Taman Hutan Raya TAHURA

29

2.4. Taman Hutan Raya TAHURA

TAHURA dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau buklan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Hal ini menggambarkan bahwa kebijakan TAHURA peruntukkannya dapat memberikan peningkatan kesejahteraan dalam berbagai hal berupa kenyamanan iklim ekologi karena vegetasi terpelihara dengan baik, ruang untuk usaha perekonomian petani berjalan dengan lancar tanpa melakukan eksploitasi sumberdaya alam, sistem sosial dan budaya masyarakat berinteraksi dengan harmonis dan komitmen pengelolaan kawasan-kawasan TAHURA terbangun dengan selaras, seimbang dan kolektif. Taman Hutan Raya merupakan salah satu kawasan pelestarian alam dimana pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam, dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua jenis tumbuhan dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya pasal 13 at 1 dan 2 UU No 51990. Selanjutnya dijelaskan pada Bab IX pasal 37, peran serta rakyat dalam konservasi sumbeerdaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya-guna dan berhasil guna. Dengan demikian maka ruang buat masyarakat secara normatif cukup berpeluang dimana pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk pengakajian, penelitian, pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, dan pemeliharaan untuk kesenangan pasal 36 UU No. 51990. Namun faktanya tidak demikian, masyarakat lokal termasuk komunitas adat Kaili Ledo dan Tara di dalam kawasan TAHURA Sulteng yang juga disebut sebagai komunitas masyarakat adat tidak dilibatkan dalam proses penetapan tapal batas, pemerintah melakukannya sepihak, 30 bahkan lahan-lahan dan halaman masyarakat yang termasuk dalam kaplingan tidak disampaikan kepada komunitas masyarakat baik secara individupersonal maupun melalui institusi. Dampak dari penerapan kebijakan yang tidak dikelola secara komprehenship bersama, terjadi suatu kondisi yang meningkatkan ketidakamanan sumberdaya hutan yaitu banyaknya penjarahan dan pencurian kayu maupun naiknya ketidakpastian usaha Kartodihardjo, 2003. Kerusakan berbagai keanekaragaman hayati antara lain muncul akibat aktivitas perusahaan-perusahaan tambang, pengusaha perkebunan maupun pengusaha HPH yang berusaha menerobos kawasan-kawasan konservasi yang diduga memiliki sumberdaya alam hutan ataupun tambang yang terdapat di dalam kawasan konservasi yang ada ; kendatipun kawasan cagar alam sudah dilarang adanya kegiatan eksploitasi, akan tetapi upaya-upaya untuk melakukan eksploitasi tidak berkurang Sembiring dan Husbani, 1999. Selain itu, penyerobotan kawasan konservasi seringkali dilakukan pengusaha yang wilayah konsesinya berbatasan atau berdekatan dengan kawasan konservasi dengan coba merambah hingga ke kawasan hutan lindung. Bahkan terdapat beberapa kasus yang lebih menyedihkan yaitu izin konsesi di wilayah satu namun melakukan aktivitas perambahan di kawasan hutan wilayah lain dengan menggunakan izin konsesi yang dimiliki kasus izin konsesi Kabupaten Parigimoutong, aktivitas penebangan di Kabupaten Donggala. Kondisi ini tidak menutup kemungkinan akan dapat terjadi di kawasan TAHURA yang sulit dilakukan pengendaliannya karena dalam proses penetapan kawasan tersebut tidak memberikan ruang kepada masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan termasuk dalam pengambilan keputusan. Dengan melihat pengalaman di berbagai daerah yang prosesnya menggunakan pendekatan top down maka sudah saatnya merubah paradigma pengelolaan kawasan hutan baik di kawasan lindungkonservasi, kawasan produksi, maupun konversi. Pengalaman yang dapat disimak untuk menjadi pembelajaran berupa yang dilakukan di Desa Sidoarjo Jawa Timur bahwa masyarakat sudah menjadi salah satu aktor di dalamnya Afianto dkk, 2005. Selanjutnya dinyatakan, di kawasan hutan rakyatnya merupakan kawasan synekologi, tidak hanya berwujud lingkungan secara fisik, 31 namun juga terdapat sistem sosial manusia atau masyarakat yang saling berinteraksi secara harmonis. Dalam pengelolaan kehutanan sudah harus membangun kerjasama dalam kesejajaran, keserasian, dan kesepadanan cooperation dengan berbagai staecholders yang bertanggungjawab atas sehatnya lingkungan ; Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang bertanggungjawab atas lestarinya industri pengolah, dan perdagangan produk- produk olahan, dan Menteri Dalam Negeri yang mengelola proses desentralisasi dan otonomi daerah ; dimana sektor kehutanan secara bertahap juga dituntut untuk melakukan desentralisasi dan otonomi daerah Iskandar dan Nugraha, 2004. Pola yang dikemukakan di atas sudah harus diterapkan, dalam beberapa kasus seperti hasil studi yang dilakukan Verbist dan Pasya 2004 di Lampung bahwa penduduk setempat tidak dapat mengelola hutan secara berkelanjutan, sehingga area menjadi lebih cepat terdegradasi dan akan berdampak negatif pada fungsi perlindungan Daerah Aliran Sungai DAS. Selanjutnya dijelaskan, dalam pelaksanaan tata batas justru menimbulkan banyak konfrontasi antara penduduk lokal dengan aparat pemerintah. TAHURA SULTENG dalam dua tahun terakhir mengalami perubahan sosial yang mengarah pada perseturuan antara pemilik legal tambang PT. Citra Palu Mineral yang pemilik saham terbesar berkisar 90 dari Rio Tinto Group dengan komunitas masyarakat adat Kelurahan Poboya Walhi, 2006. Menurut izin kontrak karya untuk menambang emas di Sulawesi Tengah, luas areal konsesi berkisar 561.050 hektar yang meliputi wilayah Kabupaten Buol, Donggala dan Palu Poboya. Kandungan emas yang akan dieksploitasi diperkirakan 18 juta ton biji emas dengan kandungan 3,4 gramtonnya. Eksplorasi telah dilakukan sejak tahun 1997 sampai tahun 2001 dengan mendapatkan 22 titik bor termasuk di dalam kawasan TAHURA seluas 500 hektar. Dengan diizinkannya eksplorasi tambang tersebut, maka hak-hak tradisional rakyat masyarakat adat Kaili akan terancam dan menuai konflik besar ke depan. Status pelestarian TAHURA adalah wewenang pemerintah daerah, namun realitasnya 32 tidak digubris dan atau hanya sebuah rekayasa politik dengan berbagai alasan, dan daerah akan menghindar dari permasalahan rakyatnya.

2.5. Hak Kepemilikan Property right Masyarakat Lokal terhadap Sumberdaya Alam .