahwa marital power tidak hanya

ditentukan oleh sumber daya ekonomi yang dimiliki pasangan. Penelitian yang

dilakukan oleh Rodman menemukan bahwa sumber daya individual relatif tidak

penting di dalam masyarakat yang mengajarkan dominasi laki-laki di dalam

keluarga (dalam Kulik, 1999). Hasil penelitian ini melahirkan teori resource in

cultural context. Teori ini menyatakan bahwa distribusi kekuasaan dalam

perkawinan bukan hanya berasal dari kontribusi sumber daya ekonomi dari

suami/istri, tetapi juga dari konteks budaya dimana perkawinan itu berada.

Dengan kata lain, jika suatu budaya menempatkan suami sebagai pemegang

kekuasaan yang lebih tinggi maka norma ini dapat melebihi pengaruh sumber

daya individual di dalam marital power. Tetapi di sisi lain, jika budaya melihat

marital power secara seimbang dimiliki oleh suami dan istri, maka pengaruh

sumber daya individual bisa saja menempatkan suami atau istri sebagai pemegang

kekuasaan yang lebih tinggi (dalam Ponzetti, 2003).

Penelitian lainnya mengenai marital power menemukan bahwa komitmen

emosional merupakan salah satu variabel penting yang membentuk ikatan

perkawinan. Penelitian tersebut menemukan bahwa semakin kuat komitmen

emosional yang dimiliki suami kepada istrinya maka suami akan merasa

kekuasaannya semakin kecil dalam perkawinannya (Blumberg dan Coleman;

Kranichfeld; McDonald, dalam Kulik, 1999). Sementara itu, Oropesa

menemukan bahwa istri dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki

kekuasaan yang seimbang dengan suaminya, merasakan kepuasan yang lebih


(27)

menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (dalam Ponzetti, 2003). Berkaitan

dengan budaya, dalam suku Fulaini di Afrika Barat yang umumnya beragama

Islam, anggota keluarga khususnya perempuan dapat meningkatkan kekuasaan

mereka dengan mempraktekan tradisi-tradisi suku Fulani (Johnson dalam

Ponzetti, 2003).

Perkawinan biasanya dikatakan sebagai penyatuan dua individu, tetapi

kenyataannya merupakan penyatuan dua keluarga (Santrock, 2002). Keluarga

masing-masing pasangan memiliki peran dalam kehidupan perkawinan. Latar

belakang budaya yang berbeda melahirkan sikap dan sudut pandang yang

berbeda, sementara latar belakang budaya yang sama cenderung memiliki sikap

dan sudut pandang yang sama. Misalnya saja suku yang memiliki sistem

kekerabatan bilateral akan lebih menonjolkan keluarga inti mereka. Namun, pada

suku yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal, peran keluarga inti tidak

terlalu penting, karena kekuasaan seorang suami di dalam perkawinannya sendiri

masih dibatasi oleh kekuasaan saudara laki dari istri. Seorang saudara

laki-laki dalam budaya matrilineal bertanggung jawab untuk mengatur perkawinan

saudara-saudara perempuannya serta memastikan kesejahteraan seluruh keluarga

besarnya, khususnya saudara perempuan beserta anak-anaknya (Sikdar, 2009;

Chairiyah, 2008; Mwambene, 2005; Das, 2001) .

Setiap perkawinan membutuhkan penyesuaian. Kebiasaan-kebiasaan yang

berlaku dalam keluarga asal akan dibawa dalam perkawinan dan tentu hal ini

perlu disesuaikan. Keputusan dalam segala hal, misalnya pemilihan tempat


(28)

secara individual. (Soewondo, dalam Patmonodewo et.al., 2001). Hal ini sesuai

dengan pernyataan salah seorang istri dari perkawinan beda suku:

Ya namanya juga dua kepala dalam satu rumah dek, pasti semuanya harus dipikirkan berdua, saling ngalah. Kalo nggak ya nanti repot.”

(Komunikasi Personal, 6 Februari 2012)

Ungkapan yang hampir sama juga dikatakan oleh seorang istri yang juga berlatar

belakang suku berbeda dari suaminya:

“Sukunya sama atau beda sama aja sebenernya. Ya mungkin lebih mudah kalau sama suku, tapi ya pada dasarnya sama saja. Kalau ibuk, ya selain adaptasi sama suku suami juga harus adaptasi sama lingkungan, kalau di sini ibuk kan merantau. Tapi di sini lingkungannya mendukung, nggak terlalu terkejut lah, karena banyak juga orang Jawa di sini.”

(Komunikasi Personal, 7 Februari 2012)

Keragaman suku di Sumatera Barat akan memunculkan kemungkinan

terjadinya perkawinan antarkelompok etnis seperti yang telah disinggung di atas.

Nilai budaya matrilineal dan matrilokal hanya akan ditemukan pada masyarakat

Minangkabau. Oleh karena itu, perkawinan antara suku Minangkabau dengan

suku lain ini tergolong ke dalam perkawinan kurang ideal karena dapat merusak

struktur adat, khususnya perkawinan antara perempuan Minangkabau dengan

laki-laki yang bukan suku Minangkabau (www.bundokanduang.wordpress.com/

2008/05/05/adat-perkawinan-diminangkabau). Hal ini juga sejalan dengan

pendapat beberapa anggota masyarakat, antara lain sebagai berikut:

“Memang nggak dilarang sih, mbak nikah beda suku, tapi karena termasuk perkawinan yang nggak ideal lah jadi ya lebih banyak setelah nikah ya lanjut merantau, keluar dari daerah sini. Si oom kan gitu mbak, istrinya orang Batak, sekarang mereka di Jakarta.”


(29)

Salah satu masalah yang sering terjadi dalam perkawinan antarkelompok

etnis adalah perbedaan budaya (Ami, 2006). Perkawinan antara suku

Minangkabau dengan suku lain ini banyak terjadi di Sawahlunto. Selain suku

Minangkabau, suku mayoritas di daerah ini adalah suku Jawa. Keragaman suku

sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat Sawahlunto. Komunikasi budaya yang

kompleks juga sudah terjalin dalam hal organisasi, olahraga, maupun perkawinan.

Jika perkawinan antarkelompok etnis ini terjadi pada suku Minangkabau dengan

suku lain maka karakteristik budaya matrilokal dan sistem kekerabatan matrilineal

akan mendapat pengaruh budaya lain dari pasangan. Hal tersebut dapat terlihat

dari hasil wawancara informal dengan beberapa pasangan perkawinan beda suku

di Sawahlunto ini. Gambaran yang pertama berasal dari perkawinan antara suku

Minangkabau dengan suku lain, dimana istri bersuku Minangkabau dan suami

bersuku Jawa.

“Kalau kawin beda suku ya di sini udah biasa, sama saja rasanya. Kami kan ya memang perempuan biasanya punya banyak warisan, tapi yang mengelola seringnya suami juga, karena laki-laki kan. Nanti hasilnya baru diserahin lagi ke keluarga besar. Alhamdulillah keluarga kakak meskipun tradisi-tradisi masih kuat tapi menantu-menantu di keluarga kakak ini udah dianggap anak gitu. Apalagi kan suami kakak memang udah lama merantau di sini jadi ya udah ngerti lah adat Minang itu.”

(Komunikasi Personal, 6 Mei 2012).

Pasangan berikutnya juga mengakui hal yang hampir sama yaitu bahwa setelah

berumah tangga, warna budaya Minangkabau tidak lagi terlalu ditonjolkan.

Pasnagan kedua ini merupakan pasangan perkawinan antara suku Minangkabau

dengan Jawa, dimana istri bersuku Jawa dan suami bersuku Minangkabau.

“Kakak juga sebenrnya udah lumayan lama kerja di sini, merantau lah. Pas dapet orang sisni ya jadinya biasa saja. Ya mungkin juga karena kan laki-laki ya, jadi ya memang nggak mencolok lah, kalau di sini yang kuat


(30)

kan perempuannya. Kalau soal rumah tangga, ya semuanya dijalanin sama-sama, kakak nggak merasa suami kakak itu otoriter atau bagaimana gitu ya. Karena kakak orang Jawa ya, dari dulu diajarin mau apa-apa itu pamit sama suami ya padahal suami kakak juga nggak kaku begitu. Di sini juga kan banyak orang Jawa atau suku lain. Jadi di sini saling menghargai, nggak ada kita harus ikut tradisi Minang gitu nggak ada.”

(Komunikasi Personal, 6 Mei 2012)

Begitu juga dengan pasangan ketiga yang merupakan pasangan perkawinan antara

suku Minangkabau dengan suku lain, dimana istri bersuku Minangkabau dan

suami bersuku Batak.

“Kalau msalah rumah tangga sama saja dengan lainnya saya rasa. Kalau di keluarga istri ya memang masih kuat adatnya. Ya saya ngerti lah namanya juga ini kan masih daerah Minang. Kalau di rumah tangga kami, kebetulan kami tinggal bukan di rumah keluarga istri, karena lokasi kerja kami lebih dekat dari sini. Kalau di rumah, ya bisa dibilang seimbang lah, istri saya nggak ngatur-ngatur begitu, beda lah sama yang selama ini dibilang orang tentang perempuan Minang, hahaha. Tapi ya nggak nurut-nurut saja juga, hahaha. Di sini untungnya banyak suku lain, nggak Minang semua. Jadi ya nggak terlalu Minang lah dibilang. Kalau kamu liat di daerah lain mungkin beda lagi. Satu lagi untungnya, meski saya nikah sama orang Minang karena saya bukan Minang saya nggak perlu ikut pusing ngurusi keluarga kemanakan istri saya, hahaha.”

(Komunikasi Personal, 6 Mei 2012)

Berdasarkan gambaran-gambaran di atas, budaya perkawinan antara suku

Minangkabau dengan suku lain terlihat sudah mendapat warna dari keragaman

budaya yang ada di daerah Sawahlunto sehingga sistem matrilineal dan matrilokal

tidak lagi terlihat jelas. Melunturnya sistem budaya matrilineal dan matrilokal

pada perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain ini akan mengubah

kondisi sumber kekuasaan pada suami dan istri. Oleh karena itu penelitian ini

bertujuan untuk melihat tipe marital power yang cenderung terbentuk pada

perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain, baik secara umum


(31)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka terdapat

beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini:

1. Bagaimana gambaran tipe marital power pada perkawinan antara suku

Minangkabau dengan suku lain?

2. Bagaimana gambaran tipe marital power pada perkawinan antara suku

Minangkabau dengan suku lain berdasarkan kondisi sumber-sumber

marital power, antara lain percampuran suku, usia, pendidikan terakhir,

status pekerjaan, penghasilan perbulan, dan anak?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tipe marital power

pada perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain berdasarkan kondisi

beberapa sumber marital power, antara lain percampuran suku dalam perkawinan,

usia, pendidikan terakhir, status pekerjaan, penghasilan perbulan, serta anak

.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi

perkembangan ilmu psikologi khususnya bidang Psikologi

Perkembangan mengenai marital power dalam keberagaman budaya di


(32)

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

bagaimana gambaran marital power pada perkawinan beda suku,

khususnya antara suku Minangkabau dengan suku lain

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat menambah wawasan bagi masyarakat mengenai

marital power dalam perkawinan

b. Penelitian ini dapat menambah wawasan bagi pemerhati budaya agar

dapat lebih memahami kebudayaan Minangkabau dan pengaruhnya

dalam kehidupan perkawinan

c. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi

peneliti-peneliti lainnya yang ingin melakukan peneliti-penelitian dengan topik yang

berkaitan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini adalah

BAB I : Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan teori berisi tinjauan teoritis terkait marital power dan

kebudayaan Minangkabau.

BAB III : Metode penelitian berisi identifikasi variabel penelitian, definisi

operasional variabel, populasi dan sampel penelitian, alat ukur penelitian,


(33)

BAB IV : Analisa data dan pembahasan berisi uraian singkat mengenai

gambaran subjek penelitian, analisis data, hasil penelitian, dan

pembahasan.

BAB V : Kesimpulan dan saran berisi rangkuman hasil penelitian serta saran


(34)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Masa Dewasa Dini

Hurlock menyatakan bahwa yang disebut dengan orang dewasa adalah

individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima

kedudukan dalam masyarakat bersama orang dewasa lainnya. Hurlock membagi

masa dewasa ke dalam 3 masa, yaitu masa dewasa dini (18 – 40 tahun), masa

dewasa madya (40 – 60 tahun), dan masa dewasa lanjut (60tahun – kematian)

(Hurlock, 1990). Hal yang menandai seseorang telah menjadi dewasa bukanlah

kriteria eksternal, melainkan kriteria internal seperti telah memiliki perasaan

autonomi, pengendalian diri, dan tanggung jawab pribadi. Biasanya masa dewasa

dini dimulai dari masa selesai sekolah, mendapatkan pekerjaan, menikah, dan

membentuk sebuah keluarga (Papalia, 2007).

Secara fisik, orang dewasa dini pada umumnya berada pada kondisi

kesehatan yang terbaik, meliputi kekuatan dan daya tahan tubuh serta fungsi

sensorik dan motorik. Secara kognitif, orang dewasa dini sudah mampu berpikir

reflektif, yaitu menggunakan pertimbangan yang hati-hati dalam menerima

informasi dan keyakinan berdasarkan bukti-bukti yang mendukung untuk

mencapai sebuah kesimpulan. Selain itu, secara kognitif orang dewasa dini juga

sudah dikatakan mencapai tahap pemikiran formal dimana mereka sudah memiliki

kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian, ketidakkonsistensian, kontradiksi,

dan ketidaksempurnaan serta dapat berkompromi dengan situasi tersebut. Orang


(35)

Pengalaman-pengalaman hidupnya membuat orang dewasa dini mampu mengevaluasi kembali

kriteria benar dan salah, serta lebih sering menggunakan pengalaman pribadinya

sebagai alasan untuk jawaban-jawaban terhadap dilema moral yang mereka alami

(Papalia, 2007).

Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian terhadap pola-pola

kehidupan yang baru. Orang dewasa dini memiliki tuntutan peran yang baru,

antara lain peran suami/istri, orangtua, dan pencari nafkah. Salah satu tugas

perkembangan yang penting pada dewasa dini adalah memilih pasangan dan

mulai membina keluarga (Hurlock, 1990). Hal ini sejalan dengan Erickson yang

menyatakan bahwa hubungan intim merupakan tugas penting pada masa dewasa

dini. Masa dewasa dini berada pada tahap perkembangan intimasi versus isolasi.

Pada tahap perkembangan ini orang dewasa dini akan membentuk komitmen

dengan orang lain atau akan menghadapi isolasi dan penarikan diri dari

lingkungan sosial. Hubungan intim akan menuntut pengorbanan dan kompromi

hingga mencapai rasa cinta yang mendalam dengan pasangannya dan memtuskan

untuk hidup bersama sampai memiliki anak (Papalia, 2007).

Orang dewasa dini pada masa sekarang umumnya menikah lebih lambat

dibandingkan orangtua mereka dahulu. Tradisi perkawinan berbeda di setiap

daerah, tetapi persamaan dari sebuah perkawinan dari masa ke masa dan di

seluruh dunia adalah bahwa perkawinan memenuhi kebutuhan fundamental.

Tahun pertama dan kedua perkawinan adalah masa melakukan

penyesuaian-penyesuaian utama antar pasangan, termasuk penyesuaian-penyesuaian terhadap anggota


(36)

Masa peneysuaian ini sering memunculkan ketegangan emosional di antara

pasangan. Orang yang menikah pada usia tiga puluhan atau dewasa madya

membutuhkan lebih banyak waktu penyesuaian dan biasanya tidak sama

berhasilnya dibandingkan dengan orang yang menikah lebih awal. Namun, orang

yang menikah pada usia lebih muda, yaitu belasan tahun sampai awal duapuluh

tahun, juga cenderung lebih buruk masa penyesuaiannya (Hurlock, 1990). Masa

dewasa dini tidak hanya sampai periode menikah dan memiliki anak, bahkan bisa

mencakup perceraian hingga menikah kembali (Papalia, 2007).

B. Marital Power 1. Definisi Marital Power

DeGenova (2008) mmendefinisikan kekuasaan (power) sebagai kemampuan

seseorang dalam sebuah hubungan sosial untuk mewujudkan keinginannya

mmeskipun bertentangan dengan orang lain. Beckman, Harvey, Satre, dan Walker

(dalam DeGenova, 2008) mendefinisikan kekuasaan dalam hubungan intim

sebagai kemampuan salah satu pasangan untuk mendapatkan hal yang

diinginkannya. Kekuasaan dapat terlihat di dalam kelompok sosial maupun

organisasi serta di dalam semua bentuk hubungan interpersonal (DeGenova,

2008).

Pembagian kekuasaan terjadi pada hampir semua hubungan intim dan

biasanya tidak direncanakan. Kekuasaan yang dimiliki oleh setiap anggota

keluarga sebagian besar dipengaruhi oleh kekuasaan sosial yang terjadi di


(37)

sebuah keluarga adalah kekuasaan perkawinan (marital power), yaitu hubungan

kekuasaan yang terjadi antara dua pihak (suami dan istri) dalam sebuah

perkawinan. Jadi, marital power adalah kemampuan salah satu pihak (suami atau

istri) untuk mewujudkan keinginannya meskipun bertentangan dengan

pasangannya (DeGenova, 2008).

2. Komponen Marital Power

Perkawinan yang ideal di dalam masyarakat Amerika Serikat sekarang ini

menekankan pada pembagian kekuasaan yang seimbang antara suami dan istri,

meliputi keputusan yang dibuat, pengaruh yang diberikan oleh masing-masing

pihak, dan pengaturan keluarga yang dilakukan bersama. Namun, pasangan yang

dikatakan seimbang biasanya juga tidak berbagi dalam setiap pembuatan

keputusan (DeGenova, 2008). Hal ini juga sejalan dengan kritikan Rothschild

yang menyatakan bahwa penelitian yang selama ini dilakukan mengenai marital

power hanya menilai marital power berdasarkan pembuatan keputusan yang

dilakukan suami atau istri saja sehingga gagal melihat apa yang terjadi di balik

keputusan-keputusan tersebut. Hal ini dinilai Rothschild sebagai salah satu

kelemahan di dalam penelitian-penelitian tersebut karena penliti-peneliti tersebut

tidak menemukan kesepakatan mengenai area-area keputusan apa saja yang

dianggap penting untuk dapat menggambarkan marital power dalam sebuah


(38)

Oleh karena itu, Rothschild menyatakan bahwa untuk memahami marital

power, peneliti juga harus memperhatikan komponen lain di dalamnya (dalam

Scanzoni dan Letha, 1988). Kompenen tersebut adalah:

a. Authority

Authority berarti siapa yang memiliki hak untuk mengambil keputusan

dalam perkawinan berdasarkan norma budaya atau sosial.

b. Decision-making

Decision-making berarti siapa yang mengambil keputusan dan bagaimana

frekuensinya dalam mengambil keputusan.

c. Influence

Influence berarti siapa yang memiliki derajat kemampuan yang paling tinggi

untuk mempengaruhi sudut pandang pasangan dalam menanggapi peristiwa atau

membuat keputusan.

3. Sumber-Sumber Marital Power

Banyak penelitian dilakukan untuk mencari tahu apa yang membuat suami

dan istri memiliki kekuasaandalam hubungan perkawinan. Terdapat beberapa

sumber marital power yang teridentifikasi, yaitu norma budaya, sumber daya

ekonomi, norma gender, pendidikan dan pengetahuan, karakteristik kepribadian,

kemampuan komunikasi, faktor emosional, postur dan kekuatan tubuh, kondisi


(39)

1. Norma Budaya

Budaya menentukan siapa yang berkuasa di dalam sebuah keluarga.

Beberapa budaya menganggap laki-laki sebagai pemegang otoritas dan figur

kekuasaan dalam keluarga dan meyakini bahwa perempuan harus tunduk kepada

laki-laki (patriarchal). Pada beberapa budaya lain, keluarga menempatkan wanita

sebagai kepala keluarganya (matriarchal) dimana perempuan membantu dalam

hal pengasuhan anak dan pemenuhan kebutuhan ekonomi sehingga mereka

memiliki kekuasaan dan tanggung jawab yang lebih besar daripada laki-laki

(Burton, 1995, dalam Mabry, Beth, Giarrusso, Bengston, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Rodman di Jerman, Amerika Serikat,

Perancis, Denmark, Belgia, Yunani, dan Yugoslavia mencoba memahami

ketidakkonsistenan budaya dalam hubungan antara sumber daya dan marital

power. Rodman mengajukan theory of resources in cultural context yang

menjelaskan bahwa distribusi kekuasaandalam perkawinan tidak hanya berasal

dari kontribusi dari sumber daya, melainkan juga dipengaruhi oleh konteks

budaya dimana perkawinan itu berada. Dengan kata lain, jika budaya

mengharapkan suami untuk memiliki kekuasaanyang lebih besar, norma ini dapat

memiliki dampak dalam marital power melebihi sumber daya. Namun di sisi lain,

dalam budaya yang memiliki sudut pandang egalitarian terhadap perkawinan,

kekuasaantidak didapat dengan mudah melainkan harus dicari. Pada budaya inilah

sumber daya dari suami dan istri memiliki pengaruh yang lebih besar (dalam


(40)

yang mendukung dominasi pria, suami memiliki kekuasaanyang lebih besar

daripada istri (dalam DeGenova, 2008).

Berbeda dengan penelitiannya yang dilakukan di Amerika Serikat dan

Perancis, Rodman menemukan perbedaan hasil di negara-negara berkembang. Di

negara-negara berkembang, seperti Yunani dan Yugoslavia, dengan tradisi

patrilinealyang kuat dimana norma sosial mendukung hak suami untuk

mendominasi, kelas sosial dari suami membuatnya memandang perkawinan dari

sudut pandang yang lebih modern dan egalitarian. Dengan demikian di kedua

negara tersebut, suami yang memiliki pendidikan dan status pekerjaan yang lebih

tinggi lebih mengizinkan istri untuk memiliki kekuasaandan mengurangi

kekuasaandirinya sendiri dalam perkawinan (Scanzoni dan Letha, 1988).

2. Sumber Daya Ekonomi

Sumber daya ekonomi dari suami/istri dapat menjadi sumber kekuasaan

dalam perkawinan.Pihak yang memiliki kontrol terhadap sumber daya bernilai

yang dibutuhkan oleh anggota keluarga, khususnya uang dan properti, merupakan

pihak yang memiliki kontrol terhadap anggota keluarga itu (deTurck & Miller,

dalam DeGenova, 2008). Istri yang tidak mencari uang untuk keluarganya tidak

akan mendapatkan kekuasaanyang sama dengan suaminya jika suaminya tidak

mengizinkannya (DeGenova, 2008).

Blood dan Wolfe mencetuskan resource theory untuk menjelaskan marital

power. Menurut teori ini, kekuasaandalam perkawinan berasal dari kontribusi

sumber daya, khususnya pendidikan, pendapatan, dan status pekerjaan, ke dalam


(41)

daya ekonomi di dalam perkawinan, istri akan meningkatkan kemauannya untuk

mematuhi keinginan suaminya dan menjadikan suaminya memiliki hak

satu-satunya dalam mengambil keputusan. Begitu juga dengan istri, istri yang memiliki

pencapaian pendidikan dan pekerjaan di dalam perkawinan akan memiliki

kesempatan yang lebih besar terhadap keseimbangan kekuasaandikarenakan

sumber daya tersebut (dalam Scanzoni dan Letha, 1988). Penelitian di Amerika

Serikat dan Perancis juga menemukan bahwa semakin tinggi status suami maka

semakin besar kekuasaanyang dimilikinya dalam perkawinan (dalam Scanzoni

dan Letha, 1988).

3. Norma Gender

Norma gender dapat menjadi sumber kekuasaan melalui proses sosialisasi.

Sosialisasi peran gender yang menekankan kepasifan, kepatuhan, dan

ketergantungan perempuan akan menguatkan posisi laki-laki sebagai pemegang

otoritas dan figur kekuasaan. Norma gender tradisional biasanya telah membagi

area tanggungjawab pada suami dan istri. Suami membuat keputusan dalam hal

finansial dan melakukan pekerjaan luar yang berat, sementara istri merawat anak

dan melakukan pekerjaan di dalam rumah (DeGenova, 2008).

4. Pendidikan dan Pengetahuan

Di dalam lingkungan yang menghargai pendidikan, pasangan yang lebih

tinggi tingkat pendidikannya serta memiliki pengetahuan yang lebih banyak

mengenai satu hal spesifik yang berkaitan dengan rumah tangga akan memiliki


(42)

5. Perbedaan Personal

Perbedaan personal juga mempengaruhi kekuasaan. Perbedaan usia antara

pasangan mempengaruhi kekuasaan, dimana pasangan yang lebih tua lebih

berkuasa atas pasangannya yang lebih muda. Terlepas dari usia, beberapa orang

memiliki karakter dominasi yang lebih besar yang membuatnya lebih berpengaruh

dalam suatu hubungan. Derajat kekuasaan juga bergantung pada besarnya

motivasi seseorang untuk memperolah kekuatan dan kontrol. Beberapa orang

berusaha untuk memperoleh kekuasaan untuk menutupi perasaan lemah dan tidak

aman dari dirinya (DeGenova, 2008).

6. Kemampuan Komunikasi

Kemampuan komunikasi juga merupakan sumber kekuasaan di dalam

sebuah perkawinan. Di dalam perkawinan, salah satu pasangan (suami/istri)

memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik dari pasangannya. Pasangan

yang memiliki kemampuan komunikasi lebih baik mampu mengkomunikasikan

ide-ide mereka dengan lebih baik sehingga dapat meyakinkan anggota keluarga

lain bahwa ia memiliki kekuasaan melalui kata-katanya (DeGenova, 2008).

7. Faktor Emosional

Dalam sebuah perkawinan, setiap pasangan berbeda pula kondisi

emosionalnya. Pasangan yang memiliki cinta dan kebutuhan emosional yang

paling besar akan memiliki kekuasaan yang paling kecil. Pasangan yang memiliki

cinta dan kebutuhan emosional yang lebih besar akan sangat bergantung terhadap

pasangannya dan akan rela melakukan apapun untuk menyenangkan pasangannya


(43)

8. Postur dan Kekuatan Tubuh

Ada jenis kekuasaan yang didapat melalui hukuman yang diberikan kepada

orang lain. Salah satu jenis hukuman itu berupa ancaman hukuman fisik. Postur

tubuh yang menunjukkan kekuatan dapat berfungsi sebagai sumber kekuasaan

karena salah satu pasangan meyakini bahwa postur tubuh demikian dapat

memberikan hukuman fisik baginya (DeGenova, 2008).

9. Kondisi Hidup

Semakin sedikit pilihan hidup yang dimiliki seseorang maka semakin sedikit

pula kekuasaan yang dimiliki. Jika seseorang merasa bahwa pasangannya tidak

akan meninggalkannya karena pasangannya tidak lagi memiliki keluarga, teman,

ataupun kerabat yang dapat memberikan dukungan emosional dan finansial maka

orang tersebut memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam perkawinannya.

Ketidakmampuan fisik atau penyakit yang diderita seseorang akan membuat

pasangannya mengambil peran dominan atas dirinya (DeGenova, 2008).

10.Anak

Anak dalam sebuah perkawinan memiliki kekuasaannya sendiri. Oleh

karena itu, perilaku maupun pendapat seorang anak akan memberikan pengaruh

yang penting pada keputusan yang dibuat oleh kedua orangtuanya maupun


(44)

4. Tipe Marital Power

DeGenova (2008) membagi marital power ke dalam empat tipe, yaitu:

a. Egalitarian

Dalam pola ini, power dimiliki secara seimbang oleh suami dan istri. Dalam

membuat keputusan, keduanya memiliki peranan yang sama pentingnya.

Perkawinan yang memiliki pembagian kekuasaan yang seimbang (egalitarian)

memiliki hubungan dengan kepuasan perkawinan yang tinggi (DeGenova, 2008).

b. Male-dominant

Dalam pola ini, suami memiliki power yang lebih besar daripada istri.

Suami yang membuat sebagian besar keputusan dalam perkawinan (DeGenova,

2008).

c. Female-dominant

Dalam pola ini, istri memiliki power yang lebih besar daripada suami. Istri

yang lebih banyak membuat keputusan dalam perkawinan. Perkawinan yang

didominasi oleh istri (female-dominant) ditemukan memiliki tingkat kepuasan

yang paling rendah dibandingkan dengan pasangan egalitarian maupun

male-dominant (DeGenova, 2008).

d. Anarchic

Dalam pola ini, suami dan istri memiliki power yang sama. Namun,

berbeda dengan pola egalitarian, dalam pola anarchic suami dan istri memiliki

power dalam hal yang berbeda. Artinya, suami membuat keputusan untuk

beberapa hal, misalnya memilih mobil dan rumah, sementara istri membuat


(45)

keluarga. Pasangan anarchic menunjukkan lebih banyak perilaku negatif

dibandingkan dengan pasangan male-dominant maupun female-dominant.

Kurangnya struktur pembuatan keputusan pada pasangan ini akan merusak

keberfungsian perkawinan (DeGenova, 2008).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa marital power adalah

kemampuan salah satu pihak (suami atau istri) untuk mewujudkan keinginannya

meskipun bertentangan dengan pasangannya. Terdapat tiga komponen yang

membentuk marital power, yaitu authority, decision-making, dan influence.

Terbentuknya satu tipe marital power dipengaruhi oleh kepemilikan pada

sumber-sumber marital power. Terdapat sepuluh sumber marital power, yaitu norma

budaya, sumber daya ekonomi, norma gender, pendidikan dan pengetahuan,

perbedaan personal, kemampuan komunikasi, faktor emosional, postur dan

kekuatan tubuh, kondisi hidup, serta anak. Sumber-sumber marital power yang

dimiliki oleh istri atau suami akan mengarahkan marital power ke dalam satu tipe

tertentu. Terdapat empat tipe marital power, yaitu egalitarian, male-dominant,

female-dominant, dan anarchic.

C. Suku Minangkabau 1. Wilayah Minangkabau

Minangkabau identik dengan istilah Sumatera Barat. Sebenarnya bila

diamati dari perkembangan sejarah, wilayah Minangkabau tidak hanya meliputi

daerah Provinsi Sumatera Barat, namun juga mencakup sebagian daratan Riau,


(46)

daya Aceh, dan bahkan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Sedangkan daerah

Kepulauan Mentawai yang merupakan bagian dari wilayah administratif Provinsi

Sumatera Barat tidak termasuk ke dalam alam Minangkabau (Sjarifoedin, 2011).

Wilayah kebudayaan Minangkabau adalah meliputi wilayah tempat hidup,

tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah Minangkabau

memiliki dua pengertian berbeda, yaitu pengertian budaya dan pengertian

geografis. Wilayah Minangkabau dalam pengertian budaya meliputi suatu wilayah

yang didukung oleh suatu masyarakat yang kompleks, bersatu di bawah naungan

persamaan asal-usul, adat, dan falsafah hidup. Sementara wilayah Minangkabau

secara geografis terbagi atas wilayah inti yang disebut Darek (Darat) dan wilayah

perkembangannya yang disebut Rantau dan Pesisir. Daerah Darek adalah daerah

dataran tinggi di antara pegunungan Bukit Barisan, meliputi Gunung Singgalang,

Gunung Tandikek, Gunung Merapi, dan Gunung Sago. Darek terbagi ke dalam

tiga luhak (Luhak nan Tigo), yaitu: Luhak Tanah Datar sebagai luhak yang tua,

buminya nyaman, airnya jernih, ikannya banyak; Luhak Agam sebagai luhak yang

tengah, buminya panas, airnya keruh, ikannya liar; Luhak Limo Puluh Kota

sebagai luhak yang bungsu, buminya sejuk, airnya jernih, ikannya jinak

(Sjarifoedin, 2011).

Secara garis besar wilayah Minangkabau mencakup daerah Darat, Rantau,

dan Pesisir. Daerah Darat adalah wilayah sekitar Gunung Merapi, yang biasanya

disebut Semarak Alam Minangkabau (Luhak nan Tiga). Daerah Darat dianggap

sebagai daerah asli atau daerah utama dari pemangku kebudayaan Minangkabau.


(47)

daerah Darat yang berbatasan dengan Samudera Hindia serta daerah

lembah-lembah sungai dan anak sungai yang berasal dari daerah Darat dan bermuara ke

Selat Malaka serta Laut Cina Selatan (Mansoer, 1970, dalam Sjarifoedin, 2011).

Dalam perkembangannya, makna Rantau meluas menjadi daerah tempat orang

Minangkabau asli mencari nafkah (Geerzt, 1963, dalam Sjarifoedin, 2011).

Meskipun berada dalam wilayah demografis dan budaya yang sama, tetapi

terdapat perbedaan antara daerah Darat dan Rantau. Perbedaan antara keduanya

tersurat dalam istilah “Luhak bapanghulu, Rantau baraja”. Artinya, pengatur

tatanan pemerintah di Darat berada di tangan penghulu, sedangkan yang menjadi

pemimpin di daerah Rantau adalah Raja (Navis, 1984, dalam Sjarifoedin, 2011).

Perbedaan kedua daerah ini semakin meluas setelah terjadi persinggungan budaya

dengan dunia luar. Wilayah Rantau, terutama kota Padang, merupakan daerah

pelabuhan yang selalu diperebutkan oleh berbagai kekuasaan agar bisa menguasai

perdagangan lada. Pada waktu Portugis menguasai daerah Rantau, pengaruh

Portugis masuk dalam tatanan kehidupan masyarakat Rantau. Ketika daerah

Rantau dikuasai oleh para pedagang Aceh, warna Aceh ikut menyemarakkan

kehidupan masyarakat daerah Rantau. Selanjutnya, pengaruh Belanda ikut juga

mewarnai tatanan kehidupan masyarakat Rantau ketika berada di bawah

kekuasaan Belanda (Sjarifoedin, 2011).

Kota Sawahlunto merupakan salah satu daerah yang termasuk ke dalam

daerah Rantau. Kota Sawahlunto terletak 95 kilometer dari Kota Padang. Hasil

Sensus Penduduk 2010 menyatakan bahwa jumlah penduduk Kota Sawahlunto


(48)

kepadatan penduduk sebesar 238 per kilometer persegi. Pada pertengahan abad

ke-19, Kota Sawahlunto merupakan sebuah kota tambang yang dibangun oleh

Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini yang membuat orang-orang dari berbagai

etnis dari penjuru dunia berdatangan, seperti Belanda, Cina, Jawa, Bugis, dan

Batak. Sawahlunto menjadi kota multietnis di Sumatera Barat yang dihuni oleh

berbagai etnis dari berbagai penjuru nusantara bahkan luar negeri. Selain

Minangkabau, sekarang ini Sawahlunto didiami oleh suku Jawa, Sunda, Batak,

Aceh, Bugis, Tionghoa, bahkan masih ada pula etnis Belanda. Bagi masyarakat

Sawahlunto, keragaman suku ini sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat.

Sudah terjadi komunikasi budaya yang kompleks antarsuku dalam hal organisasi,

olahraga, maupun perkawinan di kota ini.

2. Masyarakat Minangkabau

Menurut Mansoer istilah Minangkabau mengandung pengertian

kebudayaan, selain makna geografis. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,

Minangkabau banyak dipahami dan dikenal sebagai suku bangsa dan kebudayaan.

Masyarakat Minangkabau biasa menyebut dirinya sebagai suku Minangkabau.

Adapun mereka yang dikatakan sebagai suku Minangkabau adalah orang yang

berasal dari wilayah Minangkabau, baik yang menetap maupun berada di luar

wilayah Minangkabau itu, bukan hanya orang yang menetap atau berasal dari

daerah administratif Provinsi Sumatera Barat saja, serta menerima dan

menerapkan adat Minangkabau (dalam Sjarifoedin, 2011).

Kelompok etnis Minangkabau secara historis dan geografis dianggap


(49)

masyarakat Minangkabau termasuk ke dalam kelompok komunitas pedalaman

karena kelompok ini secara geografis banyak menempati daerah seputar

pegunungan Bukit Barisan (pedalaman Sumatera). Salah satu ciri masyarakat

pedalaman yakni memiliki kecenderungan menjadikan pertanian sebagai sumber

penghidupan mereka. Namun ciri tersebut memang tidak sepenuhnya melekat

pada masyarakat Minangkabau. Dalam perspektif sejarah perdagangan, suku

Minangkabau justru telah berperan penting dalam perdagangan merica yang

seharusnya dilakukan oleh masyarakat pesisir (Sjarifoedin, 2011).

Selain itu, keunikan lain yang dimiliki Masyarakat Minangkabau adalah

cepatnya komunitas ini mengenal ajaran Islam. Masyarakat Minangkabau telah

disentuh peradaban Islam lebih kurang tiga abad yang silam. Menurut Navis,

Minangkabau merupakan kultur etnis dari suatu rumpun Melayu. Kultur ini

tumbuh dan berkembang pesat karena sistem monarki serta menganut sistem adat

yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekerabatan matrilineal. Namun

demikian, budaya yang berkembang dalam etnis Minangkabau tetap kuat diwarnai

oleh ajaran agama Islam. Prinsip adat Minangkabau tertaung singkat dalam “Adat

basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah”, yang berarti adat bersendikan hukum

(agama Islam), hukum bersendikan Al-Qur’an (dalam Sjarifoedin, 2011).

Orang Minangkabau atau orang Minang, selain sebagai kaum profesional

dan intelektual, juga sangat menonjol dalam bidang perniagaan. Orang Minang

juga terkenal dengan budaya merantaunya. Hampir separuh dari jumlah

keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan


(50)

Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia,

orang Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia, dan Singapura

(Sjarifoedin, 2011).

3. Sistem Kekerabatan Suku Minangkabau

Salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah keragaman

budaya dan keragaman kelompok etnis yang mendiami tanah nusantara ini. Di

antara berbagai kelompok etnis yang mendiami nusantara, terdapat satu etnis yang

sejak dahulu banyak dibicarakan dan diteliti oleh banyak kalangan, yaitu

Minangkabau. Hal ini disebabkan oleh keunikan sistem kekerabatan yang dianut

masyarakatnya yaitu matrilineal.

Sebagai kelompok masyarakat yang dominan menganut ajaran Islam, dapat

diprediksi bahwa sistem kekerabatan yang dianut adalah menurut garis keturunan

bapak. Tetapi tidak demikian halnya yang terjadi di Minangkabau, sebaliknya

masyarakat Minangkabau menarik garis keturunan dari ibu. Berdasarkan tingkat

adatnya, sistem kekerabatan matrilineal ini termasuk ke dalam adat yang akan

lestari sepanjang masa karena telah dimantapkan oleh nenek moyang masyarakat

Minangkabau yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Parpatiah nan Sabatang.

Adat-adat yang lestari tidak dianggap bertentangan dengan ajaran Islam sehingga

selagi masyarakat Minangkabau taat memeluk agama Islam dan beriman serta

bertakwa kepada Allah maka nilai-nilai yang terkandung dalam adat akan lestari

sepanjang masa (Sjarifoedin, 2011).

Prinsip kekerabatan matrilineal membuat individu melihat dirinya sebagai


(51)

Minangkabau, yang disebut sebagai keluarga adalah nenek dari ibu beserta

saudara-saudaranya, serta anak laki-laki dan perempuan dari neneknya sendiri

(Chairiyah, 2008).

Sistem kekerabatan matrilineal memiliki tiga unsur yang paling dominan,

yaitu: (1) garis keturunan menurut garis ibu; (2) perkawinan harus dengan

kelompok lain di luar kelompok sendiri (eksogami) dengan sistem matrilokal; (3)

ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan

kesejahteraan keluarga (Sjarifoedin, 2011).

Garis keturunan ini memiliki arti pada penerusan harta warisan, dimana

seorang anak akan memperoleh warisan menurut garis ibu. Warisan yang

dimaksud adalah berupa harta peninggalan yang sudah turun-temurun menurut

garis ibu. Secara umum, harta warisan (pusaka) dapat dikelompokkan menjadi dua

macam, yaitu pusaka tinggi dan pusaka rendah (Sjarifoedn, 2011).

Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun-temurun dari

beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Adanya harta pusaka tinggi

berkaitan dengan sejarah lahirnya kampuang (kampung)dan koto (kota)yang

diikuti dengan membuka sawah dan ladang sebagai sumber kehidupan. Harta

pusaka tinggi yang berupa material, seperti sawah, ladang, kebun, dan lain-lain.

Sedangkan harta pusaka tinggi berupa moril adalah gelar pusaka kaum yang

diwarisi secara turun-temurun, yang disebut sako. Seorang anak, baik laki-laki

maupun perempuan, akan mendapat warisan gelar dari mamak (saudara laki-laki


(52)

Harta pusaka tinggi berupa material akan jatuh pada anak perempuan. Anak

perempuan mempunyai hak memiliki sampai diwariskan pula kepada

anak-anaknya. Anak laki-laki tidak mempunyai hak memiliki, tetapi mempunyai hak

untuk mengelola. Hak kepemilikan harta pusaka tinggi ini berada di tangan

perempuan tertua pada setiap tingkatan pengelompokan mereka. Hasil-hasil usaha

pertanian atau komersialisasi dari pusaka tinggi disimpan dan dikeluarkan oleh

perempuan tertua tersebut. Sedangkan pengaturan pengelolaan pusaka tinggi

terdapat di tangan laki-laki yang diberikan kepercayaan dalam komunitas mereka

(Sjarifoedin, 2011).

Selain itu, menurut sistem matrilineal perempuan memiliki hak penuh di

rumah gadang, dan kaum laki-laki hanya menumpang. Rumah gadang merupakan

sebuah rumah adat suku Minangkabau yang berfungsi untuk kegiatan-kegiatan

adat dan tempat tinggal. Keluarga yang mendiami rumah gadang adalah

orang-orang seketurunan yang disebut saparuik (dari satu perut) atau setali darah

menurut garis keturunan ibu. Sedangkan seorang laki-laki tidak termasuk keluarga

di rumah gadang istrinya, tetapi menjadi anggota keluarga dari paruik rumah

gadang ibunya (Sjarifoedin, 2011).

Harta pusaka rendah merupakan warisan dari hasil usaha ibu dan bapak

selama mereka terikat perkawinan. Harta pusaka jenis ini juga cenderung

diwariskan oleh seorang bapak kepada anak perempuannya (Sjarifoedin, 2011).

4. Sistem Perkawinan Suku Minangkabau

Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu


(53)

yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut

keturunan. Bagi laki-laki Minangkabau, perkawinan juga menjadi proses untuk

masuk ke lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi

keluarga pihak istri, perkawinan menjadi salah satu proses dalam penambahan

anggota di komunitas rumah gadang mereka (Sjarifoedin, 2011).

Sistem perkawinan masyarakat Minangkabau bersifat matrilokal yang

berarti seorang suami bertempat tinggal di rumah istrinya (Chairiyah, 2008).

Perkawinan di Minangkabau tidak menciptakan keluarga inti yang baru. Suami

atau istri tetap menjadi anggota dari garis keturunannya masing-masing (Navis,

1984, dalam Sjarifoedin, 2011). Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau

sangat terikat pada keluarga luas, terutama keluarga pihak ibu. Keluarga pihak

bapak disbut bako, yang peranannya sangat kecil dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang suami di dalam kerabat istrinya disebut sumando. Di dalam keluarga

Minangkabau tidak tampak keluarga inti yang menunjukkan seorang bapak lebih

berperan, melainkan mamak (saudara laki-laki dari istri) yang lebih berperan.

Seorang bapak berperan pula sebagai mamak terhadap kemenakannya di rumah

keluarga ibunya dan saudara perempuannya (Sjarifoedin, 2011). Seorang mamak

juga bertempat tinggal di rumah istrinya. Oleh karena itu, akhirnya memang

perempuanlah yang memelihara dan mengendalikan harta pusaka keluarga.

Perempuan pula yang melaksanakan segala kegiatan upacara-upacara adat di

kalangan kerabatnya (Chairiyah, 2008).

Berdasarkan uraian di atas, yang disebut masyarakat Minangkabau adalah


(54)

di wilayah Minangkabau, yang menerima dan menerapkan adat Minangkabau.

Masyarakat Minangkabau ini mendiami daerah Minangkabau yang secara umum

dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu Darat, Rantau, dan Pesisir. Daerah Rantau dan

Pesisir inilah yang banyak mendapat singgungan budaya luar sehingga memiliki

keanekaragaman suku di dalamnya. Suku Minangkabau ini unik karena sistem

kekerabatannya yang berupa matrilineal. Sistem kekerabatan matrilineal ini

memiliki pengaruh penting dalam pewarisan. Harta warisan yang berupa harta

pusaka tinggi dan rendah akan diwariskan pada anak perempuan. Selain sistem

matrilinealnya, Minangkabau juga dikenal dengan sistem perkawinannya yang

berupa matrilokal. Sistem matrilokal ini membatasi kekuasaan suami di

perkawinannya sendiri. Suami lebih berkuasa di perkawinan kemenakannya

dimana ia berperan sebagai mamak. Sementara perkawinannya sendiri lebih

diwarnai oleh peran istri dan mamaknya.

D. Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Perkawinan bukan hanya sebagai penyatuan dua individu, melainkan

penyatuan dua keluarga. Setiap keluarga memiliki latar belakang budaya sendiri

yang menentukan pikiran, perasaan, dan perilaku yang berbeda. Indonesia terdiri

dari beragam latar belakang budaya, yang biasa dikenal dengan suku. Menurut

data statistik terakhir, suku di Indonesia mencapai 1.128 suku. Berbagai suku di


(55)

Minangkabau yang hampir sebagian dari keseluruhan anggota masyarakatnya

hidup di perantauan (Sjarifoedin, 2011).

Bertemunya suku yang berlainan di satu daerah akan memunculkan isu baru

dalam perkawinan, yaitu perkawinan antarkelompok etnis, seperti yang terjadi di

Amerika Serikat antara suku Irish dengan suku Latin (Egelman, 2004). Setiap

suku memiliki karakteristik berbeda. Latar belakang suku yang berbeda akan

melahirkan pola pikir, perasaan, dan perilaku yang berbeda. Misalnya saja suku

yang memiliki sistem kekerabatan bilateral akan lebih menonjolkan keluarga inti

mereka. Namun, pada suku yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal, seperti

suku Minangkabau, peran keluarga inti tidak terlalu penting, karena suami

hanyalah seorang tamu dalam keluarga besar istri mereka. Kekuasaan seorang

suami pada suku Minangkabau dibatasi oleh kekuasaan saudara laki-laki dari istri

(mamak) (Chairiyah, 2008).

Perkawinan akan membentuk sebuah keluarga. Proses-proses sosial yang

terjadi di kehidupan masyarakat dapat juga tergambar dari sebuah keluarga, salah

satunya adalah kekuasaan. Kekuasaan didefinisikan sebagai situasi dimana

seseorang memiliki pengaruh terhadap perilaku dan emosi orang lain (Winter,

1973, dalam Scanzoni dan Letha, 1976). Kekuasaanterdapat di dalam kelompok

dan organisasi sosial serta di berbagai hubungan intim. Kekuasaan di dalam

hubungan perkawinan disebut marital power. Marital power memiliki 4 tipe

berbeda, yaitu male-dominant, female-dominant, egalitarian, dan anarchic


(1)

147 88 87 Tdk terkategori

50 41 jawa minang sma sma kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt

ada

150 90 86 Tdk

terkategori

55 45 minang sunda sma sma kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt

ada

152 83 85 Rendah 45 50 minang jawa sma sma kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt ada

153 88 83 Tdk

terkategori

45 38 jawa minang sma sma kerja kerja >5jt 1jt-5jt

ada

154 86 88 Rendah 36 30 jawa minang d3 d3 kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt ada

155 86 87 Rendah 30 22 jawa minang sma sma kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

156 90 85 Tdk

terkategori

33 27 jawa minang sma d3 kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

158 97 92 Tinggi 28 26 jawa minang d3 d3 kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt ada

159 99 93 Tinggi 41 34 minang jawa d3 sma kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt ada

161 110 74 Tinggi 35 22 minang jawa sma sma kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

163 99 82 Tinggi 34 25 minang jawa sma smp kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

164 92 91 Tdk

terkategori

36 30 minang jawa smp smp kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

165 96 87 Tdk

terkategori

47 44 jawa minang s1 sma kerja Tdkke

rja

1jt-5jt <1jt

ada

166 100 78 Tinggi 45 41 jawa minang sma sma kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

167 96 84 Tdk

terkategori

37 37 jawa minang sma sma kerja kerja 1jt-5jt <1jt

ada

168 92 86 Tdk

terkategori

35 30 batak minang sma sma kerja kerja 1jt-5jt <1jt


(2)

169 95 86 Tdk terkategori

33 28 minang jawa sma sma kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

172 92 86 Tdk

terkategori

38 36 minang jawa smp sma kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

173 91 90 Tdk

terkategori

30 34 jawa minang smp sma kerja kerja <1jt 1jt-5jt

ada

174 85 76 Rendah 40 36 minang jawa sma sma Tdkkerj

a

kerja 0 <1jt

ada

177 96 97 Tdk

terkategori

40 47 batak minang s2 s1 kerja kerja >5jt >5jt

ada

179 91 89 Tdk

terkategori

48 40 jawa minang s2 s2 kerja kerja >5jt >5jt

ada

180 93 90 Tdk

terkategori

52 47 jawa minang d2 s2 kerja kerja >5jt >5jt

ada

182 93 92 Tdk

terkategori

38 30 jawa minang d3 s1 kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt

ada

183 94 100 Tdk

terkategori

28 25 minang batak s1 s1 kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt

ada

184 91 96 Tdk

terkategori

30 27 minang sunda s1 s1 kerja kerja >5jt 1jt-5jt

ada

186 90 90 Tdk

terkategori

50 42 minang sunda s2 s2 kerja kerja >5jt >5jt

ada

190 96 93 Tdk

terkategori

52 42 minang melayu s1 s1 kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt tidak ada

191 93 95 Tdk

terkategori

30 25 jawa minang sma d2 kerja kerja 1jt-5jt <1jt

ada


(3)

193 87 88 Tdk terkategori

38 35 batak minang sma sma kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt

ada

197 86 89 Rendah 36 30 jawa minang smp sma kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt ada

198 90 91 Tdk

terkategori

52 46 minang jawa smp smp kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt

ada

199 87 81 Tdk

terkategori

56 49 minang jawa smp sma kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt

ada

200 86 83 Rendah 29 23 jawa minang sma sma kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt tidak

ada

201 91 86 Tdk

terkategori

53 50 jawa minang smp smp kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

202 92 84 Tdk

terkategori

36 29 jawa minang sma sma kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt

ada

203 92 81 Tdk

terkategori

36 25 sunda minang sma sma kerja kerja 1jt-5jt <1jt

ada

204 85 86 Rendah 40 31 jawa minang smp smp kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt ada

205 94 90 Tdk

terkategori

60 59 jawa minang smp smp kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

206 94 89 Tdk

terkategori

27 26 jawa minang sma sma kerja kerja 1jt-5jt <1jt tidak ada

207 90 85 Tdk

terkategori

34 35 minang jawa sma smp kerja kerja <1jt <1jt

ada

208 100 82 Tinggi 46 39 jawa minang d3 d3 kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt ada

209 91 88 Tdk

terkategori

30 27 minang jawa sma d3 kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt

ada

210 101 85 Tinggi 37 35 melayu minang s1 sma kerja kerja >5jt <1jt ada


(4)

212 91 88 Tdk terkategori

30 28 minang jawa smp sma kerja kerja <1jt <1jt

ada

213 94 86 Tdk

terkategori

56 54 jawa minang smp smp kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

214 99 82 Tinggi 60 58 jawa minang smp smp kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

215 91 85 Tdk

terkategori

25 25 minang jawa smp sma kerja kerja <1jt <1jt

ada

216 99 82 Tinggi 65 63 jawa minang smp smp kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

217 83 96 Rendah 27 25 minang jawa s1 s1 kerja kerja >5jt >5jt tidak

ada

218 82 95 Rendah 30 29 jawa minang sma sma kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt ada

219 92 90 Tdk

terkategori

53 50 jawa minang sma smp kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

220 93 92 Tdk

terkategori

27 26 jawa minang d2 s1 kerja kerja >5jt 1jt-5jt

ada

221 89 90 Tdk

terkategori

27 24 jawa minang d3 sma kerja kerja 1jt-5jt <1jt

ada

222 90 88 Tdk

terkategori

42 40 jawa minang s1 sma kerja Tdkke

rja

1jt-5jt 0

ada

223 88 89 Tdk

terkategori

48 31 minang jawa s1 sma kerja kerja >5jt 1jt-5jt

ada

224 86 93 Rendah 29 29 jawa minang sma sma kerja kerja 1jt-5jt <1jt tidak

ada

225 95 83 Tdk

terkategori

32 30 minang melayu sma sma kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt tidak ada

226 94 87 Tdk

terkategori

30 29 melayu minang sma sma kerja Tdkke rja

1jt-5jt 0


(5)

227 80 100 Rendah 28 25 jawa minang sma sma kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt ada

228 92 85 Tdk

terkategori

45 35 minang jawa d1 d3 kerja kerja >5jt 1jt-5jt

ada

230 83 99 Rendah 27 27 minang jawa sma sma kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt ada

231 93 86 Tdk

terkategori

40 37 jawa minang sma sma kerja kerja 1jt-5jt <1jt

ada

232 92 88 Tdk

terkategori

29 28 jawa minang sma d3 kerja kerja 1jt-5jt 1jt-5jt

ada

233 94 89 Tdk

terkategori

50 50 jawa minang sma sma kerja tdkkerj a

1jt-5jt 0

ada

234 89 88 Tdk

terkategori

25 25 minang jawa sma sma kerja kerja <1jt 1jt-5jt tidak ada


(6)

166

7. Analisis Deskriptif Skor Subjek Penelitian

a.

Skor

Power

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

skorpower 332 52 131 91.39 9.797

Valid N (listwise) 332

b.

Skor Suami

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic

skorsuami 166 61 131 95.82 .768 9.893

Valid N (listwise) 166

c.

Skor Istri

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic

skoristri 166 52 124 86.96 .576 7.428