Tinjauan Fotografi Hitam Putih

Penerapan zone system ini adalah sistem yang memungkinkan dan harus membebaskan, bukan membatasi fotografer untuk menjadi kreatif. Kreativitas terletak dalam penerapan sistem zona untuk mencapai gambar yang divisualisasikan, dengan hampir tidak ada keterbatasan pada visualisasi itu sendiri. Berikut ini adalah keterangan dari sistem zona skala nada. Dark Zone Zone 0 Hitam pekat tanpa tekstur. Zone I Hitam pekat yang terdapat pada foto yang kita miliki. Zone II Hitam dengan tekstur tipis mulai terlihat. Texture Zone Zone III Zone hitam dengan tekstur yang tersajikan dengan baik, misalnya rambut yang hitam, kain warna gelap, dan lain- lain. Zone IV Abu-abu gelap dengan tekstur yang baik sekali, misalnya warna kulit orang Ambon dan Papua. Zone V Abu-abu netral grey card 18 merupakan patokan light meter kamera dalam pengukuran cahaya guide exposure. Zone VI Abu-abu gelap dengan tekstur yang baik sekali. Zone VII Abu-abu muda dengan tekstur penuh dan merupakan nada terakhir dari abu-abu sebelum masuk dalam nada putih. Misalnya, highlight atau bagian yang paling terang dari kain warna muda. Light Zone Zone VIII Putih dengan tekstur seperti kertas putih, cat putih atau salju. Zone IX Putih, tanpa tekstur. Zone X Putih bersih dan merupakan putih yang terakhir dari skala nada. Tabel 2: Keterangan sistem zona skala nada Urutan dari setiap tingkat nada ketingkat nada yang lain dibedakan dengan perbedaan pencahayaan 1 stop, baik perbedaan dengan f-stop diafragma maupun dengan kecepatan rana shutter speed pada kamera. Zone system dapat diimplementasikan tidak hanya pada kamera manual tetapi juga pada kamera digital. Pada kamera digital kita melakukan exposed for highlight dan develop for shadow. Apabila sebuah gambar sudah kehilangan detail karena over exposed, maka tidak mungkin membuatnya pas, untuk itu lebih baik mendapatkan highlight yang tepat dan mengolah shadow.

4. Tinjauan Nyadran Gunung Balak di Kecamatan Pakis, Kabupaten

Magelang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau dalam rangkaian kepulauan di Indonesia. Secara antropologi budaya, yang disebut suku Bangsa Jawa adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan Bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya. Wilayah kediaman suku Jawa biasa disebut sebagai Tanah Jawa Herusatoto, 2008: 65. Masyarakat asli mengenal adanya kekuatan di luar dirinya Ilahi yang memberikan kehidupan bagi mereka. Mereka memohon perlindungan kepada Ilahi dari ancaman musuh, bencana alam, penyakit dan sebagainya. Mereka juga meminta keberhasilan dalam kegiatan bercocok tanam maupun berburu yang erat kaitannya dengan kegiatan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Di dalam kehidupan sehari-hari untuk menjaga keseimbangan hidup, masyarakat asli melakukan kegiatan upacara- upacara. Upacara tersebut terdiri dari upacara dasar dan upacara harian. Upacara harian terdiri dari upacara panen, upacara mendirikan rumah, pemberkatan desa, upacara peralihan yang meliputi peralihan dari bayi menjadi anak hingga dewasa, perkawinan dan kematian Romandhon MK, 2014: 43. Adat istiadat di suatu daerah tidak bisa dilepaskan dari karakteristik masyarakat, karena sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat yang dipercaya secara turun-temurun dan telah dianggap sebagai suatu norma yang berlaku dalam masyarakat. Karakteristik masyarakat dapat dilihat dari budaya masyarakatnya, dalam artian secara fungsional sebagai perilaku masyarakat dan bukan sebagai artefak. Di dalam lingkup Jawa Tengah dikenal 5 lingkup budaya, yaitu Pesisir Utara Bagian Barat, Pesisir Utara Bagian Timur, Negari Gung, Banyumasan dan Bagelan. Kabupaten Magelang termasuk lingkup budaya Negari Gung, terutama dari pengaruh kesultanan Kraton Yogyakarta. Lingkup budaya ini meliputi bekas daerah Swapraja Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Masyarakat dalam pengaruh lingkup ini memiliki ciri adat sebagai berikut: a. Percaya pada kekuatan ghoib, kesaktian melalui laku nglakoni dan tirakat. Dalam perilaku politik terdapat anggapan bahwa kekuatan gaib akan menambah kewibawaan melalui nyadran. b. Di Kabupaten Magelang dalam kehidupan beragama sudah sejak abad 8 Masehi sampai sekarang menunjukan ketaqwaan dan ketaatannya, hal ini dapat dilihat dari perkembangan agama di wilayah Kabupaten Magelang. Pengaruh dalam kehidupan spirituil budaya berupa kegiatan-kegiatan spirituil yang dituangkan dalam kegiatan adat, seperti: 1 Upacara Ruwahan yang dilakukan hampir seluruh masyarakat pada bulan Ruwah bulan Jawa antara tanggal 15 – 25. 2 Upacara Suran yang dilakukan pada bulan Suro. 3 Upacara kematian dan kelahiran. 4 Upacara spirituil dalam memulai dan mengakhiri kegiatan pembangunan. 5 Upacara khusus dalam mengantisipasi adanya bencana alam, seperti gempa bumi dan meletusnya Gunung Merapi. Masyarakat Jawa memiliki filosofi “rukun agawe santosa”, kerukunan dan keharmonisan akan membuat kehidupan dalam kesentausaan atau kebahagiaan Roqib, 2007: 3. Salah satu dari banyaknya kearifan lokal di nusantara yaitu tradisi nyadran. Nyradha atau Nyadran, yaitu upacara mengirim doa kepada arwah orang mati setiap tahun yang sebagian bermakna mengucap syukur kepada Tuhan karena telah melimpahkan kesuburan dalam usaha pertanian dengan persembahan kepada Sri-Sradha Sunyoto, 2012: 126. Nyadran Gunung Balak sebagai ekspresi dari rukun agawe santosa itu sendiri, sebagaimana pendapat diatas dapat disimpulkan, nyadran dan Gunung Balak melibatkan banyak orang yang mempersatukan masyarakat dari berbagai lapisan. Melalui kesadaran perbedaan masing-masing, mereka berupaya menyatu, merayakan rasa syukur dan ketentraman dalam menjalani hidup yang berbalur pada tradisi nyadran. Tradisi nyadran Gunung Balak ini dilaksakan setiap tanggal 10 Suro atau 10 Muharram. Yang membedakan tradisi nyadran ini dengan tradisi nyadran yang lain adalah, tradisi nyadran ini dilakukan di puncak Gunung Balak yang memiliki ketinggian ±800 mdpl. Gunung Balak terletak di Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tidak hanya masyarakat di sekitar Gunung Balak saja yang mengikuti tradisi nyadran ini, namun masyarakat dari luar daerah seperti Semarang, Salatiga, Kendal, Boyolali, Wonosobo pun antusias mengikuti tradisi ini. Ciri khas nyadran di Gunung Balak ini, pengunjung atau masyarakat berbondong –bondong memanjang menaiki jalan setapak menuju puncuk gunung yang tidak seberapa luasnya. Diantara mereka ada yang sambil menggendong anaknya, membawa tikar, rantang yang berisi makanan, ada yang menyunggi tenong yang berisi makanan untuk mereka jajakan, ada yang berjualan mainan anak-anak, pakaian dan lain sebagainya. Juru kunci Gunung Balak, Hadi Prayitno mengatakan bahwa tradisi nyadran Gunung Balak ini memiliki histori mengenai penumbal tanah Jawa, yaitu ulama sakti Syekh Subakir. Syekh Subakir merupakan orang utusan dari Persia. Syekh Subakir merupakan bagian dari sembilan ulama yang diutus oleh Sultan Muhammad I. Dari sembilan ulama tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelompok dan ditempatkan pada tiga tempat, yakni di bagian barat, tengah dan timur tanah Jawa. Sembilan ulama tersebut juga memiliki spesifikasi keahlian masing-masing, adapun Syekh Subakir dalam hal ini memiliki keahlian meruqyah. Pada masa itu, pengaruh magis di tanah Jawa masih sangatlah kuat, dimana jin dan setan masih menempati setiap sudut tanah Jawa yang kosong. Syekh Subakir yang ahli dalam ruqyah dan ilmu batin ditugasi untuk melakukan pembersihan. Syekh Subakir adalah manusia pilihan yang diamanati untuk menanam tumbal berupa jimat kalimasada berisi kotak peti untuk dibawa ke tanah Jawa agar kelak pulau tersebut dapat dihuni umat Islam. Istilah menanam tumbal dalam kisah Syekh Subakir ini berkaitan dengan usaha rohani menyucikan suatu