Analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya alam oleh masyarakat kaili di taman hutan raya (TAHURA), Sulawesi Tengah

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN AKSES

SUMBERDAYA ALAM OLEH MASYARAKA

T

KAILI DI TAMAN HUTAN RAYA

(TAHURA), SULAWESI

TENGAH

JAMLIS LAHANDU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN AKSES

SUMBERDAYA ALAM OLEH MASYARAKAT

KAILI DI TAMAN HUTAN RAYA

(TAHURA), SULAWESI TENGAH

JAMLIS LAHANDU

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(3)

Judul Tesis

Nama

NRP

: Analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya

alam oleh masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya

(TAHURA), Sulawesi Tengah.

: Jamlis Lahandu

: P.052030041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Rudy C. Tarumingkeng, MF

Ketua

Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

Anggota

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan (PSL)

Dr.Ir.Surjono H.Sutjahjo, MS

Diketahui

Dekan

Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS


(4)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam oleh Masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah adalah karya saya sendiri, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan yang tidak diterbitkan dari penulis lain, disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

Jamlis Lahandu


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau keseluruhan dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(6)

ABSTRAK

JAMLIS LAHANDU, Analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh RUDY C. TARUMINGKENG, dan HARIADI KARTODIHARDJO.

TAHURA Sulawesi Tengah merupakan ekosistem kehidupan dengan beragam sumberdaya meliputi sumberdaya hayati, non hayati, dan komunitas masyarakat Kaili. Pengukuhannya melalui KepMenHut No. 24/Kpts-II/1999, seluas 7.128 hektar terletak di wilayah Kabupaten Donggala seluas 2.431,73 ha, dan Kota Palu seluas 4.696,27 ha. Dari total luasan tersebut, 10,85 % (656,72 ha) hak penguasaan warga masyarakat (privat property) secara de fakto, dan sekitar 30 ha penguasaan komunal (communal property), dan hak pengelolaan negara (state property).

Kebijakan TAHURA berimplikasi pada akses masyarakat atas sumberdaya alam (SDA), sebagai sumber penghidupan umumnya petani, berjumlah 529 KK (2.416 jiwa). Klaim pemerintah berdampak pada terbatasnya akses masyarakat pada sektor produksi khususnya sumberdaya lahan, hutan (rotan,bambu, kayu bakar) dan sumberdaya tambang (emas, batu kali). Kebijakan operasional (daerah) tidak mengatur mekanisme siapa pengguna akses (gain), pengendali akses (control acces), dan pemelihara akses (maintain acces).

Penelitian ini bertujuan (a) mengidentifikasi keterlibatan Stakeholders dalam penetapan status kawasan, (b) memetakan kepentingan dan interaksi stakeholders, dan (c) menganalisis kebijakan dan strategi pengelolaan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah. Dengan metode pendekatan partisipatif (alat kaji diagram venn, alur sejarah, matrik rangking), dengan analisis Right, Responsibility, Revenue dan Relationship (4Rs), dan analisis isi (content analysis).

Masyarakat mengakses sumberdaya alam dengan kemampuan sendiri, tanpa mendapatkan hak kelola (property right) dari yang berwenang. Peraturan-perundangan mengamanatkan bahwa masyarakat (stakeholders) berkenaan mendapatkan hak pengelolaan dari pemerintah dengan prosedur, dan mekanisme jelas, namun tidak dilakukan. Hal ini berekses pada buruknya relationship (masyarakat vs pemerintah), dan rendahnya kepercayaan publik terhadap pengelola TAHURA.

Dinas Kehutanan, pemegang wewenang untuk mengendalikan akses sumberdaya, tapi kurang mengambil tanggung jawab. LSM merupakan stakeholder yang besar tanggung jawabnya dalam memelihara akses, dan stakeholders penerima manfaat (pengguna akses) adalah petani, perotan, pendulang emas, pengumpul batu kali, traeler/pedagang, dan militer. PerDa No. 2/2004 belum mengakomodir isi ketetapan MPR No. IX/MPR/2001, UU No. 41/199, PP No. 34/2002, KepMenHut No. 32/Kpts-II/2001, dan tidak sinkron dengan PP No. 62/1998 serta PP No. 68/1998. PerDa tentang TAHURA dan petunjuk teknis termasuk institusi pengelolaan belum ada. Lemahnya koordinasi, informasi, transaksi, dan kapasitas kelembagaan pemerintah, merupakan indikator tidak berjalannya sistem resources governance.

Penelitian ini merekomendasikan : (a) perlunya kejelasan hukum atas hak-hak masyarakat, pengakuan formal terhadap institusi adat, (b) penguatan kelembagaan stakeholders melalui pelatihan dan pendampingan intensif, (c) menjalin kemitraan dengan pihak independen dan memberikan peran sesuai fungsinya, (d) menindaklanjuti aksi penolakan masyarakat terhadap pertambangan emas di Poboya, dan (e) peningkatan koordinasi, informasi, transaksi inter/antar stakeholders, pembenahan sistem resources governance, dan peningkatan kapasitas kelembagaan daerah, dan (f) menerbitkan peraturan daerah tentang pengelolaan TAHURA beserta infrastruktur pendukungnya.

Kata Kunci : Analisis kebijakan, pengelolaan akses sumberdaya alam, masyarakat lokal Kaili, Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah, dan analisis 4 R.


(7)

ABSTRACT

JAMLIS LAHANDU. Policy Analysis of Natural Resources Access Management by Kaili Community in Grand Forest Park at Central Sulawesi. Supervised by RUDI C. TARUMINGKENG and HARIADI KARTODIHARDJO.

Central Sulawesi Grand Forest Park is a live ecosystem with various resources covered both biological and non biological resource and also Kaili Community. The TAHURA was consolidated by Kepmenhut No. 24/Kpts-II/1999 which have 7.128 ha area with 2.431,73 ha located in Donggala District and 4.696,27 ha area in Palu City. From total area of Tahura, about 10,85 % (656,72 ha is private property for community and 30 ha for communal property and state property.

Tahura’s policy implied to community access for natural resources as their livelihood, generally for farmer which consist of 529 family (2.416 people). The Government’s claim implied to community access which have been restricted to production sector specially for land resources, forest (rattan, bamboo, firewood) and mining (gold, river stone). In the other hand, local policy has no mechanism for regulate between access user (gain), control access and maintain access.

According to that condition, this research aims to identify stakeholder involvement in determination status of Grand Forest Park areas, mapping the interaction between stakeholders and its interest and then analyze the strategy and Policy in the Central Sulawesi Grand Forest Park Management. The method of this research used participative approaches (venn diagram, historical plot, rank matrix) with 4 R analysis (Right, Responsibilities, Revenue and Relationship), and contents analysis.

The rules had order that community have the property right from government with clearly mechanism and procedure but the result showed that community using their own resources to access natural resources without property right from stakeholders. This implied to relationship between community and government which become worst and reduce their trusted to TAHURA organizer.

Based on 4R analysis showed that Forest services have the authority to control of resource access but at the same time they do not quite responsible to do their authority. LSM became stakeholders who have the largest responsibilities to maintain resource access and The Farmers, rattan collector, gold prospector, pebble collector, trader and military received the largest benefit from resource access. Regional regulation No. 2/2004 have not accommodate of the Tap MPR No. IX/MPR/2001, UU No. 41/1999, PP No. 34/2002, KepMenHut No.32/Kpts-II/2001 and have not synchronization with PP No. 62/1998 also PP No. 68/1998. The regional regulation and technical guidelines about TAHURA including its institution have not been available. Moreover, coordination, information, transaction and government institutional capacity is weakness and became an indicator of inefficiency in governance resources system.

According to the result, it’s highly recommended to: (a) Explicit law of community right and formal acknowledgment to custom institution; (b) stakeholders capacity building by training and intensive advocation; (c) make a partnership with independent party; (d) follow up of community refusal action toward to gold mining in Pobboya and; (e) Increase coordination, information and transaction between stakeholders, improve of governance resources system and capacity building of regional institution and also; (f) establishing regional regulation for Grand Forest Park (TAHURA) management including its supported infrastructure.

Keyword : Policy Analysis, natural resources access management, Kaili local community, Central Sulawesi Grand Forest Park, 4 R Analysis.


(8)

KATA PENGANTAR

Penelitian yang berjudul “analisis kebijakan pengelolaan akses

sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah”, merupakan refleksi atas proses kehidupan masyarakat di dalam/sekitar kawasan hutan tatkala pemerintah mengklaim menjadi Taman Hutan Raya (TAHURA) untuk kawasan pelestarian alam dan ekosistemnya. Beberapa pertimbangan untuk dijadikannya kawasan preservasi antara lain sebagai daerah penyangga bagi kota Palu dan sekitarnya, dan beberapa sumberdaya hayati dan non hayati yang perlu diselamatkan. Pelestarian juga merupakan suatu keharusan jika dilihat dari fungsinya, namun disisi lain terdapat kepentingan ekonomi, sosial budaya dan politik yang tidak bisa diabaikan. Masyarakat dalam kawasan ini merupakan bagian dari ekosistem TAHURA, yang telah beranakpinang dan berinteraksi dengan alam sekitarnya sejak lama sebelum negara kesatuan R.I terbentuk. Namun kebijakan TAHURA SULTENG belum berpihak kepada mereka dan bahkan berimplikasi pada ketidakharmonisan hubungan antar pengelola dan masyarakat sebagai subyek yang seharusnya mendapat prioritas, bukan memarginalkannya dalam aspek kehidupan di lingkungannya sendiri. Hal inilah yang mengimajinasi serta perenungan bagi penulis, dan menjadikannya salah satu latar belakang penelitian ini dilakukan.

Banyak pihak yang berkontribusi, dan sangat berharga dalam penelitian ini. Oleh karena itu izinkan penulis menyampaikan penghargaan yang mendalam kepada mereka yang berjasa dalam proses penelitian hingga penulisan thesis ini. Penulisan

thesis ini tidak akan terwujud tanpa dorongan dan bimbingan oleh Prof. Dr. Ir.

Rudy C. Tarumingkeng, MF, dan Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS, masing-masing Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, penulis mengucapkan terima kasih

yang mendalam. Kepada Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku penguji di luar

pembimbing yang banyak memberikan masukan, arahan untuk perbaikan dan penyempurnaan penulisan thesis ini disampaikan terima kasih

Prof. Dr. Syafrida Manuwoto, M.Sc, dan Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc, masing-masing mantan Dekan dan Dekan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan studi di Sekolah Pascasarjana IPB.

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, dan Dr. Ir. Etty Riani, selaku ketua dan sekretaris program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana IPB, dan Dr. Ir. Catur Herison, M.Sc, yang banyak memberikan masukan dari proses perkualiahan metodologi penelitian.

Kepada Bupati H. Adam Ardjad Lamarauna (alm), dan Drs. Kasmuddin,

M.Si Sekretaris Kabupaten Donggala, Ir. Maulidin Labalo, S.Sos, M.Si, Kepala

Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BALITBANGDA) Propinsi Sulawesi

Tengah ; H. Rolland P. Maringka, bendahara presidium pemekaran wilayah Pantai

Barat Kabupaten Donggala, yang banyak memberikan bantuan materi dan moril, penulis menyampaikan terima kasih. Ucapan yang sama kepada Pengurus Yayasan


(9)

Narjayati Utama khususnya Sriwulan Yulianti, S.P., dan Moh. Habil Masri yang banyak memberikan bantuan materi, dan dorongan moril.

Kepada Bapak Dr. Sayogjo, dan segenap pembina dan pengurus di Yayasan

Sayogjo Inside (sa!ns), khususnya keluarga Budi Baik Siregar, S.Pt, M.Si yang

banyak berkontribusi, baik materi maupun moril, sejak kemitraan dari Pusat Pengkajian dan Pengembangan Perekonomian Rakyat (Pusat P3R) Yayasan Agro

Ekonomika (YAE) hingga terbentuknya ”sa!ins”, penulis mengucapkan terima kasih.

Kawan-kawan di Wisma Virandi Gang Gugahsari II Darmaga Bogor (Virandi Group) : Abdulbasir Languha (Palu), Moh. Ruslan/Uchu (Makassar), Diana (Kalimantan), Diana (Yogya), Andre Daud (Bandung), Abdul Havidz Olii (Gorontalo), Elyun (Jakarta), Muh. Marzuki (Sumbawa), Basri (Sumbawa), Diding Sudira Efendi (Cirebon), Febriana/Febi (Riau), Rafly (Manado), Abdul Rosyid (Palu), dan rekan seangkatan 2003/2004 Genap : Sofi Mardiah/Ophi (Bogor), Nur Rochma Purnamasari/Sari (Bogor/Kebumen), Syafrudin/Udin (Ternate), Suryanto Adi Wardoyo/Yanto (Bandung), Nur Fajri (Lampung), dan kawan-kawan di HIMPAST yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Kupersembahkan tulisan ini kepada Ayahanda Lahandu dan Ibunda tercinta

Indohadi Abdul Rahim, keduanya telah tiada (alm), yang sangat penuh kasih sayang mengasuh penulis sejak dari rahim hingga menikmati kehidupan dunia yang bermakna ini, ketulusan mereka hanya Allah SWT yang dapat memberikan penilaian, dan semoga menempatkan-Nya disisi yang layak. Hal yang sama kupersembahkan

pula tulisan ini kepada pamanda Djasmin T. Labambe (alm), yang mengasuh

penulis sejak Sekolah Dasar hingga menduduki bangku kuliah, terima kasih yang mendalam. Ucapan terima kasih yang mendalam pula kepada Kakanda dan adik tercinta : Saerah (alm), Kurusia (alm), Hanawia (alm), Salwi, Hasniah, Hatim (alm), Alwi, Ermi, Lutfi, Sulni (alm), dan Marni, yang banyak memberikan dorongan, kekuatan, bantuan materi dan moril.

Akhirnya kepada Istriku Mandariana Basiran, dan anak-anaku yang

tersayang : Suryansyah (Ian), Ahzan (achan), Nur Dewisianti (Nur), Ahmad

Faurizki (Uji), dan Haryadi (Adi), yang banyak mengisi ruang-ruang kehidupan kami yang penuh makna.

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia-Nya, dan mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Tulisan ini masih jauh dari yang diharapkan, tentunya masukan dan kritikan konstruktif merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi penulis untuk penyempurnaannya.

Bogor, 31 Mei 2007

Penulis.

Jamlis Lahandu


(10)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Juli 1963 di Desa Malei Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Anak ke-tujuh dari 10 bersaudara dari pasangan Lahandu (alm) dengan Indohadi Abdul Rahim (almarhumah). Pendidikan Sekolah Dasar di selesaikan di SDN Malei Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala, pendidikan lanjutan pertama ditamatkan di SMP Negeri II (SMEP) Donggala dan pendidikan lanjutan atas, diselesaikan di SMA Negeri Donggala. Melalui ujian masuk perintis III, penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako di Palu dan lulus tahun 1989. Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada Bulan Oktober 1989 s/d Januari 1990 mengikuti Pelatihan/magang Manajemen Jurnalistik dan Kewartawanan LSM/LSPM se Indonesia mewakili (utusan) SKEPHI Jakarta di LP3Y Yogyakarta, dibiayai oleh The Asian Foundation. Tahun 1990 penulis bekerja pada Proyek Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wilayah Transmigrasi Terpadu (Pusat P3W transterpadu) PTP. XXIII PIRSUS II Poso Kerjasama Dirjen RAHBINUSEK Departemen Transmigrasi dengan Universitas Tadulako. Pada tahun 1991-1994 dilanjutkan dengan proyek yang sama dengan lokasi UPT Lalundu I, II, UPT Bomban Lambunu Kabupaten Donggala dan UPT Lingkungan Industri Kecil (LIK) Layana Indah Kecamatan Palu Timur. Pada Tahun 1997-1999 sebagai penanggung jawab (sub-kontrak) Proyek Kaji Tindak Partisipatif Masyarakat 27 Desa Tertinggal Parah di Kecamatan Marawola Kabupaten Donggala, Kerjasama UNDP-Bappenas-Pusat Pengkajian Pengembangan Perekonomian Rakyat (Pusat P3R) Yayasan Agro Ekonomika (YAE) dengan Konsorsium LSM Lokal (Lembaga Pengkajian Pengembangan Sumberdaya dan Kawasan Palu sebagai lembaga koordinator). Pendiri Yayasan Ikrar dua delapan, tanggal 28 Oktober 1987, dan Yayasan Narjayati Utama, 27 Pebruari 1998 di Palu Sulawesi Tengah. Pada tanggal 10 Mei 2005 salah satu deklarator/pelaku sejarah Pendirian Yayasan Sajogyo Inside (sa!ns) di Jl. Malabar No. 22 Bogor. Aktif dalam kegiatan pengembangan masyarakat sejak tahun 1987 sampai sekarang

Pada tahun 1992 diterima menjadi PNS di lingkungan Universitas Tadulako Fakultas Pertanian sampai sekarang.

Penulis menikah dengan Mandariana Basiran tanggal 24 Januari 1993 dan dikaruniai empat putra : Suryansyah, Ahzan, Ahmad Faurizki, Haryadi, dan seorang putri : Nur Dewisianti.


(11)

ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN AKSES

SUMBERDAYA ALAM OLEH MASYARAKA

T

KAILI DI TAMAN HUTAN RAYA

(TAHURA), SULAWESI

TENGAH

JAMLIS LAHANDU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(12)

ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN AKSES

SUMBERDAYA ALAM OLEH MASYARAKAT

KAILI DI TAMAN HUTAN RAYA

(TAHURA), SULAWESI TENGAH

JAMLIS LAHANDU

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(13)

Judul Tesis

Nama

NRP

: Analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya

alam oleh masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya

(TAHURA), Sulawesi Tengah.

: Jamlis Lahandu

: P.052030041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Rudy C. Tarumingkeng, MF

Ketua

Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

Anggota

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan (PSL)

Dr.Ir.Surjono H.Sutjahjo, MS

Diketahui

Dekan

Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS


(14)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam oleh Masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah adalah karya saya sendiri, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan yang tidak diterbitkan dari penulis lain, disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

Jamlis Lahandu


(15)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau keseluruhan dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(16)

ABSTRAK

JAMLIS LAHANDU, Analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh RUDY C. TARUMINGKENG, dan HARIADI KARTODIHARDJO.

TAHURA Sulawesi Tengah merupakan ekosistem kehidupan dengan beragam sumberdaya meliputi sumberdaya hayati, non hayati, dan komunitas masyarakat Kaili. Pengukuhannya melalui KepMenHut No. 24/Kpts-II/1999, seluas 7.128 hektar terletak di wilayah Kabupaten Donggala seluas 2.431,73 ha, dan Kota Palu seluas 4.696,27 ha. Dari total luasan tersebut, 10,85 % (656,72 ha) hak penguasaan warga masyarakat (privat property) secara de fakto, dan sekitar 30 ha penguasaan komunal (communal property), dan hak pengelolaan negara (state property).

Kebijakan TAHURA berimplikasi pada akses masyarakat atas sumberdaya alam (SDA), sebagai sumber penghidupan umumnya petani, berjumlah 529 KK (2.416 jiwa). Klaim pemerintah berdampak pada terbatasnya akses masyarakat pada sektor produksi khususnya sumberdaya lahan, hutan (rotan,bambu, kayu bakar) dan sumberdaya tambang (emas, batu kali). Kebijakan operasional (daerah) tidak mengatur mekanisme siapa pengguna akses (gain), pengendali akses (control acces), dan pemelihara akses (maintain acces).

Penelitian ini bertujuan (a) mengidentifikasi keterlibatan Stakeholders dalam penetapan status kawasan, (b) memetakan kepentingan dan interaksi stakeholders, dan (c) menganalisis kebijakan dan strategi pengelolaan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah. Dengan metode pendekatan partisipatif (alat kaji diagram venn, alur sejarah, matrik rangking), dengan analisis Right, Responsibility, Revenue dan Relationship (4Rs), dan analisis isi (content analysis).

Masyarakat mengakses sumberdaya alam dengan kemampuan sendiri, tanpa mendapatkan hak kelola (property right) dari yang berwenang. Peraturan-perundangan mengamanatkan bahwa masyarakat (stakeholders) berkenaan mendapatkan hak pengelolaan dari pemerintah dengan prosedur, dan mekanisme jelas, namun tidak dilakukan. Hal ini berekses pada buruknya relationship (masyarakat vs pemerintah), dan rendahnya kepercayaan publik terhadap pengelola TAHURA.

Dinas Kehutanan, pemegang wewenang untuk mengendalikan akses sumberdaya, tapi kurang mengambil tanggung jawab. LSM merupakan stakeholder yang besar tanggung jawabnya dalam memelihara akses, dan stakeholders penerima manfaat (pengguna akses) adalah petani, perotan, pendulang emas, pengumpul batu kali, traeler/pedagang, dan militer. PerDa No. 2/2004 belum mengakomodir isi ketetapan MPR No. IX/MPR/2001, UU No. 41/199, PP No. 34/2002, KepMenHut No. 32/Kpts-II/2001, dan tidak sinkron dengan PP No. 62/1998 serta PP No. 68/1998. PerDa tentang TAHURA dan petunjuk teknis termasuk institusi pengelolaan belum ada. Lemahnya koordinasi, informasi, transaksi, dan kapasitas kelembagaan pemerintah, merupakan indikator tidak berjalannya sistem resources governance.

Penelitian ini merekomendasikan : (a) perlunya kejelasan hukum atas hak-hak masyarakat, pengakuan formal terhadap institusi adat, (b) penguatan kelembagaan stakeholders melalui pelatihan dan pendampingan intensif, (c) menjalin kemitraan dengan pihak independen dan memberikan peran sesuai fungsinya, (d) menindaklanjuti aksi penolakan masyarakat terhadap pertambangan emas di Poboya, dan (e) peningkatan koordinasi, informasi, transaksi inter/antar stakeholders, pembenahan sistem resources governance, dan peningkatan kapasitas kelembagaan daerah, dan (f) menerbitkan peraturan daerah tentang pengelolaan TAHURA beserta infrastruktur pendukungnya.

Kata Kunci : Analisis kebijakan, pengelolaan akses sumberdaya alam, masyarakat lokal Kaili, Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah, dan analisis 4 R.


(17)

ABSTRACT

JAMLIS LAHANDU. Policy Analysis of Natural Resources Access Management by Kaili Community in Grand Forest Park at Central Sulawesi. Supervised by RUDI C. TARUMINGKENG and HARIADI KARTODIHARDJO.

Central Sulawesi Grand Forest Park is a live ecosystem with various resources covered both biological and non biological resource and also Kaili Community. The TAHURA was consolidated by Kepmenhut No. 24/Kpts-II/1999 which have 7.128 ha area with 2.431,73 ha located in Donggala District and 4.696,27 ha area in Palu City. From total area of Tahura, about 10,85 % (656,72 ha is private property for community and 30 ha for communal property and state property.

Tahura’s policy implied to community access for natural resources as their livelihood, generally for farmer which consist of 529 family (2.416 people). The Government’s claim implied to community access which have been restricted to production sector specially for land resources, forest (rattan, bamboo, firewood) and mining (gold, river stone). In the other hand, local policy has no mechanism for regulate between access user (gain), control access and maintain access.

According to that condition, this research aims to identify stakeholder involvement in determination status of Grand Forest Park areas, mapping the interaction between stakeholders and its interest and then analyze the strategy and Policy in the Central Sulawesi Grand Forest Park Management. The method of this research used participative approaches (venn diagram, historical plot, rank matrix) with 4 R analysis (Right, Responsibilities, Revenue and Relationship), and contents analysis.

The rules had order that community have the property right from government with clearly mechanism and procedure but the result showed that community using their own resources to access natural resources without property right from stakeholders. This implied to relationship between community and government which become worst and reduce their trusted to TAHURA organizer.

Based on 4R analysis showed that Forest services have the authority to control of resource access but at the same time they do not quite responsible to do their authority. LSM became stakeholders who have the largest responsibilities to maintain resource access and The Farmers, rattan collector, gold prospector, pebble collector, trader and military received the largest benefit from resource access. Regional regulation No. 2/2004 have not accommodate of the Tap MPR No. IX/MPR/2001, UU No. 41/1999, PP No. 34/2002, KepMenHut No.32/Kpts-II/2001 and have not synchronization with PP No. 62/1998 also PP No. 68/1998. The regional regulation and technical guidelines about TAHURA including its institution have not been available. Moreover, coordination, information, transaction and government institutional capacity is weakness and became an indicator of inefficiency in governance resources system.

According to the result, it’s highly recommended to: (a) Explicit law of community right and formal acknowledgment to custom institution; (b) stakeholders capacity building by training and intensive advocation; (c) make a partnership with independent party; (d) follow up of community refusal action toward to gold mining in Pobboya and; (e) Increase coordination, information and transaction between stakeholders, improve of governance resources system and capacity building of regional institution and also; (f) establishing regional regulation for Grand Forest Park (TAHURA) management including its supported infrastructure.

Keyword : Policy Analysis, natural resources access management, Kaili local community, Central Sulawesi Grand Forest Park, 4 R Analysis.


(18)

KATA PENGANTAR

Penelitian yang berjudul “analisis kebijakan pengelolaan akses

sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah”, merupakan refleksi atas proses kehidupan masyarakat di dalam/sekitar kawasan hutan tatkala pemerintah mengklaim menjadi Taman Hutan Raya (TAHURA) untuk kawasan pelestarian alam dan ekosistemnya. Beberapa pertimbangan untuk dijadikannya kawasan preservasi antara lain sebagai daerah penyangga bagi kota Palu dan sekitarnya, dan beberapa sumberdaya hayati dan non hayati yang perlu diselamatkan. Pelestarian juga merupakan suatu keharusan jika dilihat dari fungsinya, namun disisi lain terdapat kepentingan ekonomi, sosial budaya dan politik yang tidak bisa diabaikan. Masyarakat dalam kawasan ini merupakan bagian dari ekosistem TAHURA, yang telah beranakpinang dan berinteraksi dengan alam sekitarnya sejak lama sebelum negara kesatuan R.I terbentuk. Namun kebijakan TAHURA SULTENG belum berpihak kepada mereka dan bahkan berimplikasi pada ketidakharmonisan hubungan antar pengelola dan masyarakat sebagai subyek yang seharusnya mendapat prioritas, bukan memarginalkannya dalam aspek kehidupan di lingkungannya sendiri. Hal inilah yang mengimajinasi serta perenungan bagi penulis, dan menjadikannya salah satu latar belakang penelitian ini dilakukan.

Banyak pihak yang berkontribusi, dan sangat berharga dalam penelitian ini. Oleh karena itu izinkan penulis menyampaikan penghargaan yang mendalam kepada mereka yang berjasa dalam proses penelitian hingga penulisan thesis ini. Penulisan

thesis ini tidak akan terwujud tanpa dorongan dan bimbingan oleh Prof. Dr. Ir.

Rudy C. Tarumingkeng, MF, dan Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS, masing-masing Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, penulis mengucapkan terima kasih

yang mendalam. Kepada Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku penguji di luar

pembimbing yang banyak memberikan masukan, arahan untuk perbaikan dan penyempurnaan penulisan thesis ini disampaikan terima kasih

Prof. Dr. Syafrida Manuwoto, M.Sc, dan Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc, masing-masing mantan Dekan dan Dekan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan studi di Sekolah Pascasarjana IPB.

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, dan Dr. Ir. Etty Riani, selaku ketua dan sekretaris program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana IPB, dan Dr. Ir. Catur Herison, M.Sc, yang banyak memberikan masukan dari proses perkualiahan metodologi penelitian.

Kepada Bupati H. Adam Ardjad Lamarauna (alm), dan Drs. Kasmuddin,

M.Si Sekretaris Kabupaten Donggala, Ir. Maulidin Labalo, S.Sos, M.Si, Kepala

Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BALITBANGDA) Propinsi Sulawesi

Tengah ; H. Rolland P. Maringka, bendahara presidium pemekaran wilayah Pantai

Barat Kabupaten Donggala, yang banyak memberikan bantuan materi dan moril, penulis menyampaikan terima kasih. Ucapan yang sama kepada Pengurus Yayasan


(19)

Narjayati Utama khususnya Sriwulan Yulianti, S.P., dan Moh. Habil Masri yang banyak memberikan bantuan materi, dan dorongan moril.

Kepada Bapak Dr. Sayogjo, dan segenap pembina dan pengurus di Yayasan

Sayogjo Inside (sa!ns), khususnya keluarga Budi Baik Siregar, S.Pt, M.Si yang

banyak berkontribusi, baik materi maupun moril, sejak kemitraan dari Pusat Pengkajian dan Pengembangan Perekonomian Rakyat (Pusat P3R) Yayasan Agro

Ekonomika (YAE) hingga terbentuknya ”sa!ins”, penulis mengucapkan terima kasih.

Kawan-kawan di Wisma Virandi Gang Gugahsari II Darmaga Bogor (Virandi Group) : Abdulbasir Languha (Palu), Moh. Ruslan/Uchu (Makassar), Diana (Kalimantan), Diana (Yogya), Andre Daud (Bandung), Abdul Havidz Olii (Gorontalo), Elyun (Jakarta), Muh. Marzuki (Sumbawa), Basri (Sumbawa), Diding Sudira Efendi (Cirebon), Febriana/Febi (Riau), Rafly (Manado), Abdul Rosyid (Palu), dan rekan seangkatan 2003/2004 Genap : Sofi Mardiah/Ophi (Bogor), Nur Rochma Purnamasari/Sari (Bogor/Kebumen), Syafrudin/Udin (Ternate), Suryanto Adi Wardoyo/Yanto (Bandung), Nur Fajri (Lampung), dan kawan-kawan di HIMPAST yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Kupersembahkan tulisan ini kepada Ayahanda Lahandu dan Ibunda tercinta

Indohadi Abdul Rahim, keduanya telah tiada (alm), yang sangat penuh kasih sayang mengasuh penulis sejak dari rahim hingga menikmati kehidupan dunia yang bermakna ini, ketulusan mereka hanya Allah SWT yang dapat memberikan penilaian, dan semoga menempatkan-Nya disisi yang layak. Hal yang sama kupersembahkan

pula tulisan ini kepada pamanda Djasmin T. Labambe (alm), yang mengasuh

penulis sejak Sekolah Dasar hingga menduduki bangku kuliah, terima kasih yang mendalam. Ucapan terima kasih yang mendalam pula kepada Kakanda dan adik tercinta : Saerah (alm), Kurusia (alm), Hanawia (alm), Salwi, Hasniah, Hatim (alm), Alwi, Ermi, Lutfi, Sulni (alm), dan Marni, yang banyak memberikan dorongan, kekuatan, bantuan materi dan moril.

Akhirnya kepada Istriku Mandariana Basiran, dan anak-anaku yang

tersayang : Suryansyah (Ian), Ahzan (achan), Nur Dewisianti (Nur), Ahmad

Faurizki (Uji), dan Haryadi (Adi), yang banyak mengisi ruang-ruang kehidupan kami yang penuh makna.

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia-Nya, dan mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Tulisan ini masih jauh dari yang diharapkan, tentunya masukan dan kritikan konstruktif merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi penulis untuk penyempurnaannya.

Bogor, 31 Mei 2007

Penulis.

Jamlis Lahandu


(20)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Juli 1963 di Desa Malei Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Anak ke-tujuh dari 10 bersaudara dari pasangan Lahandu (alm) dengan Indohadi Abdul Rahim (almarhumah). Pendidikan Sekolah Dasar di selesaikan di SDN Malei Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala, pendidikan lanjutan pertama ditamatkan di SMP Negeri II (SMEP) Donggala dan pendidikan lanjutan atas, diselesaikan di SMA Negeri Donggala. Melalui ujian masuk perintis III, penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako di Palu dan lulus tahun 1989. Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada Bulan Oktober 1989 s/d Januari 1990 mengikuti Pelatihan/magang Manajemen Jurnalistik dan Kewartawanan LSM/LSPM se Indonesia mewakili (utusan) SKEPHI Jakarta di LP3Y Yogyakarta, dibiayai oleh The Asian Foundation. Tahun 1990 penulis bekerja pada Proyek Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wilayah Transmigrasi Terpadu (Pusat P3W transterpadu) PTP. XXIII PIRSUS II Poso Kerjasama Dirjen RAHBINUSEK Departemen Transmigrasi dengan Universitas Tadulako. Pada tahun 1991-1994 dilanjutkan dengan proyek yang sama dengan lokasi UPT Lalundu I, II, UPT Bomban Lambunu Kabupaten Donggala dan UPT Lingkungan Industri Kecil (LIK) Layana Indah Kecamatan Palu Timur. Pada Tahun 1997-1999 sebagai penanggung jawab (sub-kontrak) Proyek Kaji Tindak Partisipatif Masyarakat 27 Desa Tertinggal Parah di Kecamatan Marawola Kabupaten Donggala, Kerjasama UNDP-Bappenas-Pusat Pengkajian Pengembangan Perekonomian Rakyat (Pusat P3R) Yayasan Agro Ekonomika (YAE) dengan Konsorsium LSM Lokal (Lembaga Pengkajian Pengembangan Sumberdaya dan Kawasan Palu sebagai lembaga koordinator). Pendiri Yayasan Ikrar dua delapan, tanggal 28 Oktober 1987, dan Yayasan Narjayati Utama, 27 Pebruari 1998 di Palu Sulawesi Tengah. Pada tanggal 10 Mei 2005 salah satu deklarator/pelaku sejarah Pendirian Yayasan Sajogyo Inside (sa!ns) di Jl. Malabar No. 22 Bogor. Aktif dalam kegiatan pengembangan masyarakat sejak tahun 1987 sampai sekarang

Pada tahun 1992 diterima menjadi PNS di lingkungan Universitas Tadulako Fakultas Pertanian sampai sekarang.

Penulis menikah dengan Mandariana Basiran tanggal 24 Januari 1993 dan dikaruniai empat putra : Suryansyah, Ahzan, Ahmad Faurizki, Haryadi, dan seorang putri : Nur Dewisianti.


(21)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I. PENDAHULUAN...

1.1. Latar Belakang...

1.2. Kerangka Pemikiran...

1.3. Permasalahan...

1.4. Tujuan Penelitian...

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...

2.1. Akses masyarakat lokal terhadap pengelolaan Sumber daya

alam (SDA)...

2.2. Konsep pelestarian/konservasi dalam perespektif biofisik,

ekonomi, sosial dan budaya masyarakat...

2.3. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam...

2.4. Taman Hutan Raya (TAHURA)...

2.5. Hak kepemilikan (property right) masyarakat lokal terhadap

sumber daya alam...

2.6. Pola hubungan antar stakeholders dalam pengelolaan sumber

daya alam...

BAB III. KARAKTERISTIK LOKASI PENELITIAN...

3.1. Letak geografis...

3.2. Iklim dan curah hujan...

3.3. Kondisi hidrologi...

3.4. Keadaan tanah, geologi dan topografi...

3.5. Keadaan flora dan fauna...

3.6. Strategi pengembangan TAHURA Propinsi Sulawesi Tengah..

iii v vii 1 1 6 9 13 14 14 20 23 29 32 36 37 37 38 40 43 45 46


(22)

ii

3.7. Kebijakan pembangunan pemerintah daerah terhadap

TAHURA...

BAB IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN...

4.1. Tempat dan waktu penelitian...

4.2. Metode penelitian...

4.3. Analisis data...

47

49

49 49 52

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN……….

5.1. Keadaan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat dalam/sekitar

kawasan TAHURA SULTENG...

5.2. Aspek historis TAHURA SULTENG...

5.3. Kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan TAHURA

SULTENG...

5.4. Kebijakan penetapan tata batas, luas wilayah dan status

TAHURA SULTENG...

5.5. Kebijakan konservasi kawasan TAHURA...

5.6. Keterlibatan stakeholders dalam proses penetapan AHURA…

5.7. Analisis right, responsibility, revenues dan relationship (4R)..

5.7.1. Hubungan stakeholders dalam pengelolaan

TAHURA...

5.7.2. Hak pemanfaatan sumber daya alam TAHURA...

5.7.3. Akses stakeholders terhadap pengelolaan

TAHURA...

5.8. Analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya alam

TAHURA...

BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN...

6.1. Kesimpulan...

6.2. Rekomendasi Kebijakan...

DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... 58 58 83 85 87 90 91 94 94 104 106 126 148 148 154 156 164


(23)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman

1. Hasil analisis rata-rata curah hujan dari Stasiun Metereologi dan

Geofisika Mutiara Palu Tahun 2000-2005...

2. Data debit air pada sungai-sungai di kawasan TAHURA

SULTENG... Tujuan, jenis, teknik pengumpulan data dan analisisnya...

4. Matrik analisis 4 R (Right, Responsibility, Revenues and

Relationship)……….. Matriks analisis hubungan antar stakeholders ...

6. Jumlah penduduk dan luas wilayah per kelurahan/desa di sekitar

kawasan TAHURA SULTENG...

7. Jumlah penduduk dalam kawasan TAHURA SULTENG...

8. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Taman Hutan Raya

(TAHURA)...

9. Perspektif pemangku kepentingan dan pejabat yang berkaitan

dengan keberlanjutan TAHURA SULTENG...

10. Jenjang pendidikan formal informan dalam/sekitar TAHURA

SULTENG...

11. Luas pemilikan lahan kebun/ladang warga masyarakat di kawasan

TAHURA SULTENG...

12. Jenis padi lokal dan tanaman pangan lainnyadi lokasi penelitian...

13. Jenis tanaman perkebunan dan hortikultura di lokasi penelitian...

14. Jenis rotan hasil produksi dari kawasan hutan TAHURA

SULTENG dan sekitarnya...

15. Jumlah dan jenis ternak yang digembalakan di dalam kawasan

TAHURA...

16. Keterlibatan stakeholders dalam proses penetapan tata batas

40

41 52

55 56

58 59

61

62

64

76 79 80

81


(24)

iv

TAHURA SULTENG...

17. Kepentingan stakeholder atas sumberdaya alam TAHURA………

18. Peran stakeholder berdasarkan mekanisme akses sumberdaya alam

TAHURA...

19. Ringkasan dari right, responsibility, dan revenues di TAHURA

SULTENG...

20. Pendapatan rata-rata warga komunitas masyarakat lokal Kaili di

lokasi penelitian ...

21. Right, responsibility, dan revenues 14 dari 22 stakeholders………..

22. Perbandingan antar stakeholders dari aspek hak, tanggung jawab

dan manfaat...

23. Ringkasan hubungan antar stakeholder di TAHURA SULTENG...

24. Perlindungan negara terhadap masyarakat lokal (adat) atas

pengelolaan sumberdaya alam ...

92 108

111

113

117 118

120 122


(25)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar Teks Halaman

1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian.. .………...

2. Skema pemanfaatan sumberdaya alam TAHURA SULTENG…….

3. Batas lokasi penelitian………...

4. Keadaan DAS Uentumbu Kelurahan Kavatuna Kecamatan Palu

Selatan………...

5. Keadaan DAS Vatutela Kecamatan Palu Timur (tampak dari arah

Barat)……….

6. Kemiringan lereng kawasan TAHURA………

7. Zona (blok) tanam TAHURA………...

8. Bagan alir tahapan analisis kebijakan pengelolaan TAHURA...

9. Peran stakeholder dalam pengelolaan TAHURA...

10. Peta Taman Hutan Raya (TAHURA) SULTENG...

11. Simulasi hubungan antar stakeholder dengan diagram Venn pada

komunitas masyarakat Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Timur...

12. Simulasi hubungan antar stakeholder dengan diagram Venn pada

komunitas masyarakat Vintu Kelurahan Layana Indah Kecamatan Palu Timur...

13. Simulasi hubungan antar stakeholder dengan diagram Venn pada

komunitas masyarakat Bunti Pobau Kelurahan Poboya Kecamatan Palu Timur...

14. Simulasi hubungan antar stakeholder dengan diagram Venn pada

komunitas masyarakat hulu DAS Pondo Kelurahan Poboya Kecamatan Palu Timur...

15. Simulasi hubungan antar stakeholder dengan diagram Venn pada

komunitas masyarakat Uentumbu Kelurahan Kavatuna 9 35 38

41

42 44 47 53 54 66

95

96

97


(26)

vi

Kecamatan Palu Selatan...

16. Simulasi hubungan antar stakeholder dengan diagram Venn pada

komunitas masyarakat Tompu Desa Ngata Baru (Kapopo) Kecamatan Sigi-Biromaru Kabupateb Donggala...

17. Simulasi hubungan antar stakeholder dengan diagram Venn pada

komunitas masyarakat Raranggonau Desa Pumbeve Kecamatan Sigi-Biromaru Kabupaten Donggala...

18. Peta akses stakeholder dalam pengelolaan TAHURA SULTENG.

19. Keadaan hutan di kawasan Tompu TAHURA SULTENG...

20. Kondisi lahan usahatani bawang di Bunti Pobau TAHURA

SULTENG...

21. Warga masyarakat RT. I Poboya melakukan pendulangan emas di

DAS Pondo dengan pola tradisional (menggunakan bahan-bahan alami)...

22. Proses pembuatan sketsa kebun dan letak geografis pemanenan

rotan di dalam dan di luar kawasan hutan TAHURA SULTENG....

23. Proses wawancara semi terstruktur, penggalian sejarah

pemukiman Tompu...

24. Keadaan hutan dan padi ladang yang sedang di panen di kawaasan

TAHURA SULTENG...

25. Komoditas perkebunan sebagai salah satu sumber penghasilan

komunitas masyarakat Kaili Tara dan Kaili Ledo di TAHURA SULTENG...

26. Peta akses komunitas masyarakat adat Kaili Tara dan Kaili Ledo

di TAHURA SULTENG...

100

101

103 109 176

176

177

177

178

178

179


(27)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Teks Halaman

1. Right, responsibility, dan revenues informan pada komunitas

masyarakat lokal Kaili di TAHURA SULTENG……….. 2. Foto-foto keadaan fisik TAHURA SULTENG ...

3. Aktivitas masyarakat mengakses sumberdaya tambang dan pembuatan

sketsa kebun rakyat di TAHURA SULTENG...

4. Proses wawancara dan keadaan hutan TAHURA SULTENG...

5. Komoditas perkebunan dan peta akses komunitas masyarakat Kaili

Tara dan Ledo di TAHURA SULTENG...

164 176

177 178


(28)

BAB. I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Taman Hutan Raya (TAHURA) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi1. Dalam perspektif ini kawasan yang akan ditetapkan menjadi TAHURA idealnya bebas dari kegiatan rutinitas masyarakat dan pemukiman penduduk, namun kenyataan dari 17 wilayah di Indonesia yang dijadikan TAHURA dengan luasan 343.454,41 hektar, kebanyakan menuai permasalahan dengan penduduk lokal yang secara de fakto menempati kawasan sebelum penetapan suatu kawasan dilakukan (DepHut, 2004).

TAHURA SULTENG2 merupakan salah satu kawasan pelestarian yang dikukuhkan dengan KepMenHut No. 24/Kpts-II/1999, dengan luas 7.128 ha atau 0,186 % dari total luas hutan Sulawesi Tengah (3.833.330 ha) atau sekitar 1,174 % dari luas kawasan konservasi (607.100 ha) di Sulawesi Tengah (DepHut, 2004) atau berkisar 0,104 % dari luas Sulawesi Tengah (68.316,02 km2). Secara administratif kawasan tersebut termasuk dalam dua wilayah daerah tingkat II yaitu Kabupaten Donggala seluas 2.431,73 ha (34,115 %) dan Kota Palu seluas 4.696,27 ha (65,885 %). Dari aspek historisnya kawasan ini merupakan penggabungan dari tiga kawasan, meliputi Cagar Alam Poboya seluas 1.000 ha, Hutan Lindung Paneki 7.000 ha dan lokasi PPN 30 seluas 100 ha, melalui Keputusan MenHut No. 461/Kpts-II/1995 dengan nama TAHURA PALU.

1

Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya.

2

Secara geografis wilayahnya berada pada posisi antara 1190 55’ - 1200 0’ 0” BT dan 00 48’ -00 59 LS. Pada bagian Utara dibatasi oleh oleh Wilayah Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala (Hutan Produksi Terbatas), bagian Timur dengan Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung), bagian Selatan berbatas dengan Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala (Hutan Produksi Terbatas), dan bagian Barat berbatas dengan Desa Ngata Baru (Kapopo) Kabupaten Donggala, Kelurahan Tondo dan Poboya Kecamatan Palu Timur ; Kelurahan Kavatuna Kecamatan Palu Selatan. Jarak dari Kota Palu sekitar 4-11 km arah Timur dengan jalur aksesibilitas melalui Universitas Tadulako (Vatutela), Kelurahan Poboya, Desa Ngata Baru (Kapopo), Gumbasa Paneki dan Kelurahan Layana Indah (Vindu).


(29)

2

Pertimbangan ditetapkannya wilayah ini menjadi TAHURA antara lain : (a) untuk melindungi flora dan fauna eksotik dan endemik yang mendekati kepunahan, (b) sebagai daerah penyangga (buffer area) untuk Kota Palu dan sekitarnya, (c) sebagai pensuplai air bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Poboya, Paneki, Mamara-Ngia dan Vatutela, (d) keadaan fisik tanah yang labil (lempung berpasir) yang rawan erosi dan gundul dan (e) sebagai pengatur iklim mikro. Aspek-aspek tersebut merupakan isi sumberdaya TAHURA yang dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu sumberdaya non hayati, sumberdaya hayati dan sumberdaya manusia (Mantjoro, 1999). Ketiga kelompok ini berada dalam satu sistem kehidupan bersama (ecosystem) yang seimbang dan serasi. Sumberdaya non hayati dan hayati berperan sebagai pemasok (supplier) dan sumberdaya manusia sebagai konsumer dan pengelola. Fungsi dan manfaat sumberdaya alam (hutan) bersifat interpretatif, bergantung cara pandang individu atau kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap hutan tersebut. Kegagalan sistem pengelolaan hutan seperti sekarang ini berakibat pada turunnya kualitas hutan serta kesejahteraan masyarakat dalam/sekitar hutan semakin termarginalkan.

Kebijakan penetapan TAHURA SULTENG berimplikasi pada beragam persepsi stakeholders dan masyarakat lokal Kaili di dalam/sekitar kawasan. Perspektif yang berbeda ini disebabkan tidak terjalinnya komunikasi kedua pihak, antar pengelolan (pemerintah) dengan masyarakat lokal Kaili. Situasinya menjadi krusial tatkala pemerintah melakukan pengukuran dan pemasangan tapal batas tahun 1997, beberapa tapal batas ditempatkan dalam kebun-kebun dan di halaman pekarangan warga masyarakat lokal3. Penentangan semakin terbuka ketika PT. Citra Palu Mineral (Rio Tinto Group) melakukan eksplorasi tambang emas di dalam Kawasan Cagar Alam Poboya yang seharusnya dalam persepsi normatif masyarakat dilindungi dari berbagai bentuk. Keyakinan semakin kuat dan membuktikan ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyatnya, hanya mementingkan pihak kapital (swasta).

3

Sanarudin (56 th), tenaga kerja harian pemasangan tapal batas thn 1997, wawancara 19 Juli 2006 di Uentumbu Kelurahan Kavatuna Kecamatan Palu Selatan.


(30)

3

Keadaan tersebut mempengaruhi sistem sosial masyarakat lokal Kaili yang berjumlah 529 KK (2.416 jiwa) atau sekitar 10,55 % dari total jumlah jiwa tiga wilayah kecamatan (22.889 jiwa) yang termasuk dalam wilayah TAHURA. Masyarakat lokal Kaili secara de fakto telah terbangun sistem itegratif dengan alam kehidupannya secara lintas generasi, namun kenyataan menunujukkan lain, kenyamanan terganggu tatkala kawasan ini diklaim menjadi kawasan pelestarian yang membatasi ruang gerak mereka untuk mengakses sumberdaya (hasil kebun) yang berbeda dari sebelumnya. Masyarakat lokal Kaili yang tinggal dalam/sekitar kawasan ini memiliki hubungan dialektika yang erat dengan lingkungan sumberdaya alam (hutan). Hutan dalam perspektif masyarakat lokal Kaili bukan hanya menjadi tempat tinggal dan sumber pemenuhan kebutuhan hidup, namun memiliki fungsi sosial, budaya dan religiusitas (Murtijo dan Nugraha, 2005). Nilai-nilai spiritual (religiusitas) dalam masyarakat menjalin ikatan batin dan emosional yang kuat dengan sumberdaya alam (Kartodihardjo, 2006). Keadaan ini dapat diamati dalam masyarakat lokal Kaili dari beragam upacara adat, dan ritual yang selalu mengiringi kegiatan praktek bertani ladang yang interaksinya berulang-ulang. Interaksi yang berulang tersebut, maka terbangun suatu sistem tatanan sosial budaya masyarakat yang menyatu dengan ekosistem hutan4. Ritual adat dimulai dari pemilihan lahan5, pembukaan lahan, pembersihan (noropu), penanaman sampai pemanenan. Kearifan-kearifan tersebut dapat berlangsung secara sistematis jika institusi (kelembagaan)6

4

Hutan adalah bagian integral, merupakan kesatuan ekosistem kehidupan masyarakat yang hidup di dalamnya. Hubungan interaksi antar masyarakat dan lingkungan hutan telah berlangsung berabad-abad dari generasi ke generasi. Untuk mempertahankan kehidupannya, masyarakat mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam, dan hutan menjadi penyedia lahan untuk pertanian ladang dan pemenuhan kebutuhan hidup (Nugraha, 2005).

5

Laudjeng, Hedar (2003), adat pombui di rumpun Kaili Da’a memperlihatkan hubungan erat antar pengelolaan hutan dengan kepercayaan religius khususnya dalam pemilihan lahan. Proses pemilihan lahan oleh petani disampaikan kepada pimpinan petani (sobo). Setelah disetujui Sobo, baru dilakukan bersama dengan pemilik untuk mempersiapkan ritual-ritual yang harus dipenuhi petani berupa adat Tava’a (Lahandu, 2002). Adat Tava’a dilakukan tujuh hari sebelum perencanaan pembukaan lahan. Setelah tujuh hari pelaksanaan adat Tava’a terdapat fenomena alam yang berubah di lokasi rencana pembukaan kebun tersebut, maka Sobo akan melakukan pemindahan lokasi kebun yang lebih layak menurut perspektif adat Tava’a.

6

Kelembagaan adalah institusi masyarakat adat, kelompok yang terkait, untuk mengatur anggotanya baik secara teknis maupun aspek nilai-nilai moral dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam TAHURA SULTENG. Masyarakat adat menurut Ter Haar dalam Fay dkk (2000)


(31)

4

masyarakat seperti kelembagaan adat setempat kuat. Perilaku masyarakat termasuk pengaturan pola usahatani, hubungan sosial baik antara individu, antar kelompok maupun dalam organisasi yang sama. Kelembagaan adat merupakan satu-satunya yang dihargai, didengar dan ditaati anggota masyarakatnya dalam berbagai hal termasuk pola mengakses sumberdaya apalagi merubah struktur permukaan tanah dan tutupan lahan seperti hutan.

Akses7 masyarakat lokal Kaili di wilayah ini telah berlangsung ratusan tahun, namun dengan adanya klaim pemerintah, maka di dalam wilayah ini terdapat kelompok kepemilikan sumberdaya yaitu kepemilikan comunal (communal property), kepemilikan warga (private) dan kepemilikan negara (state property). Jika dikelompokkan terdapat dua sifat kepemilikan yaitu kepemilikan de fakto dan de jure. Adanya dua kepemilikan tersebut akan menimbulkan persoalan tentang sumber dari legitimasi klaim atas sumberdaya (lahan, tanah, hutan). Mereka mendapatkan akses dan menguasai sebidang tanah, sumberdaya alam berdasarkan klaim de jure, menggunakan izin pemerintah dan aturan hukum yang berlaku untuk legitimasi kepemilikannya (Affif, 2002). Dalam suatu kepemilikan terdapat beberapa hak (boundle right) dan menunjukkan berbagai hubungan sosial (Ribot dan Peluso, 2003 ; Ostrom dalam Kartodihardjo, 2003). Dari aspek politik ekonomi, penting ketika membagi aktivitas dalam hubungan sosial menjadi pengguna (gain), kendali akses (control acces), dan pemelihara akses (maintan acces). Ribot dan Peluso (2003) menjelaskan, kendali akses merupakan kemampuan untuk memediasi akses yang dimiliki pihak lain ; sementara kendali akses itu sendiri adalah memeriksa, mengatur dan menggerakkan aktivitas.

adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, idiologi, ekonomi politik, budaya dan sosial yang khas.

7

Akses adalah kemampuan untuk mendapatkan benefit dari sesuatu, termasuk benda, orang ataupun lembaga (Ribot & Peluso, 2003).


(32)

5

Untuk mengelola mekanisme akses seperti yang disebutkan di atas, dibutuhkan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan dari beragam pemangku. Hal ini dapat berjalan jika pengambil kebijakan di daerah dapat memahami dan mengimplementasikannya dengan memperhatikan beragam kepentingan melalui pendekatan holistik. Menurut Dunn (2000), Darusman dkk (2003), Kartodihardjo dan Wollenberg (2003) bahwa kebijakan merupakan bentuk intervensi pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam yang memiliki karakteristik yaitu (1) suatu kebijakan harus didukung oleh sistem. Kebijakan tidak eksis tunggal, tetapi berantai, terikat dengan kebijakan lainnya. Kebijakan pengelolaan TAHURA harus sinkron dengan kebijakan tata ruang wilayah propinsi seperti ruang penggembalaan bagi ternak rakyat, kawasan pemanfaatan bagi petani dan pemanfaatan hasil hutan, (2) Keberhasilan suatu kebijakan sehingga perubahan-perubahan kebijakan harus didukung oleh sistem yang baik, (3) Kebijakan mempengaruhi sesuatu keadaan yang almost imposible menjadi possible, dan (4) Kebijakan yang baik didukung oleh informasi yang lengkap dan akurat.

Secara konseptual terdapat dua aturan hukum dalam pengaturan kegiatan hutan yaitu hukum formal (positif) sebagai peraturan pemerintah serta hukum adat yang menjadi acuan masyarakat (Nugraha dan Iskandar, 2004). Kecenderungan yang berkembang di lapangan berkaitan dengan landasan aturan kegiatan pengelolaan hutan yaitu dominasi hukum posistif formal sebagai produk peraturan pemerintah (penguasa). Sementara kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat merupakan sebuah aturan sosial yang berjalan sejak sebelum peraturan positif ada. Dalam konteks penetapan kebijakan pengelolaan hutan secara konseptual tidak dapat dipisahkan dari sistem, tata nilai, norma-norma atau paradigma-paradigma yang menjadi latar belakang budaya para birokrat pembuat kebijakan.

Bagaimana kebijakan pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili dan mekanisme akses dijalankan dalam pengelolaan suatu Taman Hutan Raya, telah


(33)

6

dilakukan penelitian tentang analisis kebijakan8 pengelolaan akses sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.

1.2. Kerangka Pemikiran

TAHURA SULTENG merupakan bentuk kebijakan pemerintah dengan mengacu pada Undang-undang No. 5 Tahun 1990, dan Undang-undang No. 41 Tahun 1999. Untuk kepastian hukum, Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998 menjadi dasar rujukan pemerintah daerah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 24/Kpts-II/1999 yang menetapkan status dan tata batas dengan luas 7.128 hektar. Keputusan tersebut merupakan perubahan dari Surat Keputusan No. 461/Kpts-II/1995, dengan luas 8.100 hektar sebagai penggabungan dari tiga kawasan pelestarian yaitu Cagar Alam Poboya 1.000 hektar, Hutan Lindung Paneki 7.000 hektar dan Taman Wisata Alam Kapopo (Eks PPN 30) seluas 100 hektar dengan nama TAHURA PALU.

Kawasan TAHURA yang berjarak sangat dekat dengan pusat kota berkonsekwensi dan akan mengalami proses perubahan yang cepat baik dari aspek fisik maupun non fisik. Untuk itu beberapa hal yang harus diingat bahwa dalam pengelolaan tidak melupakan aspek sosial budaya (masyarakat lokal/adat) dan keterlibatan stakeholders dari prakondisi hingga kebijakan operasional.

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang sudah berlangsung sejak Januari 2001 mengakibatkan berkurangnya peran dan kendali pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pemerintah daerah khususnya kabupaten dan kota yang mempunyai kewenangan untuk mengurus sumber daya alam di wilayahnya (hutan, tambang, perkebunan, pertanian). Dengan kewenangan ini pemerintah daerah dihadapkan pada tuntutan kemandirian dalam membiayai jalannya pemerintahan dan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui pemanfaatan

8

Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas inetelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan (Dunn, 2000 ; Kartodihardjo, 2006). Proses analisis kebijakan mempunyai lima tahap (perumusan masalah, peramalan, pemantauan, evaluasi dan rekomendasi) yang saling bergantung yang secara bersama membentuk siklus aktivitas intelektual yang kompleks dan tidak linear. Aktivitas-aktivitas tersebut berurutan sesuai waktunya dan melekat dalam proses kebijakan yang bersifat kempleks, tidak linear, dan pada dasarnya bersifat politis.


(34)

7

sumber daya alam yang terdapat di wilayahnya (Dephut, 2002). Hal ini mendorong bagi pengambil kebijakan/keputusan untuk menempuh jalan pintas dalam menggali sumber-sumber pembiayaan, diantaranya sampai mengeksploitasi hutan lindung dan Taman Nasional (kasus Poboya dan Dongi-dongi). Keadaan ini dalam implementasi menimbulkan benturan dengan masyarakat lokal (adat) sebagai penghuni dan pemilik wilayah secara de fakto. Dalam banyak kasus sering terjadi pertikaian antara pemerintah dan masyarakat lokal (adat). Secara khusus walaupun kawasan secara de jure dikontrol pemerintah, namun secara de fakto di kontrol masyarakat lokal/adat (kasus kawasan Tompu TAHURA SULTENG), sementara pelaku bisnis lokal mengeksploitasi kawasan ini, dengan memanfaatkan individu-individu dalam komunitas bersangkutan tanpa konsultasi institusi adat. Ketika masyarakat lokal tidak efektif dalam bekerjasama dengan pemerintah di lapangan untuk melakukan kontrol, maka kawasan pelestarian/perlindungan akan tereksploitasi. Kondisi ini merupakan ekspresi dari tragedi of the commons yaitu musnahnya sumberdaya alam tatkala sumberdaya ditetapkan menjadi milik umum (common property) karena penggunaan berlebihan, sejalan dengan kehawatiran Hardin dalam Dephut (2002). Keadaan ini akan berdampak pada perubahan ekologis, sosial budaya dan ekonomi berupa banjir, erosi, kekeringan dan meningkatnya suhu (panas bumi), konflik kepentingan, menurunnya hasil produksi pertanian dan meningktnya serangan hama pada tanaman pertanian.

Peranserta masyarakat yang meluas dan tidak sekadar simbolik ternyata menunjukkan hasil yang baik, produktivitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan, dan eksistensi masyarakat lokal (Nanang dan Devung, 2004). Hasil studi kasus dari Romwe di lahan komunal Chivi, Zimbabwe Selatan bahwa pengelolaan sumberdaya alam dapat berjalan dengan sangat baik dalam konteks kolaborasi (pengelolaan bersama) dengan lembaga lokal (Nemarundwe, 2005). Makna dari pengalaman ini bahwa dalam pengelolaan TAHURA harus diatur sedemikian rupa dengan pola-pola tertentu sesuai dengan karakteristik wilayah dan struktur masyarakat lokal di dalam kawasan. Aturan main dan peraturan diperlukan sebagai penyusunan kelembagaan (institusi) . Aturan main


(35)

8

dan peraturan digunakan masyarakat menentukan siapa yang memiliki akses pada sumberdaya bersama, berapa ukuran penggunaan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat yang berhak, kapan dan siapa yang akan memonitor dan menegaskan aturan (Orstrom, 1998 dalam Nemarundwe, 2005).

Dalam konteks pengelolaan TAHURA bahwa akses yang berdasarkan hak (right) adalah sebuah akses yang melibatkan kelompok komunitas (dalam arti seluas-luasnya), negara atau pemerintah yang dapat melegalkan sebuah klaim (Kartodihardjo, 2006). Selanjutnya dinyatakan bahwa hak milik (property right) yang berdasarkan hukum mencakup akses melalui pemilikan dokumen legal untuk sebuah property yang nyata (sertifikat tanah, izin, lisensi dan sejenisnya). Pemegang hak milik dapat menyatakan haknya dengan beberapa mekanisme tertentu untuk mempertahankan kendalinya atas akses. Dengan demikian Ribbot dan Peluso (2003) menyatakan, yang perlu diatur mekanisme akses adalah siapa yang mendapatkan akses (gain), mengendalikan (control) dan memelihara akses (maintain acces) terhadap sumberdaya alam. Selanjutnya ia membagi mekanisme akses menjadi dua bagian yaitu akses berdasarkan hak (legal dan Illegal) dan akses berdasarkan struktural dan relasional. Akses berdasarkan struktural adalah kategori-kategori untuk mengilustrasikan jenis hubungan kekuasaan yang mempengaruhi jenis-jenis akses berdasarkan hak, adalah akses terhadap teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja, ilmu pengetahuan, pihak yang berwenang, identitas dan hubungan sosial.

Untuk menganalisis peran-peran stakeholders terhadap akses sumberdaya TAHURA SULTENG digunakan perangkat analisis right, responsibility, revenue dan relasionship (4 R). Perangkat tersebut akan mengkaji hak-hak stakeholders, tanggung jawab dan seberapa besar manfaat yang diterima (dirasakan) dari sumberdaya. Keadaan yang akan dihasilkan dari right, responsibility dan revenues tersebut dipengaruhi oleh hubungan antar stakeholders (Meyers, 2005). Kerangka pemikiran penelitian sebagai berikut :


(36)

9

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili di SULTENG.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Sejak ditetapkannya kawasan Poboya menjadi Cagar Alam seluas 1.000 ha, Pekan Penghijauan Nasional 30 seluas 100 ha menjadi Wisata Alam Kapopo dan kawasan Paneki menjadi Hutan Lindung seluas 7.000 ha, yang dihuni tujuh komunitas masyarakat lokal Kaili sebanyak berkisar 529 kepala keluarga (2.416 jiwa), telah menjadi konsensus Nasional yang harus dilaksanakan di daerah melalui berbagai program dan upaya pemerintah daerah. Cagar Alam Poboya program

Kebijakan TAHURA SULTENG

UU No.5/1990;UU No.41/1999 PP No. 62/1998;PP No.68/1998 PP No. 34/2002;PP No.6/2007 KepMenHut No. 24/Kpts-II/1999

PerDa No. 2/2004

Pemerintah LSM Masyarakat Swasta P.Tinggi

Pelestarian & Pemanfaatan SDA

Ekososekbud Pelestarian Htn Lindung

& Cagar Alam

TAHURA Potensi konflik & kepentingan

Komunitas masy. adat


(37)

10

awalnya diintroduksi tanaman kayu cendana yang berasal dari daerah lain di Indonesia dan salah satu mega proyek di zaman itu hingga menyeret Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah dalam penjara karena kasus dana reboisasi. Proyek penghijauan pada Tahun 1980-an adalah primadona dan sumber mendapatkan keuntungan bagi pihak tertentu, khususnya pejabat di daerah. Melalui program tersebut berbagai upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam mencari dan membebaskan lokasi untuk penghijauan. Salah satu strategi yang dilakukan adalah mengambil alih tanah milik masyarakat dengan alasan tanah negara. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan pemerintah pusat, dan pertanda kesiapan daerah untuk mempersiapkan segala sesuatunya menurut yang dipersyaratkan oleh pemerintah pusat, termasuk mempersiapkan dan menunjukkan lokasi. Dengan melalui kekuatan kekuasaan pada saat itu, maka pada Tahun 1987 pemerintah daerah mempersiapkan TAHURA dengan jalan : Pertama, mengeluarkan kebijakan untuk wilayah Utara Kota Palu supaya lahan-lahan/tanah baik milik negara maupun tanah hak milik dalam pengawasan pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Tengah yang dikoordinir oleh Bappeda Propinsi dengan dasar hukum Keputusan Gubernur Nomor SK.239/591/IX/1987 tentang pengawasan tanah Bumi Roviga9. Kedua, Tanah negara seluas 6.750 ha baik tanah negara maupun hak milik berada dalam pengawasan pemda, dan jika masyarakat yang akan maupun telah mengelola harus melaporkan kepada pemerintah daerah c/q Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah. Ketiga, tidak dibenarkan masyarakat untuk mematok, memagar baik yang telah menguasai maupun akan menguasai tanah tersebut.

Keinginan besar menjadikan wilayah ini sebagai kawasan pelestarian dengan nama Taman Hutan Raya oleh pemerintah belum surut. Usulan Gubernur Sulawesi Tengah kepada Menteri Kehutanan dengan Nomor Surat 522.5/2835/Ro.BKLH, tertanggal 13 Juli 1988 untuk menindaklanjuti SK. 239/591/IX/1987. Perihal surat tersebut untuk meminta percepatan proses pembangunan Taman Hutan Raya Lembah Palu. Sebelumnya Kepala Kantor Wilayah Deparetemen Kehutanan Propinsi

9

Tanah yang dimaksud adalah Wilayah TAHURA bagian Utara sekarang yang meliputi Vintu, kawasan Bulu Bionga dan sekitarnya.


(38)

11

Sulawesi Tengah membentuk tim orientasi dengan Surat Perintah Tugas No. 5.98/II-5/KW-PL/88, tertanggal 11 Pebruari 1988 dengan susunan tim yang diwakili masing-masing instansi : BKSDA VI Sulawesi, Kanwil Kehutanan, Dinas Kehutanan, RLKT, staf SBIPHUT dan KCDK Donggala. Konsekwensi dari suatu usulan daerah, maka pemerintah melalui Menteri Kehutanan Republik Indonesia menindaklanjuti dalam bentuk Surat Keputusan No. 461/Kpts-II/1995 menetapkan, mengubah fungsi cagar alam Poboya seluas 1.000 (seribu) hektar, komplek hutan lindung Paneki seluas 7.000 (tujuh ribu) hektar dan lokasi PPN XXX seluas 100 (seratus) hektar yang terletak di areal hutan tetap Raranggonau Kabupaten Daerah Tingkat II Donggala Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah menjadi Taman Hutan Raya (TAHURA) dengan nama sementara Taman Hutan Raya Palu. Perubahan fungsi tersebut berjalan sepihak, yaitu proses pelaksanaan aktivitas di dalam kawasan hingga keputusannya dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan elemen masyarakat penghuni di dalam kawasan dan stakeholder (pemangku kepentingan). Informasi tersebut belum santer dibicarakan di kalangan masyarakat karena komunikasi yang tidak terjalin dan simpangsiurnya informasi yang sampai dengan masyarakat lokal Kaili dalam/sekitar kawasan hutan TAHURA. Proses administratif pengusulan untuk menjadi TAHURA tetap berlanjut, empat tahun kemudian keluar surat untuk pengukuhannya melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 24/Kpts-II/1999, menetapkan kelompok Hutan TAHURA SULTENG seluas 7.128 (tujuh ribu seratus dua puluh delapan) hektar, terletak di Kecamatan Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah dengan Nama TAHURA SULTENG. Keputusan tersebut mengacu pada Berita Acara Tata Kelompok Hutan Sulteng, tertanggal 13 Juni 1997.

Dalam kurung waktu antara tahun 1987 – 1995 ; 1995 – 1999, dan 1999 sampai sekarang cukup banyak menuai permasalahan yang berbeda setiap komunitas masyarakat. Informasi yang disajikan disini adalah hasil penuturan informan (aktor) yang merasakan langsung proses perkembangan berdasarkan tahapan-tahapan waktu tersebut. Kurung waktu tahun 1987-1995 proses pencarian lokasi untuk dijadikan Taman Hutan Raya yang dilakukan dengan berbagai cara seperti yang dikemukakan di atas (implementasi kebijakan Gubernur Nomor SK. 239/591/IX/1987). Tahun


(39)

12

1995-1999, sebelum proses pengukuhan, berbagai upaya dan rencana yang dilakukan pihak pemerintah daerah kepada masyarakat khususnya di wilayah Kecamatan Palu Timur dan bagian Utara Kota Palu. Tahun 1997-1998 proses rencana pemindahan penduduk Vatutela (relokasi penduduk), namun tidak berhasil karena terjadi penolakan kolektif komunitas masyarakat. Masyarakat menolak karena wilayah ini adalah tanah kelahiran dan secara emosional memiliki keterikatan batiniah yang telah menyatu dengan alam dan lingkungannya. Hal yang sama diperlakukan bagi masyarakat komunitas Poboya yang kehidupannya bergantung pada sumberdaya alam kawasan yang saat ini menjadi TAHURA, juga terjadi penolakan dan perlawanan. Tahun 1999 terjadi klaim wilayah oleh pemerintah menjadi kawasan pelestarian yang serta merta melarang masyarakat untuk melakukan aktivitas di dalam kawasan yang telah ditata batas, tanpa memberikan sosialisasi dan informasi yang jelas sebelum dilakukan pengukuhan. Situasi ini masyarakat menganggap pemerintah tidak lagi berpihak pada rakyat, aktivitas ekonomi pada sektor produksi tertentu telah terhalang dan terganggu, proses pembiayaan rumah tangga petani terusik karena telah dilarang melakukan pemanenan hasil produksi perkebunan dan pertanian yang terdapat dalam kawasan TAHURA. Hal tersebut mengindikasikan telah terjadi proses penindasan terhadap kaum lemah (masyarakat miskin) yang memiliki keterbatasan dalam segala aspek. Kondisi ini diperburuk lagi dengan masuknya PT. Citra Palu Mineral untuk melakukan eksplorasi tambang emas di Cagar Alam Poboya (sekarang TAHURA). Konflik-pun terjadi antar masyarakat yang mempertahankan kawasaan agar tetap terjaga dan kelompok elit yang berpihak pada investor.

Kenyataan empirik di atas berimplikasi pada proses pengelolaan TAHURA hingga sekarang menuai permasalahan yang sesungguhnya dapat diselesaikan jika pengelola transparan dan komunikatif dengan masyarakat setempat. Beberapa pertanyaan yang harus dijawab dan dijelaskan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah prosesnya masyarakat lokal Kaili mengakses sumberdaya alam yang telah menjadi haknya secara de fakto, ketika pemerintah melakukan klaim dan pelarangan tatkala wilayah ini ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya.


(40)

13

2. Bagaimana upaya dari masyarakat lokal Kaili dan stakeholders ketika diketahui memiliki kelemahan dalam melakukan bargaining position baik secara personality, kelompok maupun institusi (kelembagaan).

3. Bagaimana upaya masyarakat lokal Kaili dalam mengatasi kebutuhan rumah tangganya ketika pendapatan yang diperoleh tidak mencukupi (rendah) dari sebelumhnya.

4. Bagaimanakah solusinya jika instansi pemerintah sebagai leading sektor (stakeholder kunci) pengelolaan Taman Hutan Raya tidak menjalankan wewenang dan fungsinya serta merubah paradigma pengelolaan yang proporsional.

5. Bagaimanakah langkah yang seharusnya dilakukan jika peraturan perundang-undangan tidak sinkron antar satu dengan lainnya secara hirarkhis, termasuk pelaksanaan operasional yang tidak mengacu dengan peraturan di atasnya, bahkan tidak mencantumkan mekanisme yang jelas mengenai pengelolaan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi keterlibatan stakeholders dalam proses penyusunan, penetapan status, luas dan tata batas Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah 2. Memetakan kepentingan, karakteristik dan pola interaksi stakeholders dalam

pengelolaan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.

3. Menganalisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya alam Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.


(41)

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Akses Masyarakat Lokal terhadap Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Akses didefinisikan sebagai kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu termasuk sumberdaya alam, lembaga, dan simbol-simbol berupa penghargaan/predikat (Ribot dan Peluso, 2003). Konsep akses yang akan dimaksudkan disini adalah untuk memfasilitasi siapa sebenarnya yang mempunyai kepentingan, dan memperoleh manfaat dari Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah dan bagaimana prosesnya.

Salah satu kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap sumberdaya di TAHURA termasuk kawasan pemanfaatan adalah masyarakat lokal yang dikenal dengan masyarakat asli atau disebut juga masyarakat adat Kaili. Masyarakat adat Kaili atau masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih terikat dengan nilai-nilai moral dan aktivitas kebersamaan, dijewantahkan dalam bentuk paguyuban atau di tanah Kaili menyebutnya polibu (gemeinschap), ada kelembagaan adat, ada wilayah hukum, ada hukum adat yang masih ditaati yang keberadaannya dikukuhkan oleh gubernur kepala daerah tingkat I (Sembiring dan Husbani, 1999). Selanjutnya dinyatakan pengertian masyarakat hukum adat menurut Ter Haar yaitu kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat.

Masyarakat adat diartikan sebagai masyarakat yang berdiam di negara-negara yang merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagaian oleh adat, dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum atau peraturan khusus (Konvensi ILO 169 dalam Wiratno dkk, 2004). Bagaimanakah akses masyarakat lokal (masyarakat adat) terhadap sumberdaya alam khususnya terhadap kawasan konservasi? Adakah pengakuan dan jaminan---atau


(42)

15

sekedar kesempatan untuk memasuki kawasan-kawasan yang dilindungi tersebut? Di bawah ini sejauh mana akses tersebut dimungkinkan.

Pasal 17 Undang-undang nomor 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kehutanan menyebutkan bahwa pelaksanaan hak-hak perorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini. Penjelasan pasal ini secara tegas menyatakan bahwa keberadaan hak ulayat tidak dapat dibenarkan untuk menghalang-halangi pelaksanaan proyek-proyek besar yang telah menjadi program pemerintah. Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan menyebutkan bahwa siapapun dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius/jarak tertentu dari mata air, tepi jurang, waduk, sungai, dan anak sungai. Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 juga menyatakan bahwa selain dari petugas-petugas kehutanan atau orang yang karena tugasnya atau kepentingannya dibenarkan berada dalam kawasan hutan, siapapun dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk memotong, menebang, membelah pohon di dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang (ayat 2).

Ribot dan Peluso (2003) menjelaskan bahwa illegal akses diperoleh berdasarkan hak yang bertentangan dengan apa yang disetujui oleh adat, kebiasaan, atau hukum. Selanjunya dinyatakan, akses illegal disini adalah menikmati manfaat dari sesuatu dengan cara yang tidak disetujui secara sosial oleh negara dan masyarakat. Contoh pencurian dapat menjadi suatu bentuk dari akses sumberdaya secara langsung. Akses illegal ini dijalankan melalui pemaksaaan, kekuatan atau ancaman dan secara sembunyi-sembunyi. Dengan cara tersebut akses ini dapat dikelola secara legal dengan mengembangkan hubungan dengan orang yang memiliki akses tersebut atau memposisikan diri untuk menekan. Contoh, pejabat pemerintah, militer, polisi ; dapat secara sembunyi menggunakan kekuatan jabatannya untuk melindungi akses sumberdaya pribadi mereka.

Banyak literatur yang menjelaskan Common property dan sumberdaya alam menunjukkan bahwa hukum (baik oral atau tertulis, formal atau informal) tidak akan ada secara sempurna menghilangkan akses terhadap sumberdaya selama terdapat


(43)

16

kompleksitas dan ketumpangtindihan jaringan kekuasaan (Ribbot dan Peluso, 2003). Property sebagai klaim moral terhadap hak, dimana hak ini muncul dengan memadukan lahan dan tenaga kerja (land and labour). Hak ini kemudian dimasukkan ke dalam sistem hukum yang dilindungi oleh negara (lembaga penguasa).

Undang-undang nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, mengatur mengenai bentuk-bentuk pemanfaatan apa yang bisa dilakukan, misalnya seperti yang tercantum dalam pasal 31 menyatakan bahwa :

1. Di dalam Taman Hutan Raya, Taman Nasional, dan Taman Wisata alam, dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam.

2. Kegiatan sebagaimana dimaksud, harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-mamsing.

Undang-undang ini mengatur pemanfaatan ruang bagi ilmuan/peneliti, koleksi sumberdaya hayati dan non hayati, budaya, dan kegiatan-kegiatan wisata. Untuk kegiatan lainnya khususnya oleh masyarakat lokal atau adat tidak terdapat aturan yang jelas. Pada kawasan pelestarian yang di dalamnya terdapat area pemanfaatan, seperti halnya di Taman Hutan Raya, tidak selalu merupakan kawasan yang tidak berpenghuni. Penghuni di dalam kawasan hutan baik hutan produksi maupun yang telah ditetapkan sebagai kawasan pelestarian/konservasi adalah masyarakat lokal (masyarakat adat) yang cukup beragam julukan diberikan kepadanya ” peladang berpindah, suku terasing dan masyarakat awam”. Mereka adalah masyarakat lokal yang memiliki pola usahatani sistem rotasi dengan keteraturan-keteraturan mekanisme yang telah diatur menurut kesepakatan adat, jika warga komunitas melanggarnya akan mendapat sangsi. Pola tersebut berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki yang dikenal dengan pengetahuan kearifan lokal.

Pengetahuan masyarakat lokal menurut Fay dkk (2000) adalah pengetahuan yang digunakan masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang khusus. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengetahuan masyarakat lokal adalah


(44)

17

sekumpulan pengetahuan yang diciptakan sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam.

Beberapa pengalaman masyarakat yang menggantungkan dirinya terhadap sumberdaya hutan dengan pola usaha ladang berpindah.

Studi Kasus : Bentuk Akses Pengelolaan Sumberdaya alam.

Sumber : Nugraha (2005).

Secara historis kultural sistem pertanian berladang (swidden cultivation) merupakan cara pertanian yang tertua dan banyak dijumpai di daerah tropika. Sistem tersebut telah ada di dunia sejak 6.000 tahun sebelum masehi. Sejak zaman neolitik hingga sekarang banyak daerah di dunia yang ditanami dengan sistem ladang berpindah. Menurut badan FAO pada Tahun 1957 daerah-daerah yang ditanami dengan cara ladang berpindah meliputi areal 14 juta mil persegi yang terpencar di Asia Tenggara, Oseania, Amerika Tengah, dan Afrika Selatan.

Saat ini kurang lebih 240 sampai 300 juta manusia yang hidup di daerah tropis masih menerapkan sistem pertanian berladang. Di kawasan Asia dan Pasifik saja lebih kurang 30 juta manusia hidup dari sistem pertanian berladang dengan menggunakan lahan kurang lebih 75 juta hektar. Sanchez (1976) menyatakan bahwa perladangan merupakan sistem pertanian yang dominan dipraktekkan di berbagai belahan dunia yang luasnya ditaksir mencapai 360 juta Ha atau 30 % dari luas lahan yang dapat digarap di dunia dengan orang yang terlibat tak kurang 250 juta jiwa atau 8 % dari total penduduk dunia. Pada tahun 1988 masyarakat di Indonesia yang yang bergantung pada sistem pertanian ladang berpindah mencapai 12 juta jiwa dengan luas lahan mencapai 35 juta Ha. Secara umum praktek perladangan berpindah di Indonesia dilakukan di daerah luar Jawa yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Masyarakat peladang yang tinggal terpencar di desa hutan pedalaman ini notabene adalah kantong kemiskinan yang memegang porsi 20,57 % dari penduduk miskin di Indonesia.

Sistem perladangan berpindah (gilir balik) sering dikenal dengan 6 M yakni menebas, menebang, membakar, menugal, merumput, dan menuai. Coklin (1957) dalam Nugraha (2005) mendefiniskan perladangan sebagai sistem pertanian yang sifatnya tidak berkesinambungan. Lahan ladang yang sudah tidak subur setelah ditanami selama 1-2 tahun akan diistrahatkan (fallaw). Sambil menunggu suksesi secara alami dengan terbentuknya hutan sekunder berupa padang rumput dan pohon liar, maka peladang pindah ke lahan lain. Mereka akan kembali ke lahan awal, jika lahan yang ditinggalkan telah cukup mengalami masa bera sekitar 5 tahun.

Kotak 1.


(45)

18

Analisa :

Sistem pertanian ladang berpindah pada berbagai negara dan daerah di Indonesia bila dibandingkan dengan sistem berladang berpindah masyarakat di dalam kawasan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah, berbeda dari aspek tipologi masyarakat dan geografis wilayah. Di Sulawesi Tengah di kenal dengan masyarakat asli (lokal) yang menempati wilayah-wilayah pegunungan, lereng dan sebagian dataran rendah yang sistem bertaninya adalah berladang. Di pegunungan kawasan Gawalaise di kenal dengan topo da’a, mereka berusaha tani dengan sistem ladang berpindah di bukit-bukit puncak dan lereng dengan kemiringan 40-70 %. Kemiringan ini secara teori tidak dapat memenuhi persyaratan bertani (lahan tidak layak diolah), namun itulah kenyataannya. Lahan tersebut ditanami dengan tanaman semusim sehingga dampaknya setelah panen akan terjadi erosi disaat hujan. Sampai saat ini sistem pertanian ladang berpindah belum menjadi program yang prioritas bagi pemerintah daerah maupun pusat. Beberapa bukti empiris yang dapat ditunjukkan seperti kebanyakan wilayah-wilayah konflik adalah daerah dimana masyarakatnya sebagian besar berusaha dengan sistem pertanian ladang. Dengan demikian besar kemungkinan bahwa mereka yang berada pada wilayah-wilayah ini belum mendapat sentuhan program pembangunan yang signifikan bagi kesejahteraan hidup mereka (Nugraha, 2005).

Pengelolaan dan Pemanfaatan sumberdaya alam selalu menimbulkan masalah karena masyarakat dapat melakukan akses terhadap sesuatu didasarkan pada faktor perizinan atau dengan kata lain hanya berdasarkan pada faktor de jure, namun kepemilikan secara de fakto bukan menjadi dasar untuk membuat kebijakan (Afiff, 2002).


(1)

Dishut Kota Palu Ir. Zainal Arifin H.Tongko, MS Melaksanakan kegiatan untuk pengembangan kawasan dan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga petani dengan sistem usahatani konservasi. Memberikan legitimasi (hak) pemanfaatan terhadap sumberdaya baik secara individu maupun kolektif kepada masyarakat yang masuk dalam wilayah Kota Palu dan di luar

kawasan TAHURA.

Meningkatnya pendapatan masyarakat dalam kawasan, tertekannya keinginan untuk melakkan eksploitasi sumberdaya kws, meningkatnya tanggungjawab institusi di masy. akan pentingnya hutan bagi kehidupan satwa dan manusia Walikota Palu Rusdi Mastura Mengembangkan program pemberdayaan petani untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan (pengentasan kemiskinan) masyarakat di sekitar hutan dan di dalam kawasan hutan. Memberikan bantuan dalam bentuk program pemberdayaan dalam berbagai aspek pembangunan kepada masyarakat. Meningkatnya inovasi petani terhadap sumberdaya lahan yang dikelola. Dinas Kehutanan Kabupaten Donggala Ir. Sofyan Dg. Malaba Melakukan konservasi dan perhutanan kembali bagi kawasan yang terdegradasi dan pemberdayaan masyarakat di sekitar/dalam kawasan hutan lindung di wilayah Kabupaten Donggala. Memberikan penguatan masyarakat melalui program pemberdayaan petani dan masyarakat di sekitar/dalam kawasan hutan. Meningkatnya kesadaran masyarakat di sekitar/dalam kawasan hutan tentang pentingnya hutan bagi kehidupan mahluk di bumi termasuk manusia. LPPM Universitas Tadulako Drs. H. Harun Lapasere Melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat di sekitar dan dalam

Memberikan masukan kepada pemerintah daerah dan stakeholder lain mengenai

Menerima masukan informasi, data dari stakeholder, dan masyarakat


(2)

kawasan hutan. hasil penelitian TAHURA. dalam kawasan hutan tentang fakta dan karakteristik wilayah. Kepala Biro Hukum Sekretariat Pemda Sulteng H.Usman Suhudin, SH.MH Menyusun draf peraturan daerah untuk diajukan kepada legislatif, dibahas dan disahkan setelah melalui proses dialog dan lokakarya dengan masyarakat dan stakeholder lain (mengacu pada berbagai sumber dan informasi termasuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi). Melakukan kerjasama atau kemitraan dengan para stakeholder agar proses penyusunan peraturan daerah (PERDA) dapat mengakomodir semua kepentingan (komprehenship/ holistik). Menerima masukan

informasi dan data dari berbagai stakeholder dengan proses bottom-up dan partisipatif. DPRD Sulteng H.Helmy D. Yambas, SE Membahas dan menetapkan peraturan daerah (PERDA)

TAHURA dalam sidang paripurna dewan.

Memberikan masukan dan perubahan jika dalam klausul dan pasal-pasalnya masih belum mengakomodir semua kepentingan stakeholder. Menerima

masukan dari para stakeholder sebelum PERDA ditetapkan menjadi peraturan daerah, untuk menjadi bahan pertimbangan dan penyempurnaan nya. Badan Penelitian dan Pengemba ngan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah Ir. Maulidin Labalo, M.Si Melakukan riset dan pengkajian mengenai TAHURA dengan pendekatan holistik (komprehenship). Memberikan masukan kepada Gubernur mengenai hasil penelitian dan temuan untuk dipertimbangkan dan ditindaklanjuti. Mendapatkan data akurat dan informasi ilmiah yang dapat dijadikan acuan bagi pemda dan perebandingan dengan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para stakeholder.


(3)

Lampiran 2. Foto-foto Situasi Fidik TAHURA SULTENG

Gambar 19. Keadaan hutan di kawasan Tompu TAHURA SULTENG (Foto : Jamlis Lahandu)

Gambar 20. Kondisi lahan usahatani bawang di Bunti Pobau TAHURA SULTENG (Foto : Jamlis Lahandu).


(4)

Lampiran 3. Aktivitas masyarakat mengakses sumberdaya tambang dan pembuatan sketsa kebun rakyat di TAHURA SULTENG.

Gambar 21. Warga masyarakat RT. I Poboya melakukan pendulangan emas di DAS Pondo dengan pola tradisional (menggunakan bahan-bahan alami)

Foto : Jamlis Lahandu.

Gambar 22. Proses pembuatan sketsa kebun dan letak geografis pemanenan rotan di dalam dan di luar kawasan hutan TAHURA SULTENG.


(5)

Lampiran 4. Proses wawancara dan keadaan hutan TAHURA SULTENG

Gambar 23. Proses wawancara semi terstruktur, penggalian sejarah pemukiman Tompu (Foto : Jamlis Lahandu)

Gambar 24. Keadaan hutan dan padi ladang yang sedang di panen di kawasan TAHURA SULTENG.


(6)

Lampiran 5. Komoditas perkebunan dan peta akses komunitas masyarakat Kaili Tara dan Ledo di TAHURA SULTENG.

Gambar 25. Komoditas perkebunan sebagai salah satu sumber penghasilan komunitas masyarakat Kaili Tara dan Kaili Ledo di TAHURA SULTENG.

(Foto, Jamlis Lahandu)

Gambar 26. Peta akses komunitas masyarakat adat Kaili Tara dan Kaili Ledo di TAHURA SULTENG.