Hak Kepemilikan Property right Masyarakat Lokal terhadap Sumberdaya Alam .

32 tidak digubris dan atau hanya sebuah rekayasa politik dengan berbagai alasan, dan daerah akan menghindar dari permasalahan rakyatnya.

2.5. Hak Kepemilikan Property right Masyarakat Lokal terhadap Sumberdaya Alam .

Salah satu sumberdaya publik yang belum banyak menjadi perhatian dalam proses pengambilan kebijakan adalah sumberdaya lahan. Kepemilikannya secara operasional masih sangat lemah, namun dari aspek konsepsional dapat dilakukan pendekatan-pendekatan, dan kajian untuk bisa mendapat perhatian pengambil kebijakan. Djajadiningrat 2001 menjelaskan bahwa sasaran penetapan kepemilikan lahan adalah pendefinisian yang meliputi batasan, jumlah, dan kualitas sumberdaya bersama publik dan semi publik. Pendefinisian tidak hanya penting untuk mengendalikan pemanfaatan dan mencegah akses berlebihan, tetapi juga untuk kepentingan kepastian hukum bagi kondisi sumberdaya universalitas, kepemilikan eksklusivitas, pengambilalihan dan pengamanannya. Suatu jenis penggunaan lahan misalnya TAHURA, merinci dengan jenis tugas dan kewajiban setiap stakeholder yang berkepentingan. Pemerintah sebagai pemegang mandat masyarakat Sulawesi Tengah khususnya maasyarakat Kota Palu adalah pemilik dan pengatur pemanfaatan TAHURA bagi kepentingan banyak pihak. Pengelola dan stakeholder lain dapat mengimplementasikan “aturan” pemerintah dan memperoleh insentif pengelolaan. Masyarakat dapat menikmati TAHURA dengan pelayanan berkualitas disertai kewajibvan insentif pemeliharaan dan pelestarian TAHURA. Masyarakat yang hidup berdampingan dengan hutan negara sudah jamak mempunyai kisah atau pengalaman baik langsung maupun tidak langsung. Pengalaman-pengalaman ini berkaitan dengan adanya aturan-aturan atau larangan- larangan tertentu yang diterapkan pemerintah. Awang, Sepsiaji dan Himmah 2002, menjelaskan aturan-aturan tersebut apabila dilanggar oleh masyarakat, akan berkonsekwensi berupa denda atau sanksi hukuman kurungan. Warga yang diangap 33 bersalah karena melanggar peraturan pada akhirnya akan mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari aparat. Dalam sistem produksi dikenal sedikitnya lima 5 tipe yang berkaitan dengan tanah di kalangan masyarakat lokal adat di Indonesia, menurut Ruwiastuti dkk 1997, yaitu pertama, tipe peramu murni terdapat pada beberapa suku di Propinsi Irian Jaya yang hidup di rawa-rawa seperti orang Asmat, orang-orang Mentawai di pulau Siberut, Maluku Utara dan orang-orang Dayak Punan di Kalimantn Barat. Kedua, tipe peladang berpindah berputar, terdapat pada orang-orang Kaili Laudje, Kaili Da’a, Kaili Unde, dan Kaili Kori di Gunung Sulawesi Tengah, Orang-orang Togean di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah, orang-orang Manggarai Tengah di Flores bagian Barat, dan orang-orang Ekari di Paniai Irian Jaya. Ketiga, perpaduan antara tipe peramu dan peladang berputar terdapat pada orang-orang Nias dan orang- orang Auwyu di Irian Jaya bagian Selatan. Keempat, tipe peladang menetap dengan masa istrahat tanah beberapa tahun, terdapat pada orang-orang Batak Toba di Pulau Samosir, Orang-orang Muyu di hulu Kali Digul dan orang-orang Dani di Lembah Baliem, Irian Jaya. Kelima, adalah tipe campuran antara peladang menetap untuk tanaman kerashutan, dan berputar untuk ladang tanaman pangan dengan variasi meramu hasil hutan, terdapat antara lain pada orang-orang Wondama di Teluk Cenderawasih Irian Jaya. Dari konsep hak di atas ditemukan dua tipe dengan berbagai variasi di dalamnya. Tipe pertama, hak atas tanah dan sumber-sumber agraria lain dipahami sebagai hak publik kerajaan yang sebagiannya diperkenankan bagi kehidupan penduduk pendatang yang memohon atau diberi nafkah dari sumber- sumber tersebut. Tipe kedua, hak atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya dipahami sebagai Hak Perdata Perorangan dari penduduk asli setempat yang diperolehnya secara alamiah, turun temurun berdasarkan kebiasaan setempat dan dijamin hukum mereka sendiri. Hak-hak pengelolaan hutan oleh komunitas adat Kaili Oma di Desa Toro Kecamatan Kulawi Sulawesi Tengah telah mendapat pengakuan dari dunia Internasional yang secara empirik dapat dijadikan contoh pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal, namun dalam kenyataanya di lapangan memperlihatkan belum adanya niat baik dan kepedulian yang serius dari pemerintah daerah terhadap masyarakat di dalam kawasan hutan untuk mengelola hutan mereka sendiri. Laudjeng 2003, pengelolaan masyarakat lokal masyarakat adat tentang 34 hutan yang dapat dijadikan acuan dan inspirasi bagi pengambil kebijakan telah banyak, baik di pusat maupun di daerah. Di Papua dan Kalimantan Timur misalnya ”adat” telah dipakai untuk mengklaim tanah sebagai kepunyaan orang atau kelompok tertentu dengan alasan keturunan raja atau pejabat kerajaan. Kalau ditelusuri lebih jauh, hal ini berakar dari politik kerjasama simbiosis mutualistik antara raja-raja pada masa lalu dengan persekutuan dagang VOC atau pemerintah Hindia Belanda. Politik hukum mengenai hak-hak masyarakat lokal adat atas tanah termuat dalam Undang-undang Pokok Agraria 1960 UUPA 1960, menegaskan adanya antara hak-hak perdata perorangan dan hak-hak publik persekutuan hukum atas sesuatu wilayah tertentu Ruwiastuti, Fauzi dan Bchriadi, 1997. Masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan konservasi dan atau pelestarian memiliki kepentingan terhadap hak dan nilai sosial mereka yang sebagian dan atau bahkan seluruhnya akan habis dan tidak dapat dipanen lagi karena pelarangan-pelarangan untuk masuk dalam kawasan melakukan aktivitas berkebun dan aktivitas lainnya. Dengan kondisi ini muncul image bahwa kehadiran program konservasi dan atau pelestarian alam adalah pemiskinan kembali masyarakat lokal yang haknya telah dieksploitir negara demi kepentingan sepihak. Dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang pembaharuan Agraria dan pengelolaan sumberdaya alam, yang akan menjadi acuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Namun demikian fakta menunjukkan belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap proses pemilikan khususnya tanah-tanah masyarakat baik kepemilikan komunalkepemilikan adat maupun kepemilikan perseorangan dalamsekitar kawasan pemanfaatan. Dalam kenyataannya di lapangan, pengakuan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat masih dalam tataran wacana. Tidak sedikit sumber-sumber konflik yang hanya disebabkan karena lemahnya hak masyarakat dalam mengakses suatu sumberdaya karena ketidakpunyaan bukti legal formal dari pemerintah, sementara kenyataannnya hak itu telah dimiliki turun temurun. Berikut ini digambarkan bagaimana lemahnya akses masyarakat terhadap suatu sumberdaya alam. 35 Gambar 2. Skema pemanfaatan sumberdaya alam TAHURA SULTENG Gambar di atas menunjukkan bahwa akses yang berdasarkan atas hak, menurut Kartodihardjo 2006, ketika suatu komunitas masyarakat melakukan aktivitas untuk memperoleh sumberdaya alam dinyatakan incompatible oleh pemerintah sebagai pemegang hak pengelolaan sumberdaya alam penyelenggara negara. Hak right dalam perspektf normatif adalah pemilikan sesuatu yang sah dengan pembuktian-pembuktian keabsahannya berupa atribut hukum atau pengakuan oleh adat dan hubungan sosial. Kenyataan dalam kehidupan yang dirasakan masyarakat tidak demikian halnya, masyarakat tidak dapat melakukan akses yang lebih luas terhadap suatu sumberdaya jika belum mendapatkan lagitimasi dari pemberi hak berupa izin, dan atau atribut hukum lainnya. Dalam hal ini seseorang tidak mendapatkan haknya dalam pengelolaan sumberdaya tatkala sumberdaya tersebut mendapat klaim dari pemerintah atau pejabat yang berwenang. Ribbot dan Peluso 2003 membagi mekanisme akses menjadi dua aspek yaitu akses berdasarkan Hak legal dan illegal, dan berdasarkan struktural dan relasional. Struktural meliputi akses terhadap teknologi, kapital modal, pasar, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, serta hubungan sosial dapat membentuk atau mempengaruhi akses. Pemerintah Masyaraka t Sumberdaya Alam TAHURA SULTENG Legal Illegal Tdk dpt right AbilityKemampuan Incompatible Sumber :Diadaptasi dari Kartodihardjo, 2006 Pihak III 36

2.6. Pola Hubungan Stakeholders dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam