Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia

(1)

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP

BAHAN-BAHAN BERBAHAYA PADA PRODUK MAKANAN

DI INDONESIA

TESIS

Oleh

ABDILLAH SINAGA 077005063/HK

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP

BAHAN-BAHAN BERBAHAYA PADA PRODUK MAKANAN

DI INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ABDILLAH SINAGA 077005063/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP BAHAN-BAHAN BERBAHAYA PADA PRODUK MAKANAN DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Abdillah Sinaga Nomor Pokok : 077005063 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum) (Dr. Sunarmi , SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 19 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum 2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS


(5)

ABSTRAK

Makanan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak azasi setiap rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup waktu, aman, bermutu, bergizi dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Untuk mencapai semua itu, perlu diselenggarakan suatu sistim pangan yang memberikan perlindungan baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengkonsumsi makanan, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Suatu produk makanan untuk sampai kepada konsumen tidak terjadi secara langsung tetapi melalui jalur pemasaran yaitu pelaku usaha atau produsen (media perantara). Akibat proses industrialisasi dalam memproses produk makanan timbul permasalahan sehubungan dengan adanya barang-barang atau produk makanan yang mengandung bahan-bahan berbahaya yang merugikan pihak konsumen, baik dalam arti finansial maupun non finansial bahkan kerugian jiwa.

Perlindungan hukum bagi konsumen makanan menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan belum terwujud sebagaimana mestinya, karena ketiadaan pengetahuan konsumen yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan yang mengatur standarisasi mutu makanan. Sehingga konsumen tidak dapat mempergunakan hak-haknya secara wajar untuk mendapatkan penggantian kerugian dari produsen. Upaya produsen mewujudkan perlindungan hukum bagi konsumen dengan jalan memproduksi makanan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan Undang-undang dengan memperhatikan mutu pangan, sarana produksi dan distribusi serta kondisi produknya yang beredar di pasaran.

Mengenai hal tersebut maka dalam Pasal 19 angka (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa, ”pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Pasal tersebut di atas mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkannya. Dikatakan pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas: kerusakan, pencemaran, kerusakan dan kerugian konsumen, pencemaran dan kerugian konsumen. Pasal 41 angka (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dikatakan “badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perorangan dalam badan usaha diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggungjawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi makanan tersebut”.

Pasal 41 angka (1) tersebut menegaskan bahwa pelaku usaha pangan baik berupa badan usahanya maupun orang perorangan yang diberi tanggung jawab atas usaha itu, adalah bertanggungjawab atas keamanan pangan yang diproduksinya.


(6)

Pasal ini memberi penegasan bahwa harus ada pihak yang bertanggung jawab atas keamanan pangan (produk), jika ternyata menimbulkan kerugian kepada pihak lain (konsumen).

Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Bahan-bahan Berbahaya, Produk Makanan, Tanggung Jawab Produsen


(7)

ABSTRACT

Food as the basic necessity of humans whose fulfilment is the basic right of the people of indonesia must be in stock any time, safe, nutritious, various, in good quality and have affordable price. To realize this, a food system which can protect both producers and consumers and is not which can common belief needs to be executed. A food product that receipt by consumers has to experience marketing, they are manufacturer or distributor. The effect of industrialization in processing food product is the law problem in connection with the defect food products that cause loos to the consumers, financially or not and even physically. The is no clarity about who is liable to that matter.

Legal protection for food under Law No. 7 Year 1996 on food is not yet accordingly realized or implemented because the consumers do not have any knowlegde of provisions and regulation that regulate the standarization of food quality. This factor causes the consumers cannot use their rights the way they should to get compensation from the producers. Producers have attemted to realize legal protection for consumers by producing food in accordance with the requirements regulated by the law as well as paying attention to food quality, production and distribution facilities, and the condition of their products which are currently on the market.

Consumers Protection Act No. 8 Year 1999 Section 19 (1): manufacturer is liable to give compensation to defect, pollution, and/or consumer’s loos in the effect of consume the product and /or service that is produced or sold”. This section regulates manufacturer’s liability on the product that he produces or sells. Manufacturer is liable to give compensation on: defect, pollution, defect and consumer’s loss, and consumer’s loss. Food Act No. 7 Year 1996

Section 41 (1): a corporate that produce dairy product to distribute and/or each person in that corporate is given that liability to perform that business, liable for health guaranty to people who consume that food”.

This section explicitly shows that there must be a liable to the food security that he produces. This section explicitly shows that there must be a liable party to the food security (product), if it defects other party (consumer).

Key words : Consumer Protection, Dangerous Containt’s, Food’s Product, Perspective of Consumer


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang karena berkat dan rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk melengkapi salah satu syarat menyelesaikan program studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Judul tesis ini adalah : “ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP BAHAN-BAHAN BERBAHAYA PADA PRODUK MAKANAN DI INDONESIA”. Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna dan masih banyak kelemahan serta kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan dan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan tesis ini.

Pada penulisan tesis ini, Penulis telah banyak memperoleh masukan dan menerima bantuan dari berbagai pihak. Atas saran, masukan dan bantuan baik moril maupun materil, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K), Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister;


(9)

2. Prof. Dr. Ir. T Chairun Nisa B., MSc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus pembimbing utama yang telah memberi arahan dan membantu Penulis dalam penyempurnaan tesis ini;

4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH., CN, M.Hum, dan Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., selaku komisi pembimbing dengan penuh perhatian memberi dorongan dan bimbingan kepada Penulis dalam penyelesaian tesis ini;

5. Prof. Dr. Tan Kamello, SH., M.S, dan Syafruddin S. Hasibuan, SH., M.H, DFM., selaku penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya;

6. Seluruh Guru Besar serta dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan ilmu pengetahuan kepada Penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

7. Rekan-rekan dan Staf Pegawai dari Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Rafika, Ibu Juli, Ibu Fitri, Ibu Suganti, Ibu Isniar, Abang Udin, Abang Herman, Abang Hendra, Abang Hendri, Abang Iwan, Abang Ican dan Juliman yang selalu memberikan semangat dan dorongan serta bantuan pada Penulis


(10)

untuk kelancaran menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Teman-teman seperjuangan dan sepermainan Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Elon Unedo P Pasaribu, Reza Syahputra, Andrie Ginting, Yos Arnold Tarigan, Roy Indrawan Sitepu, Alex Sebayang, Agnes Lestari Ginting, Intan, Ika, Hotmarini Siregar, Yamitema Laoly, Ucok Olan Pasaribu, Salomo Sianipar, Torang, Aswin Ribbeck, Dharma Syahputra.

9. Teman-teman seperjuangan Mahasiswa/i Kelas Reguler Pagi dan Kelas Hukum Bisnis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Elfira Fitriyani Pakpahan, Mega Kartika, Didie, Parlin Doni Sipayung, Rahmat Fauzi Pulungan, Dat Janwarta Ginting, Bona Fernandez, Handoko, Allan H Baskara, Pamela Tampubolon, Eli Eka Sari, Rise Karmila, Gilang Medina, Nia Avena Sari, Arif Sahlevi, Guntur Sitepu, Grace Nathalia, Fitri Wahyuni, Helwan Kasra, Rudi Saut, Bapak Supardi, Bapak Jawakil Butar-Butar, Bapak Lahmuddin, Bapak Ali Amran Tanjung, Bapak Verry, dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

10.Semua pihak yang telah membantu Penulis yang tidak dapat disebutkan nama dan jabatannya satu persatu.

Terima kasih yang tak terhingga juga disampaikan kepada ke dua orangtua tercinta Bapak Dr. H. MHD. Makmur Sinaga, MSc dan Mama Drg. Hj. Berliana Hutabarat, serta Kakak Dr. Marina Cilvani Sinaga dan Adik-adik tercinta MHD. Abduh Luthfi Sinaga dan Afifah Nur Adinda Sinaga, karena atas kasih sayangnya,


(11)

perhatian, dorongan dan doa yang diberikannya kepada penulis, yang tidak dapat dibayar dengan apapun itu nilainya, sehingga penulis dapat mengecap pendidikan Sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.

Medan, 20 Agustus 2009 Penulis


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Abdillah Sinaga Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 11 November 1984 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan : - Sekolah Dasar Al-Azhar, Medan Lulus Tahun 1996

- Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Dharma Wanita, Medan Lulus Tahun 1999

- Sekolah Menengah Umum Dharma Pancasila, Medan Lulus Tahun 2002

- Fakultas Hukum, Jurusan Perdata Datang Universitas Sumatera Utara, Medan Lulus Tahun 2006

- Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2009


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Perumusan Masalah ………... 10

C. Tujuan Penelitian ………... 10

D. Manfaat Penelitian ………. 11

E. Keaslian Penelitian ………... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ………... 12

G. Metode Penelitian ……….. 19

BAB II KETENTUAN DAN STANDAR MUTU SUATU PRODUK MAKANAN DIGOLONGKAN KEPADA MAKANAN YANG MENGANDUNG BAHAN-BAHAN BERBAHAYA ... 23

A. Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Tentang Produk Makanan Yang Mengandung Bahan-Bahan Berbahaya... 23

B. Lembaga Yang Berwenang Mengatur Produk Makanan Yang Mengandung Bahan- Bahan Berbahaya ... 31

C. Akibat Hukum Dari Produk Makanan Yang Mengandung Bahan-Bahan Berbahaya ... ... 39


(14)

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT PRODUK MAKANAN YANG MENGANDUNG

BAHAN-BAHAN BERBAHAYA ... 42

A. Perlindungan Konsumen ... 42

B. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 48

C. Hubungan Antara Konsumen Dengan Produsen ... 53

D. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Akibat Produk Makanan Yang Mengandung Bahan-Bahan Berbahaya ... 59

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN ATAU PELAKU USAHA TERHADAP PRODUK MAKANAN YANG MENGANDUNG BAHAN- BAHAN BERBAHAYA ... 69

1. Pengertian Produsen Atau Pelaku Usaha ... 69

2. Hak dan Kewajban Produsen atau Pelaku Usaha ... 71

3. Tanggung Jawab Produsen atau Pelaku Usaha ... 74

4. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Produsen Dalam Ilmu Hukum .... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 104

1. Kesimpulan ... 104

2. Saran ... 106


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara adil dan merata dalam segala aspek kehidupan, baik materil maupun spritual, yaitu dengan tersedianya kebutuhan pokok : sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (perumahan) yang layak, sebagai wujud dari pembangunan yang berperikemanusiaan sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945.1

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan. Untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan itu, diperlukan penyediaan pangan (makanan) yang sehat dan bergizi dalam jumlah yang cukup dan berkualitas.2

Makanan dapat diperoleh dari alam atau secara alami dan adapula yang harus melalui bantuan teknologi (industri). Pertumbuhan dan perkembangan industri makanan yang berskala besar maupun kecil di satu pihak membawa dampak positif

1

Tujuan pembangunan nasional sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat :

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.


(16)

dan negatif terhadap konsumen. 3 Dampak positifnya antara lain dapat disebutkan : tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif pilihan bagi konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya. Sedangkan dampak negatifnya, yaitu dampak penggunaan dari teknologi itu sendiri serta perilaku bisnis yang timbul karena makin ketatnya persaingan yang mempengaruhi masyarakat konsumen, dimana para produsen atau pelaku usaha berusaha mencari keuntungan yang setinggi-tingginya dengan mengabaikan standarisasi mutu makanan.

Prasasto Sudyatmiko mengemukakan 4 (empat) contoh elemen yang mempengaruhi perilaku bisnis menjadi tidak sehat, yaitu: konglomerasi, kartel/trust,

insider trading, dan persaingan tidak sehat/curang.4

Makanan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki, oleh karena itu pemenuhan akan kebutuhannya merupakan hak asasi setiap orang. Dalam hal ini yang dimaksud dengan makanan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku makanan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan dan minuman.5

Suatu produk makanan untuk sampai kepada konsumen tidak terjadi secara langsung tetapi melalui jalur pemasaran yaitu pelaku usaha atau media perantara.

3 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Medan: Paulinus Josua, 1999), hlm. 1.

4

Adrianus Meliala, Praktik Bisnis Curang, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hlm. 140. 5

Sukiman Said Umar, Peraturan Perundang-undangan Bidang Keamanan Pangan, makalah disampaikan pada Pelatihan TOT keamanan Pangan untuk Petugas Dinas Kesehatan se Propinsi Sumatera Utara, tanggal 5-10 Mei 2003, hlm. 1.


(17)

Akibat proses industrialisasi dalam memproses produk makanan timbul permasalahan hukum sehubungan dengan adanya barang-barang atau produk makanan yang cacat dan berbahaya yang merugikan konsumen, baik dalam arti finansial maupun non finansial bahkan kerugian jiwa. Mengenai hal tersebut tidak ada kejelasan siapa yang bertanggungjawab.6

Penyediaan makanan yang aman, bergizi dan cukup merupakan strategi yang penting untuk mencapai sasaran dalam bidang kesehatan. Mutu dan keamanan makanan tidak hanya berpengaruh langsung terhadap produktivitas ekonomi dan perkembangan sosial baik individu, masyarakat maupun negara. Selain itu persaingan internasional yang semakin ketat dalam bidang perdagangan makanan menuntut diproduksinya makanan yang lebih bermutu, aman dan sehat, dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat secara adil dan merata.7

Seiring dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang melanda dunia, posisi konsumen semakin hari semakin sulit. Dalam arti bahwa produk-produk yang ditawarkan dan disodorkan kepada konsumen semakin beragam, baik dari segi harga, mutu atau kualitas dari barang-barang tersebut. Oleh karena itu, konsumen harus berhati-hati dalam menggunakan suatu produk karena dapat berdampak buruk terhadap kesehatan.

6

Muhammad Eggi H Suzetta, Pengetahuan Hukum untuk Konsumen, http://www.pikiran rakyat.com/cetak/1204/20/teropong/konsul-hukum.htm, 2003-2004, hlm. 1.

7

Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Bagian Penjelasan Umum.


(18)

Untuk mencapai semua itu perlu diselenggarakan suatu sistem jaminan mutu makanan yang memberikan perlindungan baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengkonsumsi makanan serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Untuk mewujudkan sistem pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang efektif dibidang makanan serta melindungi masyarakat dari makanan yang dapat membahayakan kesehatan, diperlukan antara lain peraturan yang dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi peraturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran dan atau perdagangan makanan.8

Di Indonesia, upaya-upaya yang berkaitan dengan gerakan perlindungan konsumen sudah mulai bergema sejak tahun 1970 an terutama sejak berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973, sebagai lembaga “independent” yang mengkhususkan pada kepentingan konsumen. Namun demikian, beberapa tahun terakhir ini kerugian konsumen masih saja terjadi dimana-mana, karena banyaknya konsumen yang tidak melaporkannya kepada aparat.9

Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu dengan yang lain yang mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha dan pemerintah.10

8

Sukiman Said Umar, Op.Cit, hlm. 2. 9

Muhammad Eggi Suzetta, Op. Cit, hlm. 2. 10


(19)

Sebelum adanya Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen ini, sangat sulit bagi para konsumen untuk menuntut kerugiannya. Dalam hal terjadinya kerugian bagi konsumen, produsen atau pelaku usaha bertanggungjawab untuk menanggung segala kerugian yang diderita oleh konsumen hanyalah berdasarkan perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1365 KUHPerdata yang menentukan bahwa “tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menertibkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”11

Sekarang dengan adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang diberlakukan pemerintah Indonesia mulai tanggal 20 April 2000, kebutuhan masyarakat akan hukum terjawab dan timbul kepastian terhadap perlindungan konsumen. Berkaitan dengan hal-hal di atas, maka konsumen perlu dilindungi secara hukum dari kemungkinan kerugian yang dialaminya karena praktik bisnis curang itu. Harkat dan martabat konsumen perlu ditingkatkan melalui peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya sendiri yang ditegaskan dalam pengesahan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 12 Undang-undang ini sekaligus menumbuhkembangkan sikap produsen atau pelaku usaha yang bertanggungjawab. Dalam pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa, ”Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti

11

Pasal 1365 KUHPerdata. 12

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Bagian Penjelasan Umum.


(20)

rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”13 Dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, juga menyebutkan bahwa “produsen atau pelaku usaha diwajibkan memberikan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan. Selain itu produsen atau pelaku usaha juga diwajibkan memberikan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaaaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”.14

Kerugian konsumen yang mengkonsumsi makanan/minuman yang tidak memenuhi standar mutu dan gizi pangan (makanan) juga telah ditetapkan dalam Undang Undang No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, tercantum dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 dan Pasal 28,15 serta tidak memenuhi persyaratan kesehatan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,16 perlu mendapatkan perhatian kita bersama, karena masyarakat konsumen sulit mengetahui kerugian hal tersebut. Sedangkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bagi pengambilan tindakan atau penghukuman atas perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian atau bahaya pada konsumen bersifa

t baku.

13

Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 14

Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 15

Pasal 24, 25, 27, 28 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. 16


(21)

Khusus pembahasan tentang tanggungjawab produsen atau pelaku usaha terhadap konsumen atas produk makanan yang berbahaya dapat ditinjau dari Pasal 41 angka (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan sebagai berikut : “Badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perorangan dalam badan usaha diberi tanggungjawab terhadap jalannya usaha tersebu

egasan bahwa harus ada pihak yang bertang

an atau jasa kebutuhan serta mempertahankan atau membela t bertanggungjawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi makanan tersebut”.17

Pasal 41 angka (1) tersebut menegaskan bahwa produsen atau pelaku usaha pangan baik berupa badan usahanya maupun orang perorangan yang diberi tanggungjawab atas usaha itu, adalah bertanggungjawab atas keamanan pangan yang diproduksinya. Pasal ini memberi pen

gungjawab atas keamanan pangan (produk), jika ternyata menimbulkan kerugian kepada pihak lain (konsumen).18

Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang d

17

Pasal 41 angka (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan 18

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Medan: Fak Hukum UNIKA St. Thomas, 2002), hlm. 148.


(22)

hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku produsen atau pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.19

Lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada hakikatnya dilandasi oleh pemikiran bahwa konsumen sering sekali berada di posisi yang tidak menguntungkan apabila dihadapkan dengan produsen atau pelaku usaha yang mempunyai orientasi dan kekuasaan yang tidak seimbang dengan konsumen. Perlindungan atas kepentingan konsumen tersebut diperlukan mengingat kenyataan bahwa pada umumnya konsumen selalu berada di pihak yang dirugikan, akibat perbuatan curang produsen/pelaku usaha yang menimbulkan kerugian bagi konsumen seperti makanan/minuman yang tidak memenuhi standar mutu dan gizi pangan, biskuit beracun, makanan yang kadaluarsa dan makanan yang diharamkan, serta ditemukannya bahan-bahan berbahaya kedalam makanan seperti, pengawet, pewarna, pengenyal, pemutih, pemanis, dan semacamnya. Kasus pemakaian bahan-bahan kimia berbahaya itu juga sering ditemukan, terutama pada produk makanan industri rumah tangga.20 Bermacam bahan pangan baik sayuran, buah-buahan, maupun makanan pokok seperti beras yang ada di Indonesia ternyata masih banyak mengandung bahan berbahaya. Bahan-bahan cemaran itu antara lain residu pestisida, cemaran mikroba, dan kontaminasi Cadmium (Cd). Dengan demikian, Indonesia

19

AZ. Nasution, Perlindungan Konsumen; Tinjauan Pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, (Depok: Makalah disampaikan pada seminar UU No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum UI, 29 Februari 2000), hlm. 3.

20

Lusiana Indriasari, “Waspadai Bahan Kimia Lain Dalam Makanan”, http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0601/15/113636.htm, diakses 3 Oktober 2008.


(23)

dipastikan masih mempunyai masalah serius dalam keamanan pangan.21 Kemudian, ditemukannya produk makanan yang mengandung susu melamin dari Tiongkok menam

. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah menggariskan kewenangan yang diberikan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK 23

bah daftar panjang makanan yang tidak layak dikonsumsi. yang menimbulkan kerugian materil maupun moril. 22

Hak konsumen sering sekali diabaikan dan dirugikan oleh produsen atau pelaku usaha, sehingga dalam mempertahankan hak-haknya konsumen dapat menempuh jalur pengadilan baik secara perdata maupun pidana. Hal ini disebabkan masalah perlindungan konsumen tidak hanya mengandung unsur perdata saja, tetapi juga ada unsur publiknya. Oleh karena itu selain hukum acara perdata dibutuhkan pula penerapan hukum acara pidana. Di samping itu tidak menutup kemungkinan munculnya aflikatif penyelesaian sengketa perlindungan konsumen, dimana Undang-Undang No

).

21

Setyo Rahardjo, “Bermacam Pangan di Indonesia Belum Aman Dari Bahan Berbahaya”, http://kmit.faperta.ugm.ac.id/Artikel%20_%20Bahan%20Berbahaya.html, diakses 28 September 2008.

22

Nurheti Yuliarti, “Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan“, http://www.andipublisher.com/?buku-komputer&p=productsMore&iProduct=1043, diakses 1 Oktober 2008.

23

Pasal 47 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan Tentang Prinsip dibentuknya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan yang diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi yang diderita oleh konsumen.


(24)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi

mutu suatu produk makanan digolongkan

umen terhadap produk makanan yang mengandung bahan berbahaya ?

nggungjawaban produsen atau pelaku usaha terhadap produk

standar mutu suatu produk makanan

n terhadap produk makanan yang mengandung bahan berbahaya.

. Untuk mengetahui pertanggung jawaban produsen atau pelaku usaha terhadap produk makanan yang mengadung bagan berbahaya.

permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah ketentuan dan standar

kepada makanan yang mengandung bahan berbahaya ? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi kons

3. Bagaimanakah perta

makanan yang mengandung bahan berbahaya ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui ketentuan dan

digolongkan kepada makanan yang mengandung bahan berbahaya. 2. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsume


(25)

Ha maupun

1.

syarakat sebagaimana yang ndang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,

tian akan meningkatkan D. Manfaat Penelitian

sil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teori secara praktik antara lain :

Secara Teoritis:

Sebagai bahan informasi, bahwa hasil penelitian akan meningkatkan kesadaran dan memperjelas bahwa konsumen mempunyai sejumlah hak yang patut mendapat perlindungan dan juga sebagai informasi bagi konsumen tentang sanksi, hukuman dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban produsen dan perlindungan terhadap konsumen dalam kaitannya dengan produk makanan berbahaya yang beredar di ma

diatur dalam U

Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

2. Secara Praktis:

a. Pelaku Usaha atau Produsen, hasil peneli

kepedulian pelaku usaha atau produsen terhadap konsumen terutama dalam hal tanggungjawab dan perlindungannya kepada konsumen terhadap produk makanan yang dihasilkannya.


(26)

b. Pemerintah, agar dapat menjadi bahan masukan di dalam menyusun/merumuskan peraturan dan sekaligus kebijakan yang menyangkut perlindungan konsumen sehingga akan melahirkan rasa aman dan kepastian hukum bagi konsumen makanan.

c. Mahasiswa, hasil penelitian berguna sebagai bahan kajian bagi akademisi, bah wawasan ilmu terutama dalam bidang hukum bisnis,

ilmiah. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, kan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka kritik yang konstruktif terkait dengan data dan analisis dalam penelit

untuk menam

khususnya dalam hal aspek hukum perlindungan konsumen terhadap produk makanan berbahaya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU), penelitian tesis mengenai “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Makanan Berbahaya di Indonesia Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Objek kajian dalam penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum mendapatkan kajian komprehensif dalam suatu penelitian

sehingga dapat dipertanggungjawab terhadap masukan dan


(27)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam pembangunan nasional ada 3 (tiga) hal penting yang mendasar yaitu, berdaya saing tinggi, barang yang makin bermutu, dan bernilai tambah tinggi. Ketiga hal tersebut berkaitan erat dengan masalah tanggung jawab produsen atau pelaku usaha karena adanya kesadaran dari para produsen atau pelaku usaha terhadap tanggung jawabnya secara hukum (product liability) akan berakibat pada adanya sikap penuh kehati-hatian (precision), baik dalam menjaga kualitas produk, penggunaan bahan, maupun dalam kehati-hatian kerja. Tidak adanya atau kurangnya kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai produsen atau pelaku usaha akan kredibi

m antara

litas usahanya. Rendahnya kualitas produk atau adanya cacat (defect) pada produk yang dipasarkan sehingga menyebabkan kerugian bagi konsumen, di samping akan menghadapi tuntutan kompensasi (ganti rugi) juga akan berakibat bahwa produk tersebut akan kalah bersaing dalam merebut pasar.24

Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan oleh undang-undang tentang perlindungan konsumen dan sifat perdata dari hubungan huku

pelaku usaha dan konsumen maka setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang

24

Erman Rajagukguk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 42.


(28)

dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen.25

Harkristuti Harkrisnowo membedakan berbagai perilaku yang merugikan konsumen yaitu merupakan perbuatan yang melawan hukum (sebagai kasus perdata) dan tindak pidana. Undang-undang perlindungan konsumen telah memberikan akses dan kem

nyangkut kepentingan konsumen dengan dirumuskan sistem

uct liability).26 Oleh karena itu kualifikasi n atas adanya dalil

jawab dalam hukum dapat dibedakan

. Kesalahan (liability based on fault);

b. Praduga selalu bertanggungjawab (presumption of liability);

c. Praduga selalu tidak bertanggungjawab (presumption of non liability); d. Tanggung jawab mutlak (stricht liability);

e. Pembatasan tanggung jawab (limitation liability);

udahan bagi hak-hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi dan sejumlah tuntutan yang me

pertanggungjawaban pelaku usaha (prod

gugatan yang lazim digunakan secara konvensional didasarka wanprestasi (default) dan perbuatan melawan hukum (tort / fault).

Secara umum prinsip-prinsip tanggung sebagai berikut :27

a

25

Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 3.

26

Harkristuti Harkrisnowo, Perlindungan Konsumen Dalam Kerangka Sistem Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Lokakarya Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 1996), hlm. 6.

27 Ibid.


(29)

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1337 KUH gang teguh. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru an secara hukum jika ada unsur kesalahan yang ilakukan.

b. Adanya unsur kesalahan; c. Ad

d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian;

anggungjawab ini didapat diterima karena adalah

of liability

Perdata, prinsip ini dipe

dapat dimintakan pertanggung jawab d

Menurut Pasal 1365 KUH Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, adanya unsur kesalahan mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok yaitu :28

a. Adanya perbuatan;

anya kerugian yang diderita;

Secara common sense, asas t

adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.

Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (presumption

principle) sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah, dengan demikian beban

pembuktian ada pada si penggugat.

Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab adalah kebalikan dari prinsip di atas. Prinsip Praduga selalu tidak bertanggungjawab (presumption of non

28


(30)

liability) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan

pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

solut (absolute liability). Prinsip ini adalah prinsip

Namu lnya kondisi

force insip

tangg

Kons

) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku (2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di (3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

– undang;

gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut bersengketa;

Pada mumnya dalam setiap proses penyelesaian sengketa, selalu diupayakan untuk

Prinsip tanggungjawab mutlak (stricht liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggungjawab ab

tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. n ada pengecualian yang memungkinkan untuk bertanggung, misa

majeure. Sebaiknya prinsip tanggungjawab absolut adalah pr

ungjawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian.

Pasal 45 Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan umen, menyatakan :29

(1

atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum;

luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa; tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang (4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa. u

29


(31)

menyelesaikannya secara damai di antara kedua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaks

idak bertentangan dengan

2. Ke

elitian ini, maka dirasa perlu untuk m

diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhlu

badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berked

ud dengan penyelesaian sengketa damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen, dan t

Unndang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

rangka Konsepsi

Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arah dalam pen

emberikan batasan judul penelitian yaitu sebagai berikut :

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.30

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan

k hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan..31

Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

udukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia,

30

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 31


(32)

baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.32

Produk adalah barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainy

gan, bahan baku pangan

han adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode

, dan membahayakn kesehatan manusia.36

a dalam proses produksi dan menjadi hasil akhirnya dari proses produksi tersebut.33

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pan

, dan bahan lain yang digunakan, dalam proses penyiapan, pengolaha, dan atau pembuatan makanan dan minuman.34

Pangan ola

tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.35

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan

Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan mengubah bentuk pangan.37

32

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen nesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

33

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indo 1996), hlm. 254.

34

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan 35

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan 36

Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan 37


(33)

Perdagangan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan atau pembelian pangan, termasuk penawaran untuk menjual pangan, dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan pangan dengan mempe

r kriteria keamanan pangan

anusia.40

ahan tambahan pangan/makanan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam garuhi sifat ataupun bentuk makanan.41

rbahaya adalah setiap produk yang tidak dapat memen

roleh imbalan.38

Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasa

, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan minuman.39

Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan m

B

makanan untuk mempen

Sedangkan produk be

uhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredaran, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaan sebagaimana diharapkan orang.42

38

Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. 39

Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. 40

Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan 41

Nurheti Yuliarti, Awas! Bahaya di Balik Lezatnya Makanan (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2007), hlm. 7.

42

Ema Suratman, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang Tanggung Jawab Produsen di Bidang Farmasi Terhadap Konsumen, (Jakarta: Jurnal Departemen Kehakiman RI, 1990-1991), hlm. 9.


(34)

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian mengenai aspek hukum perlindungan konsumen terhadap produk makanan berbahaya di Indonesia menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menggunakan tipe penelitian yuridis normatif yaitu

terhadap permasalahan dalam penelitian melalui pendek

ngan konsumen, putusan pengadilan dan bahan hukum tian ini adalah deskriptif analisis, yang bertujuan untuk m

pe

2.

me ata sekunder, jenis data sekunder yang digunakan oleh penulis dalam

a.

elalui penelusuran peraturan

perundang-ndangan, bacaan-bacaan lain yang ada relevansinya dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang dengan melakukan analisis

atan asas-asa hukum serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan undangan, seperti peraturan perundang-undangan tentang perlindu

lainnya. Sifat dari peneli

enggambarkan, menginventarisasikan, dan menganalisis teori-teori dan peraturan-raturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian kepustakaan yuridis normatif, sumber data selurunhya nggunakan d

penulisan tesis ini adalah : Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang diperoleh melalui kepustakaan (library research) yaitu sebagai teknik untuk mendapatkan informasi m

u 2


(35)

Pangan, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

b.

Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, berupa literatur tikel, dan kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan

Hukum Tertier

m, kamus bahasa Indonesia.

litian ini adalah memusatkan perhatian pada data sekunder aka pengumpulan data utama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan

en-dokumen, yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut

Konsumen.

Bahan Hukum Sekunder

bahan bacaan berupa buku, ar

komentar atas putusan pengadilan.

c. Bahan

Bahan-bahan yang bersifat menjelaskan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, seperti kamus huku

3. Teknik Pengumpulan Data Mengingat pene

m

dan studi dokum :

a. Menginventarisir dan menilai peraturan perundang-undangan yang terkait dan relevan dengan penulisan tesis ini.

b. Menginventarisir dan menilai serta memilih secara selektif bahan-bahan bacaan lainnya seperti majalah, surat kabar, bulletin yang menunjang dan memperkaya penulisan tesis ini.


(36)

4. Analisis Data

Data yang telah terkumpul diolah dengan mengimplementasikan data menurut jenisnya berdasarkan masalah pokok. Karena datanya mengarah pada kajian yang

ersifat teoritis mengenai konsepsi, doktrin-doktrin dan norma-norma atau kaidah ukum, maka analisi data dilakukan dengan cara normatif kualitatif, artinya penulis erusaha menggambarkan keadaan yang ada dengan berdasarkan kepada data-data ang diperoleh melalui studi pustaka (bahan sekunder). Kemudian data dianalisis engan dihubungkan kepada pendapat para ahli dan teori-teori yang mendudkung alam pembahasan sehingga dapat ditarik kesimpulan secara indikatif yang penarikan esimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus menuju kepada hal yang bersifat umum. b

h b y d d k


(37)

BAB II

KETENTUAN DAN STANDAR MUTU SUATU PRODUK MAKANAN G BAHAN-BAHAN BERBAHAYA

Yang Mengandung Bahan-Bahan Berbahaya

ntuk menyatukan persepsi dalam pembahasan maka perlu diberikan pembat

ejenisnya akan tetapi bukan obat”. 43

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Men.Kes/Per/IV/85

DIGOLONGKAN KEPADA MAKANAN YANG MENGANDUN

A. Peraturan Perundang-undangan Yang Mengatur Tentang Produk Makanan

U

asan pengertian tentang makanan dan pangan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men.Kes/Per/XII/76 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan, Makanan adalah:“Barang yang digunakan sebagai makanan atau minuman manusia, termasuk permen karet dan s

Tentang Makanan Daluarsa, Makanan adalah: “Barang yang diwadahi dan diberikan

Makanan. 43

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men.Kes/Per/XII/76 Tentang Produksi dan Peredaran


(38)

label da

tentang

dimaka digunakan pada

produk

baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan bahan baku pangan, dan bahan lain digunakan dalam proses penyiapan,

tu, bergizi, beragam, dan tersedia secara cukup. Dengan demikian, pengad

n yang digunakan sebagai makanan atau minuman manusia akan tetapi bukan obat”.44

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 382/Men.Kes/Per/IV/89 Pendaftaran Makanan, Makanan adalah: “Barang yang dimaksudkan untuk n atau diminum oleh manusia serta semua bahan yang

si makanan dan minuman”. 45

Pengertian pangan dapat dilihat pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan : 46

“(1) Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari : sumber hayati dan air, dan minuman bagi konsumen manusia, termasuk bahan tambahan pangan, pengelolaan, dan atau pembuatan makanan atau minuman”.

Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan nasional. Oleh karena itu, dibutuhkan makanan yang aman, bermu

aan dan pendistribusiannya pun harus dilakukan secara jujur dan bertanggungjawab sehingga tersedia makanan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Berkaitan dengan pengadaan makanan dimaksud, tidak tertutup kemungkinan beredarnyan makanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan: aman,

44

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Men.Kes/Per/IV/85 Tentang Makanan Daluarsa.

s/Per/IV/89 Tentang Pendafta

(1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. 45

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 382/Men.Ke ran Makanan

46


(39)

bermutu, dan bergizi, seperti tersebut di atas sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen.47

Sebagai antisipasi para konsumen dituntut untuk bersikap kritis dan cerdas dalam mencermati makanan-makanan yang dihadapi. Selain itu pula, masih ada beberapa penjelasan mengenai berbagai kesalahan penanganan, perlakuan, serta pengolahan makanan yang sering terjadi sehingga mengakibatkan bahan tambahan makanan yang semula tidak berbahaya justru menjadi berbahaya bagi konsumen. Bahan-Bahan tersebut diatas kemudian dikenal dengan istilah Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau sering pula disebut Bahan Tambahan Pangan (BTP). 48

Bahan tambahan makanan (BTM) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan. Bahan tambahan makanan itu bisa memiliki nilai gizi, tetapi bisa pula tidak. Menurut ketentuan yang ditetap

dosis maksimum penggunaannya juga telah

tepat, serta telah mendapatkan izin beredar dari instansi yang berwenang, misalnya i sertifikat aman.

kan, ada beberapa kategori Bahan Tambahan Makanan (BTM) ini,49 Pertama, Bahan Tambahan Makanan yang bersifat aman, dengan dosis yang tidak dibatasi, misalnya pati. Kedua, Bahan Tambahan Makanan yang digunakan dengan dosis tertentu, dan dengan demikian

ditetapkan. Ketiga, Bahan Tambahan Makanan yang aman dan dalam dosis yang

zat pewarna yang sudah dilengkap

ngan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 20

47

Janus Sidabalok, Hukum Perlindu 06), hlm. 122.

48

Nurheti Yuliarti, Op. Cit, hlm. 7. 49


(40)

Agar konsumen dapat memilih bahan tambahan makanan yang akan tambahan makanan

Makanan (BPOM), diantaranya :50

sorbat, natrium benzoat,

2. : tartrazine. Pe

digunakan, ada baiknya konsumen mengenal beberapa bahan

yang aman digunakan, yakni yang telah diizinkan oleh Badan Pengawasan obat dan

1. Pengawet, seperti : asam benzoat, asam propionat, asam dan nisin.

Pewarna, seperti

3. manis, seperti : aspartam, sakarin, dan siklamat.

4. Penyedap Rasa dan Aroma, seperti : monosodium glutamat.

5. Antikempal, seperti : alumunium silikat, magnesium karbonat, dan trikalsium fosfat.

6. Antioksidan, seperti : asam askorbat, dan alfa tokoferol.

7. Pengemulsi, pemantap, dan pengental, seperti : lesitin, sodium laktat, dan potasium laktat.

Sangat disayangkan, banyak sekali bahan kimia berbahaya yang bukan ditujukan untuk makanan atau bukan merupakan bahan tambahan makanan yang justru ditambahkan ke dalam makanan. Hal ini tentu saja sangat membahayakan konsumen. Mengapa hal ini terjadi? Banyak hal yang ingin dicapai, di antaranya pedagang ingin makanannya menjadi awet, sementara ia tidak mempunyai pengetahuan mengenai cara pengawetan makanan yang benar. Selain itu, mungkin

50

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Men.Kes/Per/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan yang aman digunakan.


(41)

saja ia mengetahuinya bahwa suatu pengawet (formalin) berbahaya untuk ditambahkan ke dalam makanan, tetapi tetap saja dilakukan mengingat harganya yang sangat murah. Di samping itu juga disebabkan oleh ketidaktahuan konsumen terhadap berbagai jenis bahan berbahaya yang ada. Terlebih lagi konsumen tidak bisa membedakan ciri-ciri makanan yang mengandung bahan berbahaya sehingga bahan-bahan tersebut makin sering ditambahkan ke dalam makanan. 51 Hal lain yang menyebabkan produsen menambahkan bahan berbahaya adalah tingkah laku konsumen itu sendiri. Sejumlah konsumen ingin makanan dengan warna mencolok sehingga produsen terdorong menambahkan pewarna tekstil untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, mengingat pewarna makanan hanya memberikan warna yang lebih lembut, tidak semencolok pewarna tekstil ataupun kertas. Sejumlah produsen atau

bakso yang dijualnya.52 Dengan kenyataan ini anya konsumen, melainkan juga para pedagang menambahkan bahan berbahaya untuk makanan yang n? Karena dengan berkembangnya berbagai isu ikut tidak laku seperti halnya barang dagangan

n bahan berbahaya ke dalam makanan yang

pelaku usaha juga ingin bakso kenyal yang tahan berhari-hari sehingga produsen menambahkan formalin ke dalam

sebenarnya yang dirugikan tidak h yang bersih, yaitu yang tidak

mereka jual. Mengapa turut merugika yang ada maka dagangan mereka pedagang nakal yang menambahka mereka jual.53

Ibid, hlm. 8. 51

Nurheti Yuliarti, 52

Ibid, hlm. 9. 53


(42)

Beberapa bahan kimia berbahaya yang dilarang digunakan dalam makanan, di

; 2. For

fenikol, kalium klorat;

6. Asa 7. Rho

8. Methanyl yellow (pewarna kuning);

asal 10:

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;

digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses ayat (1);

Dalam Pasal 11 juga disebutkan:

antaranya adalah :54

1. Natrium Tetraboraks (boraks) malin (formaldehid);

3. Minyak nabati yang dibrominasi; 4. Kloram

5. Nitrofurazoa, dietilpilokarbonat; m salisilat beserta garamnya;

damin B (pewarna merah);

9. Kalsium bromat (pengeras);

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan juga diatur tentang bahan-bahan tambahan pangan/makanan, antara lain:

P

menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan (2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat

produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud dalam

55

54

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Men.Kes/Per/1999 Tentang Bahan Tambahan Makanan yang dilarang.

55


(43)

“...Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum keamananya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau

diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa proses produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari pemerintah....”. 56

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan Pasal 1 angka 6 menyatakan ketentuan yang berkenaan dengan standar mutu makanan/minuman: “standar mutu adalah suatu ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan mengenai nama, bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, komposisi, wadah, pembungkus serta ketentuan lain untuk pengujian tiap jenis makanan/minuman”.

Bagi produsen atau pelaku usaha makanan/minuman yang melanggar Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan dikenakan penindakan. Pasal 34 menyatakan: “pelanggaran terhadap ketentuan yang ditetapkan dalam pasal 2, 10, 21, 22, dan 23 peraturan ini yang berhubungan dengan perbuatan pidana dihukum berda

“terhadap makanan yang telah mendapat persetujuan pendaftaran dapat dilakukan

57

sarkan Pasal 204, 205, 212 KUH Pidana dan Pasal 386 KUH Perdata”.58 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 382/Men-Kes/Per/VI/1989 Tentang Pendaftaran Makanan dalam Pasal 19 menyatakan:

56

Pasal 11 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. 57

Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan

58

Pasal 34 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan menyatakan “pelanggaran terhadap ketentuan yang ditetap

205, 212 KUH Pidana dan Pasal 386 KUH Perdata.

kan dalam pasal 2, 10, 21, 22, dan 23 peraturan ini yang berhubungan dengan perbuatan pidana dihukum berdasarkan Pasal 204,


(44)

penil

atau makanan yang diproduksi atau diedarkan ternyata membahayakan atau peredaran dan melaporkan pelaksanaannya kepada Direktur Jenderal atau (2). Jika dalam waktu 2 (dua) bulan produsen atau importir tidak melaksanakan

nomor pendaftaran atau hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan (3). Keputusan tentang sanksi tersebut di atas diumumkan kepada masyarakat luas;

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Men-Kes/VI/1985 Tentang Makanan Daluarsa Pasal 3 menyatakan: “makanan yang rusak, baik sebelum maupun sesudah tanggal daluarsa dinyatakan sebagai bahan berbahaya”. Dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan: “pelanggaran terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 dikenakan sanksi administratif dan atau sanksi hukum lainnya sesuai dengan keten

Penca lam Pasal 5 menyatakan:

aian kembali apabila berdasarkan perkembangan ilmu dan teknologi ditemukan hal-hal yang tidak sesuai”.59 Pasal 20 juga menyatakan:60

(1). Perusahaan atau importir yang melanggar Pasal 19 atau Pasal 51 peraturan ini, mengganggu kesehatan, wajib menarik makanan yang bersangkutan dari pejabat yang ditunjuk menggunakan formulir M6;

sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan dikenakan pencabutan perundang-undangan yang berlaku;

61

62

tuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Keputusan Menteri Republik Indonesia No. 82/Men-Kes/KS/I/1996 Tentang ntuman Tulisan “Halal” Pada Label Makanan da 63

59

Pasal 19 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 382/Men-Kes/Per/VI/1989 Tentang Pendaftaran Makanan.

Makanan. 60

Pasal 20 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 382/Men-Kes/Per/VI/1989 Tentang Pendaftaran

61

Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Men-Kes/VI/1985 Tentang Makanan Daluarsa

62

Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Men-Kes/VI/1985 Tentang Makanan Daluarsa

63

Pasal 5 Keputusan Menteri Republik Indonesia No. 82/Men-Kes/KS/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Label Makanan


(45)

“Produsen atau importir yang mencantumkan tulisan “halal” harus bertanggung jawab terhadap halalnya makanan tersebut”. Pasal 16 juga menyatakan:64

(1). Pelanggaran terhadap ketentuan dalam keputusan ini dapat dikenakan sanksi dan atau KUH Pidana;

Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, pelanggaran terhadap

Mengandung Bahan-Bahan Berbahaya

Perusahaan makanan dan minuman kemasan di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa banyak sekali makanan kemasan yang diproduksi hanya mementingkan aspek selera konsumen tanpa mengindahkan aspek kesehatan. Makanan kemasan memang sangat menolong bagi konsumen yang memliki kesibukan sangat padat. Dengan makanan kemasan pula konsumen tidak lagi merasakan repotnya membuat mie goreng atau rebus, mengingat saat ini telah ada mie instan yang dapat disajikan dengan cepat dan rasanya pun tak kalah dengan mie tradisional. Makanan kemasan yang siap saji dan instan itu dikenal dengan istilah Junk Food. Junk Food adalah kata lain untuk makanan yang jumlah kandungan nutrisinya terbatas. Umumnya yang termasuk dalam golongan junk food

pidana berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan (2). Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam KUH Pidana dan atau

Undang-ketentuan ini dapat dikenakan sanksi administratif;

B. Lembaga Yang Berwenang Mengatur Produk Makanan Yang

“Halal” Pada Label Makanan 64

Pasal 16 Keputusan Menteri Republik Indonesia No. 82/Men-Kes/KS/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan


(46)

adalah makanan yang kandungan garam, gula, lemak dan kalorinya tinggi, tetapi kandungan gizinya sedikit.65

Peranan bahan tambahan makanan (BTM) atau yang sering disebut pula bahan tambahan pangan (BTP) sangatlah besar untuk menghasilkan produk-produk kemasan. Keberadaan bahan tambahan makanan (BTM) bertujuan membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik, dengan rasa dan tekstur lebih sempurna. Pada intinya penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) yang telah terbukti aman sebenarnya tidak membahayakan kesehatan. Namun demikian, penggunaannya dalam dosis yang terlalu tinggi atau melebihi ambang yang diizinkan mungkin akan menimbulkan problem kesehatan yang serius. Hal yang menjadi permasalahan berat di negeri ini adalah banyak sekali kebohongan publik yang dilakukan oleh produsen makanan kemasan. Seringkali produsen atau pelaku usaha tidak memberikan informasi yang benar dari produk yang mereka hasilkan, misalnya memberikan label komposisi yang berbeda dengan kandungan yang sebenarnya, baik itu jumlah maupun jensi bahan yang ditambahkan, membuat iklan-iklan yang terlalu melebih-lebihkan produk mereka, misalnya sejumlah minuman yang berkhasiat untuk kesehatan padahal sebenarnya minuman tersebut hanya sekedar pelepas dahaga tanpa khasiat yang luar biasa bagi kesehatan. 66

Semakin meningkatnya jumlah kasus keracunan makanan disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, perubahan pola konsumsi masyarakat yang lebih

65

Reni Wulan Sari, Bahaya Makanan Cepat saji dan Gaya Hidup Sehat, (Yogyakarta: Penerbit O2, 2008), hlm. 111.

66


(47)

cenderung untuk menyukai makanan siap santap yang disediakan oleh katering atau rumah makan, makin meningkatnya jumlah manusia yang rentan terhadap penyakit karena faktor umur, kondisi kesehatan dan pola hidup, sistem komunikasi yang lebih maju, dan kepedulian yang semakin meningkat terhadap keamanan pangan. Dari data yang ada, ternyata kasus keracunan yang muncul pada umumnya terjadi pada makanan siap santap yang diolah secara massal. Makanan ini ternyata lebih berpeluang untuk terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen. Dari berbagai kasus keracunan tersebut, ternyata yang menjadi penyebabnya adalah rendahnya kebersihan individu maupun sanitasi lingkungan.67

Keracunan dapat terjadi karena beberapa hal, di antaranya aktivitas mikroorganisme. Keracunan akibat mikroorganisme ini dapat dibedakan menjadi food

intoxication dan food infection. Food intoxication adalah keracunan yang terjadi

karena

tercemarinya makanan oleh toksin yang ada dalam makanan. Kasus ini bisa disebabkan oleh tercemarnya makanan tersebut oleh eksotoksin yang dihasilkan

Clostridium botulinum maupun enterotoksin yang dihasilkan staphylococci. Adapun food infection terjadi karena makanan terkontaminasi oleh parasit, protozoa atau

bakteri patogen (penyebab sakit) seperti Salmonella, Proteus, Escherchia, dan Pseudomonas yang ada dalam makanan tersebut. Lebih lanjut, untuk menghindari keracunan makanan akibat pencemaran mikroorganisme, diharapkan mengkonsumsi

67

narno, Kimia Pangan dan Gizi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 228. F.G. Wi


(48)

makanan yang telah dimasak atau diolah secara sempurna. Pemasakan secara sempurna mampu mengatasi terjadinya kontaminasi bakteri ataupun toksin di atas.68

Kasus keracunan makanan dapat pula disebabkan oleh bahan kimia. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya semua bahan kimia adalah beracun. Ketika masuk ke dalam tubuh manusia zat kimia ini akan menimbulkan efek yang berbeda-beda, tergantung jenis dan jumlah zat kimia yang masuk ke dalam tubuh. Contoh zat kimia beracun ini adalah senyawa merkuri yang dapat menimbulkan kelainan genetik atau keracunan. Adapun senyawa organik yang mengandung cincin benzena, senyawa nikel, dan chrom dapat bersifat karsinogenik atau menyebabkan terjadinya kanker, sakit kepala, gangguan pencernaan. dll. Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis

an me

d nyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Berbagai jenis zat dapat menjadi racun bagi konsumen. Berbagai senyawa kimia lain juga bukan merupakan bahan tambahan makanan, tetapi sering digunakan di Indonesia, di antaranya Dulsin Nitrofurazon, Asam Salisilat, Diethylpyrocarbonate (DEPC), serta

Pottasium Bromat. Manifestasi keracunan makanan dapat bersifat akut maupun

kronis. Keracunan yang bersifat akut antara lain diare, muntah, dan penyakit gastrointestinal lain, sementara yang bersifat kronis dapat mengakibatkan gangguan syaraf sampai kanker. 69 Terhadap hal-hal di atas pemerintah segera membentuk suatu

68 Ibid. 69


(49)

lembaga-lembaga yang bertugas sebagai pengawas sekaligus mengatur tentang bahan-bahan berbahaya yang terkandung dalam produk makanan tersebut, antara lain:

aan ke lokasi industri. Selama industri berjalan eroperasi) dilakukan pengawasan dan pemeriksaan melalui laporan berkala yang harus disampaikan oleh pengusaha dan melalui pemeriksaan ke lokasi industri secara

1. Departemen Perindustrian dan Perdagangan (DEPERINDAG)

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 1458/KP/XII/1984 Tentang Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Tanggal 19 Desember 1984 menyatakan bahwa usaha di bidang industri dibedakan atas 3 (tiga) golongan yaitu:70 golongan kecil, sedang (menengah) dan besar. Perbedaan ini ditentukan oleh besarnya modal kerja yang ditanamkan dan kekayaan bersih perusahaan. Deperindag adalah suatu instansi yang berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan secara teknis terhadap semua industri. Deperindag juga berwenang melaksanakan penertiban Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) bagi setiap jenis usaha yang menjalankan usahanya dibidang perdagangan, termasuk didalamnya usaha industri dan usaha perdagangan makanan dan minuman, setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.

Pembinaan dan pengawasan oleh Deperindag terhadap perusahaan industri dilakukan sejak pendirian sampai pada saat beroperasinya industri tersebut. Pada saat beroperasinya industri, pembinaan dan pengawasan terus dilakukan, baik melalui laporan maupun melalui pemeriks

(b

70

Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 1458/KP/XII/1984 Tentang Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Tanggal 19 Desember 1984


(50)

insidental. Deperindag berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut memanggil pengusaha dan memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang harus dilakukan perusahaan industri, dan memberikan sanksi sesuai dengan pelanggaran atau kesalahan yang diperbuatnya. Dalam hal ini Deperindag bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Dalam melakukan tindakan pengawasan terhadap produsen atau pelaku usaha makanan dan minuman untuk dapatnya perusahaan itu beroperasi, Deperindag merujuk kepada Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M/SK/5/1976 Tentang Standarisasi Industri Serta Pengendalian Mutu Barang dan Hasil Industri, dan SK Menteri Perindustrian No. 210 Tahun 1979 Tentang Penetapan Izin Industri.

2. Departemen Kesehatan (DEPKES) dan Balai Pengawasan Obat dan

Pen minuman

melakukan pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan

(Und g Pangan

(Undang-Unda minuman

71

72

Makanan (BPOM)

gawasan dan pemeriksaan dibidang pengolahan dan peredaran makanan dan dilaksanakan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). BPOM

ang-Undang RI No. 23 Tahun 1992) dan Undang-Undan

ng No. 7 Tahun 1996). Pengawasan dan pemeriksaan terhadap makanan dan itu meliputi antara lain:

Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M/SK/5/1976 Tentang S ian Mutu Barang dan Hasil Industri.

71

tandarisasi Industri Serta Pengendal

72


(51)

1. pemeriksaan terhadap tempat kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan pangan (makanan dan minuman);

2. pemeriksaan atas keamanan, mutu dan gizi pangan untuk kepentingan kesehatan konsumen;

3. pemeriksaan atas buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau perdagangan pangan, termasuk juga mengutip keterangan atau menggandakannya;

4. pemeriksaan atas izin usaha atau dokumen lain sejenis;

asan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPOM secara berkala yaitu 1 kal

perusahaan makanan dan minuman tersebut langsung ke pabrik maupun ke lapangan atau toko-toko makanan, swalayan, kedai-kedai atau warung-warung yang menjual 5. pemeriksaan atas penggunaan bahan-bahan tambahan yang dinyatakan

terlarang atau melampaui batas maksimal yang telah ditetapkan;

6. pemeriksaan terhadap penggunaan bahan kemasan makanan/minuman yang dinyatakan terlarang karena dikhawatirkan dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan konsumen;

Pengaw

i 3 bulan, langsung ke setiap lokasi pengolahan makanan dan minuman dan ke tempat-tempat sarana peredarannya. Dalam melaksanakan pemeriksaan makanan dan minuman yang beredar di pasaran, BPOM memeriksa secara berkala pada


(52)

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/PER/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan.73

n Republik Indonesia en-Kes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan Halal Pada label

aitu berdasarkan an dari masyarakat secara langsung. BPOM juga memeriksa rmintaan dari instansi pemerintah atau lembaga non formal lainnya, dan jug

ngaduan masyarakat yang berkaitan dengan

BPOM juga melakukan pemeriksaan langsung ke produsen atau pelaku usaha makanan dan minuman untuk melihat secara dekat bagaimana cara memproduksi makanan dan minuman yang sehat dan higiene sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, berdasarkan kepada Ketetapan Menteri Kesehata

No. 23/M Makanan.74

BPOM juga melakukan pemeriksaan secara insidentil, y pengaduan atau lapor

berdasarkan pe

a dari produsen atau pelaku usaha makanan dan minuman itu sendiri, bahkan berdasarkan mass media.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah membuka suatu Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) kepada masyarakat. ULPK adalah unit layanan yang dibentuk untuk menampung pe

mutu, keamanan, dan aspek legalitas produk seperti :75 a. Obat;

b. Makanan dan Minuman;

73

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/PER/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan.

74

Ketetapan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 23/Men-Kes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan Halal Pada label Makanan.

75


(53)

c. Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT); b. Obat Tradisional;

c. Narkoba ;

enghubungi atau datang langsung ke kantor sekretariat masing-masing Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di wilayah tempat dimana konsumen berada, atau konsumen yang merasa hak-haknya telah dilanggar perlu mengadukannya kepada lembaga yang berwenang.

Konsumen juga dapat meminta bantuan kepada Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya masyarakat (LPKSM) untuk meninta bantuan hukum atau bisa langsung menyelesaikannya ke Badan Penyelesaian Konsumen (BPSK). Disamping itu, konsumen juga bisa mendatangi sub direktorat (subdit) pelayanan pengaduan di Dir

C. ukum Dari Produk Makanan Yang Mengandung Bahan-Bahan Berbahaya

Pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan maupun per

maupun di tingkat distribusi. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bagi

Adapun cara masyarakat menyampaikan pengaduannya adalah dengan m

ektorat Perlindungan Konsumen, Departemen Perdagangan, sebagaimana dijelaskan dalam website resminya http://www.pkditjenpdn.depdag.go.id.76

Akibat H

aturan yang berkaitan dengan kemananan makanan baik di tingkat produksi

pengambilan tindakan atau penghukuman atas perbuatan-perbuatan yang

76

Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008), hlm. 57.


(54)

menimbulkan kerugian atau bahaya kepada konsumen dalam berbagai bentuk perundangan-perundangan, yang telah ada seperti :

1. U

rang diedarkan, b.

yakan kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000; (tiga ratus juta

ng-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, antara lain:78

atau peredaran makanan dalam

b. Pasa memproduksi pangan untuk diperdagangkan

dip

c. Pasa gedarkan pangan yang mengandung

kes d.

mu njikan”;

e.

21 dengan pidana penjara paling lama 5

rup 3. Und lain

ndang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, antara lain:77

a. Pasal 21 ayat (3), yaitu: “makanan dan minuman yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan dan atau membahayakan kesehatan dila

ditarik dari peredaran dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan”; Pasal 80 ayat (4), yaitu: “barang siapa dengan sengaja mengedarkan makanan dan

atau minuman yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan dan atau membaha

rupiah); 2. Unda

a. Pasal 8 yaitu: “setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan

keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi; l 20 ayat (1): “setiap orang yang

wajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang roduksi”;

l 21 huruf (a): “setiap orang dilarang men

bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat merugikan atau membahayakan ehatan atau jiwa manusia”;

Pasal 26 huruf (b): “setiap orang dilarang memperdagangkan pangan yang tunya berbeda atau tidak sama dengan mutu yang dija

Pasal 55 yaitu: “barang siapa dengan sengaja bertentangan dengan Pasal 8, Pasal huruf (a), Pasal 26 huruf (b) dipidana

(lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000; (enam ratus juta iah);

ang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, antara :79

77

Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 80 ayat (4) Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

78

Pasal 8, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 huruf (a), Pasal 26 huruf (b), Pasal 55 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

79

Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.


(55)

a. Pasal 8 ayat (1) yaitu: “pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

1. tidak memenuhi atau sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan pada label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

3. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

4. tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atau barang tertentu;

5. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

6. tidak memasang label atau memuat informasi penjelasan mengenai barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat samping, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

7. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentua perundang-undangan yang berlaku; b. Pasal 62 ayat (1) yaitu: “pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000; (dua milyar rupiah);


(56)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT PRODUK

A. Perlindungan Konsumen

rlindungan Konsum

masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk

MAKANAN YANG MENGANDUNG BAHAN-BAHAN BERBAHAYA

Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Pe en, Pasal 1 ayat (2) yang dimaksud dengan konsumen adalah :80

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

n 80

Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsume


(57)

Pengertian konsumen dalam penjelasan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir bukan konsumen antara sebagaimana yang terdapat dalam kepustakaan ekonomi. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsum

jasa”, atau “seseorang atau sesuatu perusah

yuridis, dalam Kitab Undang-Undang

en yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produksi lain. Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir dari benda atau jasa (Uiteindelijke gebruiker van goerderen en

diesten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (ondernamer).81

Kata konsumen merupakan alih bahasa dari kata “consumer” (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda), secara harfiah arti kata consumer adalah setiap orang yang menggunakan barang. Pengertian konsumen secara harfiah berarti “seseorang yang membeli barang atau

aan yang membeli barang tertentu atau menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”. Dalam arti lain konsumen dikenal juga dengan pengertian “setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”. 82.

Pengertian masyarakat umum saat ini, bahwa konsumen itu adalah pembeli, penyewa, nasabah (penerima kredit), lembaga jasa perbankan atau asuransi, penumpang angkutan umum, pada pokoknya langganan dari para pengusaha. Pengertian ini tidaklah salah sebab secara

81

BPHN, 1986, Hasil-Hasil Pertemuan Ilmiah (Simposium, Seminar, Lokakarya), Jakarta, hlm. 57.

82

AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, (Jakarta : Diadit Media, 2002), hlm. 3.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan agai berikut:

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan diatur tentang bahan-bahan tambahan pangan/makanan, antara lain:Pasal 10 Ayat (1) : Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlaran

A.

seb 1.

g atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan. Ayat (2) :Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dalam Pasal 11 juga disebutkan: ...Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamananya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari pemerintah

2. Keracunan makanan massal yang terjadi di sekolahan, pabrik, kantor, atau setelah perhelatan terjadi karena makanan yang dikonsumsi tercemar dan mengandung


(2)

mikroba dan juga akibat residu atau pencemaran. Ini menunjukkan keamanan pangan, kebersihan dan sanitasi yang masih kurang diperhatikan oleh produsen makanan industri rumah tangga atau industri kecil. Padahal dalam Undang Undang No 7 tentang pangan yang dikeluarkan tahun 1996 telah disebutkan bahwa makanan yang beredar haruslah tidak membahayakan bagi konsumennya. Makanan harus terbebas dari bahan berbahaya, tidak boleh mengandung toksin atau racun atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. Dampak gangguan terhadap keamanan makanan adalah kerugian ekonomis, sakit atau meninggal pada korban, berkurangnya produktivitas kerja

3.

itu penggantian dengan barang baru atau dengan jumlah dan jenis yang sama dan penggantian sejumlah uang. Penggantian dengan barang yang baru adalah bentuk yang paling banyak dijumpai dan merupakan tindakan utama yang diambil oleh pihak pengecer sedangkan penggantian dengan sejumlah uang, yaitu pengembalian uang harga pembelian, merupakan alternatif yang ditempuh oleh pihak pengecer jika barang yang sama sejenisnya tidak sedang tersedia. Untuk dapat memperoleh penggantian kerugian, disyaratkan supaya konsum enunjukkan kepada pihak pengecer barang yang mengandung bahan-bahan berbahaya itu dan bukti pembelian seperti faktur juga.

maupun terancamnya status kesehatan masyarakat dalam jangka panjang.

Wujud ganti kerugian yang dilakukan oleh pihak pengecer kepada konsumen terdiri dari dua bentuk, ya


(3)

B. Saran

. Bagi pemerintah dalam memberlakukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 lindungan Konsumen hendaknya mempertegas prinsip capeat

dihasilkan.

2. Bagi Seluruh lapisan masyarakat diperlukan sosialisasi melalui penyuluhan untuk meningkatk

keperdataannya khususnya mengenai produk yang mengandung bahan-bahan berbahaya.

3. Bagi setiap

dengan pertanggungjawaban yuridis terhadap produk makanan yang mengandung bahan-bahan berbahaya.

1

Tentang Per

penditor sebagai pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap produk-produk yang

an kesadaran hak-hak konsumen sebagai bagian dari hak-hak


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Bertens, K, Pe

Gandi, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Pengaturan Standarisasi Hasil Industri, makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum

arkristuti Harkrisnowo, Perlindungan Konsumen Dalam Kerangka Sistem ang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Kerjasama Lembaga

6.

Long, Nancy, staka, 2006.

umen di Mata Para Pakar Jerman, Warta Konsumen Tahun XXIV No. 12, 1998

Meliala, Adrianus, Praktik Bisnis Curang, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993

Nasution, A.Z. Sinar Harapan, 1995.

Tanggung Jawab Produsen di Bidang Farmasi Terhadap Konsumen, “BPHN Departemen Kehakiman RI, 1990-1991.

, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Jakarta, Grafika, 1996. Badrul Zaman, Mariam Darus, Pembentukan Hukum Nasional Dan

Permasalahannya (Kumpulan Karangan), Bandung, Alumni, 1981. ngantar Etika Bisnis, Yogyakarta, Kanisius, 2000.

Perlindungan Konsumen, BPHN-Binacipta, Jakarta, 1980 H

Peradilan di Indonesia, Jakarta : Lokakarya Rancangan Und Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 199

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994. Panduan Makanan Sehat, Jakarta, Prestasi Pu

Mickliyz, Hans W, Rencana Undang-Undang Perlindungan Kons

, Konsumen dan Hukum, Penerbit Pustaka

Swastia, Basu dan Irawan, Manajemen Modern, Liberty, Yogyakarata, Liberty, 1997. Suratman, Ema, “Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang

Sudaryatmo


(5)

Sajogyo, Goenardi Dkk, Menuju Gizi Yang Merata di Pedesaan Dan di Kota, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1983.

99.

Saefullah, H. E, Tanggung Jawab Produsen Terhadap Akibat Hukum Yang ditimbulkan dari Produk Dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan

Bandung, 1998

usanto, Happy, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta, Visimedia, 2008. Syaw

Maju, 2000.

ulan Sari, Reni, Dangerous Junk Food, Yogyakarta, O2, 2008.

Winarno, F.G., Kimia Pangan Dan Gizi, Jakarta, Gramedia Pustaka, 1997.

Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,

Andi, 2007

B. Ka

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,

Bandung, Citra Aditya Bakti, 19

Konsumen Dalam Sistem Hukum Nasional Mengahadapi Rra Perdagangan Bebas, Diselenggarakan oleh Fakultas UNISBA,

Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Medan, Paulinus Josua, 1999.

S

ali, Husni, dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar

Tahir, H. Toto, Kemungkinan Gugatan Class Action dalam Upaya Perlindungan Hukum Pada Era Perdagangan Bebas, Hukum perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000.

. W

Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Yuliarti, Nurheti, Awas Bahaya Di balik Lezatnya Makanan, Yogyakarta,

Yamit, Zulian, Manajemen Kualitas Produk Dan Jasa, Yogyakarta, Ekonisia, 2002.


(6)

Echols, Jhon M. dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1986

Hornby, AS (Gen.Ed), Oxford Advance Learne’s, Dictionary of CurrentEnglish, Oxford University Press, 1987.

B. Internet

Lusiana Indriasari, “ Waspadai Bahan Kimia Lain Dalam Makanan”,

HU

http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0601/15/113636.htmUH, diakses 3 Oktober

2008.

Setyo Rahardjo, “Bermacam Pangan di Indonesia Belum Aman Dari Bahan Berbahaya”, HUhttp://kmit.faperta.ugm.ac.id/Artikel%20_%20Bahan%20Berbahaya.htmlUH,

diakses 28 September 2008

Nurheti Yuliarti, “ Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan “,HUhttp://www.andipublisher.com/?buku-komputer&p=productsMore&iProduct=1043UH, diakses

1 Oktober 2008.

Formalin Dalam Produk Makanan, http://www.bbc.co.uk/indonesian/forum/story/2006/01/060108_formalin.shtm l, 4 Oktober 2008

Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Peraturan Menteri Kesehatan No. 329/Men.Kes/Per/XXII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan

Peraturan Menteri Kesehatan No. 382/Men.Kes/Per/VI/1989 Tentang Pendaftaran Makanan.