Keterlibatan Stakeholder dalam Proses Penetapan TAHURA.

Konservasi Tanah Sub DAS Kavatuna seluas 10.000 Ha. Penentuan ini didasarkan atas kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan kawasan produksi yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837KptsUm111980 dan N0. 683KptsUm81981 dan Keputusan Presiden No. 481983. Ketiga keputusan tersebut menekankan pada tiga faktor yang harus diperhatikan yakni a Kelerengan tanah, b Jenis tanah menurut kepekaannya, dan c Curah hujan rata- rata harian. Kebijakan tersebut dilakukan sebelum dikeluarkannya kebijakan penetapan kawasan Cagar Alam Poboya, Hutan Lindung Paneki dan lokasi PPN 30 menjadi TAHURA Sulawesi Tengah. Untuk menindaklanjuti kebijakan tersebut, pihak PDAM melakukan introduksi program berupa pemasanagan pipa air dan pembangunan bak-bak air pada masing-masing kawasan yang membutuhkan kontribusi air untuk kesinambungan kehidupan tanaman-tanaman konservasi yang diintrodusir pada program sejuta pohon yang secara seremoni dilakukan pada Pekan Penghijauan Nasional PPN 30 di Kapopo. Untuk mewujudkan program besar ini pihak pemerintah daerah melakukan pengembangan sebagian kawasan ini untuk sektor pariwisata untuk dapat memberikan pemasukan bagi daerah, dan menyerahkannya kepada Dinas Pariwisata sebagai pelaksana teknis, melalui Surat Keputusan Nomor: 188.441400Dis 1200 PAR-G.572003. Dalam tataran implementasi sangat menyedihkan, fasilitas yang dibangun hanya untuk kepentingan sesaat, ”proyek oriented”. Kondisi saat ini fasilitas yang dibangun dengan biaya mahal telah menjadi tempat berlindungnya hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing dikala hujan dan tidak pernah ditemukan seorangpun pengelola di dalam kawasan ini selama penelitian.

5.6. Keterlibatan Stakeholder dalam Proses Penetapan TAHURA.

Proses penetapan TAHURA menjadi kawasan pelestarian alam merupakan integral kebijakan pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Tengah melalui Gubernur yang salah satu dasar pertimbangan bahwa pengembangan Kota Palu ke depan akan diarahkan pada wilayah bagian Utara dan Timur Kota Palu. Konsekwensi dari kebijakan ini adalah banyaknya lahan-lahan milik masyarakat yang dialihfungsikan pemanfaatannya dari lahan penggembalaan dan kebun jagung dikala hujan, menjadi tempat pembangunan sarana dan prasarana seperti Kampus Universitas Tadulako, yang telah mengambil lahan masyarakat sebesar 250 Ha, tanpa ganti rugi. Demikian pula halnya lahan-lahan yang dimanfaatkan untuk pemukiman transmigrasi Lingkungan Industri Kecil LIK yang saat ini telah didefinitifkan menjadi kelurahan Layana Indah. Lokasi pemukiman tersebut sebelumnya adalah lahan kebun jagung masyarakat dan areal penggembalaan ternak sapi, kambing dan domba masyarakat Vintu dan Dupa Indah. Karena areal tersebut termasuk dalam wilayah pengawasan Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tengah sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Gubernur No. SK.239591IX1987 yang ditanda tangani oleh Abdul Azis Lamadjido, SH ; maka penempatan warga transmigran-pun tidak dilakukan konsolidasi dan konsultasi dengan masyarakat. Pada era tersebut keputusan pemerintah segala- galanya, bagi yang melakukan kritik dianggap suversif, sehingga sulit mendapatkan political will terhadap masyarakat miskin yang jumlahnya terbesar dari penduduk keseluruhan Kota Palu hingga sekarang. Dengan situasi ini maka berbagai tanggapan dari para pihak sebagai bentuk responsibilitas individu sebagai pejabat atau bagian dari pengambil kebijakan di daerah. Banyak komentar yang dilontarkan ketika dilakukan dialog diskusi dengan mereka, setelah kebijakan kawasan ini diserahkan kepada pemerintah daerah cq Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Sikap tersebut merupakan bentuk kepedulian yang tidak memiliki akses langsung, sehingga mengharapkan pengelolaan kawasan perlu melibatkan stakeholders, dengan masukan-masukan konstruktif yang perlu mendapat umpan balik dari pemegang wewenang, disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17. Keterlibatan stakeholders dalam proses tata batas TAHURA SULTENG Stakeholders Aspek keterlibatan TanggapanKomentar Sumber Informasi Petani, pdlg emas, perotan Tidak terlibat Pemerintah bertindak sepihak Responden Bapedalda Tidak terlibat ¾ Kawasan TAHURA perlu dipertahankan. ¾ Perlu sosialisasi intensif ¾ Konservasi tetap digalakkan sesuai dengan konsep bersama. ¾ Tidak layak untuk dilakukan eksploitasi apapun bentuknya. Drs. Said Awad, MH Kepala BAPEDALDA SULTENG ¾ Kawasan tersebut, daerah jalur penerbangan pesawat penumpang. BKSDA Terlibat, perencanaan awal, site plan – implementa si sebelum diserahkan ke pemda. ¾ Harapannya dapat berlanjut dan semua pihak bisa terlibat. ¾ Secara teknis selalu memberikan masukan kepada Dinas Kehutanan ¾ Pemerintah daerah belum konsern mengelola TAHURA. ¾ Perlu dibentuk secepatnya UPTD Unit Pengelola Teknis Daerah. Kepala BKSDA Wil VI Sulawesi : Ir. Istanto, M.Sc dan Ir. Toran Lamban Tobing. BP-DAS Terlibat, perencanaan -site plan ¾ Kesinambungan program, harus melibatkan masyarakat dalam kawasan. ¾ Pengelolaan masih dilakukan sektoral oleh instansi teknis. ¾ Untuk menghindari konflik, perlu rekonstruksi total tata batas kawasan. ¾ Dinas kehutanan harusnya melakukan implementasi program bersama masyarakat. ¾ Masyarakat lokal harus dilibatkan dalam kelompok pengelola sebagai kontrol pengamanan TAHURA dengan pendekatan budaya. Kepala BP- DAS Palu- Poso : Ir. Trimuljono Admomartono. BAPPEDA SULTENG Terlibat, dalam penyusunan draf Peraturan daerah tentang RTRWP Sulteng. ¾ Secara khusus TAHURA belum dibuat Perdanya, telah termuat dalam salah satu pasal pada Perda No. 2 Tahun 2004. ¾ Untuk keberlanjutan pelestarian, rencana eksploitasi tambang emas di Poboya di tolak. ¾ Rencana pembukaan jalan poros Parigi- Palu, melintasi TAHURA tidak disetujui Gubernur krn merusak ekosistem dlm pidato tertulis. Sekretaris Bappeda : Sakina, SE dan Ardin T.Tayeb, SE.MT Kasie Tata Ruang Daerah. LSM Perkum pulan Bantaya Tidak terlibat dan tidak dilibatkan ¾ Tidak ada pengakuan terhadap masyarakat lokal, secara de fakto memiliki sumberdaya. ¾ Kawasan hutan tetap, perlu dirubah adalah peraturan. ¾ TAP MPR No. IX2001 ttg pembaruan agraria, UUperaturan bertentangan otomatis tidak berlaku termasuk UU Kehutanan. ¾ Perlu dilakukan lokakarya sekaligus perumusan dan seklaigus produk kebijakan TAHURA. Hedar Laudjeng, SH Dinas Kehutanan Pengendali dan pemegang hak pengelolaan ¾ Belum ada kegiatan yang signifikan, dan penetapan dilakukan sepihak tanpa melibatkan masyarakat. ¾ Izin untuk pemanfaatan sumberdaya alam TAHURA belum diberikan kepada siapapun. Kepala Dinas Kehutanan : Ir. Chairul Anantha dan Kasubdin KPA : Ir. Jein. DPRD Propinsi Penetapan PerDa ¾ Perda TAHURA secara khusus belum ada. ¾ TAHURA termuat salah satu pasal dalam Perda No. 2 Thn 2004. Pimpinan Dewan :H. Helmy D. Yambas, SE Pelaksanaan kegiatan tata batas berdasarkan Surat Tugas Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah, Nomor 5.98II-5KW-PL88. dulunya Kantor Wilayah. Dinas Kehutanan dalam hal ini sebagai pemegang kendali dan pemegang hak pengelolaan. Penetapan dan pemasangan tapal batas TAHURA dilakukan sejak Tahun 1986-1987, lalu dilanjutkan pada Tahun 1996-1997, dan kemudian tapal batas permanen Tahun 1999-2000 untuk proyek Pengelolaan Khusus dan TAHURA. 5.7. Analisis Right, Responsibility, Revenues dan Relationship 4 R. 5.7.1. Hubungan Stakeholder dalam Pengelolaan TAHURA SULTENG Pengelolaan suatu kawasan berupa TAHURA tidak dapat berjalan secara harmonis dan berkesinambungan manakala tidak dilaksanakan secara komprehenship dan pola kolaboratif. Stakeholder yang berkepentingan merupakan elemen penting yang tidak bisa diabaikan dalam proses pengelolaannya. Masyarakat komunitas lokal yang berdomisili di kawasan ini dapat dijadikan baromater untuk menilai perkembangan kawasan dari waktu ke waktu, terutama dalam aspek perubahan tutupan lahan dan degradasi dan deforestasi. Mereka yang lebih mengetahui dan memahami kawasannya dimana mereka hidup. Sumberdaya alam khususnya hutan bagi masyarakat lokal adalah sumber penghidupan yang sangat erat kaitannya baik dari aspek emosional maupun empirik. Dalam proses pengelolaannya juga ditentukan oleh hubungan-hubungan emosional, hubungan kelembagaan dan hubungan kekerabatan yang melakukan aktivitas sosial dan ekonomi. Hubungan-hubungan antar stakeholder belum terbangun suatu pola yang konsern dengan pengembangan TAHURA sebagai kawasandaerah penyangga untuk Kota Palu dan sekitarnya. Hubungan stakeholder khususnya bagi pengendalian sosial umumnya dilakukan antara individu atau antar orang. Pengendalian merupakan salah satu fungsi pencipta kondisi bagi kepribadian manusia. Manusia tidak melakukan sesuatu secara serta merta, akan tetapi kemungkinan besar berdasarkan kesadaran Soekanto dan Tjandrasari, 1987. Dari sejumlah stakeholder yang memiliki interest di TAHURA, hampir bahkan tidak ditemukan adanya hubungan yang dilakukan melalui program bersama di dalam kawasan hutan TAHURA dengan pelibatan masyarakat secara partisipatif. Keikutsertaan yang diberikan sesuai dengan kemampuannya adalah sesuatu yang perlu diapresiasi dan diberikan penghargaan, namun sampai akhir penelitian tidak satu-pun informasi baik dari komunitas masyarakat lokal maupun stakeholder lain seperti LSM, LurahKepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RT, menyampaikan keharmonisan dimaksud. Dari hasil simulasi yang dilakukan bahwa hubungan-hubungan baik secara individu aktor maupun kelembagaan berbeda dari setiap komunitas yang berada di dalam kawasan TAHURA. Hubungan-hubungan tersebut dapat dilihat dari hasil simulasi berikut ini :

5.7.1.1. Komunitas Masyarakat Kaili Tara di Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Tmur.

Gambar 11. Simulasi hubungan kelembagaan dengan diagram venn, di komunitas masyarakat Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Timur. Keadaan yang digambarkan komunitas masyarakat Vatutela dalam simulasi di atas menunjukkan tidak adanya komunikasi yang dilakukan baik dari stakeholder di luar pemerintah maupun pihak pemerintah, kecuali Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. Institusi di luar LSM melakukan aktivitas pembangunan bersangkutan yang berkaitan dengan pengembangan kemasyarakatan sangat jarang melakukan proses komunikasi baik kelompok kecil di masyarakat maupun kolektif. Dari gambaran tersebut menunjukkan kurang harmonisnya hubungan antar komunitas masyarakat dalam kawasan dengan Dinas Kehutanan yang secara kelembagaan bertanggung jawab dengan penetapan tata batas TAHURA, di dalamnya lahan masyarakat. Hubungan-hubungan antara stakeholder, menunjukkan tidak adanya koordinasi dan komunikasi yang Masyarakat LSM Untad Dishut Lurah Camat BKSDA Distamen DPRD PDAM dilakukan mengenai keberadaan TAHURA. Sementara kawasan ini adalah sumber penghidupan masyarakat di dalamsekitar kawasan, juga bagian dari ekosistem TAHURA. Dari hasil pengembangan diskusi terfokus FGD komunitas masyarakat lokal Vintu bahwa TAHURA diartikan sebagai Taman Hutan Rakyat. Pengertian ini membuat gerang dan marah terhadap pemerintah yang sewenang-wenang melakukan klaim terhadap lahan mereka. Bahkan ada yang memahaminya hutan tersebut dijadikan Taman Rakyat oleh pemerintah. Komunikasi yang tidak terjalin antara masyarakat dan pemerintah sebagai pemegang hak kelola, hal tersebut menjadi krusial ketika kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat LSM melakukan aktivitas kemasyarakatan dan memberikan informasi yang tanggung. Informasi yang disampaikan kelompok ”LSM” mengindikasikan bahwa pemanfaatan sumberdaya dalam kawasan tersebut sepenuhnya akses masyarakat lokal dan atau komunitas masyarakat adat dalam situasi tertentu tidak dapat optimal.

5.7.1.2. Komunitas Masyarakat Kaili Tara di Vintu Kelurahan Layana Indah Kecamatan Palu Timur.

Gambar 12. Simulasi hubungan stakeholder pada komunitas masyarakat Vintu Kelurahan Layana Indah Kecamatan Palu Timur. Pola hubungan yang terjadi pada komunitas masyarakat lokal Vintu berbeda dengan komunitas masyarakat di tempat lain yang masuk dalam kawasan TAHURA. Dari simulasi yang diperlihatkan di atas bahwa yang melakukan interaksi dengan masyarakat justru institusi-institusi yang secara formal dan tidak memiliki wewenang terhadap kebijakan TAHURA. Informasi tentang lahan- lahan masyarakat vintu yang masuk di dalam kawasan TAHURA justru Masyarakat LSM Binsa B.dal da Diskes P.kop Disos Pol Dishut Palu PPL Dishut Prop. disampaikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LSM disaat melakukan aktivtas pemberdayaan masyarakat di komunitas tersebut. Gambar simulasi di atas menunjukkan bahwa institusi yang melakukan interaksi dengan masyarakat adalah sektoral sifatnya, antar instansi tidak pernah melakukan koordinasi baik pada level pengambil kebijakan maupun dalam tataran impelementasi. Instansi berjalan sendiri-sendiri dan enjoi dengan program sektoralnya, yang tujuannya hanya sekedar memenuhi target proyek. Indikator yang dapat dilihat pada kegiatan-kegiatan bersifat proyek oriented berupa plot- plot percontohan dilakukan sendiri oleh instansi bersangkutan bersama PPL-nya tanpa dibangun komitmen bersama dengan masyarakat sebagai pelaku dan sasaran program, seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Kota Palu pada komunitas masyarakat Vintu. Masyarakat berpandangan, proyek tersebut diciptakan untuk tujuan instansi bersangkutan, dimana masyarakat berasumsi mereka dijadikan obyek. Indikatornya bahwa memasukkan proyek ini tidak dilakukan konsultasi publik komunikasi dan dialog sebelumnya, masyarakat suka atau tidak suka harus menerimanya. Contoh dalam penetapan lokasi proyek, tidak perlu mendapat persetujuan masyarakat pemilik lahan, penetapan instansi pemerintah dinas teknis bersangkutan sudah yang terbaik. Stakeholder selama keberadaan TAHURA belum pernah melakukan interaksi dengan masyarakat, walaupun ada program yang dilakukan stakeholder bersangkutan di lingkungan Vintu kawasan Bulu Bionga. Stakeholder yang berkepentingan terutama pihak pemerintah mengintroduksi program sektoralnya tanpa menjadikan masyarakat sebagai mitra dalam proses penyelenggaraan program, tetapi sebagai obyek bagi pembangunan proyek bersangkutan.

5.7.1.3. Komunitas Masyarakat Kaili Tara di Bunti Pobau Keluarahan Poboya Kecamatan Palu Timur.

Gambar 13. Simulasi Hubungan stakholders di Komunitas Masyarakat Bunti Pobau Kelurahan Poboya Kecamatan Palu Timur Masyarakat PPL Dishut Palu Lurah Camat BKSDA Distamen DPRD PDAM Hasil simulasi yang dilakukan masyarakat lokal yang beraktivitas sebagai petani bawang di Bunti Pobau Kelurahan Poboya, yang juga dijadikan sebagai lokasi penghijauan yang dikenal dengan PPN 25, 26, dan 29, menunjukkan bahwa peran pemerintah sangat kecil untuk melakukan proses pengembangan usaha perekonomian petani, sementara produksi bawang merah petani di kawasan ini cukup memadai. Tanpa intervensi pemerintah saja pendapatan dari produksi bawang merah antara 2,5 sampai 9 juta per kepala keluarga per panen. Komunitas masyarakat lokal di kawasan ini juga adalah masyarakat adat Kaili Tara. Kepemilikan lahan di wilayah ini secara de fakto sejak sebelum negara Republik Indonesia terbentuk. Beberapa indikator yang dapat ditunjukkan berupa tempat-tempat atau lokasi diberikan nama dan tanda-tanda bekas pemukiman berupa pekuburan Pomene. Selain pekuburan, lokasi-lokasi di daerah ini telah memiliki nama seperti Bunti Lari, Kapu’a, Sigogo, Rima-rima, Tanunggu, Lelona, Pompole Rogo, Pogimba, Pobau tempat membuat adat, Songgoraka, Tanibo, Marambu, Masinoe, dan Bosena. Tanaman-tanaman masyarakat yang dapat dijadikan bukti hak milik adalah kemiri, mangga, kelapa, durian, kopi dan lain-lain. Tanaman-tanaman tersebut menunjukkan bukti tanaman leluhur komunitas masyarakat adat Tara. Tanaman tersebut perlu dilindungi karena merupakan sumber penghidupan masyarakat. Klaim tanah yang dilakukan pihak pemerintah dan melarang adanya aktivitas di dalamnya, merupakan perampasan hak atas tanah ulayat dan tanah individu masyarakat, yang dijadikan kawasan cagar alam.

5.7.1.4. Komunitas Masyarakat Kaili Tara di DAS Poboya Kelurahan Poboya Kecamatan Palu Timur.

Gambar 14. Simulasi Hubungan stakholder di Komunitas Masyarakat Hulu DAS Pondo dam Bunti Pobau Kelurahan Poboya Kecamatan Palu Timur Masyarakat LSM Dishut Lurah Camat BKSDA DPRD Distamen CPM P.rot an Hasil simulasi yang ditunjukkan pada gambar 14 di atas bahwa interaksi hubungan antar stakeholder sangat sektoralis dimana masing-masing melakukan aktivitas program sangat jarang melakukan koordinasi. Aktivitas yang diperoleh beberapa stakeholder agar mendapatkan akses di TAHURA melalui masyarakat berupa berbagai provokasi program seperti halnya konsorsium LSM yang menamakan dirinya sebagai Koalisi ORNOP untuk Hutan Sulawesi Tengah disingkat KORAN. Stakeholder lain melakukan program sektoral berupa memberikan bantuan kepada masyarakat sebagai investasi sosial agar mendapatkan akses terhadap hutan di TAHURA. Untuk akses terhadap sumberdaya alam seperti pertambangan emas, bagi PT. Citra Palu Minerals CPM dari Rio Tinto Group mendapatkan legitimasi untuk mengakses sumberdaya TAHURA melalui Pemerintah Daerah untuk melakukan eksplorasi dan menentukan titik-titik pemboran dalam kawasan. Dalam proses ini menimbulkan konflik horisontal antara sesama masyarakat yang tidak mau menerima kehadiran perusahaan tersebut untuk mengeksplorasi dan eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam di wilayah mereka. Bagi kelompok yang berpihak kepada PT. CPM adalah mereka yang telah melakukan hubungan-hubungan sosial dan mendapatkan kapital kekuatan untuk menekan masyarakat yang menolak kehadiran pertambangan. Dari penekanan-penekanan yang dilakukan dari pihak pendukung CPM, menimbulkan konflik horisontal bahkan vertikal. Kehadiran Dinas Pertambangan dan CPM adalah sumber konflik berdarah di kawasan Poboya Kecamatan Palu Timur. Dari fenomena sosial yang krusial ini menyebabkan konflik fisik berdarah antara sesama warga yang mendapat suplai dari pihak perusahaan dengan masyarakat yang menolak pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi tambang di wilayah ini. Kelompok masyarakat yang menolak mendapat penguatan dari LSM melalui lokakarya dan aktivitas bersama menyusun perencanaan pemanfaatan kawasan untuk dijadikan bahan masukan kepada Pemerintah Daerah cq Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Lokakarya yang dilakukan tanggal 30 Mei sampai 1 Juni 2006 dengan topik cara Kelola TAHURA Berbasis Komunitas, yang dihadiri oleh perwakilan masing-masing komunitas masyarakat dengan enam poin kesepakatan Koran, 2006 sebagai berikut : 1. Masyarakat pengolah dan pemanfaat hasil hutan non kayu rotan, damar, madu dll, mendapatkan dukungan dan perlindungan dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah atas dasar keberlanjutan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan TAHURA. 2. Di kawasan TAHURA tidak ada penambangan batu, pasir, emas dll, kecuali dilakukan dengan praktek-praktek kearifan tradisional yang sudah dilakukan secara turun-temurun. 3. Penempatan tapal batas TAHURA harus melibatkan masyarakat. 4. Keterlibatan pemerintah dalam mengelola TAHURA sangat dibutuhkan apabila memperhatikan azas manfaat yang besar bagi kepentingan mayarakat. 5. Reboisasi di TAHURA harus menggunakan tanaman produktif. 6. Mendesak kepada pemerintah untuk merevisi hasil tapal batas TAHURA dengan melibatkan masyarakat se-tempat. Jika dimaknai keenam poin di atas, sepenuhnya wewenang di pihak masyarakat. Dengan fenomena yang ada sekarang perlu penelaahan lebih cermat dan belajar dari pengalaman yang terjadi pada kawasan Dongi-dongi Taman Nasional Lore Lindu, berakhir pada open akses yang kebablasan. Keterlibatan para pihak dalam proses pengelolaan TAHURA perlu membangun komitmen dan tanggungjawab berkaitan dengan keberlanjutan integritas kawasan. Pemanfaatan potensi sumberdaya kawasan berupa kandungan tambang emas, perlu pengaturan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan hak-hak alam juga menjadi perhatian yang serius bagi para penambang. Praktek penambangan rakyat dengan menggunakan teknologi sederhana yang tidak berdampak pada kerusakan lingkungan seperti penggunaan keset kaki untuk mendapatkan emas dari hasil galian dalam sungai perlu dipertahankan, dan penggunaan teknologi seperti ini perlu diatur melalui mekanisme keadatan. 5.7.1.5. Komunitas Masyarakat Kaili Tara Ledo di Uentumbu Kelurahan Kavatuna Kecamatan Palu Selatan. Gambar 15. Simulasi Hubungan stakeholder di Komunitas Masyarakat Uentumbu Kelurahan Kavatuna Kecamatan Palu Selatan Masyarakat Pdg. Rotan Dishut Palu Lurah Camat BKSDA DPRD PDAM Dishut Prop . Komunitas masyarakat lokal Uentumbu Kelurahan Kavatuna memiliki kelompok usaha rotan. Kelompok tersebut mengkhususkan diri sebagai kelompok yang sumber pendapatannya dari hasil rotan. Kelembagaan kelompok ini mendapat dukungan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Palu berupa bantuan dana untuk kelompok baik penguatan kelembagaan maupun pengembangan usaha. Selain dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Palu, juga mendapat supporting program dari Lurah dan pemerintah kecamatan. Pemasangan tapal batas oleh Dinas Kehutanan pada Tahun 1997 tidak dilakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat di kawasan ini. Personil yang ditugaskan merekrut dua orang warga masyarakat lokal di Uentumbu Sanarudin56 thn dan Desa52 thn sebagai tenaga kerja dengan upah per harinya Rp.4.000 empat ribu rupiah selama satu bulan. Setelah pemasangan tapal batas tersebut, kedua warga ini diberikan insentif sebesar Rp. 40.000 empat puluh ribu per bulan selama tiga bulan untuk menjaga dan mengawasi tapal batas yang telah terpasang di kawasan Hulu Sungai Mamara Kavatuna. Untuk mendukung kebijakan TAHURA tersebut, pihak Pemerintah Daerah melalui PDAM melakukan pemasangan pipa dan pembuatan bak-bak air pada masing-masing kawasan yang dianggap kritis kekurangan air yang akan digunakan untuk menanam pohon yang akan ditanam berupa penghijauan dan reboisasi dari Departemen Kehutanan. Dalam kegiatan ini pihak PDAM melakukannya tanpa melibatkan masyarakat sehingga nampak saat ini campuran semen yang berserakan berbentuk segi empat bekas bak dan sebagian tinggal puing-puing semen. 5.7.1.6. Komunitas Masyarakat Kaili Ledo di Tompu Desa Ngata Baru Kapopo Kecamatan Biromaru Kabupaten Donggala. Gambar 16. Simulasi Hubungan stakholder di Komunitas Masyarakat Tompu Desa Ngata Baru Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Masyarakat P. Rotan Dishut Prop. Kades Camat BKSDA LSM Masyarakat Tompu atau lebih dikenal dengan sebutan To ri Tompu mendiami kawasan pegunungan Bulili, tepatnya arah Timur dari Desa Ngata Baru Kapopo Kecamatan Sigi-Biromaru Kabupaten Donggala. Tompu berjarak 10 km dari Ibukota Kecamatan Sigi-Biromaru, 50 km dari Ibukota Kabupaten Donggala dan hanya 15 km dari Kota Palu Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Tompu adalah Desa Tua sebelum Indonesia merdeka, dan dikenal sebagai Desa Adat atau Ngata topo ada’ Karim, at al, 2005. Masyarakat Tompu dalam melakukan hubungan sosial selalu dituntun dengan etika sosial yang meurut adat dalam bertutur kata haarus mengikuti kaidah yang diajarkan tetua totua ada’. Komunitas masyarakat lokal Tompu yang dalam hubungan sosial memiliki kesadaran yang tinggi. Kesadaran sosial individu terhadap kelompok komunitasnya merupakan suatu aspek penting dalam proses pengendalian sosial maupun perkembangan kepribadian. Perilaku ini merupakan suatu kesadaran manusia terhadap tindakan fihak lain terhadap komunitasnya dan terhadap pelbagai jenis perilaku Tjandrasari dan Soekanto, 1987. Kesadaran ini protes terhadap sesuatu muncul tatkala tim pengukur tapal batas kawasan TAHURA datang melakukan aktivitas di wilayahnya dengan menggelar tenda di halaman Kepala Dusun Kalinjo-Tompu tanpa melakukan konsultasi dan pemberitahuan. Keadaan ini merubah suasana dan pemikiran komunitas masyarakat adat dan bereaksi terhadap obyek dengan situasi yang berbeda dari sebelumnya. Kesadaran ini tidak hanya mencakup kesadaran akan reaksi pihak lain terhadap perilaku kelompok dalam komunitas masyarakat, tetapi kemampuan untuk membayangkan reaksi apa yang akan tinbul terhadap perilaku pendatang yang datang melakukan pengukuran di lahan-lahan komunal dan individu warga. Dampak dari timbulnya kesadaran sosial, individu menyadari akan posisinya secara relatif dalam suatu kelompok atau komunitas adat. Individu merasakan dan menyadari akan lebih terhormat, berprestasi dan harga dirinya akan terpelihara jika kesadaran untuk melakukan aksi diserahkan kepada institusi adat untuk mengakomodirnya. Dengan demikian dia menganggap dirinya mempunyai suatu kedudukan tertentu yang merupakan unsur yang sangat kuat dalam pengendalian sosialnya. Pengendalian sosial dari individu dalam komunitas ini cenderung mentaati pola perilaku yang melembaga dan menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak disukai kelompok atau komunitasnya. Kepercayaan pada pola perilaku yang telah melembaga ini merupakan hasil pengalaman sosial dan partisipasinya dalam kelompok. Akan tetapi masih ada sebagian kecil dalam kelompok yang terbatas kemampuannya dalam memahami aturan-aturan yang telah disepakati dalam institusi adat sehingga melanggarnya. Totalitas perubahan kesadaran ini merupakan hasil dari proses interaksi dengan pihak luar yang memakan waktu cukup lama. 6.7.1.7. Komunitas Masyarakat Kaili Ledo di Raranggonau Tanalando Desa Pumbeve Kecamatan Biromaru Kabupaten Donggala. Hasil simulasi di komunitas masyarakat Tanalando di bawah ini berbeda dengan beberapa komunitas lainnya yang ada dalam kawasan TAHURA. Kontak yang dilakukan oleh pihak kecamatan, maupun pihak Kabupaten dan Propinsi berkaitan dengan program sektoral khususnya dengan status kawasan Hutan Produksi Terbatas HPT, tapal batas kawasan TAHURA bergeser ke arah Utara. Pemukiman Tanalando masuk dalam areal HPT, namun sebagian lahan-lahan kebun masyarakat masuk dalam kawasan TAHURA. Gambar 17. Simulasi Hubungan stakholder di Komunitas Masyarakat Raranggonau Desa Pumbeve Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Pola bertani masyarakat Tanalando, dalam membuka lahan tidak semua pohon ditebang, disisahkan sebahagian pohon-pohon khususnya yang berdiameter di atas 60 cm. Tujuannya untuk pelindung tanaman coklat dan sebagai penyangga jika terjadi hujan khususnya lahan-lahan yang berada pada kemiringan. Untuk komunikasiinteraksi dengan pihak luar, komunitas ini lebih sering dikunjungi seperti pemerintah desa, kecamatan dan instansi sektoral seperti petugas lapangan dari Dinas Kehutanan dan pedagang rotan. Mereka ini melakukan kontak langsung dengan masyarakat Tanalando. Instansi lain datang hanya berkunjung, tetapi tidak melakukan kontak langsung dengan masyarakat. Masyarakat P. Rotan Distan Dishut Prop. Kades Camat BKSDA DPRD Disos Komunikasi hanya dilakukan dengan kepala Desa Pumbeve dan Kepala Dusun, berkaitan dengan program yang akan digulirkan di komunitas ini.

5.7.2. Hak Pemanfaatan Sumberdaya Alam TAHURA.

Hak pemilikan Property right untuk memanfaatkan sumberdaya alam bagi masyarakat komunitas lokal didasarkan pada konsep de jure dan de fakto. Hak kepemilikan property right yang dilegalisasi oleh pemegang hak yang diwariskan negara adalah pemerintah. Pemerintah melalui Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan property right mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan kepentingan para stakeholder. Hutan bukan hanya sebagai sumberdaya alam yang menunjang pembangunan ekonomi, tetapi sebagai sumberdaya alam yang menunjang pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup keseimbangan ekosistem. Kebijakan yang bersifat sentralistik, tanpa ada mekanisme bagi masyarakat untuk memberikan apresiasi umpan balik, kurang berhasil dalam mengakomodir kepentingan stakeholder maupun masyarakat di dalam kawasan hutan. Pemerintah tidak cukup hanya mengandalkan informasi mengenai karakteristik lokal sumberdaya hutan dan lingkungannya sebagai landasan pengambilan keputusan dan pengendalian Ichwandi, 2003. Hak pemanfaatan bisa juga terkait dengan eksploitasi ekonomi sumberdaya Dietz, 2005. Hak dalam prakteknya tidak selalu harus menentukan siapa yang dizinkan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Hak sekurang-kurangnya mengandung tiga komponen yaitu subyek hak, obyek hak, dan jenis haknya. Selanjutnya dalam sistem tenurial penting diketahui siapa yang memiliki hak de jure atas sumberdaya dan siapa dalam kenyataannya de fakto menggunakan sumberdaya. Pada hakekatnya terdapat empat 4 jenis property right terhadap sumberdaya yang berbeda satu sama lain, yaitu milik priadi private property, milik umum atau bersama common property milik negara state property, dan tidak bertuan open access. Jenis-jenis property right tersebut, TAHURA SULTENG mengakomodasi ketiganya kecuali open acces. Secara normatif sumberdaya hutan tidak terdapat kawasan open acces karena semua kawasan hutan di Indonesia adalah dikuasai oleh negara atau state property. Dari 52 informan yang dicoba dieksplorasi informasinya terdapat 3 responden atau sebesar 5,76 yang memiliki hak milik secaraa de jure. Selebihnya kepemilikan de fakto sebesar 94,24 atau sebanyak 48 responden. Hak de fakto tersebut diwarisi dari leluhurtetua yang menurun secara terstruktur dari generasi ke generasi berikutnya. Kepemilikan yang ada bagi masyarakat lokal di dalam kawasan TAHURA, karena pengakuan adat, hubungan sosial dan kekerabatan yang terjalin di masyarakat secara harmonis. Kontrak sosial yang ada di antara sesama warga masyarakat hanya karena dilatari komitmen moral dan mempercayai serta meyakini amanah atau pesan-pesan yang ditinggalkan generaasi sebelumnya atau orang tua bersangkutan. Dengan kondisi terkini saat ini yang menjadi polemik bahkan konflik adalah penetapan hak terhadap masyarakat lokal yang belum ada ketegasan pemerintah atau dengan perkataan lain bahwa pihak pemerintah hanya mengakui hak sesorang jika dibuktikan dengan legal fomal berupa izin, sertifikat dan sejenisnya, dan ini banyak terjadi di dalam kawasan hutan oleh pemerintah menetapkan kebijakan tanpa memperdulikan masyarakat yang ada di dalamnya. Sementara pemilikan yang ada di masyarakat khususnya di luar Jawa dan Madura, kebanyakan hak kepemilikan ditetapkan berdasarkan hubungan-hubungan sosial dan adat atau konvensi. Dalam berbagai fenomena yang ada, dan tragedi berdarah karena perebutan hak, Kartodihardjo 2005 menyatakan bahwa penetapan hak secara tepat adalah keselarasan antara hak dan kewenangan lembaga lokal misalnya : institusi adat, serta hak dan kewenangan pemerintah. Selanjutnya dipertegas lagi, jika hal ini tidak dilakukan maka masyarakat akan menetapkan keputusan-keputusan yang diambil di luar hukum yang berlaku, dan akan membuat kebijakan pengelolaan sumberdaya alam sangat sulit bahkan tidak mungkin dijalankan. Kemandegan TAHURA SULTENG merupakan implikasi ketidak selarasan dalam menetapkan kawasan tersebut, masyarakat dipandang sebagai komponen yang tidak penting dan tidak memahami sesuatu, bahkan diasumsikan masyarakat mudah dipindahkan, jika tidak mau akan memanfaatkan semua kekuatan untuk memindahkannya ke tempat lain. Keadaan ini terbukti ketika kawasan ini direncanakan akan diusulkan menjadi Taman Hutan Raya, masyarakat Tompu yang berjumlah di atas 1000-an kepala keluarga dipindahkan ke Palolo sebagai warga transmigrasi lokal yang dikenal dengan program resetlemen. Warga yang pertama dibawa dengan diberikan berbagai fasilitas adalah Kepala Desa Tompu. Hal ini dimaksudkan agar warganya tidak bisa berbuat banyak tidak dapat melakukan perlawanan, karena pengayom selama ini sudah tidak ada lagi. Dengan keterpaksaan, sebagian ikut program yang lainnya melakukan perjalanan sendiri bergantung keinginan dimana ada kehidupan yang bisa memberikan nafkah keluarga, mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup sehari dua. Penyebaran masyarakat saat itu hampir semua wilayah ada, termasuk wilayah Parigi, sekarang telah menjadi Kabupaten Parigi Moutong.

5.7.3. Akses Stakeholder terhadap Pengelolaan TAHURA

Akses menurut Ribot dan Peluso 2003 merupakan kemampuan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam bentuk benda, jasa, ilmu pengetahan, dan lain- lain melalui individu, organisasi, komunitas masyarakat, kelompok tani, dan sebagainya. Stakeholders yang berkepentingan dalam pengelolaan akses sumberdaya alam Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah, disajikan dalam Tabel 18. Kepentingan tersebut menunjukkan keragaman penggunaan akses, dan melihat mekanisme pengelolaan akses siapa dan mendapatkan apa di dalam kawasan TAHURA tersebut Ribot dan Peluso, 2003. Petani menggunakan sumberdaya alam melalui pemanfaatan lahan yang diperoleh dan mengalir dari leluhur nenek moyang yang menurun berdasarkan garis keturunan antar lintas generasi. Sementara stakeholder lain berupa pemanen rotan mengakses sumberdaya hasil hutan non kayu berdasarkan hak dejure yang dimiliki seperti izin pengolahan yang diperoleh dengan membayar provisi kepada Dinas Kehutanan, dengan jangka waktu tertentu dan volume produksi yang terbatas setiap produk. Dari tujuh kawasan pemukiman di dalam dan sekitar TAHURA hak pemilikan atas sumberdaya khususnya lahan tidak ditemukan secara de jure, namun de fakto-nya masyarakat lokal Kaili telah memiliki dan mengelolanya secara lintas generasi melalui pengakuan institusi adat dengan hubungan- hubungan sosial yang harmoni antar individu dan komunitas masyarakat setempat. Akses tersebut telah berlangsung lama dengan kebiasaan dan prosedur lokal yang dilakukan institusi adat kepada warganya. Hal yang sama terhadap hak kepemilikan property right komunal atas sumberdaya berupa tanaman kopi di lahan-lahan adat yang luasnya berkisar 30 hektar yang saat ini dikuasai oleh komunitas masyarakat lokal Kaili Tara di Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Timur. Namun sampai akhir penelitian dilakukan, belum memperlihatkan pengakuan pemerintah daerah terhadap kepemilikan sumberdaya komunal yang juga merupakan sumber pendapatan bagi warga masyarakat lokal Kaili di wilayah ini. Dalam konteks ini sangat ironis tatakala TAHURA menjadi kawasan pelestarian disatu sisi dan kepentingan ekonomi warga masyarakat untuk penghidupan keluarga petani di sisi lain. Kepentingan-kepentingan inilah yang menjadi sumber permasalahan jika mekanisme pengelolaan akses sumberdaya alam yang tertata batas dalam kawasan TAHURA tidak jelas. Pemerintah daerah dengan mengacu pada peraturan-peraturan yang ada, kepentingan-kepentingan stakeholders tersebut akan dapat terfasilitasi manakala pemerintah daerah merespon dan menindaklanjuti peraturan-peraturan yang dijabarkan sesuai dengan kondisi lokal wilayah, akan mendapatkan dukungan moril masyarakat lokal Kaili dalam kawasan dan stakeholder lainnya. Dari kedua kepentingan tersebut, masyarakat lokal Kaili tidak menolak kehadiran TAHURA sebagai kawasan pelestarian, namun perlu dipertimbangkan hak-hak de fakto yang juga menjadi sumber penghidupan dari 529 kepala keluarga dengan 2.416 jiwa yang bergantung pada sumberdaya alam TAHURA. Tabel 18. Kepentingan Stakeholders atas sumberdaya alam TAHURA Stakeholders Kepentingan atas sumberdaya alam TAHURA Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah Perlindungan dan pelestarian hutan alam, konservasi, pengaturanpengelolaan, pemanfaatan dan penerapan peraturan. DPRD Propinsi Sulawesi Tengah Menyusun dan menetapkan peraturan daerah mengenai TAHURA Lembaga Swadaya Masyarakat NGOs Penguatan masyarakat lokal Kaili dan konservasi alam. Petani subsisten Pengelolaan lahan usahatani akses terhadap lahan kebun Perotan Mengakses sumberdaya alam hasil hutan : kayu dan non kayu. Pendulang emas Mengakses sumberdaya tambang di DAS Poboya emas. PT. Citra Palu Minerals Mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya tambang di Cagar Alam Poboya TAHURA Sulawesi Tengah. Pedagang sumberdaya hasil hutan Membeli hasil hutan kayu dan non kayu rotan Dinas Kehutanan pemerintah secara normatif adalah pemegang wewenang dalam pengelolaan Taman Hutan Raya, dan mengatur stakeholders sesuai dengan kepentingannya masing-masing, namun kenyataan di lapangan tidak demikian. Banyak kebijakan yang tumpang tindih, hak pemilikan individu maupun komunal umumnya tidak mendapatkan pengaturan yang jelas, termasuk zona pengelolaan dan pemanfaatan bagi pemangku kepentingan dan masyarakat dalam kawasan. Kepentingan stakeholders atas sumberdaya alam TAHURA tersebut dipetakan berdasarkan aliran akses dengan fakta lapangan sebagaimana disajikan dalam gambar 18 di bawah ini. Legenda : : Relasi bisnis antar stakeholder dan atau donatur. : Interaksi kapital mutualistis. : Akses Institusi Adat atas komunitasnya terhadap sumberdaya alam. : Aliran akses atas sumberdaya : Pemicu mediasi. : Klaim kawasan oleh pemerintah. Gambar 18. Peta akses stakeholders dalam pengelolaan TAHURA SULTENG Dari gambar tersebut menunjukkan karakteristik dan peta penggunaan akses oleh stakeholder atas sumberdaya alam TAHURA. Akses stakeholders khususnya masyarakat lokal Kaili yang direpresentasikan oleh petani, pendulang emas dan perotan berjalan secara alami dengan hubungan-hubungan sosial yang telah terbangun bertahun-tahun, baik internal maupun hubungan dengan pihak luar. Masyarakat lokal Kaili adalah pengguna akses gain atas sumberdaya alam dan de faktonya, mereka sebagai pemilik sebagian sumberdaya alam berupa lahan dan tanaman-tanaman keras yang ada di dalamnya. Pemilikan ini merupakan warisan dari tetua totua yang mengalir secara turun-temurun. Selain masyarakat lokal Kaili yang memanfaatkan sumberdaya tersebut, terdapat pihak lain yang memanfaatkan aliran akses dari petani, perotan dan pendulang emas seperti pedagang hasil hutan PHH. PHH adalah pemanfaat akses dengan perantaraan stakeholder lain dengan menggunakan kemampuan kapitalnya. Dengan kapital yang dimiliki, dalam keadaan tertentu berkemampuan mengendalikan akses dari sumberdaya alam yang ada. Dalam kenyataannya di lapangan, ditemukan Kades Sumberdaya TAHURA SULTENG Petani LSM Donatur PHH Pekayu Perotan Militer PEMDA DISHUT CPM Pdlg Emas konflik Klaim Pemerintah K. adat beberapa penggarap tenaga kerja bukan pemilik lahan. Pemilik lahan adalah pemodal beberapa pejabat di daerah yang mempekerjakan sekelompok masyarakat sebagai tenaga kerja harian. Beberapa kasus tersebut ditemukan pada petani bawang di Bunti Pobau. Pemanfaat akses selain masyarakat lokal Kaili adalah militer dan atau pihak yang memiliki kekuasaan dan teknologi untuk dijadikan kekuatan mendapatkan akses sumberdaya melalui hubungan-hubungan dengan stakeholder yang mengakses langsung. Proses-proses tersebut berjalan secara normal tanpa menimbulkan ekses-ekses negatif. Kebijakan pemerintah melalui KepMenHut No. 461Kpts-II1995, maka ditetapkan kawasan Cagar Alam Poboya, Hutan Lindung Paneki dan PPN 30 menjadi TAHURA, klaim-pun terjadi pada tahun 1997 dengan membatasi akses masyarakat lokal Kaili melakukan aktivitas usahatani dan kegiatan ekonomi lainnya di dalam kawasan yang telah dipatok di tata batas sementara. Kemudian penetapan tata batas permanen dilakukan tahun 1999 dengan mengganti tapal batas yang terbuat dari kayu dengan tapal batas yang terbuat dari semen bertulang besi. Dari proses penataan batas tahun 1997, maka tahun 1998 pengusiran dan pemindahan terhadap masyarakat lokal Kaili yang berada dalam kawasan ke wilayah lain juga dilakukan seperti komunitas masyarakat Vatutela, Poboya, Tompu dan Raranggonau, namun masyarakat tetap bertahan dan melakukan perlawanan 12 . Hal ini terjadi karena pemerintah tidak mengakui kepemilikan de fakto praktek kepemilikan adat, dan masyarakat tidak dapat menunjukkan kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang dianggap sah oleh negara Affif, 2002. Ketidakpedulian negara atas pemilikan de fakto berdampak pada situasi yang tidak kondusif yaitu keadaan menjadi krusial, perlawanan laten di masyarakat terhadap birokrasi pemerintahan telah tercipta dan menjadi borok yang disembunyikan. Perlawanan laten tersebut terakumulasi beriring dengan proses waktu, terekpresikan secara reflektif tatkala pemerintah memberikan izin pengelolaan tambang emas di Cagar Alam Poboya kepada PT. Citra Palu Mineral dan melakukann eksplorasi Tahun 1994-1995, dilanjutkan tahun 1997-2002 13 . Dalam proses eksplorasi ini konflik horisontal dan vertikal terjadi. Konflik horisontal adalah kelompok yang berpihak pada swasta dengan 12 Hasil wawancara ”Muslima” 67 th, tokoh masyarakat Vatutela, 17 Juli 2006. 13 ”Sarjun 43 th” warga Poboya yang menjadi tenaga eksploratif tambang tahun 1997-1998. Pada eksplorasi ditemukan 22 titik bor yang siap dieksploitasi oleh PT. Citra Palu Minerals anak perusahaan Rio Tinto Group. Wawancara 27 Juli 2006. masyarakat yang mempertahankan eksistensi kawasan tetap terlindungi dari eksploitasi. Masyarakat dari kelompok konservasionist dibantu oleh kelompok pekerja sosial termasuk LSM yang melakukan penguatan terhadap masyarakat agar tetap melakukan perlawanan dan mempertahankan eksistensi cagar alam sebagai yang perlu mendapat perlindungan. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Dinas Kehutanan dengan eksistensi TAHURA menjadi buruk dan dianggap tidak bertanggung jawab serta melanggar komitment. Pemerintah dalam perspektif masyarakat atas keberlanjutan eksistensi TAHURA adalah kendali atas akses, yang mengatur pengelolaan konservasi agar tetap berkelanjutan, namun faktanya justru sebaliknya ; berpihak kepada pemilik modal kelompok kapitalis. Pengelolaan akses di tataran implementasi, institiusi adat sangat besar peranannya khususnya dalam proses pengaturan anggota warganya dalam melakukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam sekalipun institusi adat tidak melakukan akses langsung secara teknis. Dalam perilaku masyarakat lokal Kaili komunitas masyarakat adat sangat taat dengan keputusan adat dan tunduk dengan aturan-aturan yang berkaitan dengan religiusitas. Mekanisme akses dari pemanfaatan sumberdaya alam di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 19 di bawah ini : Tabel 19. Peran stakeholders berdasarkan mekanisme akses sumberdaya TAHURA Mekanisme akses Stakeholders Pengguna akses Gain Kendali akses Control acces Memelihara akses Maintain akses Dinas Kehutanan 9 9 PT. Citra Palu Minerals 9 Petani subsisten 9 9 Perotan 9 9 Pendulang emas 9 Pengumpul batu kali 9 LSM 9 Traeler 9 Institusi adat 9 9 9 Sumber : Ribot dan Peluso 2003. Dinas Kehutanan adalah pemegang wewenang terutama untuk mengendalikan akses sumberdaya kawasan TAHURA. Dengan ditetapkannya kawasan ini menjadi wilayah konservasi maka tanggung jawab penuh berada pada Dinas Kehutanan, baik propinsi maupun kabupatenkota, yang mewakili pemerintah atas negara. Jika kontrol akses dilakukan dengan baik berdasarkan mekanisme tersebut di atas, konflik atas pemanfaatan sumberdaya alam akan dapat ditekan dan dieliminir, pada gilirannya akan dapat dilakukan pengelolaan kolaboratif berdasarkan fungsi yang sebenarnya. Fakta menunjukkan mekanisme tidak berjalan dan kurang harmonisnya hubungan sosial dalam pemanfaatan sumberdaya, sengketa antar petugas lapangan dari instansi pemerintah sering saja terjadi dalam areal petani yang dimanfaatkan untuk tanaman bawang dan palawija lainnya 14 . Stakeholders yang berfungsi menjadi pengendali akses adalah Dinas Kehutanan, dan pada level implementasi adalah institusi adat kelembagaan adat setempat. Dinas Kehutanan pemerintah melakukan kontrol pada tataran kebijakan termasuk pengaturan pemberian izin pemanfaatan sumberdaya alam. Dengan melihat mekanisme yang ditunjukkan dalam Tabel 19 di atas, keragaman pemanfaatan sumberdaya tersebut sesungguhnya dapat berjalan jika sistem governance terhadap pengelolaan sumberdaya alam berjalan dengan baik. Kelembagaan adat dalam memfasilitasi warganya untuk mengakses sumberdaya alam didasarkan pada kearifan-kearifan lokal yang didominasi norma dan etika yang bersumber dari adat istiadat dan kepercayaan Kartodihardjo, 2006. Masyarakat lokal Kaili Ledo dan Tara di lokasi penelitian, tergolong dalam kelompok penerima manfaatpengguna dari sumberdaya alam di kawasan ini. Stakeholders yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah petani, pendulang emas, pengumpul batu kali, PT. Citra Palu Mineral, traeler, dan institusi adat. Dalam proses memanfaatkan sumberdaya, beberapa stakeholder yang termasuk dalam kelompok ini sekaligus memelihara sumberdaya yang diakses, kecuali pendulang emas, pengumpul batu kali, PT. Citra Palu Mineral dan traeler pedagangpengusaha hasil hutan. Institusi adat merupakan stakeholder yang termasuk dalam kelompok pengguna tidak langsung, pemelihara akses sumberdaya melalui kearifan-kearifan lokal yang dimiliki dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan sebagai pengontrol akses melalui etika moral yang sudah merupakan keharusan dan dogma terhadap warga anggota komunitas masyarakat adat bersangkutan. Dalam pelaksanaan aktivitas ekonomi mereka berupa mengambil sumberdaya alam di dalam kawasan tetap dalam koridor etika yaitu 14 ” Ali Djaludin M 57 th, sengketa pemanfaatan lahan untuk pembibitan tanaman Jarak dari PemDa Kota Palu dengan masyarakat petani bawang di Bunti Pobau Poboya, wawancara 7 Agustus 2006. memperhatikan hak-hak alam seperti rotan yang berada di sekitar hulu sungai tidak boleh diambil atau ditebang 15 . Tabel 20. Ringkasan dari right, responsibility dan revenues di TAHURA SULTENG Stakeholders Right Responsi bility Revenues 1 2 3 4 Hak : ada Petani subsisten Akses : ada Ada Menerima pemasukan dari penjualan hasil padi ladang, coklat, kemiri, buah-buahan, sayuran dan lain-lain. Hak : tidak ada Pendulang emas Akses : ada Tidak ada Menerima penjualan emas hasil dulangan, sebesar Rp. 20.000-Rp. 50.000hari atau 2- 5 kacahari. Hak : tidak ada Penambang batu kali Akses : ada Tidak ada Menerima hasil penjualan batu kali dan kerikil. Hak : ada Petani bawanhg Akses : ada Ada Menerima hasil penjualan bawang sebesar 2,5 sd 9 juta per panen. Hak : ada Pengambil rotan Akses : ada Ada Menerima hasil penjualan rotan sebesar Rp. 292.500 per bulan pdpt, beresih. Hak : tidak ada Pedagang rotan Akses : ada Tidak ada Menerima manfaatproduksi rotan dari petani kelompok pengambil rotan. Kepala Dinas Kehutanan Hak : ada Akses : ada Ada Menerima hasil pengurusan hak berupa Izin, restribusi sumberdaya hutan kayu dan non kayu mendapatkan fee dari hasil hutan. Hak : tidak ada Pimpinan DPRD Akses : ada Tidak ada Mendapatkan fee dari hasil pengurusan izin eksploitasieksplorasi sumberdaya. Hak : ada PT. Citra Palu Minerals Akses : ada Tidak ada Dapat melakukan eksplorasi dan data- datatiik-titik pemboran 5 titik bor = 3 ttk dalam kawasan, 2 ttk sekitar kawasan. Hak : tidak ada LSM Akses : ada Ada Mendapatkan manfaat dari donor, melalui akses masyarakat terhadap kawasan hutan. Hak : tidak ada Babinsa Akses: tidak ada Tidak ada Manfaat langsung dan tidak langsung dengan pedagang rotan dan kayu hasil sumberdaya hutan. Hak : tidak ada PPL Akses : ada Ada Manfaat langsung berupa honor dari aktivitas yang dilakukan. Hak : tidak ada Kepala Dinas Pertambangan Akses : ada Tidak ada Manfaat izin berupa fee dari perusahaan pertambangan dalam kawasan hutan. Hak : ada KadesKepala DusunRT Akses : ada Ada Menerima pungutan hasil kesepakatan dengan petaniperotan dll untuk kas dusunRT, sebagian ke desakas kelurahan. Dari ringkasan right, responsibility dan revenues di atas menunjukan bahwa proporsi masing-masing stakeholder berbeda-beda terhadap kawasan TAHURA, baik dalam bentuk tanggung jawab maupun manfaat yang diterima. 15 Sanatanji 58 th, tokoh masyarakat di Uentumbu : Syarat-syarat rotan yang layak diambil. Jenis rotan yang diambil adalah jenis batang yang ukurannya berdiameter 4-7 cm dengan panjang antara 10-20 meter setiap batangnya. Demikian pula terhadap pemegang wewenang yang memberikan hak pengelolaan kepada stakeholder. Dengan ringkasan tersebut dapat diihat siapa- siapa yang mendapatkan hak, akses dan manfaat, dan siapa saja yang tidak mendapatkan hak, tetapi mendapatkan akses dan manfaat dari sumberdaya, bahkan dapat dilihat pula siapa-siapa yang tidak mendapatkan hak dan akses namun mendapatkan manfaat dari sumberdaya tersebut. Keragaman yang mendapatkan sesuatu dari sumberdaya tersebut bagi aktorstakeholders bisa jadi karena memang berdasarkan legal hukum mendapatkan haknya, dan tanpa legal hukum namun memiliki akses karena interaksi dan hubungan-hubungan sosial, pengakuan adat yang telah berlangsung turun-temurun untuk mendapatkan hak dan menerima manfaat. Selain hubungan kelembagaan, dapat pula manfaat diterima karena hubungan sosial yang dijalin secara personal lalu dilegalisasi melalui konvensi hukum adat, berdasarkan realitas wajar mendapatkan akses dan hak dengan kriteria-kriteria yang situasional. Hubungan-hubungan sosial ini menurut Faucault dalam Peluso dan Ribot 2003, dalam situasi tertentu masyarakat memiliki kekuatan yang lebih ketika memiliki hubungan sosial. Petani subsisten masyarakat lokal yang merupakan stakeholder utama telah mendapatkan kepemilikan de fakto yang diwariskan leluhurnya dan dilegitimasi oleh adat, pengakuan sosial komunitas masyarakat setempat sehingga akses yang dimiliki juga berdasarkan pemilikan yang keabsahannya diakui berdasarkan hubungan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian tanggung jawab terhadap sumberdaya juga besar dimana alam merupakan sumber penghidupan satu-satunya yang harus dijaga kelestarian dan kesinambungannya untuk anak cucu generasi yang akan datang. Fakta-fakta yang dapat membuktikan kuat dan besarnya akses terhadap sumberdaya dimaksud adanya berupa tanaman-tanaman perkebunan coklat, cengkeh, kelapa, kemiri, durian, langsat dan tanaman musiman seperti berbagai sayur mayur, tanaman pangan, padi ladang dan pohon- pohon tanaman leluhur. Selain tanaman tersebut penamaan lokasi-lokasi kebun dan pekuburan tua secara massal. Dari fenomena yang ada, Tawney dalam Ribot dan Peluso 2003, mulai memperluas definisi property menjadi kepemilikan akses pasar. Selanjutnya dikemukakan aspek “tangible” dan “ingtangible” dalam menilai suatu komoditas, bahwa dalam suatu kepemilikan terdapat berbagai hubungan sosial. Untuk pendulang emas dan penambang batu kali memiliki akses terhadap pemanfaatan sumberdaya alam pada Daerah Aliran Sungai Pondo yang mengandung emas. Pendulang emas tersebut malakukan aktivitas tanpa menggunakan legal formal berupa hak pemanfaatan sumberdaya seperti atribut hukum izin pengolahan, keterangan dari pemerintah setempat, dll. Hak dan akses merupakan dua konsep yang berbeda dalam perspektif pemanfaatan sumberdaya alam. Hak right adalah pemilikan sesuatu sumberdaya yang dibuktikan dengan atribut hukum berupa perizinan dan sejenisnya yang dikeluarkan oleh lembaga atau intansi pemerintah yang diberikan wewenang berdasarkan aturan perundang-undangan. Akses dalam perspektif masyarakat lokal Kaili merupakan suatu pemilikan yang telah lama berlangsung, dan beriteraksi dengan alam dan sumberdaya di dalamnya. Situasi ini masyarakat merasakan dampak yang sangat besar pengaruhnya terhadap proses aktivitas berusaha, khususnya kegiatan usaha di sektor pertanian dan tanaman keras. Stabilitas sumberdaya alam selama dikelola oleh masyarakat adat tidak berkurang dalam pengertian kemampuan lahan untuk mengakomodasi siklus ekologi kawasan yang ada saat ini. Masyarakat lokal Kaili adat menganggap segala sesuatu dalam alam saling berhubungan, dan percaya bahwa semua kejadian langsung atau tidak, merupakan sebuah konsekwensi dari perilaku manusia. Persepsi masyarakat lokal Kaili di TAHURA tentang alam tersebut hampir sama dengan konsep ekologi manusia, bahwa perbuatan manusia akan menghasilkan efek berantai melalui ekosistem dan sistem sosial Marten, 2001. Oleh karena itu dalam proses pengaksesan sumberdaya selalu mengikuti kaidah dan etika, nilai- nilai yang ada selama ini, baik sumberdaya yang dapat diperbaharui reneweble resources maupun yang tidak dapat diperbaharui Non reneweble resources, dimana alam dipahami mempunyai sifat keseimbangan yang mudah rusak jika manusia merubah ekosistem dari kondisi alamnya Kartodihardjo, 2006. Masyarakat lokal Kaili merupakan suatu kesatuan masyarakat adat yang bersifat otonom dimana mereka mengatur sistem kehidupannya hukum, politik, ekonomi dsb, dan selain itu bersifat otohton yaitu suatu kesatuan masyarakat adat yang lahirdibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan atas bentukan desa dengan LKMD-nya Fay dkk, 2000. Kehidupan komunitas masyarakat kini tidak sepenuhnya otonom dan terlepas dari proses pengintegrasian ke dalam kesatuan organisasi kehidupan negara, bangsa yang lebih besar dan berformat nasional Wignyosoebroto, 1999a dalam Fay dkk, 2000, sehingga rumusan-rumusan mengenai masyarakat adat yang dibuat pada masa sebelum kemerdekaan cenderung kaku dalam kondisi masyarakat adat yang statis tanpa tekanan perubahan. Sementara rumusan masyarakat adat yang dibuat setelah kemerdekaan lebih bersifat dinamis melihat kenyataan masyarakat adat saat ini dalam tekanan perubahan. Beberapa ciri pokok masyarakat hukum adat merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan perorangan mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan tertentu Maria Sumardjono, 2005. Selanjutnya dijelaskan, hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat subyek hak dan tanahwilayah tertentu obyek hak, dan adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah dan sumberdaya alam hutan, dan perbuatan-perbuatan hukum. Hak-hak menurut Fay dkk 2004 berisi wewenang untuk : a mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah untuk pemukiman, bercocok tanam, dll, persediaan pembuatan pemukimanperladangan baru dan pemeliharaan tanah, b mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah memberikan hak tertentu pada subyek tertentu, dan c mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah jual beli, warisan dll. Wewenang hak ulayat tersebut menyatarakn bahwa hubungan antar masyarakat hukum adat dan tanahwilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan milik sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antar negara dan tanah menurut pasal 33 ayat 3 UUD 1945 Maria Sumardjono, 2005. Akses yang didapatkan dalam bentuk penerimaan secara langsung maupun tidak langsung merupakan sebagian dari konsekwensi adanya kemampuan yang dimiliki pada masing-masing stakeholders selain hak yang dimiliki, seperti kelompok pengambilpemungut rotan. Besar-kecilnya akses kelompok ini sangat bergantung pada pemegang hak legal pemilik izin pengelolaan sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu. Manfaat yang diterima secara langsung revenues oleh stakeholder dari akses sumberdaya alam di TAHURA disajikan dalam Tabel 21 berikut : Tabel 21. Pendapatan rata-rata warga masyarakat lokal adat per bulan di lokasi penelitian . Komunitas masyarakat Sumber penghasilan Penghasilan Rata-rata bln, panen Pengeluaran Biaya produksi Pendapatan Vintu Komoditas campuran, karyawan perusahaan rotan 520.000 30.000 490.000 Vatutela Coklat, cengkeh, kopi, batu kali, karyawan perusahaan roti 300.000 - 300.000 Bunti Pobau Komoditas Bawang 1.000.000 113.300 886.700 DAS Pondo Emas, coklat, bawang, kemiri 1.106.000 123.330 983.330 Uentumbu Rotan hasil hutan non kayu 382.500 99.000 292.500 Tompu Komoditas campuran, rotan 280.000 - 280.000 Raranggonau Komoditas campuran 800.000 125.000 675.000 Tabel 21 di atas menunjukkan besarnya penerimaan stakeholders dari pengelolaan akses sumberdaya alam di dalam kawasan TAHURA yang umumnya belum memiliki hak de jure kecuali pengelola rotan yang menggunakan izin pengolahan dari salah seorang pemegang hak eks HPH. Penerimaan yang bersumber dari sumberdaya alam non hutan berupa produk-produk pertanian seperti bawang, sayur-sayuran, padi, coklat, kopi, cengkeh dan tanaman perekebunan lainnya merupakan kepemilikan de fakto atas pengolahan lahan untuk tanaman pertanian dan perkebunan. Akses terhadap sumberdaya lahantanah dari masing-masing individu dan atau keluarga berbeda, brgantung kemampuan dan kebutuhan keluarga petani serta kepemilikan yang dipersyaratkan dari komunitas adat yang diwariskan dari leluhur tetuanya. Analisis ”3R” Right, responsibility, Revenues mempresentasikan siapa yang memiliki tanggung jawab besar melalui penilaian bersama yang dilakukan kelompok komunitas masyarakat dengan bobot tertentu, stakeholder mana yang mengendalikan akses pemegang hak kelola, dan siapa yang menerima manfaat atau pengguna serta pemelihara akses sumberdaya TAHURA. Tabel 22. Right, responsibility dan revenues, 14 dari 22 stakeholders. Stakeholders Right Nilai Responsibility Nilai Revenues Nilai Petani Subsisten Akses thdp lahan, partisipasi dalam keputusan 2 Merencanakan tata guna lahan dan registrasi 1 Menjual, konsumsi hasil tani 5 Pendulang emas Tidak ada Tidak ada Menjual hasil pendulangan 2 Penambang Batu kali Tidak ada Tidak ada Menjual hasil tambangan 2 Petani Bawang Akses terhadap lahan, partisipasi dalam keputusan 2 Merencanakan tata guna lahan, register 1 Menjual hasil usahatani 5 Kelompok Rotan Akses terhadap hasil hutan non kayu 3 Menanam bibit rotan dalam hutan 3 Menjual hasil hutan non kayu 5 Dinas Kehutanan Supervisi, pengelolaan 4 Kontrol tebangan, menarik pajak, koordinasi 2 Penerimaan dari hasil hutan dan fee 3,5 Pimpinan DPRD Akses terhadap masyarakat lokal ttg penerapan perda 2 Kontrol terhadap pelaksanaan perda 1 Penerimaan PAD dari intansi teknis 2 PT.Citra Palu Minerals HGU penuh 3 Mengelola pertambangan emas dgn baik 0 Belum ada Pedagang Rotan Tidak ada Tidak ada Menerima rotan dari masyarakat lokal 3 LSM Tidak ada 0 Memfasilitasi, mendampingi masyarakat lokal adat 5 Menerima jasa dari dampingan 2 Kades Kadus RT Akses terhadap semua sumberdaya 3 Menjaga dan mengawasi kawasan, wilayahnya 2 Fee, upah, hadiah 1 Babinsa Tidak ada Tidak ada Fee, upah, hadiah 1 Distamen Tidak ada Tidak ada Fee dari perizinan tambang 2 PPL Akses terhadap informasi 2 Menyampaikan penyuluhan, infomrasi ke- masyarakat 1 Upahgaji dari kerja penyuluhan. 2 Keterangan : 1= sangat kurang, 2= kurang, 3= cukupsedang, 4=tinggi, 5= sangat tinggi maksimum Tabel 22 di atas merupakan hasil perumusan 3R dari stakeholder masyarakat lokal. Dalam proses menentukan penilaian tersebut, setiap komunitas masyarakat yang berkumpul dan tergabung dalam satu kelompok, mempresentasikan tabel mereka dan peserta bersama-sama mengecek hasilnya. Pengecekan setiap baris dan kolom “R”, untuk konsistensi dan kesepakatan akhir. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemerintah Dinas Kehutanan kurang mengambil tangung jawab dalam pengelolaan dan keberlanjutan TAHURA. Kurangnya tanggung jawab ini diindikasikan belum sinkronnya peraturan perundang-undangan dengan kebijakan di daerah dalam hal pengelolaan kawasan TAHURA, dan atau pemerintah daerah tidak mau peduli dengan kondisi yang sedang maupun akan terjadi 16 . Hasil rumusan yang dilakukan bersama masyarakat dalam kawasan TAHURA menunjukkan bahwa Dinas Kehutanan yang memiliki kewenangan besar dalam pengelolaan, namun kenyataannya di lapangan tidak memperlihatkan fakta tersebut. Petugas dari Dinas Kehutanan hanya beraktivitas melakukan pelarangan bagi masyarakat untuk berusaha di dalam kawasan dengan berkelik dibelakang peraturan preservasi, bahwa masyarakat tidak boleh mengganggu sumberdaya yang berada di dalam kawasan sekalipun milik masyarakat sebelumnya. Komunitas masyarakat lokal yang berada pada setiap kawasan merupakan satu kelompok diskusi yang melakukan interaktif. Dalam penelitian ini terdapat 7 tujuh kawasan kelompok masyarakat lokal yang menjadi sumber data dan kelompok diskusi yang mengambil 14 stakeholder untuk dianalisis. Analisis untuk situasi saat ini dilakukan melalui kelompok, diskusi dan persetujuan setiap hak, tanggung jawab dan manfaat yang berkaitan dengan TAHURA secara langsung, setiap stakeholder pada kondisi sekarang dan yang aktual. Kelompok mencatat masalah-maslah kunci dan memberikan suatu nilai relatif 0 = tidak ada, 5= tertinggimaksimum untuk setiap 3R di dalam tabel. Stakeholder dengan kebijakan atau tanggung jawab legal bukan merupakan tanggung jawab yang 16 Wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulawewsi Tengah ”Ir. Haerul Anantha” bahwa kewewenang pengelolaan oleh pemerintah pusat, dan penetapan tata batas dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan pihak lain termasuk masyarakat setempat. secara aktual ada, penggambaran itu merefleksikan kebijakan dan nilai merefleksikan kenyataan. Tabel 23. Perbandingan antar Stakeholder dari Aspek Hak, Tanggung Jawab dan Manfaat Penerimaan. Stakeholder yang paling tinggi : Hak. Stakeholder yang paling tinggi : Tanggung jawab. Stakeholder yang paling tinggi : manfaat. 1. Dinas Kehutanan 2. PT.Citra Palu MineralsKadesKad us Ka.RT 3. Petani subsistenPetani bawangPPL 1. LSM. 2. Kelompok Rotan 3. Dinas KehutananKades Kadus Ka. RT. 4. Petani subsisten Petani bawang Pimpinan DPRD PPL 1. Petani subsisten petani bawang Kelompok rotan. 2. Dinas Kehutanan 3. Pedagang rotan 4. Pendulang emas, Pimpinan DPRD LSMDinas Pertambangan, PPL. Perbandingan antar stakeholders dari aspek hak, tanggung jawab dan manfaat yang berbeda. Dinas Kehutanan pemerintah yang merupakan stakeholder yang mendapatkan hak tertinggi dan memiliki wewenang terhadap pengelolaan TAHURA Sulawesi Tengah, namun dalam kenyataannya tidak memberikan apresiasi bagi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya di dalam kawasan termasuk masyarakat pemukim yang ada di dalam dan sekitar kawasan. Pada sisi lain Dinas Kehutanan kurang mengambil tanggung jawab dalam hal pengelolaan sehingga situasi di lapangan terjadi mis-komunikasi antar stakeholder dan masyarakat lokal yang bergantung sepenuhnya kepada sumberdaya di dalam kawasan TAHURA. Kelompok stakeholders yang memiliki tanggung jawab besar terhadap keberlanjutan pelestarian TAHURA adalah Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. Dalam beberapa pertemuan dan lokakarya yang dilakukan perkumpulan oraganisasi non pemerintah LSM seperti KORAN koalisi ornop untuk hutan Sulawesi Tengah dan LSM perkumpulan Bantaya, menginginkan adanya pengelolaan berbasis komunitas dan ekologis. Hal ini masih dalam tataran wacana yang disosialisasikan kepada beberapa komunitas masyarakat lokal yang berada dalam kawasan. Situasi akan berbeda jika konsep pengelolaan yang ditawarkan kepada komunitas bukan hasil kesepakatan duduk bersama antar pihak. Dua kelompok ORNOP yang melakukan aktivitas pendampingan yang berbeda dalam mengembangkan program untuk pengelolaan TAHURA. Kelompok pertama melakukan advis penguatan dari aspek kelembagaan adat masyarakat. Kelompok ini cukup piawai dalam mengembangkan program-program pemberdayaan, dimana penguatan terhadap hak-hak komunal dan hak-hak alam dilakukan sesuai dengan aturan pengelolaan berdasarkan kearifan yang dimiliki. Kelompok kedua melakukan aktivitas yang bersifat insidental dengan pertemuan-pertemuan melalui lokakarya yang dibiayai oleh salah satu donatur founding. Aktivitas yang dilakukan masih terbatas pada membangun wacana masyarakat untuk merubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam TAHURA, namun dampak dari wacana tersebut terhadap suatu konsep pengelolaan atas sumberdaya alam tidak dipikirkan matang. Kasus Dongi-dongi merupakan pengalaman yang berharga untuk dijadikan acuan dan perenungan bagi ornop yang melakukan aktivitas provokatif terhadap suatu pengelolaan yang tidak melalui kolaborasi antar pihak baik pengguna akses dan pemelihara maupun pengelola yang sekaligus melakukan kontrol akses. Konflik dan kerusakan sumberdaya alam khususnya hutan tidak selamanya kekeliruan dari pengelola, namun tida terlepas dari peran dan campur tangan pihak-pihak ornop dalam melakukan aktivitas yang over information terhadap komunitas yang masih terbatas dalam aspek penyerapan informasi. Hasil penelitian yang dilakukan Adiwibowo 2005 bahwa keterlibatan pihak elit masyarakat dan ornop atas rusaknya kawasan hutan Dongi-dongi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Stakeholders yang menerima manfaat besar atas sumberdaya di dalam kawasan adalah petani, perotan, namun dalam proses pengelolaan usahatani dan aktivitas mengambil rotan merasa terganggu dan tertekan 17 , karena beberapa hal antara lain a petani tidak memiliki kepemilikan secara yurisdiksi, namun lahan- lahan usahatani yang dikelola saat ini merupakan warisan leluhur de fakto, b perotan menggunakan izin kelola milik pengusaha, bukan hak langsung yang diberikan dari pemegang wewenang Dinas Kehutanan, hanya menggunakan jasa izin kelola hasil hutan non kayu. Ketiga komponen di atas akan dapat berjalan 17 Wawancara dengan Ali Djaludin M 57 th tokoh masyarakat lokal Kaili adat, profesi sebagai petani bawang ; pemerintah kota Palu mengusir petani dari lahan usahataninya dengan dasar bahwa tanah yang digunakan sekarang adalah tanah negara, masyarakat tidak berhak untuk beraktivitas di lahan tersebut karena lokasi ini akan digunakan untuk tanaman jarak, kecuali “bapak mau ikut program ini’; pertengkaran 5 Agustus 2006, ”Ali Djalaludin M dipanggil ke Kantor Camat Palu Timur, memberikan keterangan mengenai status tanahlahan garapan petani di Bunti Pobau Kelurahan Poboya yang dijadikan lokasi penanaman bawang masyarakat petani saat ini . dengan baik jika didukung oleh hubungan komunikasi dan jaringan kerja yang harmonis networking antar stakeholder. Bagaimana hubungan antar stakeholder di TAHURA SULTENG dapat dilihat dalam Tabel 24 berikut. Tabel 24. Ringkasan hubungan antar stakeholder di TAHURA SULTENG Stakeholder Penambang Emas Penambang Batu Kali Petani Bawang Kelompok rotan Kepala Dina s Kehutanan DPRD Pro p ins i PT. Citra Pal u Minerals Peda g an g Rotan LSM KadesKadusKetua RT Babinsa Dispertamen PPL Petani subsisten B B B B K - - - B B B - - Penambang emas B B - K - Br - B B B K - Penambang batu kali - - - - Br - B B B K - Petani bawang B K - - - B - S Kelompok rotan K - - B K B B - - Dinas Kehutanan B B K K K B B B Pimp.DPRD S - - S - B - PT. Citra Palu Minerals - Br Br S B - Pedagang Rotan B B B - - LSM B - K K KadesKadus RT B Br S Babinsa B B Distamen - PPL Keterangan : Kualitas relasi : Baik B, Sedang S, Kurang K, Buruk Br, Ttidak ada interaksi -. Baik B : Ada interaksi personalinstitusi, sinergis berkelanjutan min 3 kali kontak3 bln. Sedang S : Ada interaksi, sinergis, tidak berkelanjutan, maksimal 3 kali kontak3 bln. Kurang K : Ada interaksi, kurang sinergis, berpolemik, sekali kontak, tidak berkelanjutan. Buruk Br : Ada interaksi, tidak sinergis, konfliktual. - : Tidak ada interaksi sama sekali Hubunganinteraksi kelembagaan atau institusi dan personal antar stakeholder bergantung konteks dari terjadinya hubungan itu. Sebelum ditetapkannya kawasan TAHURA relasi dari pihak yang memiliki kepentingan di wilayah ini adem-adem saja, berjalan secara alami, tidak ada tekanan, namun setelah ditetapkannya menjadi kawasan konservasi dalam bentuk TAHURA maka stakeholder yang terlibat langsung dan menggantungkan penuh sumber kehidupannya pada sumberdaya dalam hutan dengan sendirinya terusik dan merasa diganggu dan mendapat tekanan dari pihak pemerintah. Stakeholders selain masyarakat lokal terusik untuk mengambil peran untuk dapat memiliki akses, melakukan berbagai aktivitas melalui masyarakat lokal dengan bermacam tipe, model dan pendekatan. Hubungan satu stakeholder dengan stakeholder lain cukup beragam versinya, bergantung akses apa yang ada dan seberapa besar sumberdaya yang akan diakses dalam kawasan itu. Hubungan-hubungan sosial yang dilakukan antar stakeholders merupakan suatu cara untuk memelihara akses dan bahkan mengontrol akses. Kontrol akses adalah kemampuan untuk memediasi akses yang dimiliki pihak lain. Dari aspek definisi kontrol atau kendali akses adalah memeriksa, mengarahkan, dan mengatur aktivitas. Dari sekian banyak stakeholder, maka yang berwewenang sebagai pengendali akses adalah pejabat atau institusi yang diberikan kewenangan berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku secara normatif. Dinas Kehutanan merupakan Perangkat Pemerintah Daerah yang diberikan wewenang hak untuk mengendalikan akses sumberdaya TAHURA. Paling tidak ada kecenderungan untuk membentuk suatu sistem antar sesama stakeholder dan memandang dirinya merupakan suatu kesatuan Roling Jiggings, 1998 dalam Suporahardjo, 2006. Perubahan paradigma yang cukup pesat, namun tidak diikuti dengan perubahan peraturan dan perundang-undangan, sehingga disemua penjuru Nusantara terjadi konflik tenurial yang tak lain adalah perebutan hak dan akses sumberdaya alam sebagai tumpuan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Sejak pemerintahan Orde Baru, penguasa negara memperekenalkan konsep baru dalam pemilikan tanah, yang pada intinya adalah perwujudan kekuatan mereka atas rakyatnya Malik et al, 2003. Konsep kepemilikan pribadi semakin kukuh dan meluas dalam masyarakat seiring dengan kukuh dan meluasnya kapitalisme sebagai suatu sistem produksi. Konsep pemilikan ini ternyata diikat pula dengan suatu jalinan hubungan politik, sosial, ekologi dan budaya. Dalam kawasan Tompu yang masuk dalam kawasan TAHURA jugar terjadi pengkaplingan tanah hutan belukar oleh mantan Bupati Donggala yang saat ini kondisinya masih semak belukar dan hutan sekunder, tepatnya melintasi jalan ke Dusun Tompu. Secara tipologis, kepemilikan di dalam TAHURA SULTENG dapat dibedakan menjadi beberapa tipe kepemilikan yaitu, pemilikan pribadi private property, pemilikan negara state property, dan pemilikan komunal communal property. Ketiga pemilikan ini selalu berdampingan dalam suatu kawasan atau tumpang tindih dan bahkan sampai konflik antara masyarakat lokal dan pihak luar yang mendapatkan legitimasi negara untuk menguasai sebagian sumberdaya alam Malik at al, 2003. Di Sulawesi Tengah sendiri ditemui peraturan bahwa Gubernur atau Bupati dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam Peraturan Menteri no. 151975 sudah dicabut dan Perda Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah No. 21973. Perda tersebut secara tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah Bupati untuk melakukan pencabutan hak atas tanah. Beberapa kasus di Sulawesi menurut Bachriadi at al 1997 seperti kasus Paguyaman di Sulawesi Utara, kasus Wewangriu di Sulawesi Selatan dan kasus Kasimbar di Sulawesi Tengah menunjukkan betapa aparatur negara bertindak dengan berbagai macam cara untuk membebaskan tanah dari penguasaan rakyat setempat agar pihak swasta dapat mendirikan perkebunan besar di daerah tersebut. Kasus semacam ini hingga sekarang di Sulawesi Tengah masih saja terjadi dengan versi yang identik yaitu di kawasan PPN 25, 26 dan 29 masih dalam kawasan TAHURA, pihak pemerintah daerah kota Palu melakukan klaim terhadap tanah yang sedang digunakan petani untuk penanaman bawang. Pemaksaan terhadap petani karena awalnya masyarakat belum siap menerima tanaman jarak sebagai tanaman monokultur yang harus dikembangkan di kawasan ini. Proyek jarak yang dilakukan Pemerintah Kota Palu adalah kerjasama dengan pihak perusahaan dari Surabaya, mengintroduksi program tersebut untuk diterima dan menggantikan tanaman bawang petani. Penolakan dilakukan masyarakat petani karena pendapatan yang akan diperoleh dari penanaman jarak dan sumber pendapatan yang rutin ke depan bagi petani belum jelas. Perundang-undanganperaturan telah memberikan penguatan dan pengakuan terhadap kepemilikan masyarakat lokal komunitas masyarakat adat yang ditunjukkan dengan TAP MPR RI No. IXMPR2001 tentang pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam ; dalam beberapa pasal menyatakan : a menghormati dan menjunjung tinggi hak azasi manusia pasal 4, b mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukun adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agrariasumberdaya alam, c melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah landreform yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat pasal 5 at b, d memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggungjawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional pasal 5 at c. Dengan demikian maka peraturan yang ada di bawahnya baik undang-undang dan atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah perlu menyesuaikan dengan TAP MPR No. IX2001 yang merupakan payung hukum bagi peraturan di bawahnya. Segala peraturan yang bertentangan secara hirarkhis harus diharmonisasi agar tidak menimbulkan masalah pada level daerah di lapangan. Hubungan kelembagaan atau isntitusi dari stakeholders yang memiliki kepentingan dengan TAHURA masih merupakan sesuatu yang banyak menimbulkan pertanyaan. Dinas Kehutanan sebagai leading sekor yang memiliki wewenang untuk mengkomunikasikan kepada stakeholder lain terhadap pengelolaan tersebut menemui kendala. Dalam perspektif institusi Dinas Kehutanan saat ini, TAHURA hanya digunakan sebagai penggembalaan ternak rakyat yang berada di dalam maupun sekitar kawasan. Relasi dengan stakeholder yang berkepentingan belum menunjukkan adanya komunikasi dua arah, dalam pengertian belum ada aktivitas yang signifikan dilakukan institusi terhadap pengelolaan TAHURA yang memberikan akses masyarakat di dalamnya. Hubungan yang dilakukan masih terbatas pada hubungan-hubungan personal antar individu seperti saat pemancangan patok, membawa beban petugas di lapang dll. Program sektoral yang pernah dilakukan sebelum ditetapkan menjadi TAHURA yaitu program reboisasi tahun 1991, 1992 dan 1993, dikala itu masih dalam bentuk Cabang Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Dinas Kehutanan masih selalu menimbulkan polemik di masyarakat stakeholders yang sampai saat ini belum memperlihatkan keseriusan melakukan komunikasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula halnya dengan investor tambang emas PT.Citra Palu Minerals, anak perusahaan Rio Tinto Group yang berkantor pusat di Inggeris, masih juga menimbulkan pertanyaan para stakeholders dan masyarakat umum sekitar kawasan TAHURA. Keluarnya legitimasi pemerintah terhadap CPM atas sumberdaya di TAHURA karena relasi yang baik kedua pihak lihat Tabel 24, namun menimbulkan beragam perspektif, dimana tindakan pemerintahdaerah bertentangan dengan peraturan perundangan. Sikap ambiguisitas pemerintah tersebut dipersepsikan dalam beberapa faktor antara lain : a mengacu dengan keputusan bersama Menteri Kehutanan dan Pertambangan tentang pengelolaan sumberdaya tambang di kawasan hutan, b belum menelaah secara seksama bahwa selain keputusan beresama tersebut terdapat peraturan yang menggugurkannya peraturan pemerintah dan undang-undang, c pemerintah daerah berorientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah PAD untuk mengejar target APBD tahunan, tanpa mengkaji aspek-aspek produksi yang memungkinkan dan layak untuk dikelola sebagai sumber pendapatan daerah, d pemerintah Deparetemen Kehutanan tidak melakukan kontrol yang baik terhadap usulan dan persetujuan gubernur pemerintah daerah, berkaitan dengan eksplorasieksploitasi tambang di kawasan cagar alam dan hutan lindung. Faktor- faktor lain yang menyebabkan keluarnya izin pengelolaan tambang emas di kawasan Cagar Alam Poboya masih perlu dibuktikan dengan data-data yang akurat dan membuktikannya membutuhkan kiat-kiat khusus dan waktu yang cukup lama. 127

5.8. Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam TAHURA