Semarang, Salatiga, Kendal, Boyolali, Wonosobo pun antusias mengikuti tradisi ini. Ciri khas nyadran di Gunung Balak ini, pengunjung atau masyarakat
berbondong –bondong memanjang menaiki jalan setapak menuju puncuk gunung
yang tidak seberapa luasnya. Diantara mereka ada yang sambil menggendong anaknya, membawa tikar, rantang yang berisi makanan, ada yang menyunggi
tenong yang berisi makanan untuk mereka jajakan, ada yang berjualan mainan anak-anak, pakaian dan lain sebagainya.
Juru kunci Gunung Balak, Hadi Prayitno mengatakan bahwa tradisi nyadran Gunung Balak ini memiliki histori mengenai penumbal tanah Jawa, yaitu ulama
sakti Syekh Subakir. Syekh Subakir merupakan orang utusan dari Persia. Syekh Subakir merupakan bagian dari sembilan ulama yang diutus oleh Sultan
Muhammad I. Dari sembilan ulama tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelompok dan ditempatkan pada tiga tempat, yakni di bagian barat, tengah dan
timur tanah Jawa. Sembilan ulama tersebut juga memiliki spesifikasi keahlian masing-masing, adapun Syekh Subakir dalam hal ini memiliki keahlian
meruqyah. Pada masa itu, pengaruh magis di tanah Jawa masih sangatlah kuat, dimana
jin dan setan masih menempati setiap sudut tanah Jawa yang kosong. Syekh Subakir yang ahli dalam ruqyah dan ilmu batin ditugasi untuk melakukan
pembersihan. Syekh Subakir adalah manusia pilihan yang diamanati untuk menanam tumbal berupa jimat kalimasada berisi kotak peti untuk dibawa ke tanah
Jawa agar kelak pulau tersebut dapat dihuni umat Islam. Istilah menanam tumbal dalam kisah Syekh Subakir ini berkaitan dengan usaha rohani menyucikan suatu
tempat dengan cara menanam tanah di tempat yang dianggap angker. Ada tiga titik sentral yang menjadi prioritas Syekh Subakir dalam pembersihan energi
negatif di bumi Jawa, yakni timur, barat dan tengah. Untuk bagian tengah, Syekh Subakir memilih kawasan Gunung Tidar yang letaknya tidak jauh dari pusat
peradaban Mataram. Di dalam perspektif mitologi, alasan Syekh Subakir memilih Gunung Tidar
adalah, karena Gunung Tidar dipercayai sebagai simbol pakunya tanah Jawa, sedangkan Gunung Balak di Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah merupakan salah satu petilasan yang pernah disinggahi Syekh Subakir. Masyarakat Pakis sendiri memahami istilah menyucikan tempat angker dengan
istilah menanam jimat kalimasada. Tidak hanya di wilayah Jawa Tengah, di sejumlah tempat di pantai utara Jawa yang dikenal sebagai “Makam Panjang”,
baik yang terdapat di Gresik, Lamongan, Tuban, Rembang, dan Jepara juga diyakini sebagai kuburan atau petilasan Syekh Subakir.
Dilihat dari sejarah dan asal muasal tradisi nyadran Gunung Balak ini, penulis tertarik untuk mengabadikan tradisi nyadran Gunung Balak masyarakat
Pakis Magelang ke dalam bentuk karya fotografi human interest hitam-putih.
5. Acuan Berkarya atau Karya Inspirasi
Seorang seniman baik itu pelukis, musisi, disainer maupun fotografer tentu mempunyai referensi sebagai inspirasi dalam berkarya. Penulis melakukan
pengamatan yaitu dengan mengamati dan mempelajari ide, teknik, bentuk, konsep dan karakter atau ciri
–ciri personal karya sang inspirator. Dalam proses pembuatan karya fotografi human interest ini, penulis memilih dua fotografer
yang dianggap memberikan inspirasi, baik dari segi karya maupun pemikiran atau cara pandang. Dua fotografer yang menginspirasi penulis tersebut yaitu:
a. Wilsen Way
Wilsen Way merupakan seorang fotografer yang relative masih muda dengan kelahiran tahun 1990, memulai fotografi secara otodidak pada tahun 2010. Objek
yang ia rekam kebanyakan kehidupan sehari –hari masyarakat kalangan bawah,
melakukan dialog dengan masyarakat, menangkap kisah –kisah kehidupan dan
mengungkapkan kembali kisah tersebut dalam jepretan sesaat. Human interest adalah bagian dari fotografi yang menurutnya sangat
menantang. Wilsen berpendapat bahwa menghargai sebuah momen yang terjadi dan cukup pandai untuk menyadari keberadaan momen itu sendiri adalah sebuah
proses belajar yang tidak pernah berhenti . Dari sisi lain ia justru mendapat nilai –
nilai kehidupan yang tidak ia pelajari di bangku sekolah atau pun perkuliahan. Membaur dengan lingkungn yang selalu berbeda, mengharuskannya untuk terus
mengasah cara berkomunikasi. Baginya fotografi bukan saja mengajarkan tentang teknik mengambil gambar, tetapi justru lebih dari segalanya, fotografi
membuatnya lebih peka dengan dunia luar dan juga mengeluarkannya dari zona aman.
Di dalam perjalanannya Wilsen Way selalu melakukan penelitian tentang humanisme, pengamatan etnis dan lingkungan. Secara teknis fotografis, karya
foto Wilsen didukung oleh tata cahaya, komposisi dan kualitas cetak yang baik sehingga tampil optimal. Penulis menjadikan Wilsen Way sebagai inspirasi dalam
berkarya, karena di usianya yang relative masih muda Wilsen Way mampu
menciptakan karya –karya fotografi yang mengesankan disamping aktif
melahirkan karya tulis.
Gambar 8: Karya Wilsen Way “Strong woman”
Sumber: Buku “Human Interest Photography”
Gambar 9: Karya Wilsen Way “Senyuman nenek”
Sumber: Buku “Human Interest Photography”
b. Darwis Triadi
Siapa yang tidak kenal dengan fotografer yang mendapat julukan “master
fotografi komersial Indonesia ” ini. Darwis Triadi adalah fotografer komersial
kenamaan Indonesia. Karir fotografinya diawali dengan bergabung bersama Komunitas Rahardian Yamin, dimana itu menjadi tempat berkumpul selebritas,
model dan peragawati terkenal Indonesia Sugiarto, 2015: 14. Menurut Darwis, fotografi adalah sarana untuk menjadi dewasa sekaligus
pembelajaran menghargai arti hidup mulai dari cara berpikir sampai bertindak. Baginya mahkota sebuah foto adalah kejujuran. Menjadi fotografer adalah bekerja
dengan kamera dan cahaya nyata. Cahaya yang tidak hanya mampu menyinari kegelapan, tetapi juga cahaya di rongga dada, dimana ada nurani yang
mengandung cahaya atau nur Sugiarto, 2015: 9. Karya human interest Darwis memang tak sebanyak karyanya dalam
memotret model maupun selebritas. Telah banyak model, penyanyi, artis kenamaan Indonesia yang diabadikan dengan kamera Darwis. Penulis terinspirasi
oleh seorang Darwis lebih pada pemikiran atau cara pandangnya terhadap fotografi. Penulis juga mengagumi cara pandang dan pemahaman Darwis tentang
cahaya dalam fotografi. Fotografi yang dihasilkannya memang bukan sekedar fotografi yang lahir karena ketrampilan teknis, melainkan juga karena visi
pengambilannya. Visi itu adalah keindahan, yaitu keindahan yang dicipta dari sebuah pemahaman tentang cahaya, cahaya alami matahari, oleh karena itu,
hasilnya juga memancarkan keindahan nyata yang alami. Karya –karyanya indah