oleh seorang aktivis hak-hak anak, Mohammad Farid, pada tahun 1998, diperkirakan ada 40 ribu hingga 70 ribu anak-anak yang dilacurkan atau 30 dari jumlah PSK di
Indonesia. Di Semarang, pada pertengahan tahun 90-an muncul istilah ciblek untuk
menyebut anak-anak yang dilacurkan. Istilah ini menggantikan istilah warrior yang diambil dari sebuah judul film mengenai gang anak jalanan. Ciblek sendiri
merupakan nama burung kecil yang lincah dan sering berkicau dan pada masa itu sangat digemari di Semarang. Penggunaan istilah ciblek, awalnya merupakan
kependekan dari cilik-cilik betah melek, namun kemudian berubah menjadi cilik-cilik isa digemblek. Sedangkan untuk perempuan dewasa dikenal dengan sebutan prenjak.
Ini juga nama jenis burung, namun diplesetkan dengan kepanjangan perempuan nunggu diajak atau ada pula yang mengatakan perempuan ngajak kenthu
bersenggama. Di Yogyakarta, istilah untuk anak-anak yang dilacurkan dikenal dengan sebutan rendan yang kepanjangannya adalah kere dandan.
26
II.6.2. Sejarah dan Perkembangan Pelacuran di Indonesia
Asal usul pelacuran modern di Indonesia dapat ditelusuri kembali hingga ke masa kerajaan-kerajaan Jawa di mana perdagangan perempuan pada saat itu
merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Raja mempunyai kekuasaan penuh: “Seluruh yang ada di atas tanah Jawa, bumi dan seluruh
kehidupannya, termasuk air, rumput, daun dan segala sesuatunya adalah milik raja”. Kekuasaan raja yang tak terbatas juga tercermin dari banyaknya selir yang
dimilikinya. Makin banyak jumlah selir yang dipelihara, bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak
terbatas hanya di Jawa saja, tapi kenyataannya juga terjadi di seluruh Asia, di mana perbudakan, sistem perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal yang
biasa dijumpai dalam sistem feodal. Sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan komersialisasi industri seks yang kita kenal dalam masyarakat modern
saat ini; tapi apa yang dilakukan pada masa itu telah membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada sekarang ini. Kondisi tersebut dapat
26
“Pelacuran Anak”, Wikipedia Indonesia, diakses dari http:id.wikipedia.orgwikiPelacuran_anak pada tanggal 10 April 2010 pukul 21.30
Universitas Sumatera Utara
diidentifikasikan melalui nilai-nilai perempuan sebagai barang dagangan yang diperjual-belikan untuk memenuhi tuntutan nafsu lelaki dan untuk menunjukkan
adanya kekuasaan dan kemakmuran.
27
Pada akhir tahun 1940-an, penduduk Indonesia yang baru merdeka Bentuk industri seks yang lebih terorganisir berkembang pesat pada periode
penjajahan Belanda. Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pemuasan
seks masyarakat Eropa. Umumnya aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara ini.
Tahun 1852 pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengan serangkaian aturan untuk menghindari
tindak kejahatan yang timbul akibat dari aktivitas prostitusi ini. Kerangka hukum tersebut masih berlaku hingga sekarang. Dalam peraturan tersebut wanita publik
sekarang ini WTS atau Wanita Tuna Susila diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi pasal 2. Semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu
kesehatan dan secara rutin setiap minggu menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya pasal 8, 9, 10,
11.
Berdasarkan laporan pada umumnya, meskipun telah banyak dikeluarkan peraturan, aktivitas pelacuran tetap saja meningkat secara drastis pada abad ke-19,
terutama setelah diadakannya pembenahan Hukum Agraria pada tahun 1870, di mana pada saat itu perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam modal swasta
Ingleson, 1986. Perluasan areal perkebunan terutama di Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian perkebunan-perkebunan di
Sumatera dan pembangunn jalan raya dan jalur kereta api, telah merangsang terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagian besar dari
pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhadap aktivitas prostitusi.
Komersialisasi seks di Indonesia terus berkembang selama pendudukan Jepang antara tahun 1941-1945. Wanita yang telah bekerja sebagai perempuan penghibur
dikumpulkan dan setelah menjalani pemeriksaan kesehatan, sebagian mereka di tempatkan di rumah-rumah bordil untuk melayani para prajurit Jepang; sementara
lainnya tetap beroperasi di tempat biasanya. Pada masa pendudukan Jepang, banyak perempuan dewasa dan anak-anak sekolah yang tertipu atau dipaksa memasuki dunia
pelacuran. Bangsa Jepang menawarkan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik di Tokyo atau kota-kota besar di Indonesia lainnya kepada sejumlah pelajar perempuan.
Banyak calon yang berparas menarik dan cerdas yang berasal dari keluarga kalangan atas untuk mencoba tawaran pihak Jepang ini. Mereka dibawa dari kota atau dari desa
tempat asalnya ke daerah-daerah sekitar pelabuhan Semarang, ke Surabaya, ke Jakarta dan mereka diinstruksikan untuk bersiap-siap berangkat ke luar negeri. Kenyataannya
gadis-gadis ini tidak pernah beranjak dari tempat penampungan, bahkan mereka dipaksa melayani para serdadu dan perwira Jepang. Mereka menjadi budak-budak
seks, dilarang meninggalkan rumah bordil dan hanya sedikit peluang untuk bisa melarikan diri. Banyak pula dari antara mereka yang dipaksa orang tuanya sendiri
untuk bekerja pada orang Jepang, dengan harapan akan mendapat imbalan jasa atau keuntungan lainnya.
27
Terence H. Hull, Endang Silistyaningsih dan Gavin W. Jones, “Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya”, Pustaka Sinar Harapan, 1997, halaman 1-3
Universitas Sumatera Utara
terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sebagian besar tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 1950-an situasi perekonomian Indonesia ditandai dengan banyaknya
pengangguran dan kemiskinan. Umumnya, rumah tangga di pedesaan mengandalkan kehidupannya dari berbagai sumber pendapatan. Karena keterbatasan kesempatan
kerja dan persaingan yang ketat di daerah pedesaan, banyak perempuan muda dari keluarga miskin bermigrasi ke kota-kota terdekat. Pada tahun 1960-an dan awal tahun
1970-an, besarnya arus perpindahan penduduk dari desa ke kota meningkatkan jumlah tenaga kerja wanita muda yang mencari pekerjaan sebagai pekerja upahan di sektor
formal. Pada waktu bersamaan banyak kaum migrasi laki-laki termasuk para pengembara yang menghabiskan waktu di kota sebelum mereka kembali ke tempat
semula di desa. Peningkatan jumlah penduduk wanita yang bermigrasi ke kota-kota besar menyebabkan meningkatnya persaingan di antara mereka, dan juga persaingan
dengan tenaga kerja laki-laki. Kebanyakan para wanita yang melakukan migrasi ini masih muda, tidak berpengalaman, tingkat pendidikan rendah dan keterampilan
terbatas. Oleh sebab itu, kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan sangat terbatas dan umumnya mereka terkonsentrasi pada status pekerjaan rendah dan
dengan penghasilan yang rendah pula. Jenis pekerjaan yang umumnya dikerjakan oleh kelompok ini adalah pekerjaan di sektor informal, sebagai pedagang kecil, pekerja
keluarga tidak dibayar, atau sebagai pembantu rumah tangga, dan sering kali pula menjadi wanita tuna susila.
Faktor lain yang mendorong para wanita muda masuk ke dunia prostitusi pada masa itu adalah karena tingginya angka tingkat perceraian terutama di kalangan
keluarga di Jawa. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya angka wanita susila sebagai akibat dari gagalnya pernikahan, membuktikan kebenaran
argumen yang mengatakan bahwa perceraian dini menjadi faktor pemicu prostitusi. Namun demikian saat ini tingkat perceraian di Indonesia relatif turun, menjadi lebih
rendah dibandingkan dengan tingkat perceraian di negara-negara barat. Oleh sebab itu, tidak ada lagi kaitan antara tingginya tingkat perceraian dengan menigkatnya
jumlah pelacur.
II.6.3. Prostitusi Remaja dan Kesejahteraan Ekonomi