Kebijakan Konservasi Kawasan TAHURA

¾ SK Menhut No. 32Kpts-II2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan. Proses pelaksanaan tata batas, penetapan luas dan status tidak melalui sosialisasi terlebih dahulu, baik terhadap masyarakat di dalamsekitar kawasan maupun kepada stakeholder yang berkepentingan terhadap sumberdaya TAHURA, dan pemerintah dalam hal ini bertindak sepihak. Sementara dalam TGHK baru pada dasarnya untuk penunjukan kawasan hutan tidak menghilangkan hak seseorang atau kelompok masyarakat atas tanahnya yang berada pada wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan hutan Departemen Kehutanan, 2004. Dengan mengacu pada isi keputusan tersebut maka pelaksanaan rekonstruksi kembali tata batas kawasan hutan TAHURA SULTENG masih memungkinkan untuk dilakukan dengan pelibatan para pihak stakeholders, duduk satu meja molibu. Hasil wawancara dengan informan yang memiliki interest termasuk penentu kebijakan bahwa untuk pengembangan ke depan agar TAHURA dapat berkesinambungan, pihak pengelola Dinas Kehutanan harus berani melakukan rekonstruksi total tata batas, dan dalam proses rekonstruksi tersebut harus melibatkan penuh masyarakat di dalam kawasan dan stakeholders terkait untuk menyusun perencanaan bersama 11 . Hal yang sama disampaikan Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah VI Sulawesi bahwa pengelolaan TAHURA harus dilakukan secara khusus dengan membentuk Unit Pengelolaan Teknis Daerah UPTD dan masyarakat sebagai subyek harus masuk dalam organik sebagai representasi komunitasnya. Kemandegan TAHURA disebabkan antara lain belum transparannya pengelola terhadap stakeholders khususnya masyarakat lokal penghuni dalam kawasan yang secara defakto telah memiliki sumberdaya, memelihara dan memanfaatkannya untuk kehidupan secara turun temurun.

5.5. Kebijakan Konservasi Kawasan TAHURA

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Paimbonan dkk dalam Bappeda 2003 mengenai Rancangan Teknik Detail Rehabilitasi Lahan dan 11 Wawancara dengan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Palu_Poso, Ir. Trimujono Admomartono, April 2006. Konservasi Tanah Sub DAS Kavatuna seluas 10.000 Ha. Penentuan ini didasarkan atas kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan kawasan produksi yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837KptsUm111980 dan N0. 683KptsUm81981 dan Keputusan Presiden No. 481983. Ketiga keputusan tersebut menekankan pada tiga faktor yang harus diperhatikan yakni a Kelerengan tanah, b Jenis tanah menurut kepekaannya, dan c Curah hujan rata- rata harian. Kebijakan tersebut dilakukan sebelum dikeluarkannya kebijakan penetapan kawasan Cagar Alam Poboya, Hutan Lindung Paneki dan lokasi PPN 30 menjadi TAHURA Sulawesi Tengah. Untuk menindaklanjuti kebijakan tersebut, pihak PDAM melakukan introduksi program berupa pemasanagan pipa air dan pembangunan bak-bak air pada masing-masing kawasan yang membutuhkan kontribusi air untuk kesinambungan kehidupan tanaman-tanaman konservasi yang diintrodusir pada program sejuta pohon yang secara seremoni dilakukan pada Pekan Penghijauan Nasional PPN 30 di Kapopo. Untuk mewujudkan program besar ini pihak pemerintah daerah melakukan pengembangan sebagian kawasan ini untuk sektor pariwisata untuk dapat memberikan pemasukan bagi daerah, dan menyerahkannya kepada Dinas Pariwisata sebagai pelaksana teknis, melalui Surat Keputusan Nomor: 188.441400Dis 1200 PAR-G.572003. Dalam tataran implementasi sangat menyedihkan, fasilitas yang dibangun hanya untuk kepentingan sesaat, ”proyek oriented”. Kondisi saat ini fasilitas yang dibangun dengan biaya mahal telah menjadi tempat berlindungnya hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing dikala hujan dan tidak pernah ditemukan seorangpun pengelola di dalam kawasan ini selama penelitian.

5.6. Keterlibatan Stakeholder dalam Proses Penetapan TAHURA.