terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sebagian besar tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 1950-an situasi perekonomian Indonesia ditandai dengan banyaknya
pengangguran dan kemiskinan. Umumnya, rumah tangga di pedesaan mengandalkan kehidupannya dari berbagai sumber pendapatan. Karena keterbatasan kesempatan
kerja dan persaingan yang ketat di daerah pedesaan, banyak perempuan muda dari keluarga miskin bermigrasi ke kota-kota terdekat. Pada tahun 1960-an dan awal tahun
1970-an, besarnya arus perpindahan penduduk dari desa ke kota meningkatkan jumlah tenaga kerja wanita muda yang mencari pekerjaan sebagai pekerja upahan di sektor
formal. Pada waktu bersamaan banyak kaum migrasi laki-laki termasuk para pengembara yang menghabiskan waktu di kota sebelum mereka kembali ke tempat
semula di desa. Peningkatan jumlah penduduk wanita yang bermigrasi ke kota-kota besar menyebabkan meningkatnya persaingan di antara mereka, dan juga persaingan
dengan tenaga kerja laki-laki. Kebanyakan para wanita yang melakukan migrasi ini masih muda, tidak berpengalaman, tingkat pendidikan rendah dan keterampilan
terbatas. Oleh sebab itu, kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan sangat terbatas dan umumnya mereka terkonsentrasi pada status pekerjaan rendah dan
dengan penghasilan yang rendah pula. Jenis pekerjaan yang umumnya dikerjakan oleh kelompok ini adalah pekerjaan di sektor informal, sebagai pedagang kecil, pekerja
keluarga tidak dibayar, atau sebagai pembantu rumah tangga, dan sering kali pula menjadi wanita tuna susila.
Faktor lain yang mendorong para wanita muda masuk ke dunia prostitusi pada masa itu adalah karena tingginya angka tingkat perceraian terutama di kalangan
keluarga di Jawa. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya angka wanita susila sebagai akibat dari gagalnya pernikahan, membuktikan kebenaran
argumen yang mengatakan bahwa perceraian dini menjadi faktor pemicu prostitusi. Namun demikian saat ini tingkat perceraian di Indonesia relatif turun, menjadi lebih
rendah dibandingkan dengan tingkat perceraian di negara-negara barat. Oleh sebab itu, tidak ada lagi kaitan antara tingginya tingkat perceraian dengan menigkatnya
jumlah pelacur.
II.6.3. Prostitusi Remaja dan Kesejahteraan Ekonomi
Industri seks di Indonesi menjadi semakin rumit bersamaan dengan meningkatnya mobilitas penduduk, gaya hidup, pendapatan masyarakat dan tantangan
yang dihadapi. pandangan tradisional dari peranan wanita sebagai ibu rumah tangga yang baik menunjang karir suami, mengurus anak dan menjadi warga negara yang
baik, menghadapi banyak tantangan sebagai akibat dari perilaku kaum muda wanita terpelajar di kota-kota besar. Salah satu fenomena yang dapat diungkapkan di sini
adalah bahwa sejak tahun 1980-an terkenal apa yang disebut dengan ‘perek’ perempuan eksperimental dan menjadi perhatian banyak media massa. Perilaku dari
para wanita muda ini, di mana kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga kalangan ekonomi menengah dan masih bersekolah, menunjukkan adanya pertentangan dengan
norma-norma yang berlaku. Keadaan tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat materialistik dan meningkatnya keinginan untuk memenuhi cita-cita seperti apa yang
diungkapan di banyak media dan iklan. Mereka menekankan kepentingan diri sendiri, secara bebas melakukan hubungan seks dengan siapa saja yang mereka inginkan,
dengan atau tanpa bayaran, dan percakapan para birokrat militer yang mengejek organisasi kelompok perek Murray, 1993: 5. Sementara keberadaan dan istilah
‘perek’ tersebut sangat mengejutkan para generasi tua, para pekerja di industri seks
Universitas Sumatera Utara
terutama bagi mereka yang mencari pelanggan di warung-warung kopi dan bar-bar, dengan cepat memanfaatkan istilah baru tersebut. Untuk dapat disebut sebagai
seorang ‘perek’, maka pekerja wanita di industri seks harus muda, berjiwa petualang dan mempunyai sikap melawan, di mana kondisi tersebut tidak termasuk dalam istilah
prostitusi.
Meskipun ada usaha-usaha untuk membasmi pelacuran yang melibatkan wanita di bawah umur, perempuan di bawah usia 17 tahun seringkali ditemukan di tempat-
tempat pelacuran. Hal yang paling mengusik adalah banyaknya gadis muda belia yang dijual orang tuanya ke tempat pelacuran, atau terjun ke industri seks karena terpaksa
atau terkecoh, tanpa mengetahui dengan pasti komitmen pada dirinya atau pada keluarganya. Namun, dalam kebanyakan kasus, masuknya para pekerja ke industri
seks ini dilakukan secara sukarela, terutama di dorong oleh hasrat untuk memperoleh penghasilan yang relatif lebih besar dalam jangka waktu yang singkat instant money.
Pendapatan yang tinggi dan diterima dengan cepat di banyak bidang dalam industri seks akan terus menjadi daya tarik untuk menggeluti dunia pelacuran. Dorongan
kemiskinan mungkin dapat berkurang bersamaan dengan keberhasilan proses pembangunan dan perjalanan waktu, tetapi daya tarik kemakmuran yang diperoleh
dengan mudah seiring dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi tetap merupakan faktor penggerak utama untuk masuk dan bekerja pada industri seks. Pada sisi
permintaan, meningkatnya kemakmuran telah memperbesar peluang bagi laki-laki untuk membeli pelayanan seks, dan akan membuat mereka lebih selektif dalam
memilih jenis dan tempat layanan seks.
28
II.7. PERSEPSI