berbeda  nyata  dengan  kontrol,  sementara  pada  C.  burmanii  terpolusi  4.7  lebih rendah dari kontrol 4.9 meskipun tidak berbeda nyata.
Tabel 22.  Interaksi antara jenis tanaman dan lokasi pencemaran terhadap pH daun
Jenis tanaman Sindangbarang
kontrol Jagorawi
terpolusi P. indicus
5.5 bc 5.8 a
L. speciosa 4.2  h
4.3 h C. sumatrana
4.1  h 4.8 f
D. regia 5.1 de
5.2 d G. arborea
5.4  c 5.7
ab C. burmanii
4.9 fg 4.7 fg
S. macrophylla 5.3 cd
5.5 bc M. elengi
4.5 g 5.1 e
Angka dalam kolom yang sama  diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Selang
berganda Duncan pada taraf α=5
Derajat  keasaman  pH  daun  dapat  menjadi  indikator  toleransi  tanaman karena  pH  berperan  penting  dalam  berbagai  reaksi  fisiologi  tanaman.    Hartung
dan  Radin  1989  menyatakan  bahwa  pH  merupakan  media  respon  fisiologi terhadap kondisi stres.
4.2.5.  Toleransi Tanaman Berdasarkan APTI Singh, et al., 1991.
Menurut Singh, et al. 1991 kandungan asam askorbat total, klorofil total, pH,  dan  kadar  air  daun  yang  diformulasikan  ke  dalam  nilai  APTI,  merupakan
parameter  fisiologi  tanaman  yang  dapat  digunakan  untuk  menentukan  tingkat toleransi tanaman terhadap pencemar udara.    Perubahan  nilai  APTI  dapat  terjadi
pada  perubahan  komponen  penyusun  APTI  yaitu  kadar  air  relatif  ,  klorofil  total, pH ekstrak daun, dan asam askorbat total.
Pada  Tabel  23  dapat  dilihat  bahwa  meskipun  terjadi  perbedaan  nilai  APTI pada  tanaman  kontrol  dan  terpolusi  namun  jika  dibandingkan  dengan  kriteria
Singh, et al. 1991, 8 jenis tanaman uji tetap berada pada kisaran toleransi yang sama.  Pada kondisi kontrol dan terpolusi nilai  APTI D. regia 31.66-28.15 dan
M. elengi 20.40-20.33 termasuk dalam kriteria toleran. P. indicus 15.84 -14.66,
C. sumatrana 14.03
– 13.92, G. arborea 17.74 – 15.17, C. burmanii 13.71 - 14.60,  dan  S.  macrophylla  14.97
–  15.14    termasuk  jenis  cukup  toleran, sedangkan L. speciosa 9.30 -10.31 termasuk jenis sensitif.
Tabel 23.  Tingkat toleransi 8 jenis tanaman jalur hijau jalan berdasarkan  kriteria Singh,  et al. 1991
APTI jenis tanaman Jenis tanaman
Kontrol Terpolusi
Kriteria Singh 1991 P. indicus
14.21 13.59
Sedang L. speciosa
8.32 9.43
Sensitif C. sumatrana
12.84 13.09
Sedang D. regia
26.59 24.69
Toleran G. arborea
16.17 13.99
Sedang C. burmanii
12.94 12.83
Sedang S. macrophylla
13.66 13.58
Sedang M. elengi
16.62 16.76
Sedang
4.2.6.   Perbandingan Toleransi Jenis Tanaman berdasarkan RGR dan APTI
Tabel  24  memperlihatkan  toleransi  L.  speciosa,  D.  regia,  G.  arborea,  C. burmanii,
dan M. elengi berdasarkan RGR berbeda dengan toleransi berdasarkan kriteria  Singh  et  al.  1991.    Penentuan  toleransi  tanaman  berdasarkan  kriteria
APTI Singh, et al., 1991 sangat dipengaruhi oleh parameter asam askorbat.  Jika kandungan  asam  askorbat  tinggi,  maka  berdasarkan  formulasi  APTI  tanaman
masuk  ke  dalam  golongan  toleran  seperti  D.  regia,  dan  sebaliknya  jika  asam askorbat rendah seperti  L. speciosa termasuk dalam golongan sensitif.  Di dalam
formulasi APTI, perubahan parameter lain seperti klorofil total, pH ekstrak daun, dan  kadar  air  daun  berperan  lebih  kecil  dibandingkan  asam  askorbat.  Metode
APTI  juga  mempunyai  kelemahan  yaitu  menggabungkan  empat  parameter fisiologi yang mempunyai satuan berbeda.
Tabel 24.  Perbandingan toleransi 8 jenis tanaman tepi jalan berdasarkan RGR hasil penelitian dan  APTI  Singh et al., 1991
Jenis Tanaman Toleransi
RGR hasil penelitian
APTI Singh et al., 1991
P. indicus Sedang
Sedang L. speciosa
Toleran Sensitif
C. sumatrana Sedang
D. regia Sedang
Toleran G. arborea
Tidak toleran Sedang
C. burmanii Tidak toleran
Sedang S. macrophylla
Sedang Sedang
M. elengi Tidak toleran
Sedang Tidak dilakukan pengukuran RGR
Penggunaan parameter klorofil total, pH ekstrak daun, dan kadar air dalam formulasi  APTImempunyai  kelebihan  dan  kekurangan.  Pada  penelitian  ini
konsentrasi bahan pencemar di lokasi terpolusi belum memberikan pengaruh yang nyata  pada  kandungan  klorofil  total.    Hasil  ini  berbeda  dengan  Carter    Knapp
1991 yang menyatakan bahwa bahan pencemar dapat menginduksi pengurangan klorofil.  Ditambahkan  oleh  Kozlowski  dan  Mudds  1975  menyatakan  bahwa
adanya  pencemaran  udara  dapat  menimbulkan  nekrosis  dan  klorosis  yang melibatkan mekanisme kerusakan klorofil.  Penelitian Pandey dan Agrawal 1994
membuktikan  bahwa  tanaman  pada  daerah  urban  yang  relatif  tercemar mempunyai klorofil lebih rendah dan berbeda nyata dengan tanaman pada daerah
yang  tidak  tercemar.  Perbedaan  hasil  ini  diduga  karena  konsentrasi  bahan pencemar  di  lokasi  terpolusi  pada  penelitian  ini  relatif  lebih  rendah  jika
dibandingkan penelitian Pandey dan Agrawal 1994.  Konsentrasi NO
2
, SO
2
, O
3
, dan debu pada penelitian ini secara berurutan adalah 19, 21; 10.07; 0.06, 96.05 µg
m
-3
,  sementara  konsentrasi  bahan  pencemar  pada  daerah  penelitian  Pandey  dan Agrawal masing-masing adalah 42.1; 50.6; 35.3, dan 245.8 µg m
-3
. Parameter  ekstrak  pH  daun  yang  digunakan  dalam  metode  APTI  kurang
dapat  menggambarkan  perubahan  pH  di  dalam  sitosol  yang  berperan  di  dalam mekanisme  pertahanan  sel.    Gas  NO
2
masuk  secara  difusi  melalui  stomata    dan
bereaksi dengan air di dalam apoplas membentuk H
2
NO
3
yang segera terionisasi menjadi  H
+
dan  NO
-3
Mansfield,  2002.  Dengan  mekanisme  simporters,  NO
-3
melewati membrane plasma masuk ke dalam sitosol.  Derajat keasaman di dalam sitosol harus dipertahankan pada pH 7.2 Taiz  Zeiger, 2002.  Jika banyak NO
-3
masuk  ke  dalam  sitosol  maka  pH  sitosol  akan  turun.    Dengan  demikian  untuk menggambarkan  perubahan  pH  akibat  pencemar  yang  menimbulkan  keasaman
adalah dengan mengukur pH dari sitosol. Kadar  air  daun  sebagai  elemen  dalam  formulasi  APTI  juga  kurang  dapat
menggambarkan  peranan  kadar  air  dalam  mekanisme  pertahanan  diri  akibat paparan bahan pencemar.  Meningkatnya kadar air pada tanaman terpolusi diduga
karena pengambilan air dari dalam tanah dan transpirasi tumbuhan berada dalam keseimbangan.  Hal  ini  didukung  oleh  Taiz  dan  Zeiger  2002  yang  menyatakan
ketersediaan  air  pada  daun  dipengaruhi  oleh  kemampuan  absorbsi  akar  dan transpirasi tumbuhan.
Penggolongan  toleransi  tanaman  berdasarkan  nilai  RGR  mempunyai kelebihan
karena RGR
dapat menggambarkan
kemampuan tanaman
menyesuaikan  diri  terhadap  kondisi  terpolusi.    Mekanisme  penyesuaian  tanaman terhadap  bahan  pencemar  udara  dapat  diukur  berdasarkan  perubahan  kondisi
fisiologi. Berdasarkan  respon  RGR,  L  speciosa  termasuk  jenis  toleran.    Kondisi  ini
sesuai dengan respon fisiologi yang terukur pada jenis tersebut.   Rerata nilai asam askorbat total, klorofil total, dan kadar air tanaman terpolusi tidak berbeda dengan
kontrol. Fakta ini menunjukkan L. speciosa mampu beradaptasi dan tumbuh baik pada lokasi terpolusi.
Hasil  penelitian  ini  memperlihatkan,  toleransi  berdasarkan  RGR  tidak dipengaruhi  oleh  kandungan  asam  askorbat  daun  Tabel  20.    Lagerstroemia
speciosa yang  termasuk  jenis  toleran  mempunyai  asam  askorbat  terendah  4.59
mg  g
-1
daun  dibandingkan  dengan  ketujuh  jenis  lainnya.  Delonix  regia  dengan kandungan asam askorbat 19.57 mg g
-1
, Pterocarpus indicus 6.62 mg g
-1
dan S. macrophylla
7.06  mg  g
-1
daun      termasuk  tanaman  dengan  toleransi  sedang. Gmelina  arborea,  C,  burmanii,
dan  M.  elengi  dengan  kandungan  asam  askorbat
antara 8.64 – 13.34 mg g
-1
daun merupakan tanaman yang tidak toleran terhadap pencemar udara.
Teklemarian  dan  Sparks  2006  membuktikan  bahwa  kandungan  asam askorbat  mempengaruhi  kemampuan  tanaman  menyerap  NO
2
.  Tanaman  dengan asam askorbat tinggi  mempunyai kapasitas tinggi untuk bereaksi dengan NO
2
dan segera  diasimilasi  untuk  dapat  dimanfaatkan  tanaman.    Hasil  pengukuran
menunjukkan konsentrasi NO
2
di lokasi terpolusi relatif rendah 16.21 µg m
-3
dan belum memperlihatkan pengaruh nyata pada kandungan asam askorbat tanaman.
4.3.  Pendugaan Total Serapan NO