Buku Sex for Sale dan Persepsi Publik (Studi Korelasional tentang Persepsi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 terhadap Prostitusi Melalui Foto Jurnalistik dalam Buku Sex for Sale)

(1)

BUKU SEX FOR SALE DAN PERSEPSI PUBLIK

(Studi Korelasional tentang Persepsi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 terhadap

Prostitusi Melalui Foto Jurnalistik dalam Buku Sex for Sale)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Sarjana (S1) pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Disusun Oleh:

RIYANTHI ANGRAINY SIANTURI 080922020

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini telah dipertahankan oleh:

Nama : Riyanthi Angrainy Sianturi

NIM : 080922020

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Buku Sex for Sale dan Persepsi Publik (Studi Korelasional tentang Persepsi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 terhadap Prostitusi Melalui Foto Jurnalistik dalam Buku Sex for Sale)

Medan, Juni 2010

Dosen Pembimbing Kepala Departemen

Drs. HR. Danan Djaja, MA Drs. Amir Purba, MA

NIP. 195211091983031001 NIP. 1952102191987011001

Dekan

Prof. M. Arif Nasution, MA NIP. 196207031987111001


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI


(4)

ABSTRAKSI

Penelitian ini meneliti tentang persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 terhadap prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mencari hubungan persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi angkatan 2008-2009 dan potret prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mencari hubungan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang buku Sex for Sale Yuyung Abdi dan persepsi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi, teori komunikasi massa, teori S-R, media buku, jurnalistik foto, prostitusi dan persepsi. Di mana ingin diketahui hubungan prostitusi melalui foto jurnalistik terhadap persepsi mahasiswa.

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi angkatan 2008-2009 yang berjumlah 137 orang. Jumlah sampel ditetapkan sebesar 60 orang, karena jumlah sampel ini telah dapat merepresentasikan populasi.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasional yakni meneliti hubungan prostitusi melalui Foto jurnalistik dalam Buku Sex for Sale terhadap persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi angkatan 2008-2009. Pengumpulan data dari responden dilakukan dengan cara membuat pertanyaan-pertanyaan dalam bentuk kuesioner.

Dengan menggunakan teknik analisis deskriptif dan analisis korelasional, maka peneliti mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 terhadap prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale. Dengan menggunakan rumus uji korelasi tata jenjang Spearman, diketahui bahwa Ha (terdapat hubungan antara persepsi mahasiswa dengan prostitusi melalui foto jurnalistik) diterima dan korelasi yang diperoleh sebesar 0,556 yang berarti memiliki hubungan yang kuat.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti berikan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kebaikan dan penyertaan yang diberikanNya. Bukan karena kemampuan yang dimiliki sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk penyertaan yang telah Dia berikan.

Ucapan terima kasih saya persembahkan kepada kedua orang tua Nolan Sianturi dan Julia Simanungkalit atas dukungan moral dan spiritual yang tiada putus-putusnya dan adik saya Christopher Sianturi.

Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada Bapak Drs. HR. Danan Djaja, MA sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan dan motivasi hingga rampungnya skripsi ini. Terima kasih untuk waktu, tenaga dan perhatian yang telah diberikan selama pengerjaan skripsi ini.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, peneliti juga banyak mendapatkan bimbingan, nasehat serta dukungan dari banyak pihak. Maka dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, MA selaku Kepala Depertemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Terima kasih kepada seluruh staf di Depertemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Kolega di tempat peneliti bekerja yang telah memberi dukungan penuh sejak masa perkuliahan hingga pengerjaan skripsi ini selesai: Bapak Rudy Zamrudin, Bapak Doly Hutapea, Amanda Litania, Ririn, Yulia Iriani, Eddy Malaha, Erix Hutasoit dan teman-teman lainnya.


(6)

5. Teman-teman: Melly, Eva Panjaitan, Tohap Hutasoit, Santi Sianturi, Ruth Sihombing, Friska Sitinjak

6. Teman-teman: Ida Rosliani Sitanggang, Leli R. Sinaga dan Melva Hutagalung. Menyadari bahwa tidak ada yang sempurna termasuk peneliti dan isi skripsi hasil penelitian ini, maka penulis menerima saran dan kritik yang membangun demi menyempurnakan skripsi ini. Peneliti juga berhadap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Medan, Juni 2010

Peneliti,


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAKSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1. LATAR BELAKANG MASALAH... 1

I.2. PERUMUSAN MASALAH ... 6

I.3. PEMBATASAN MASALAH ... 6

I.4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 7

I.4.1. Tujuan Penelitian... 7

I.4.2. Manfaat Penelitian ... 7

I.5. KERANGKA TEORI ... 8

I.5.1. Komunikasi ... 8

I.5.2. Komunikasi Massa ... 10

I.5.3. Teori S-R (Stimulus-Respons) ... 13

I.5.4. Media Buku ... 14

I.5.5. Jurnalistik Foto ... 14

I.5.6. Prostitusi ... 15

I.5.7. Persepsi ... 16

I.6. KERANGKA KONSEP ... 17

I.7. MODEL TEORITIS ... 18

I.8. VARIABEL OPERASIONAL ... 18

I.9. DEFINISI VARIABEL OPERASIONAL ... 19

I.10. HIPOTESIS PENELITIAN... 20

BAB II URAIAN TEORITIS ... 22

II.1. KOMUNIKASI ... 22

II.2. KOMUNIKASI MASSA ... 24

II.3. TEORI S-R (STIMULUS-RESPONS) ... 26

II.4. MEDIA BUKU ... 27

II.5. JURNALISTIK FOTO ... 28

II.6. PROSTITUSI ... 29

II.6.1. Prostitusi dan Prostitusi Anak ... 29

II.6.2. Sejarah dan Perkembangan Pelacuran di Indonesia ... 31

II.6.3. Prostitusi Remaja dan Kesejahteraan Ekonomi ... 33

II.7. PERSEPSI ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37

III.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 37

III.1.1. Sejarah Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP USU) ... 37

III.1.2. Visi dan Misi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU ... 40

III.1.3. Letak Geografis ... 41

III.2. METODE PENELITIAN ... 41


(8)

III.4. POPULASI DAN SAMPEL ... 43

III.4.1. Populasi ... 43

III.4.2. Sampel... 43

III.5. METODE PENGUMPULAN DATA ... 44

III.5.1. Teknik Pengumpulan Data ... 44

III.6. ANALISIS DATA ... 44

IV.1. PELAKSANAAN PENGUMPULAN DATA DAN TEKNIK PENGOLAHAN DATA ... 46

IV.1.1. Tahapan Pengumpulan Data ... 46

IV.1.2. Teknik Pengolahan Data ... 46

IV.1.3. Penyajian Data ... 47

IV.2. ANALISIS DESKRIPTIF ... 47

IV.2.1. Identitas Responden ... 48

IV.2.2. Variabel Belas (X) ... 49

IV.2.3. Variabel Terikat (Y) ... 54

IV.3. ANALISIS KORELASIONAL ... 59

IV.3.1. Hubungan Antara Foto Prostitusi dengan Pengetahuan Mahasiswa tentang Prostitusi di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa ... 59

IV.3.2. Hubungan antara keterangan pesan foto prostitusi dengan rasa terkejut mahasiswa 61 IV.3.3. Hubungan Antara Foto Prostitusi dengan Sikap Menerima Mahasiswa 63 IV.4. UJI HIPOTESIS ... 64

IV.5. PEMBAHASAN ... 67

BAB V PENUTUP ... 69

V.1. KESIMPULAN ... 69

V.2. SARAN ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Variabel Operasional ... 19

Tabel 2 Populasi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi angkatan 2008-2009 ... 43

Tabel 3 Jenis Kelamin Responden ... 48

Tabel 4 Tahun Angkatan ... 48

Tabel 5 Usia Responden ... 49

Tabel 6 Kejelasan Bentuk Dunia Prostitusi di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa melalui Foto ... 50

Tabel 7 Keterangan Pesan Foto ... 51

Tabel 8 Usia Pelaku Prostitusi ... 51

Tabel 9 Kondisi Tempat Prostitusi ... 52

Tabel 10 Waktu Kegiatan Prostitusi Dilakukan ... 53

Tabel 11 Penerimaan Informasi pada Foto Jurnalistik Prostitusi ... 54

Tabel 12 Pengertian Terhadap Isi Foto Prostitusi ... 55

Tabel 13 Pengetahuan Terhadap Prostitusi ... 55

Tabel 14 Pemahaman Terhadap Prostitusi ... 56

Tabel 15 Keyakinan Setelah Melihat Isi Foto Prostitusi ... 57

Tabel 16 Keterkejutan Melihat Foto Prostitusi ... 58

Tabel 17 Menerima Praktek Prostitusi di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa ... 58

Tabel 18 Test of Between-Subjects Effects: Foto Prostitusi terhadap Pengetahuan Mahasiswa ... 60

Tabel 19 Estimated Marginal Means: Foto Prostitusi dengan Pengetahuan Mahasiswa Terhadap Prostitusi ... 61

Tabel 20 Test of Between-Subjects Effects: Keterangan Pesan Foto Prostitusi terhadap Keterkejutan Mahasiswa ... 62

Tabel 21 Estimated Marginal Means Keterangan Pesan Foto Prosititusi terhadap Keterkejutan Mahasiswa ... 62

Tabel 22 Test of Between-Subjects Effects: Foto Prostitusi terhadap Sikap Menerima Mahasiswa ... 63

Tabel 23 Estimated Marginal Means: Foto Prostitusi dengan Sikap Menerima Mahasiswa terhadap Praktek Prostitusi ... 64


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Model Teoritis ... 18 Gambar 2 Stimulus - Respons ... 26


(11)

ABSTRAKSI

Penelitian ini meneliti tentang persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 terhadap prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mencari hubungan persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi angkatan 2008-2009 dan potret prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mencari hubungan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang buku Sex for Sale Yuyung Abdi dan persepsi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi, teori komunikasi massa, teori S-R, media buku, jurnalistik foto, prostitusi dan persepsi. Di mana ingin diketahui hubungan prostitusi melalui foto jurnalistik terhadap persepsi mahasiswa.

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi angkatan 2008-2009 yang berjumlah 137 orang. Jumlah sampel ditetapkan sebesar 60 orang, karena jumlah sampel ini telah dapat merepresentasikan populasi.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasional yakni meneliti hubungan prostitusi melalui Foto jurnalistik dalam Buku Sex for Sale terhadap persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi angkatan 2008-2009. Pengumpulan data dari responden dilakukan dengan cara membuat pertanyaan-pertanyaan dalam bentuk kuesioner.

Dengan menggunakan teknik analisis deskriptif dan analisis korelasional, maka peneliti mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 terhadap prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale. Dengan menggunakan rumus uji korelasi tata jenjang Spearman, diketahui bahwa Ha (terdapat hubungan antara persepsi mahasiswa dengan prostitusi melalui foto jurnalistik) diterima dan korelasi yang diperoleh sebesar 0,556 yang berarti memiliki hubungan yang kuat.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Rekapitulasi dan Distribusi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) tahun 2008 yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia, mencatat bahwa terdapat 63.961 jiwa yang berprofesi sebagai tuna susila di 465 kabupaten/ kota di Indonesia. Persebaran tuna susila terbesar terdapat di DKI Jakarta dengan jumlah 7.866 jiwa dan diikuti oleh provinsi Jawa Timur di posisi kedua dengan jumlah 6.097 jiwa. Provinsi Jawa Tengah berada di urutan tiga dengan jumlah tuna susila sebesar 5.626 jiwa, diikuti oleh provinsi Sulawesi Selatan di posisi keempat dengan jumlah 5.443 jiwa. Urutan kelima berada di provinsi Sumatera Utara dengan jumlah tuna susila sebesar 4.432 jiwa. Provinsi Jawa Barat berada di posisi keenam dengan jumlah tuna susila sebesar 3.959 jiwa, lalu provinsi Sulawesi Utara pada posisi ketujuh dengan jumlah 3.908 jiwa. Urutan kedelapan ditempati oleh provinsi Riau dengan jumlah tuna susila 2.823 jiwa, diikuti provinsi Sumatera Selatan di posisi kesembilan dengan jumlah 2.313 jiwa dan Papua berada di urutan kesepuluh dengan jumlah tuna susila sebesar 2.176 jiwa.1

Catatan Departemen Sosial juga menunjukkan angka yang fantastis mengenai eksploitasi seksual pada anak. Jumlah eksploitasi seksual pada anak dan anak yang dilacurkan (Ayla) tiap tahun semakin bertambah. Pada 2006 mencapai 42.000 anak,

1

Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial, “Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial - PMKS Tahun 2008”, Kementerian Sosial RI, diakses dari

http://www.depsos.go.id/modules.php?name=Database&opsi=pmks2008, pada tanggal 5 April 2010 pukul 17.30


(13)

sementara tahun 2008 lalu, mencapai 150.000 anak.2

Sekitar awal tahun 2000-an, UNICEF (The United Nations Children's Fund) mengeluarkan Lembar Fakta Tentang Eksploitasi Seks Komersil dan Perdagangan Anak. Fakta yang dikemukakan adalah bahwa untuk angka global ada sekitar 1,2 juta anak diperdagangkan setiap tahunnya. Kebanyakan (anak-anak laki-laki dan perempuan) diperdagangkan untuk eksploitasi seks. Ada sekitar 2 juta anak di seluruh dunia yang dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya. Industri perdagangan anak menangguk untung 12 miliar dolar per tahunnya (International Labour Organization atau ILO). Di Indonesia sekalipun banyak gadis yang memalsukan umurnya, diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan tiap tahun. Sebagian besar dari mereka telah dipaksa masuk dalam perdagangan seks.3

Pada tanggal 18 Januari 2009 Koran Suara Pembaharuan memberitakan sebuah fakta tentang prostitusi di kalangan remaja dengan judul “Pelacur Remaja Menggurita.” Sekurangnya 18 siswi sebuah SMP negeri di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat (Jakbar), memilih sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Tergiur memperoleh uang lebih banyak ketimbang yang diberikan orangtua, remaja-remaja berusia 16 tahun itu pun memutuskan menjual diri.

2

Metro Hari Ini - Hukum & Ham, “Laporan Eksploitasi Seksual Anak dan Ayla Meningkat”, MetroTV, diakses dari http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2009/01/21/74238 pada tanggal 5 April 2010 pukul 17.52

3

UNICEF, “Lembar Fakta Tentang Eksploitasi Seks Komersil dan Perdagangan Anak”, diakses dari www.unicef.org/indonesia/id/Factsheet_CSEC_trafficking_Indonesia_Bahasa_Indonesia.pdf pada tanggal 6 April 2010 pukul 18.34


(14)

Pekerja seks komersial oleh remaja bukan hal baru, bahkan terjadi di mana-mana, terutama di kota-kota besar. Jumlah remaja perempuan berstatus siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang terlibat pelacuran seperti fenomena gunung es.

Begitu bel sekolah berbunyi tanda pulang, para Anak Baru Gede (ABG) ini pun "menggantung" seragam mereka. Telepon genggam menjadi media menjajakan diri. Ketika malam mulai merambat, salah satu diskotek di bilangan Lokasari, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat pun menjadi tempat 'mangkal" mereka. Untuk sekali kencan singkat, para ABG ini mematok tarif Rp 200.000 -Rp 300.000.

Laku mereka tercium sang guru, pertengahan Desember 2008 lalu. Awalnya, sang guru menyita telepon seluler (ponsel) seorang siswi. Ponsel sitaan berbunyi. Masuklah sebuah pesan singkat yang berisi ajakan kencan. Guru itu pun segera memanggil si empunya ponsel tersebut dan mengajaknya berbicara hingga terbongkarlah profesi sampingan siswi itu. Belum cukup, ternyata ada 17 anak lainnya yang punya profesi serupa. "Menyedihkan lagi, saat orangtua ke-18 siswi tersebut dipanggil pihak sekolah ternyata tak ada di antara mereka yang terkejut. Hal itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukan para ABG tersebut diketahui atau mendapat restu dari orangtua masing-masing," kata Wali Kota Jakarta Barat Djoko Ramadhan.4

Praktek prostitusi pun terjadi di dunia perkuliahan kampus. Di dalam kampus, terdapat sebuah istilah ayam kampus. Ayam kampus adalah sebutan bagi mahasiswi yang mempunyai double job menjadi pelacur di dunia kampus. Sepak terjang ayam kampus lebih susah ditebak dibanding dengan para pelacur yang biasa berjejer di

4

AFP, “Pelacur Remaja Menggurita”, Suara Pembaharuan Daily, diakses dari http://www.suarapembaruan.com/News/2009/01/18/Utama/ut01.htm pada tanggal 5 April 2010 pukul 18.00


(15)

kawasan prostitusi dan lokalisasi. Bahkan jika diperhatikan penampilan dan kesehariannya di kampus, mereka terlihat sama dengan sejumlah mahasiswi lainnya.

Pasar merekapun lebih modern dengan memanfaatkan dunia online dalam menjajakan kenikmatan seks mereka. Prostitusi dunia online yang sangat terbuka menjadi ladang bagi ayam-ayam kampus menjajakan diri. Ada yang lewat chat ataupun membuat profil di facebook.

Berita prostitusi di kalangan remaja seperti “Pelacur Remaja Menggurita” atau informasi tentang ayam kampus bisa diketahui dengan membaca di surat kabar, menonton televisi atau mengakses internet. Perkembangan teknologi saat ini sangat memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi. Setiap hari masyarakat disuguhi informasi oleh berbagai media, seperti koran, majalah, televisi ataupun radio. Berita yang disuguhkan pun tersedia dalam berbagai bentuk, audio dan visual. Isi berita yang disampaikan pun beragam, berita politik, ekonomi, pendidikan, dan termasuk masalah-masalah sosial seperti prostitusi.

Saat ini pemberitaan-pemberitaan di media massa selalu mengikutsertakan foto di dalamnya. Bisa dibayangkan bagaimana halaman koran yang tanpa satupun foto. Selain untuk mempercantik perwajahan, foto adalah sebuah bentuk berita tersendiri. Foto merupakan salah satu media visual untuk mengabadikan atau menceritakan suatu peristiwa. Kehadiran foto jurnalistik dalam sebuah pemberitaan menguatkan bahwa suatu peristiwa benar-benar ada.

Pada tahun 2007, Yuyung Abdi meluncurkan sebuah buku berisi foto-foto jurnalistik tentang kegiatan prostitusi di Indonesia. Yuyung Abdi, yang juga Redaktur Foto Harian Jawa Pos ini mengisahkan dan menampilkan secara gamblang kehidupan sehari-hari yang dilakoni oleh pekerja seks. Melalui lebih dari 316 foto, buku yang diberi judul “Sex for Sale: Potret Faktual Prostitusi 27 Kota di Indonesia” ini pembaca


(16)

diperlihatkan kepada kenyataan bagaimana sebenarnya kehidupan para pekerja seks di Indonesia, di tempat seperti apa mereka tinggal, bagaimana bentuk ruang pribadi mereka sampai kepada daerah-daerah penyebaran prostitusi di Indonesia.

Dalam bukunya Yuyung Abdi menyajikan keadaan dunia prostitusi yang selama ini tersembunyi. Masing-masing daerah memiliki karakteristik bisnis prostitusi sendiri, semuanya menyimpan kisah kelam perempuan yang harus menggadaikan harga diri demi bertahan hidup. Beberapa contoh kisah yang memilukan itu di antaranya pada halaman 28, foto di halaman ini menampilkan seorang pekerja seks di bawah umur tengah bersantai di kamarnya. Meski wajahnya disamarkan dapat dilihat usianya yang masih sangat muda ditambah lagi dekorasi kamarnya yang masih kekanak-kanakkan. Di saat teman-teman lainnya menikmati masa muda mereka, gadis kecil ini harus merasakan pahitnya dunia.

Yang tak kalah menarik adalah kisah Laura, seorang pekerja seks asal Papua yang masih berusia 15 tahun. Kisah-kisah seperti ini sangat menggugah karena prostitusi sebagai masalah sosial sudah seharusnya ditangani dengan tepat. Jangan sampai gadis-gadis muda yang masih polos terjerumus dalam dunia ini, karena ini bukan hanya menyangkut masa depan mereka tetapi juga keselamatan mereka.

Tampaknya hal-hal inilah yang ingin ditunjukkan oleh Yuyung Abdi dalam memotret para PSK. Apa yang digambarkan oleh Yuyung Abdi mengungkap sisi lain dari kehidupan prostitusi di Indonesia. Bukan hanya sisi negatif pada profesi pelacur, tetapi sisi kemanusiaan, keseharian, seperti manusia lainnya.

Dari keterangan yang telah dijabarkan, peneliti ingin mengetahui tentang persepsi publik terhadap prostitusi di Indonesia melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale karya Yuyung Abdi, khususnya prostitusi di kalangan pelajar dan mahasiswa. Untuk mempersempit cakupan publik, maka peneliti membatasi


(17)

penelitian pada mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009. Peneliti menetapkan sampel penelitian adalah mahasiswa sebab hal yang menjadi bahan penelitian adalah prostitusi di kalangan pelajar dan mahasiswa.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Buku Sex for Sale dan Persepsi Publik” dan subjudul “Studi Korelasional tentang Persepsi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 terhadap Prostitusi Melalui Foto Jurnalistik dalam Buku Sex for Sale”.

I.2. PERUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Sejauhmanakah hubungan persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 terhadap prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale?”

I.3. PEMBATASAN MASALAH

Untuk menghindari terlalu luasnya ruang lingkup penelitian maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Penelitian ini mencari bagaimana persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 terhadap prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale: Potret Faktual Prostitusi 27 Kota di Indonesia karya Yuyung Abdi

2. Foto jurnalistik yang digunakan adalah 6 foto serta teks dalam buku Sex for Sale yang menampilkan prostitusi di kalangan remaja, pelajar dan mahasiswa di


(18)

halaman 28, 122-123, 138-139, 170, 204 dan 206-207.

3. Objek penelitian ini adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009

4. Penelitian ini berlokasi di Kampus FISIP USU, Jl. A. Sofyan, Medan, Sumatera Utara, Indonesia

I.4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN I.4.1.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mencari hubungan persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 dan potret prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale

2. Untuk mencari hubungan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang buku Sex for Sale Yuyung Abdi dan persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009

I.4.2.Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan memperkaya sumber bacaan di lingkungan FISIP USU, khususnya Ilmu Komunikasi

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis mengenai foto jurnalistik dan peranannya sebagai media penyampaian suatu peristiwa dan sebagai media yang dapat mempengaruhi persepsi manusia

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi media massa dan fotografer jurnalistik.


(19)

I.5. KERANGKA TEORI

Teori digunakan untuk menuntun peneliti menemukan masalah penelitian, menemukan hipotesis, menemukan konsep-konsep, menemukan metodologi dan menemukan alat-alat analisis data. Melihat pentingnya kedudukan teori, maka merupakan sebuah keharusan setiap peneliti untuk memahami teori dan kedudukannya dalam penelitiannya (Bungin, 2009: 25).

I.5.1.Komunikasi

Manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia secara tidak kodrati harus hidup bersama manusia lain, baik demi kelangsungan hidupnya, keamanan hidupnya, maupun demi keturunannya. Jelasnya, manusia harus hidup bermasyarakat. Masyarakat bisa berbentuk kecil, sekecil rumah tangga yang hanya terdiri dari dua orang suami istri, bisa berbentuk besar, sebesar kampung, desa, kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi dan negara.

Semakin besar suatu masyarakat yang berarti semakin banyak manusia yang dicakup, cenderung akan semakin banyak masalah yang timbul, akibat perbedaan-perbedaan antara manusia yang banyak itu dalam pikirannya, perasaannya, kebutuhannya, keinginannya, sifatnya, tabiatnya, pandangan hidupnya, kepercayaannya, aspirasinya dan lain sebagainya yang sungguh terlalu banyak untuk disebut satu demi satu.

Dalam pergaulan hidup manusia di mana masing-masing individu satu sama lain beraneka ragam terjadi interaksi, saling mempengaruhi demi kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Terjadilah saling mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam bentuk percakapan.


(20)

Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antarmanusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan mengunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.

Dalam “bahasa” komunikasi pernyataan dinamakan pesan (message). Orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator (communicator), sedangkan orang yang menerima pernyataan diberi nama komunikan (communicatee). Untuk tegasnya, komunikasi berarti proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Jika dianalisis pesan komunikasi terdiri dari dua aspek, pertama isi pesan (the content of the message), kedua lambang (symbol). Konkretnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan dan lambang adalah bahasa.5

Selanjutnya, Arni Muhammad juga mendefinisikan komunikasi sebagai pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara si pengirim dengan si penerima pesan untuk mengubah tingkah laku. Proses komunikasi merupakan proses timbal William J. Seller memberikan definisi komunikasi yaitu proses dengan mana simbol verbal dan non verbal dikirimkan, diterima dan diberi arti. Sedangkan Louis Forsdale (1981) mengemukakan bahwa komunikasi adalah proses memberikan signal menurut aturan tertentu, sehingga dengan cara ini suatu sistem dapat didirikan, dipelihara dan diubah. Kata signal maksudnya adalah signal yang berupa verbal dan nonverbal yang mempunyai aturan tertentu. Dengan adanya aturan ini menjadikan orang yang menerima signal yang telah mengetahui aturannya akan dapat memahami maksud dari signal yang diterimanya. Selanjutnya Forsdale mengatakan bahwa pemberian signal dalam komunikasi dapat dilakukan dengan maksud tertentu atau dengan disadari dan dapat juga terjadi tanpa disadari.

5

Onong Uchjana Effendy, “Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, halaman 27-28


(21)

balik karena antara si pengirim dan si penerima saling mempengaruhi satu sama lain. Proses komunikasi itu berlangsung melalui tahap-tahap tertentu secara terus menerus, berubah-ubah dan tidak ada henti-hentinya. Perubahan tingkah laku maksudnya perubahan yang terjadi di dalam diri individu mungkin dalam aspek kognitif, afektif atau psikomotor.6

I.5.2.Komunikasi Massa

Komunikasi massa seperti bentuk komunikasi lainnya (komunikasi antarpersona, komunikasi kelompok atau komunikasi organisasi) memiliki sedikitnya enam unsur, yakni komunikator (penyampai pesan), pesan, media, komunikan (penerima pesan), efek dan umpan balik. Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner (Rakhmat, 2003: 188) yakni: komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang.

Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi lain yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967), komunikasi massa dalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri (Rakhmat, 2003: 188). Dari definisi Gerbner tergambar bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan, dwimingguan atau bulanan. Proses memproduksi pesan tidak dapat dilakukan oleh perorangan, melainkan harus oleh lembaga dan membutuhkan suatu teknologi tertentu, sehingga komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat industri.

6


(22)

Menurut Wright bentuk baru komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik utama sebagai berikut diarahkan pada khalayak yang relatif besar, heterogen dan anonim; pesan disampaikan secara terbuka, sering kali dapat mencapai kebanyakan khalayak secara serentak, bersifat sekilas; komunikator cenderung berada atau bergerak dalam organisasi yang kompleks yang melibatkan biaya besar. Definisi Wright mengemukakan karakteristik komunikan secara khusus, yaitu anonim dan heterogen.

Adapun fungsi komunikasi massa menurut Wilbur Schramm adalah komunikasi massa berfungsi sebagai decoder, interpreter dan encoder. Komunikasi massa

men-decode lingkungan sekitar untuk kita, mengawasi kemungkinan timbulnya bahaya, mengawasi terjadinya persetujuan dan juga efek-efek dari hiburan. Komunikasi massa menginterpretasikan hal-hal yang di-decode sehingga dapat mengambil kebijakan terhadap efek, menjaga berlangsungnya interaksi serta membantu anggota-anggota masyarakat menikmati kehidupan. Komunikasi massa juga meng-encode pesan-pesan yang memelihara hubungan kita dengan masyarakat lain serta menyampaikan kebudayaan baru kepada anggota-anggota masyarakat. Peluang ini dimungkinkan karena komunikasi massa mempunyai kemampuan memperluas pandangan, pendengaran dalam jarak yang hampir tidak terbatas, dan dapat melipatgandakan suara dan kata-kata secara luas.

Pendapat Schramm pada dasarnya tidak berbeda dengan pendapat Harold D. Lasswell yang menyebutkan fungsi-fungsi komunikasi massa sebagai berikut.

1. Surveillance of the environment

Fungsinya sebagai pengamatan lingkungan, yang oleh Schramm disebu sebagai

decoder yang menjalankan fungsi the watcher.


(23)

Fungsinya menghubungkan bagian-bagian dari masyarakat agar sesuai dengan lingkungan. Schramm menamakan fungsi ini sebagai interpreter yang melakukan fungsi the forum.

3. Transmission of the social heritage from one generation to the next

Fungsinya penerusan atau pewarisan sosial dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Schramm menamakan fungsi ini sebagai encoder yang menjalankan fungsi the teacher.

Charles R. Wright menambahkan fungsi keempat yaitu entertaiment dan ia memberikan penjelasan keempat fungsi itu sebagai berikut.

1. Surveillance

Menunjuk pada fungsi pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian dalam lingkungan, baik di luar maupun di dalam masyarakat. Fungsi ini berhubungan dengan apa yang disebut handling of news.

2. Correlation

Meliputi fungsi interpretasi pesan yang menyangkut lingkungan dan tingkah laku tertentu dalam mereaksi kejadian-kejadian. Untuk sebagian, fungsi ini diidentifikasikan sebagai fungsi editorial atau propaganda.

3. Transmission

Menunjuk pada fungsi mengkomunikasikan informasi, nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya dari satu generasi ke generasi yang lain atau dari anggota-anggota suatu masyarakat kepada pendatang baru. Fungsi ini diidentifikasikan sebagai fungsi pendidikan.

4. Entertainment


(24)

memberikan hiburan tanpa mengharapkan efek-efek tertentu.7

I.5.3.Teori S-R (Stimulus-Respons)

Teori Stimulus-Respons ini pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang sederhana, di mana efek merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Dengan demikian, seseorang dapat menjelaskan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media dan reaksi audience. McQuail (1994: 234) menjelaskan elemen-elemen utama dari teori ini adalah (a) pesan (Stimulus); (b) seorang penerima atau receiver (Organism); dan (c) efek (Respons).8

7

Wiryanto, “Teori Komunikasi Massa”, Grasindo, 2003, halaman 10-12

8

Burhan Bungin, “Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat”, Kencana Prenada Media Group , 2008, halaman 277-278

Prinsip stimulus-respons ini merupakan dasar dari teori jarum hipodermik, teori klasik mengenai proses terjadinya efek media massa yang sangat berpengaruh. Seperti yang telah dijelaskan di atas, teori jarum hipodermik memandang bahwa sebuah pemberitaan media massa diibaratkan sebagai obat yang disuntikkan ke dalam pembuluh darah audience, yang kemudian audience akan bereaksi seperti yang diharapkan. Dalam masyarakat massa, di mana prinsip stimulus-respons

mengasumsikan bahwa pesan informasi dipersiapkan oleh media dan didistribusikan secara sistematis dan dalam skala yang luas. Sehingga secara serempak pesan tersebut dapat diterima oleh sejumlah besar individu, bukan ditujukan kepada orang per orang. Kemudian sejumlah besar individu itu akan merespons pesan informasi itu. Penggunaan teknologi telematika yang semakin luas dimaksudkan untuk reproduksi dan distribusi pesan informasi itu sehingga diharapkan dapat memaksimalkan jumlah penerima dan respons oleh audience, sekaligus meningkatkan respons oleh audience.


(25)

I.5.4.Media Buku

Menurut Asep Saeful Mustadi sekurang-kurangnya ada tiga jenis media cetak: surat kabar, majalah dan buku. Ketika radio dan televisi secara berturut-turut muncul sebagai media massa, kelompok pesimistis meramalkan akan suramnya masa depan dunia perbukuan. Termasuk juga media cetak lainnya, buku akan tergeser oleh perkembangan media informasi elektronik.

Kecenderungan masyarakat berubah bersamaan dengan semakin kuatnya efek media elektronik. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Buku tetap

survive, dan bahkan merupakan media yang amat penting dalam kehidupan manusia. Buku menawarkan informasi penting tentang ilmu pengetahuan; buku menyajikan hiburan bagi para pembacanya; buku menjadi teman yang paling dekat bagi para penggemarnya. Berbeda dengan radio dan televisi, buku dapat dinikmati ulang dan berulang-ulang. Karenanya, ia mampu melakukan reformasi peradaban manusia, di manapun di dunia ini.9

I.5.5.Jurnalistik Foto

Jurnalistik foto merupakan salah satu jenis media jurnalistik selain media cetak dan media elektronik. Penggunaan foto dalam dunia jurnalistik berawal dari pemakaian gambar-gambar lukisan dalam media tersebut. Termasuk gambar-gambar karikatur banyak digunakan dalam membantu mendeskripsikan pesan komunikasi para penulisnya. Lukisan-lukisan tangan seperti itu banyak digunakan dalam koran-koran dan buku-buku yang terbit ketika itu. Jadi, kelengkapan gambar dalam buku, sebetulnya sudah berkembang sejak pertama kali gambar-gambar itu ditemukan.10

9

Asep Saefulah Mustadi, “Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktik)”, Logos, 1999, halaman 88-103

10


(26)

Penggunaan foto jurnalistik dalam koran dan majalah mulai berkembang pada tahun 1930-an. Perkembangannya sangat cepat sehingga pada gilirannya teknologi foto dapat mendorong perkembangan media jurnalistik. Foto jurnalistik kemudian tumbuh menjadi suatu konsep dalam sistem komunikasi yang sekarang disebut komunikasi foto (photographiccommmunication).

Komunikasi gambar tidak saja hadir dalam koran dan majalah. Kini buku-buku ilmiah mulai banyak yang menggunakan foto dan gambar. Bahkan tidak sedikit buku yang mengkomunikasikan gagasannya hanya dengan gambar.

I.5.6.Prostitusi

Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).

Di Indonesia pelacur sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa ke masa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman bernama kondom.

Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah


(27)

masyarakat.11

Studi tentang pelacuran di Indonesia secara konsisten menunjukkan bahwa pendapatan para pekerja seks relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja pada jenis jabatan lain yang banyak didominasi oleh tenaga kerja perempuan dengan pendidikan rendah. Kenyataannya, kalangan atas freelancer yang bekerja di bar, diskotik dan karaoke di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung, mempunyai penghasilan sebesar Rp. 3-5 juta per bulan. Perempuan panggilan kelas atas mungkin menerima pendapatan lebih banyak lagi. Jumlah penghasilan ini jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan penghasilan yang diterima oleh pegawai negeri kelas menengah atau pekerja pada jenis jabatan lain yang mensyaratkan pendidikan tinggi. Tingkat penghasilan para pelacur yang dicatat dalam berbagai studi pelacuran di Indonesia sangat tinggi dan sangat menggoda para pekerja di sektor lain untuk memasuki industri tersebut. Di sisi lain terlihat adanya penolakan dari masyarakat serta kecaman dari kalangan agama terhadap pelacuran. Jadi sebagian dari pendapatan ini bisa dianggap “premi” yang tidak menyenangkan dari pekerjaan, termasuk ancaman penularan penyakit termasuk HIV/AIDS.12

I.5.7.Persepsi

Persepsi adalah menafsirkan stimulus yang telah ada di dalam otak. Meskipun alat untuk menerima stimulus itu serupa pada setiap individu, tetapi interpretasinya berbeda. Tak seorang pun di antara kita yang dapat melihat objek, mendengar suara

11

“Pelacuran”, Wikipedia Indonesia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Prostitusi pada tanggal 10 April 2010 pukul 22.00

12

Terence H. Hull, Endang Silistyaningsih dan Gavin W. Jones, “Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya”, Pustaka Sinar Harapan, 1997, halaman 99-100


(28)

atau merasai makanan tanpa memproyeksikan sesuatu, bagian dari pengalaman masa lampau kepadanya. Akumulasi semua pengalaman sensoris sepanjang hidup masuk ke dalam persepsi setiap orang, tak perduli berapa umurnya. Sebuah limau oleh anak mungkin dipersepsi sebagai bola yang berwarna lain. Bagi orang dewasa untuk makan pagi biasanya dihidangkan dalam bentuk juice. Bagi sementara orang muda di negeri Inggris selama Perang Dunia II ketika limau sukar sekali didapat, merupakan buah yang mewah. Jadi, dalam melukiskan gejala persepsi ini kita sampai pada apa yang disampaikan filosof Immanuel Kant: “Kita melihat benda-benda itu tidak sebagaimana adanya benda-benda itu sendiri tetapi sebagaimana adanya diri kita”. Atau dengan kalimat lain: persepsi itu merupakan pengertian kita tentang situasi sekarang dalam artian pengalaman-pengalaman kita yang telah lalu. Karena itu apa yang kita persepsi pada suatu waktu tertentu akan tergantung bukan saja pada stimulusnya sendiri, tetapi juga pada latar belakang beradanya stimulus itu, seperti pengalaman-pengalaman sensoris kita terdahulu, perasaan kita pada waktu itu; prasangka-prasangka, keinginan-keinginan, sikap dan tujuan kita.

I.6. KERANGKA KONSEP

Objek kajian dipahami dan ditata berdasarkan konsep-konsep. Setiap objek dan setiap hubungan antar-objek mempunyai nama dan nama itulah yang disebut konsep. Konsep adalah suatu makna yang berada di alam pikiran atau di dunia kepahaman manusia yang dinyatakan kembali dengan sarana lambang perkataan atau kata-kata. Dengan demikian, konsep bukanlah objek gejalanya itu sendiri, konsep adalah suatu hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang memang merujuk ke gejala nyata.

Berdasarkan konsep-konsep itu peneliti dapat menata hasil pengamatannya ke dalam suatu tata kepahaman yang menggambarkan dunia realitas sebagaimana yang


(29)

dirasa, dialami dan diamati (Suyanto dan Sutinah, 2010: 47).

Adapun kerangka konsep yang dikemukakan dalam penelitian adalah: 1. Variabel bebas atau independent variable (x)

Variabel bebas adalah variabel yang diduga sebagai penyebab atau pendahulu dari variabel yang lain (Rakhmat, 2005: 12). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale

2. Variabe l terikat atau dependent variable (y)

Variabel terikat adalah variabel yang diduga sebagai akibat atau yang dipengaruhi oleh variabel yang mendahuluinya (Rakhmat, 2005: 12). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Ekstensi FISIP USU Angkatan 2008-2009

I.7. MODEL TEORITIS

Berdasarkan kerangka konsep yang ada, maka akan dibentuk menjadi suatu model teoritis sebagai berikut :

Gambar 1 Model Teoritis

I.8. VARIABEL OPERASIONAL

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep di atas, maka dapat dibuat operasional variabel yang berfungsi untuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian, yaitu:

Variabel Bebas (X) prostitusi melalui foto jurnalistik dalam

buku Sex for Sale

Variabel Terikat (Y) persepsi mahasiswa


(30)

Tabel 1 Variabel Operasional

No Variabel Teoritis Variabel Operasional

1. Variabel Bebas (X) prostitusi melalui foto

jurnalistik dalam buku Sex for Sale

Karakteristik Responden

1. Foto prostitusi 2. Keterangan foto 3. Usia objek foto

4. Tempat pengambilan foto 5. Waktu pengambilan foto

1. Jenis Kelamin 2. Usia

3. Agama 2. Variabel Terikat (Y)

persepsi mahasiswa

1. Kognitif

a. Penerimaan b. Pengertian c. Pengetahuan d. Pemahaman e. Keyakinan 2. Afektif

a. Sikap terkejut atau tidak terkejut b. Sikap menerima atau tidak menerima

I.9. DEFINISI VARIABEL OPERASIONAL

Definisi variabel operasional merupakan suatu petunjuk pelaksanaan mengenai cara-cara untuk mengukur variabel. Definisi operasional merupakan suatu informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang akan menggunakan variabel yang sama. Definisi variabel operasional variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel Bebas (prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale) a. Foto prostitusi maksudnya foto-foto tentang prostitusi di kalangan pelajar


(31)

b. Keterangan foto maksudnya pesan berupa teks yang memperkuat foto. c. Usia objek foto maksudnya umur pelaku prostitusi yang menjadi objek

dalam buku Sex for Sale.

d. Tempat pengambilan foto maksudnya adalah lokasi prostitusi tempat foto jurnalistik diambil.

e. Waktu pengambilan foto maksudnya waktu foto-foto diabadikan oleh fotografer dan sekaligus sebagai waktu praktek prostitusi dilakukan.

2. Variabel Terikat (persepsi mahasiswa Ilmu Komunikasi Ekstensi FISIP USU Angkatan 2008-2009)

a. Kognitif adalah komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang terhadap objek sikapnya. Dari pengetahuan ini akan terbentuk suatu keyakinan tentang objek sikap tertentu.

b. Afektif yaitu berhubungan dengan rasa senang/ tidak senang, mendukung/ menolak, sifatnya evaluatif.

I.10. HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis merupakan jawaban tentatif (teori sementara) yang diperoleh dari hail deduksi teori tertentu. Untuk hipotesis yang menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel penelitian, biasanya didasari pula oleh asumsi-asumsi yang diformulasikan ke dalam bentuk statement yang bersifat deklaratif, ada dua jenis hipotesis penelitian yang biasa dikenal dalam metodologi penelitian sosial. Kedua jenis hipotesis itu adalah hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (Ha). Hipotesis nol

yaitu hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara variabel independen (X) dan variabel dependen (Y). Hipotesis alternatif adalah hipotesis yang menyatakan


(32)

adanya hubungan antara variabel independen dan variabel dependen yang diteliti. (Suyanto dan Sutinah, 2010: 45-46).

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H0: Tidak ada hubungan antara persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP

USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 terhadap prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale.

Ha: Terdapat hubungan antara persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP

USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 terhadap prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale.


(33)

BAB II URAIAN TEORITIS

II.1. KOMUNIKASI

Komunikasi (communication) berasal dari kata: common, yang berarti “sama”, dengan maksud sama makna, sehingga secara sederhana, dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan proses menyamakan persepsi, pikiran, dan rasa antara komunikator dengan komunikan. Menurut Carl I. Hovland, komunikasi adalah proses pengoperan perangsang/ lambang-lambang bahasa dari komunikator kepada komunikan untuk mengubah tingkah laku individu-individu komunikan. Sedangkan Bernard Barelson dan Gary A. Stainer mendefinisikan komunikasi sebagai sebuah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar-gambar, figure, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang disebut komunikasi.13

1. Komunikator (who): menunjuk kepada siapa orang yang mengambil inisiatif untuk memulai komunikasi

Melalui definisi yang diuraikan di atas komunikasi dapat dilihat sebagai suatu alur proses memindahkan pesan yang dimiliki sumber pesan kepada orang lain dengan tujuan orang yang dituju menangkap atau menerima pesan yang disampaikan. Pesan yang diterima lalu diproses dalam diri orang yang dituju untuk kemudian diberi tanggapan atau umpak balik. Hovland dalam pengertiannya menyatakan bahwa dalam komunikasi terjadi pengoperan perangsang yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku individu. Dalam hal ini diberikan rangsangan berupa foto-foto yang menampilkan praktek prostitusi dalam buku Sex for Sale untuk menambah, merubah atau mempengaruhi persepsi mahasiswa tentang keadaan prostitusi di kalangan pelajar dan mahasiswa.

Tujuan komunikasi untuk mengubah pendapat, sikap atau perilaku orang lain akan dapat tercapai jika dilakukan dengan komunikatif. Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Harold D. Lasswell: who say what in which channel to whom with what effect? Model komunikasi Lasswell menunjukkan lima unsur komunikasi, yaitu:

2. Pesan (what): berhubungan dengan isi komunikasi atau apa pesan yang disampaikan dalam komunikasi

3. Saluran (which): menunjuk kepada media atau alat komunikasi yang digunakan, seperti berbicara, gerakan badan, kontak mata, sentuhan, radio, televisi, surat, buku dan gambar

4. Komunikan (to whom): siapa yang menjadi audience atau penerima dari komunikasi

5. Efek (what effect): apa efek dari komunikasi yang dilakukan.14

13

Mondry, “Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik”, Ghalia Indonesia, 2008, halaman 1-3

14


(34)

Berdasarkan model Lasswell, komunikasi didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.

Proses komunikasi, menurut Effendy (1986), terdiri dari dua tahap, meliputi secara primer dan secara sekunder. Proses komunikasi secara primer merupakan proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi meliputi bahasa, kial (gesture), gambar, warna, dan sebagainya. Syaratnya, secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.15

Buku Sex for Sale menampilkan potret kehidupan prostitusi dari sisi manusiawi kehidupan, problematika, kehidupan sehari para pekerja seks serta jaringan prostitusi yang mereka geluti. Foto-foto yang ditampilkan mencoba memberi gambaran betapa prostitusi adalah masalah sosial yang harus ditangani. Dan lebih jauh buku Sex for Sale ingin ditampilkan sebagai bahan pijakan untuk menyelamatkan anak bangsa dari bisnis pelacuran.

Proses komunikasi sekunder merupakan proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah menggunakan lambang sebagai media pertama. Komunikator menggunakan media kedua dalam berkomunikasi karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau dalam jumlah yang banyak. Sarana yang sering dikemukakan untuk komunikasi sekunder sebagai media kedua tersebut antara lain, surat, telepon, faksimili, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, internet, dan banyak lagi yang lainnya.

Proses yang dilakukan untuk menunjukkan kegiatan prostitusi pada buku Sex for Sale adalah proses komunikasi sekunder. Media buku digunakan untuk menampilkan foto-foto prostitusi atau pelacuran di berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri. Tiap foto dilengkapi dengan teks berisi penjelasan tentang kegiatan prostitusi itu sendiri.

16

15

Mondry, “Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik”, Ghalia Indonesia, 2008, halaman 3-5

16

Yuyung Abdi, “Sex for Sale: Potret Faktual Prostitusi 27 Kota di Indonesia”, JP Book, 2007, halaman IV-V

Menggunakan media yang tepat adalah hal yang harus diperhatikan agar komunikasi berlangsung efektif.


(35)

II.2. KOMUNIKASI MASSA

Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia (human communcation) yang lahir bersamaan dengan mulai digunakannya alat-alat mekanik, yang mampu melipatgandakan pesan-pesan komunikasi. Komunikasi massa sendiri diadopsi dari istilah Bahasa Inggris mass communication, kependekan dari mass media communication (komunikasi media massa). Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang “mass mediated”. Istilah mass communications atau communications diartikan sebagai salurannya, yaitu mass media (media massa), kependekan dari media of mass communication (Susanto, 1974). Kata massa dalam komunikasi massa dapat diartikan lebih dari sekedar “orang banyak”, tetapi “meliputi semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau orang-orang pada ujung lain dari saluran” (Berlo, 1960).17

1. Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditunjukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi, tetapi ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan.

Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner, yakni: komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Ahli komunikasi Joseph A. DeVito merumuskan definisi komunikasi massa yang pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa serta tentang media yang digunakannya.Ia mengemukakan definisinya dalam dua item, yakni:

2. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan/atau visual.18

Rakhmat merangkum definisi-definisi komunikasi massa di atas menjadi: komunikasi assa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.

Menggunakan media massa untuk memberi gambaran tentang prostitusi sebagai suatu masalah sosial kepada khalayak yang heterogen menjadikan buku Sex for Sale menjadi bagian dari komunikasi massa. Sex for Sale merupakan bagian dari media cetak berupa buku.

Melalui definisi-definisi komunikasi massa yang telah diuraikan di atas, kita dapat mengetahui karakteristik komunikasi massa, yaitu:

1. Komunikator Terlembaga

Komunikasi massa menggunakan media massa baik media cetak maupun media elektronik. Pendapat Wright adalah bahwa komunikasi massa itu melibatkan lembaga, dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks.

17

Wiryanto, “Teori Komunikasi Massa”, Grasindo, 2003, 1-2

18

Elvinaro Ardianto, Likuati Komala dan Siti Karlinah, “Komunikasi Massa: Suatu Pengantar”, Simbiosa Rekatama Media, 2007, halaman 1-6


(36)

Terbitnya buku Sex for Sale merupakan proses yang melibatkan banyak pihak, mulai dari fotografer, editor sampai kepada tahap akhir pendistribusiannya. 2. Pesan Bersifat Umum

Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Pesan komunikasi massa dapat berupa fakta, peristiwa atau opini. Pesan dalam buku Sex for Sale adalah fakta prostitusi yang merupakan masalah sosial di Indonesia. Fakta tentang prostitusi ini dianggap penting dan diperuntukkan kepada seluruh lapisan masyarakat.

3. Komunikannya Anonim dan Heterogen

Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenai komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. Di samping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, yang dapat dikelompokkan berdasarkan faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi.

4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan

Jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapai dalam komunikasi massa relatif banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih dari itu, komunikannya yang banyak tersebut secara serempak memperoleh pesan yang sama pula. Effendy (198) mengartikan keserempakan media massa itu sebagai keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah.

5. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan

Dalam konteks komunikasi massa, komunikator tidak harus selalu kenal dengan komunikannya, dan sebaliknya. Yang penting, bagaimana seorang komunikator menyusun pesan secara sistematis, baik, sesuai dengan jenis medianya, agar komunikannya bisa memahami isi pesan tersebut. Semua itu menunjukkan pentingnya unsur isi dalam komunikasi massa.

6. Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah

Karena komunikasinya melalui media massa, maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun di antara keduanya tidak dapat melakukan dialog.

7. Stimulasi Alat Indera Terbatas

Dalam komunikasi massa, stimulasi alat indera bergantung pada jenis media massa. Pada surat kabar dan majalah, pembacanya hanya melihat. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, kita menggunakan indera penglihatan dan pendengaran. Sebagai media cetak, komunikan buku Sex for Sale menggunakan alat indera penglihatan.

8. Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan Tidak Langsung (Indirect)

Dalam proses komunikasi massa, umpan balik bersifat tidak langsung (indirect) dan tertunda (delayed). Artinya, komunikator komunikasi massa tidak dapat dengan segera mengetahui bagaimana reaksi khalayak terhadap pesan yang disampaikannya.19

19

Elvinaro Ardianto, Likuati Komala dan Siti Karlinah, “Komunikasi Massa: Suatu Pengantar”, Simbiosa Rekatama Media, 2007, halaman 6-17


(37)

Pesan komunikasi massa menimbulkan efek kepada khalayak, yaitu:

1. Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informatif bagi dirinya. Melalui media massa, kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita kunjungi secara langsung. Tujuan komunikator hanya berkisar pada upaya untuk memberitahukan saja, tidak lebih dari itu. Melalui buku Sex for Sale ingin disampaikan tentang fakta prostitusi di Indonesia, sehingga masyarakat menjadi tahu bagaimana sebenarnya prostitusi dan pelaku di dalamnya.

2. Efek afektif kadarnya lebih tinggi daripada efek kognitif. Tujuan dari komunikasi massa bukan sekedar memberitahu khayalak tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, khayalak diharapkan dapat turut merasakan perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah dan sebagainya. Setelah masyarakat mengetahui fakta prostitusi di Indonesia, maka akan timbul perasaan-perasaan misalnya terkejut, sedih, dan lain sebagainya.

3. Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan.

Penelitian ini tidak meneliti sampai kepada efek behavioral karena keterbatasan waktu.

II.3. TEORI S-R (STIMULUS-RESPONS)

Model stimulus-respons (S-R) adalah model komunikai paling dasar. Model ini dipengaruhi oleh disiplin psikologi, khususnya yang beraliran behavioristik. Model tersebut menggambarkan hubungan stimulus respons.

Gambar 2 Stimulus - Respons

Model ini menunjukkan komunikasi sebagai suatu proses ”aksi - reaksi” yang sangat sederhana. Bila seorang lelaki berkedip kepada wanita, dan wanita itu kemudian tersipu malu, atau bila saya tersenyum dan kemudian anda membalas senyuman saya, itulah pola S-R. Jadi model S-R mengasumsikan bahwa kata-kata verbal (lisan-tulisan), isyarat-isyarat nonverbal, gambar-gambar, dan tindakan-tindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respons dengan cara tertentu. Oleh karena itu anda dapat menganggap proses ini sebagai pertukaran atau pemindahan informasi atau gagasan. Proses ini dapat bersifat timbal balik dan mempunyai banyak efek. Setiap efek dapat mengubah tindakan komunikasi (communication act) berikutnya.

Sebagai contoh, ketika seseorang yang Anda kagumi atau menarik perhatian Anda tersenyum kepada Anda ketika berpapasan di jalan, boleh jadi Anda akan membalas senyumannya, karena Anda merasa senang. Pada gilirannya, merasa mendapat sambutan, orang tadi bertanya kepada Anda, “Mau ke mana?” Lalu Anda menjawab, Mau kuliah.” Ia pun melambaikan tangan ketika berpisah, dan Anda membalas dengan lambaian tangan pula. Di kampus, masih mengenang peristiwa sebelumnya yang menyenangkan, Anda juga tersenyum-senyum kepada orang lain dan mendapatkan tanggapan dari teman Anda, “Kok kamu tampak bahagia sekali sih.” Begitulah seterusnya.

Pola S-R ini dapat pula berlangsung negatif, misalnya orang pertama menatap orang kedua dengan tajam, dan orang kedua balik menatap, menunduk malu, memalingkan wajah, atau membentak, Apa lihat-lihat? Nantang, ya?” Atau, orang


(38)

pertama melotot dan orang kedua ketakutan.

Model S-R mengabaikan komunikasi sebagai suatu proses, khususnya yang berkenaan dengan faktor manusia. Secara implisit ada asumsi dalam model S-R ini bahwa perilaku (respons) manusia dapat diramalkan. Ringkasnya, komunikasi dianggap sebagai statis, yang menganggap manusia selalu berperilaku karena kekuatan dari luar (stimulus), bukan berdasarkan kehendak, keinginan, atau kemauan bebasnya.20

II.4. MEDIA BUKU

Keunggulan Teori S-R ini dibandingkan dengan teori yang lain adalah setiap komunikator mampu menghasilkan stimuli dalam bentuk informasi, yakni dalam bentuk tanda dan simbol. Sekalipun bagian terbesar dalam lingkungan informasi, medan stimulus, tersusun secara acak dan tanpa struktur, stimuli yang dihasilkan oleh komunikator telah terstruktur dan terorganisasi dan lebih mudah untuk diidentifikasi dan ditafsirkan sebagai kumpulan stimulus informatif yang dikeluarkan oleh si komunikator (Fisher, 1993: 203).

”Stimulus dalam teori S-R ini adalah sumber (source), pesan (message), saluran yang digunakan dalam penyampaian pesan (channel), dan sasaran atau target (receiver)” (Azwar, 2007: 71). ”Efek-efek dari penyampaian pesan yang terjadi pada komunikan antara lain mengubah opini, sikap, perilaku, kognisi, afeksi, dan konasi” (Effendy, 2003: 255).

Menurut Asep Saeful Mustadi sekurang-kurangnya ada tiga jenis media cetak: surat kabar, majalah dan buku. Ketika radio dan televisi secara berturut-turut muncul sebagai media massa, kelompok pesimistis meramalkan akan suramnya masa depan dunia perbukuan. Termasuk juga media cetak lainnya, buku akan tergeser oleh perkembangan media informasi elektronik. Kecenderungan masyarakat berubah bersamaan dengan semakin kuatnya efek media elektronik. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Buku tetap survive, dan bahkan merupakan media yang amat penting dalam kehidupan manusia. Buku menawarkan informasi penting tentang ilmu pengetahuan; buku menyajikan hiburan bagi para pembacanya; buku menjadi teman yang paling dekat bagi para penggemarnya. Berbeda dengan radio dan televisi, buku dapat dinikmati ulang dan berulang-ulang. Karenanya, ia mampu melakukan reformasi peradaban manusia, di manapun di dunia ini.

Di Amerika, perusahaan penerbitan buku mulai berkembang berbarengan dengan penemuan dan pertumbuhan industri mesin cetak. Sebuah perusahaan yang menggunakan mesin-mesin tersebut mulai memformat buku dan merancang ukurannya sesuai dengan kepentingan individu dan pemerintahan. Sejak saat itu penerbitan buku mulai berkembang, sehingga menjadi bahan bacaan yang dinikmati masyarakat. Sedangkan efek media massa buku pertama kali teramati dan muncul ke permukaan sejak terbitnya “dime novel” (novel picisan) karya E. F. Beadle yang kemudian menjadi sangat populer pada akhir abad ke-19. Novel-novel Beadle rata-rata pendek-pendek, dengan harga yang cukup murah serta mudah didapat, dan berisikan tentang kisah-kisah kehidupan Barat.

Jurnalistik buku kini telah menempati posisi penting sebagai sumber segala

20

Deddy Mulyana, “Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar)”, PT. Remaja Rosdakarya, 2007, halaman 143-145


(39)

informasi: dari yang bersifat hiburan, keterampilan praktis, hingga yang lebih bersifat ilmiah. Dari sisi bentuk dan penampilannya, buku menyajikan yang terbaik buat pembaca, seperti personal book, fotonovel dan lain sebagainya. Bahkan untuk meningkatkan daya tarik pembaca, kini buku dilengkapi dengan ilustrasi gambar dan foto, sehingga sepintas tampak seperti majalah berukuran tebal.21

II.5. JURNALISTIK FOTO

Jurnalistik foto merupakan salah satu jenis media jurnalistik selain media cetak dan media elektronik. Penggunaan foto dalam dunia jurnalistik berawal dari pemakaian gambar-gambar lukisan dalam media tersebut. Termasuk gambar-gambar karikatur banyak digunakan dalam membantu mendeskripsikan pesan komunikasi para penulisnya. Lukisan-lukisan tangan seperti itu banyak digunakan dalam koran-koran dan buku-buku yang terbit ketika itu. Jadi, kelengkapan gambar dalam buku, sebetulnya sudah berkembang sejak pertama kali gambar-gambar itu ditemukan.22

Foto jurnalistik menurut Guru Besar Universitas Missouri, AS, Cliff Edom adalah paduan kata words dan pictures. Sementara menurut editor foto majalah Life

dari 1937-1950, Wilson Hicks, kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan suatu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya.

Penggunaan foto jurnalistik dalam koran dan majalah mulai berkembang pada tahun 1930-an. Perkembangannya sangat cepat sehingga pada gilirannya teknologi foto dapat mendorong perkembangan media jurnalistik. Foto jurnalistik kemudian tumbuh menjadi suatu konsep dalam sistem komunikasi yang sekarang disebut komunikasi foto (photographiccommmunication). Foto ataupun gambar memang bisa digunakan sebagai salah satu bentuk media dalam berkomunikasi antarmanusia. Bahkan komunikasi foto kini telah menempati kunci model dalam proses komunikasi massa.

Komunikasi gambar tidak saja hadir dalam koran dan majalah. Kini buku-buku ilmiah mulai banyak yang menggunakan foto dan gambar. Bahkan tidak sedikit buku yang mengkomunikasikan gagasannya hanya dengan gambar.

23

1. Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto (communication photography). Komunikasi yang dilakukan akan mengekspresikan pandangan wartawan foto terhadap suatu subjek, tetapi pesan yang disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi.

Ada delapan karakter foto jurnalistik yang menurut Frank P. Hoy, dari Sekolah Jurnalistik dan Telekomunikasi Walter Cronkite, Universitas Arizona, pada bukunya yang berjudul Photojournalism The Visual Approach adalah sebagai berikut:

2. Medium foto jurnalistik adalah media cetak koran atau majalah, dan media kabel atau satelit juga internet seperti kantor berita (wire services).

3. Kegiatan foto jurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita.

21

Asep Saefulah Mustadi, “Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktik)”, Logos, 1999, halaman 88-103

22

Asep Saefulah Mustadi, “Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktik)”, Logos, 1999, halaman 88-103

23

Audy Mirza Alwi, “Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa”, PT. Bumi Aksara, 2004, halaman 4


(40)

4. Foto jurnalistik adalah paduan dari foto dan teks foto.

5. Foto jurnalistik mengacu pada manusia, Manusia adalah subjek, sekaligus pembaca foto jurnalistik.

6. Foto jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass audiences). Ini berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan harus segera diterima orang yang beraneka ragam.

7. Foto jurnalistik juga merupakan hasil kerja editor foto.

8. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amandemen kebebasan berbicara dan kebebasan pers (freedom of speech and freedom of press).24

Selain foto, buku Sex for Sale juga berisi teks yang memperkuat isi foto yang ditampilkan. Sesuai dengan definisinya, teks foto adalah kata-kata yang menjelaskan foto. Teks foto diperlukan untuk melengkapi suatu foto. Kalau tanpa teks foto maka sebuah foto hanyalah gambar yang bisa dilihat tanpa bisa diketahui apa informasi di baliknya.

Sesuai dengan kategori yang dibuat Badan Foto Jurnalistik Dunia (World Press Photo Foundation), isi buku Sex for Sale yang berupa foto-foto dapat dikategorikan ke dalam foto social and environment yaitu foto-foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan hidupnya. Contoh, foto penduduk di sekitar Kali Manggarai yang sedang mencuci piring, foto asap buangan kendaraan di jalan, dan sebagainya.

II.6. PROSTITUSI

II.6.1. Prostitusi dan Prostitusi Anak

Prostitusi atau pelacuran adalah penjualan jasa seksual untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Dalam pengertian yang lebih luas, seseorang yang menjual jasanya untuk hal yang dianggap tak berharga juga disebut melacurkan

24

Audy Mirza Alwi, “Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa”, PT. Bumi Aksara, 2004, halaman 4-5


(41)

dirinya sendiri, misalnya seorang musisi yang bertalenta tinggi namun lebih banyak memainkan lagu-lagu komersil. Di Indonesia pelacur sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa perilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk, hina dan menjadi musuh masyarakat. Mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban. Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum.

Pekerjaan melacur sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa ke masa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman bernama kondom. Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Istilah pelacur sering diperhalus dengan pekerja seks komersial, wanita tuna susila, istilah lain yang juga mengacu kepada layanan seks komersial.25

Prostitusi atau pelacuran anak adalah tindakan menawarkan pelayanan seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi uang atau bentuk imbalan lain dengan seseorang atau kepada siapapun. Para aktivis hak-hak anak menghindari penggunaaan istilah pelacur anak (child prostitutes) karena cenderung berkonotasi negatif. Istilah yang digunakan adalah anak-anak yang dilacurkan (prostituted children) yang menyiratkan kesadaran bahwa kehadiran anak-anak di dalam pelacuran adalah sebagai korban mengingat anak belum dianggap mampu untuk mengambil keputusan memilih pekerja seks sebagai profesi. Di Indonesia berdasarkan analisis situasi yang dilakukan

25

“Pelacuran”, Wikipedia Indonesia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Prostitusi pada tanggal 10 April 2010 pukul 22.00


(42)

oleh seorang aktivis hak-hak anak, Mohammad Farid, pada tahun 1998, diperkirakan ada 40 ribu hingga 70 ribu anak-anak yang dilacurkan atau 30% dari jumlah PSK di Indonesia.

Di Semarang, pada pertengahan tahun 90-an muncul istilah ciblek untuk menyebut anak-anak yang dilacurkan. Istilah ini menggantikan istilah warrior (yang diambil dari sebuah judul film mengenai gang anak jalanan). Ciblek sendiri merupakan nama burung kecil yang lincah dan sering berkicau dan pada masa itu sangat digemari di Semarang. Penggunaan istilah ciblek, awalnya merupakan kependekan dari cilik-cilik betah melek, namun kemudian berubah menjadi cilik-cilik isa digemblek. Sedangkan untuk perempuan dewasa dikenal dengan sebutan prenjak. Ini juga nama jenis burung, namun diplesetkan dengan kepanjangan perempuan nunggu diajak atau ada pula yang mengatakan perempuan ngajak kenthu (bersenggama). Di Yogyakarta, istilah untuk anak-anak yang dilacurkan dikenal dengan sebutan rendan yang kepanjangannya adalah kere dandan.26

II.6.2. Sejarah dan Perkembangan Pelacuran di Indonesia

Asal usul pelacuran modern di Indonesia dapat ditelusuri kembali hingga ke masa kerajaan-kerajaan Jawa di mana perdagangan perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Raja mempunyai kekuasaan penuh: “Seluruh yang ada di atas tanah Jawa, bumi dan seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, daun dan segala sesuatunya adalah milik raja”. Kekuasaan raja yang tak terbatas juga tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Makin banyak jumlah selir yang dipelihara, bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas hanya di Jawa saja, tapi kenyataannya juga terjadi di seluruh Asia, di mana perbudakan, sistem perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal. Sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan komersialisasi industri seks yang kita kenal dalam masyarakat modern saat ini; tapi apa yang dilakukan pada masa itu telah membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada sekarang ini. Kondisi tersebut dapat

26

“Pelacuran Anak”, Wikipedia Indonesia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pelacuran_anak pada tanggal 10 April 2010 pukul 21.30


(43)

diidentifikasikan melalui nilai-nilai perempuan sebagai barang dagangan yang diperjual-belikan untuk memenuhi tuntutan nafsu lelaki dan untuk menunjukkan adanya kekuasaan dan kemakmuran.27

Pada akhir tahun 1940-an, penduduk Indonesia yang baru merdeka Bentuk industri seks yang lebih terorganisir berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda. Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pemuasan seks masyarakat Eropa. Umumnya aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara ini.

Tahun 1852 pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengan serangkaian aturan untuk menghindari tindak kejahatan yang timbul akibat dari aktivitas prostitusi ini. Kerangka hukum tersebut masih berlaku hingga sekarang. Dalam peraturan tersebut wanita publik (sekarang ini WTS atau Wanita Tuna Susila) diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi (pasal 2). Semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11).

Berdasarkan laporan pada umumnya, meskipun telah banyak dikeluarkan peraturan, aktivitas pelacuran tetap saja meningkat secara drastis pada abad ke-19, terutama setelah diadakannya pembenahan Hukum Agraria pada tahun 1870, di mana pada saat itu perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam modal swasta (Ingleson, 1986). Perluasan areal perkebunan terutama di Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian perkebunan-perkebunan di Sumatera dan pembangunn jalan raya dan jalur kereta api, telah merangsang terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagian besar dari pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhadap aktivitas prostitusi.

Komersialisasi seks di Indonesia terus berkembang selama pendudukan Jepang antara tahun 1941-1945. Wanita yang telah bekerja sebagai perempuan penghibur dikumpulkan dan setelah menjalani pemeriksaan kesehatan, sebagian mereka di tempatkan di rumah-rumah bordil untuk melayani para prajurit Jepang; sementara lainnya tetap beroperasi di tempat biasanya. Pada masa pendudukan Jepang, banyak perempuan dewasa dan anak-anak sekolah yang tertipu atau dipaksa memasuki dunia pelacuran. Bangsa Jepang menawarkan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik di Tokyo atau kota-kota besar di Indonesia lainnya kepada sejumlah pelajar perempuan. Banyak calon yang berparas menarik dan cerdas yang berasal dari keluarga kalangan atas untuk mencoba tawaran pihak Jepang ini. Mereka dibawa dari kota atau dari desa tempat asalnya ke daerah-daerah sekitar pelabuhan Semarang, ke Surabaya, ke Jakarta dan mereka diinstruksikan untuk bersiap-siap berangkat ke luar negeri. Kenyataannya gadis-gadis ini tidak pernah beranjak dari tempat penampungan, bahkan mereka dipaksa melayani para serdadu dan perwira Jepang. Mereka menjadi budak-budak seks, dilarang meninggalkan rumah bordil dan hanya sedikit peluang untuk bisa melarikan diri. Banyak pula dari antara mereka yang dipaksa orang tuanya sendiri untuk bekerja pada orang Jepang, dengan harapan akan mendapat imbalan jasa atau keuntungan lainnya.

27

Terence H. Hull, Endang Silistyaningsih dan Gavin W. Jones, “Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya”, Pustaka Sinar Harapan, 1997, halaman 1-3


(44)

terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sebagian besar tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 1950-an situasi perekonomian Indonesia ditandai dengan banyaknya pengangguran dan kemiskinan. Umumnya, rumah tangga di pedesaan mengandalkan kehidupannya dari berbagai sumber pendapatan. Karena keterbatasan kesempatan kerja dan persaingan yang ketat di daerah pedesaan, banyak perempuan muda dari keluarga miskin bermigrasi ke kota-kota terdekat. Pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, besarnya arus perpindahan penduduk dari desa ke kota meningkatkan jumlah tenaga kerja wanita muda yang mencari pekerjaan sebagai pekerja upahan di sektor formal. Pada waktu bersamaan banyak kaum migrasi laki-laki termasuk para pengembara yang menghabiskan waktu di kota sebelum mereka kembali ke tempat semula di desa. Peningkatan jumlah penduduk wanita yang bermigrasi ke kota-kota besar menyebabkan meningkatnya persaingan di antara mereka, dan juga persaingan dengan tenaga kerja laki-laki. Kebanyakan para wanita yang melakukan migrasi ini masih muda, tidak berpengalaman, tingkat pendidikan rendah dan keterampilan terbatas. Oleh sebab itu, kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan sangat terbatas dan umumnya mereka terkonsentrasi pada status pekerjaan rendah dan dengan penghasilan yang rendah pula. Jenis pekerjaan yang umumnya dikerjakan oleh kelompok ini adalah pekerjaan di sektor informal, sebagai pedagang kecil, pekerja keluarga tidak dibayar, atau sebagai pembantu rumah tangga, dan sering kali pula menjadi wanita tuna susila.

Faktor lain yang mendorong para wanita muda masuk ke dunia prostitusi pada masa itu adalah karena tingginya angka tingkat perceraian terutama di kalangan keluarga di Jawa. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya angka wanita susila sebagai akibat dari gagalnya pernikahan, membuktikan kebenaran argumen yang mengatakan bahwa perceraian dini menjadi faktor pemicu prostitusi. Namun demikian saat ini tingkat perceraian di Indonesia relatif turun, menjadi lebih rendah dibandingkan dengan tingkat perceraian di negara-negara barat. Oleh sebab itu, tidak ada lagi kaitan antara tingginya tingkat perceraian dengan menigkatnya jumlah pelacur.

II.6.3. Prostitusi Remaja dan Kesejahteraan Ekonomi

Industri seks di Indonesi menjadi semakin rumit bersamaan dengan meningkatnya mobilitas penduduk, gaya hidup, pendapatan masyarakat dan tantangan yang dihadapi. pandangan tradisional dari peranan wanita sebagai ibu rumah tangga yang baik (menunjang karir suami), mengurus anak dan menjadi warga negara yang baik, menghadapi banyak tantangan sebagai akibat dari perilaku kaum muda wanita terpelajar di kota-kota besar. Salah satu fenomena yang dapat diungkapkan di sini adalah bahwa sejak tahun 1980-an terkenal apa yang disebut dengan ‘perek’ (perempuan eksperimental) dan menjadi perhatian banyak media massa. Perilaku dari para wanita muda ini, di mana kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga kalangan ekonomi menengah dan masih bersekolah, menunjukkan adanya pertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Keadaan tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat materialistik dan meningkatnya keinginan untuk memenuhi cita-cita seperti apa yang diungkapan di banyak media dan iklan. Mereka menekankan kepentingan diri sendiri, secara bebas melakukan hubungan seks dengan siapa saja yang mereka inginkan, dengan atau tanpa bayaran, dan percakapan para birokrat militer yang mengejek organisasi kelompok perek (Murray, 1993: 5). Sementara keberadaan dan istilah ‘perek’ tersebut sangat mengejutkan para generasi tua, para pekerja di industri seks


(45)

terutama bagi mereka yang mencari pelanggan di warung-warung kopi dan bar-bar, dengan cepat memanfaatkan istilah baru tersebut. Untuk dapat disebut sebagai seorang ‘perek’, maka pekerja wanita di industri seks harus muda, berjiwa petualang dan mempunyai sikap melawan, di mana kondisi tersebut tidak termasuk dalam istilah prostitusi.

Meskipun ada usaha-usaha untuk membasmi pelacuran yang melibatkan wanita di bawah umur, perempuan di bawah usia 17 tahun seringkali ditemukan di tempat-tempat pelacuran. Hal yang paling mengusik adalah banyaknya gadis muda belia yang dijual orang tuanya ke tempat pelacuran, atau terjun ke industri seks karena terpaksa atau terkecoh, tanpa mengetahui dengan pasti komitmen pada dirinya atau pada keluarganya. Namun, dalam kebanyakan kasus, masuknya para pekerja ke industri seks ini dilakukan secara sukarela, terutama di dorong oleh hasrat untuk memperoleh penghasilan yang relatif lebih besar dalam jangka waktu yang singkat (instant money). Pendapatan yang tinggi dan diterima dengan cepat di banyak bidang dalam industri seks akan terus menjadi daya tarik untuk menggeluti dunia pelacuran. Dorongan kemiskinan mungkin dapat berkurang bersamaan dengan keberhasilan proses pembangunan dan perjalanan waktu, tetapi daya tarik kemakmuran yang diperoleh dengan mudah seiring dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi tetap merupakan faktor penggerak utama untuk masuk dan bekerja pada industri seks. Pada sisi permintaan, meningkatnya kemakmuran telah memperbesar peluang bagi laki-laki untuk membeli pelayanan seks, dan akan membuat mereka lebih selektif dalam memilih jenis dan tempat layanan seks.28

II.7. PERSEPSI

Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi. Hal ini jelas tampak pada definisi John R. Wenburg dan William W. Wilmot: “Persepsi dapat didefinisikan sebagai cara organisme memberi makna.”; Rudolph F. Verderber: “Persepsi adalah proses menafsirkan informasi indrawi,” atau J. Cohen: “Persepsi didefinisikan sebagi interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representatif objek eksternal; persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di luar sana.”

Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika persepsi kita tidak akurat, tidak mungkin kita berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antarindividu, semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas.

Jalaludin Rakhmat pada buku Psikologi Komunikasi menyebutkan persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli indrawi (sensory stimuli).29

28

Terence H. Hull, Endang Silistyaningsih dan Gavin W. Jones, “Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya”, Pustaka Sinar Harapan, 1997, halaman 109-113

29


(1)

69

BAB V PENUTUP

V.1. KESIMPULAN

Berdasarkan bab-bab yang telah diuraikan peneliti sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Mayoritas mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 yang menjadi objek penelitian ini dapat melihat dengan jelas bentuk dunia prostitusi di kalangan pelajar dan mahasiswa melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya responden yang menjawab bahwa foto jurnalistik dan keterangan fotonya jelas dan cukup mampu menggambarkan prostitusi di kalangan pelajar dan mahasiswa. Melalui foto dan keterangan foto, mahasiswa bisa mendapatkan informasi tentang dunia prostitusi di kalangan pelajar dan mahasiswa. Informasi yang didapat mayoritas dapat dimengerti oleh mahasiswa. Adanya pengertian ini membuat pengetahuan mahasiswa menjadi bertambah dan mahasiswa pun mempunyai pemahaman yang baik tentang dunia prostitusi di kalangan pelajar dan mahasiswa. Selanjutnya, keyakinan mahasiswa juga bertambah akan kenyataan adanya praktek prostitusi di kalangan pelajar dan mahasiswa, yang ditunjukkan dengan mayoritas mahasiswa yang menyatakan bahwa keyakinannya bertambah dan sangat bertambah. Dan dapat disimpulkan juga bahwa foto dan keterangan foto yang ditunjukkan kepada mahasiswa membuat mahasiswa memutuskan tidak menerima praktek prostitusi di kalangan pelajar dan mahasiswa.


(2)

2. Setelah dilakukan analisis, maka ditemukan hasil bahwa terdapat hubungan yang kuat antara persepsi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Program Ekstensi Angkatan 2008-2009 terhadap prostitusi melalui foto jurnalistik dalam buku Sex for Sale. Dan kekuatan foto jurnalistik pada buku Sex for Sale dalam mempengaruhi persepsi mahasiswa adalah sebesar 31%. 3. Dalam catatan yang dituliskan oleh penulis buku Sex for Sale yaitu Yuyung

Abdi, disebutkan: “Tentu saja buku ini tak bertujuan untuk eksploitasi seksual apalagi untuk panduan memasuki dunia prostitusi di berbagai daerah. Yang tersaji dalam buku adalah kenyataan sebenarnya tentang dunia pelacuran dalam bahasa visual. Foto-foto yang ditampilkan mencoba memberi gambaran betapa prostitusi adalah masalah sosial yang harus ditangani. Lebih jauh buku ini ingin ditampilkan sebagai bahan pijakan untuk menyelamatkan anak bangsa dari bisnis pelacuran.” Setelah dilakukan penelitian, ternyata pesan yang disampaikan oleh Yuyung Abdi diterima oleh mahasiswa. Hal ini terlihat ketika akhirnya mayoritas mahasiswa menetapkan tidak menerima praktek prostitusi di kalangan pelajar dan mahasiswa.

V.2. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang telah diperoleh peneliti selama melakukan penelitian, maka peneliti memiliki beberapa saran dan kritik, yaitu: 1. Buku Sex for Sale menyajikan gambaran prostitusi di Indonesia dan dua negara

di luar negeri. Buku ini dapat menunjukkan bagaimana bentuk prostitusi sebenarnya di Indonesia. Sesuai dengan salah satu tujuan dari penulis buku, Yuyung Abdi yaitu agar buku Sex for Sale dapat dijadikan sebagai bahan pijakan untuk menyelamatkan anak bangsa dari bisnis pelacuran, ada baiknya


(3)

71

dilakukan promosi atau sosialisasi yang lebih banyak lagi tentang keberadaan buku Sex for Sale kepada mahasiswa dan masyarakat, agar lebih banyak lagi mahasiswa dan masyarakat yang mengetahui gambaran detail tentang praktek prostitusi di Indonesia.

2. Untuk menambah ketertarikan masyarakat, ada baiknya jika foto-foto jurnalistik yang disajikan, dicetak pada kertas yang kualitasnya lebih baik.

3. Sebaiknya foto-foto untuk masing-masing kota yang ditampilkan memiliki porsi atau jumlah yang sama dan bentuk dunia prostitusi di masing-masing kota tersebut lebih digali lagi. Sehingga masing-masing masyarakat di kota-kota yang ditampilkan dapat mengetahui dengan detail bentuk dunia prostitusi di kotanya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdi, Yuyung. 2007. Sex for Sale: Potret Faktual Prostitusi 27 Kota di Indonesia. Surabaya: JP Books.

Alwi, Audy Mirza. 2004. Fotojurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala. 2007. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Assegaff, Dja’far H. 1991. Jurnalistik Masa Kini (Pengantar ke Praktek Kewartawanan). Jakarta: Ghalia Indonesia.

Bungin, Burhan. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif (Komunikasi, Ekonomi dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

______________. 2008. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Effendy, Onong Uchjana. 2007. Ilmu, Teori dn Filsafat Komunikasi. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti.

Hartono. 2008. SPSS 16.0 Analisis Data Statistika dan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hull, Terence H., Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 2007. Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


(5)

73

Mahmud, M. Dimyati. 1990. Psikologi: Suatu Pengantar. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Mondry. 2008. Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik. Bogor: Ghalia Indonesia. Muhammad, Arni. 2007. Komunikasi Organisasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Muhtadi, Asep Saeful. 1999. Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktik). Jakarta: Logos.

Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Metode Penelitian Komunikasi (Dilengkapi Contoh Analisis Statistik). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

_________________. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Suyanto, Bagong, Sutinah. 2010. Metode Penelitian Sosial (Berbagai Alternatif Pendekatan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Wiryanto. 2003. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Grasindo.

Sumber-Sumber lain:

Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial, “Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial - PMKS Tahun 2008”, Kementerian Sosial RI, diakses dari http://www.depsos.go.id/modules.php?name=Database&opsi=pmks2008, pada tanggal 5 April 2010 pukul 17.30

Metro Hari Ini - Hukum & Ham, “Laporan Eksploitasi Seksual Anak dan Ayla Meningkat”, MetroTV, diakses dari

http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2009/01/21/74238 pada tanggal 5 April 2010 pukul 17.52


(6)

AFP, “Pelacur Remaja Menggurita”, Suara Pembaharuan Daily, diakses dari http://www.suarapembaruan.com/News/2009/01/18/Utama/ut01.htm pada tanggal 5 April 2010 pukul 18.00

UNICEF Indonesia, “Lembar Fakta Tentang Eksploitasi Seks Komersil dan Perdagangan Anak”, UNICEF, diakses dari

www.unicef.org/indonesia/id/Factsheet_CSEC_trafficking_Indonesia_Bahasa_I ndonesia.pdf pada tanggal 6 April 2010 pukul 18.34

Departemen Ilmu Komunikasi, “Sejarah Departemen Ilmu Komunikasi”, Universitas Sumatera Utara, diakses dari http://ilmukomunikasi.usu.ac.id/profil/2-sejarah-departemen-ilmu-komunikasi.html pada tanggal 9 April 2010 pukul 11.23

Departemen Ilmu Komunikasi, “Visi dan Misi”, Universitas Sumatera Utara, diakses dari http://ilmukomunikasi.usu.ac.id/profil/3-visi-dan-misi.html pada tanggal 9 April 2010 pukul 11.25

Departemen Ilmu Komunikasi, “Lokasi Kampus”, Universitas Sumatera Utara, diakses dari “http://www.usu.ac.id/lokasi-kampus.html#kampus_padang_bulan” pada tanggal 9 April 2010 pukul 11.35

Wikipedia, “Pelacuran”, Wikipedia Indonesia, diakses dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Prostitusi pada tanggal 10 April 2010 pukul 22.00 Wikipedia, “Pelacuran Anak”, Wikipedia Indonesia, diakses dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Pelacuran_anak pada tanggal 10 April 2010 pukul 21.30


Dokumen yang terkait

Persepsi Mahasiswa FISIP USU Terhadap Video Parodi Vicky Prasetyo dan Zaskia Ghotic Karya Eka Gustiwana di Youtube

4 62 66

Pola Penggunaan Twitter di Kalangan Mahasiswa FISIP USU” (Studi Deskriptif Kuantitatif Untuk Mengetahui Pola Penggunaan Twitter di Kalangan Mahasiswa FISIP USU).

1 41 110

Persepsi Mahasiswa Terhadap Standar Jurnalistik Citizen Journalism (Studi Deskriptif Tentang Persepsi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Angkatan 2008, 2009, dan 2010 Terhadap Standar Jurnalistik Artikel Tentang Tewasnya Osama Bin Laden di WWW.K

6 41 112

Talk Show Dan Sikap Mahasiswa (Studi Korelasional Tentang Pengaruh Tayangan “Apa Kabar Indonesia Malam” di tvOne terhadap Sikap Mahasiswa FISIP USU)

0 71 232

Gambaran Perilaku Mahasiswi FK USU Angkatan 2005 Terhadap Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI)

2 31 79

Pemberitaan Terorisme dan Sikap Mahasiswa (Studi Korelasional tentang hubungan antara Pemberitaan Terorisme di tvOne dan Sikap Mahasiswa FISIP USU)

0 25 181

Pemberitaan ISIS dan Sikap Mahasiswa (Studi Korelasional Tentang Hubungan Antara Pemberitaan ISIS di TV One dan Sikap Mahasiswa FISIP USU)

0 25 117

Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU

0 65 257

Dinamika Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa FISIP USU dalam Menjaga Harmonisasi

5 46 104

REPRESENTASI PEKERJA SEKS KOMERSIAL SEBAGAI MASALAH SOSIAL ( Analisis Semiotik Foto dalam Buku Sex For Sale Karya Yuyung Abdi)

4 19 53