Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam

23 Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang Kehutanan Kepada Daerah, merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan Daerah Tingkat II dalam mengakomodasi masyarakat lokal. Taman Hutan Raya TAHURA, salah satu bentuk riil kebijakan yang pengelolaannya pembangunan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangan diserahkan ke daerah propinsi, sedangkan pengelolaan hutan lindung diserahkan kepada daerah tingkat II Kota dan Kabupaten.

2.3. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Analisis kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses pengkajian yang meliputi lima komponen informasi kebijakan policy-informational component yang ditransformasikan dari satu ke lainnya dengan menggunakan lima prosedur analisis kebijakan yaitu perumusan masalah, peramalan, pemantauan, evaluasi dan rekomendasi Dunn, 2000. Kebijakan dibuat dalam rangka mengantisipasi permasalahan yang ada dan timbul di dalam suatu komunitas. Kebijakan mengatur perilaku anggota masyarakat publik dalam aktifitas tertentu, yang disusun dengan suatu tujuan untuk memecahkan masalah yang ada, didukung oleh seperangkat keputusan publik, dibuat sekelompok orang yang memiliki otoritas untuk membuat kebijakan sehingga kebijakan yang ditetapkan seharusnya merefleksikan pilihan-pilihan sosial Darusman dkk, 2003. Dalam berbagai pengalaman dengan reformasi kebijakan memberikan suatu cara untuk membandingkan analisis kebijakan tradisional yang berakar dalam teori ekonomi dengan suatu pendekatan yang kolaboratif dengan analisis Tangkilisan 2003, Kebijakan dan program pemerintah di bidang pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dirancang untuk mendukung prioritas antara lain mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan yang berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan ; dengan harapan terciptanya keseimbangan dan kelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan tetap terjamin Soetaryono, 2004. Kebijakan tersebut bermakna antara lain 1 24 memberikan akses kepada masyarakat adat dan lokal, 2 pola pemanfaatan sumberdaya alam harus memberi kesempatan dan peran aktif masyarakat adat dan lokal dan 3 secara simultan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kebutuhan esensial untuk keberlanjutan kehidupan manusia dengan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi serta organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan Djajadiningrat, 2001. Sumberdaya alam SDA hayati, non hayati, dan sistem lingkungan merupakan salah satu modal untuk mendukung aktivitas ekonomi, sosial, budaya, dan sistem pendukung kehidupan. Potensi sumberdaya alam harus dikelola dan dimanfaatkan dengan bijaksana sehingga memberikan manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam, menekankan keharusan setiap aktivitas individu dan kelompok untuk dapat memenuhi kebutuhannya saat ini dan mampu juga menyediakan kebutuhan generasi penerusnya dalam jumlah, kualitas dan lingkungan yang secara umum tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini Darusman, Ramdan, Yusran., 2003 Prinsip ini menuntut pejabat publik agar mempunyai sikap dan perilaku moral yang mengamankan kepentingan publikmasyarakat Kerap, 2002. Kebijakan yang diharapkan adalah melakukan proses yang baik, dan sistem pengelolaan yang mengakomodasi pengetahuan tradisional yang juga memiliki kekuatan strategis dalam melakukan konservasi kolektif dan holistik. Hasrat yang besar di hati masyarakat komunitas tradisional adalah terakomodasinya kebutuhan masyarakat dengan adanya TAHURA sebagai media dalam melakukan komunikasi berbagai aktivitas di dalamnya dengan peran-peran yang jelas masing-masing pihak. Beberapa aspek yang dapat diadopsi dari sistem pengetahuan tradisional berupa pengobatan tradisonal, sistem pertanian penduduk asli, pemanfaatan potensi-potensi alam dan tumbuh-tumbuhan tertentu untuk konservasi lahan. Pengelolaan konservasi sangat diperlukan keterlibatan masyarakat komunitas lokal atau masyarakat adat, dimana mereka sebagai pelaku utama dalam proses pengamanan, pemeliharaan dan keberlanjutan program. Hal ini mengindikasikan 25 bahwa kebijakan pemerintah telah memiliki kemauan politik terhadap eksistensi masyarakat tradisional dan praktik-praktik tradisionalnya secara perlahan mulai menampakan perubahan yang berarti akhir-akhir ini. Wiranto 2004 menyatakan kemauan politik ini dalam kesempatan pertama kali dalam dokumen Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia 1993 yang antara lain : a memberikan kesempatan dan insentif kepada masyarakat lokal untuk terlibat langsung dalam pengelolaan dan usaha konservasi keanekaragaman hayati atau dengan cara menyokong pengelolaam kawasan lindung atau sistem pengelolaan pertanian yang berorientasi konservasi, b melibatkan masyarakat lokal dan LSM dalam pengelolaan kawasan penyangga buffer zone yang berdekatan dengan Taman Nasional dan kawasan konservasi lain dengan memanfaatkan keterampilan tradisional dan pengetahuan wanatani. Pada kondisi terakhir istilah buffer zone kurang digunakan jika di dalamnya ada aktivitas masyarakat. Istilah perlu dirubah dengan istilah buffer area daerah penyangga, yang mengandung makna bahwa wilayah-wilayah tersebut memberikan akses pengelolaan bagi masyarakat di dalam maupun di sekitar hutan Ali Kodra, 2002. Analisis kebijakan dalam suatu proses penelitian menggunakan prosedur analisis umum yang biasa dipakai untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan, meliputi deskripsi, prediksi, evaluasi dan rekomendasi. Dari aspek waktu kaitannya dengan tindakan maka prediksi dilakukan sebelum tindakan diambil sementara rekomendasi, deskripsi dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi setelah penelitian dilakukan Dunn, 2000. Menyimak kenyataan lapangan betapa kompleksnya faktor penyebab kerusakan hutan, maka yang dapat ditarik dari penyebab mendasar kerusakan hutan adalah kekeliruan dalam penyelenggaraan kehutanan atau pengurusan hutan forest mismanagement ; pemerintah menerapkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tanpa mengaitkannya dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah dirubah menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan perubahan di era reformasi dan otonomi, pemerintah Departemen Kehutanan menerapkan UU No. 411999 secara mandiri akan 26 menimbulkan anarki, karena hanya bersifat sector specific Iskandar dan Nugraha, 2004. Bila implementasinya didisain bersama digabungkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 akan dikembangkan kepedulian dan saling berbagi tanggung jawab bersama para pihak utama ; pemerintah dan masyarakat daerah yang secara fisik berada di dalam dan di luar kawasan hutan sehingga laju kerusakan hutan dan masalah-masalah yang mengancam kelestariannya dapat diupayakan untuk dicegah atau diatasi secara efektif dan terpadu. Dampak dari penerapan kebijakan yang tidak dikelola secara komprehenship bersama, terjadi suatu kondisi yang meningkatkan ketidakamanan sumberdaya hutan yaitu banyaknya penjarahan dan pencurian kayu maupun naiknya ketidakpastian usaha Kartodihardjo, 2003. Kerusakan berbagai keanekaragaman hayati antara lain muncul akibat aktivitas perusahaan-perusahaan tambang, pengusaha perkebunan maupun pengusaha HPH yang berusaha menerobos kawasan-kawasan konservasi yang diduga memiliki sumberdaya alam hutan ataupun tambang yang terdapat di dalam kawasan pelestarian atau konservasi yang ada ; kendatipun kawasan cagar alam sudah dilarang adanya kegiatan eksploitasi akan tetapi upaya-upaya untuk melakukan eksploitasi tidak berkurang Sembiring dan Husbani, 1999. Selain itu, penyerobotan kawasan pelestarian seringkali dilakukan pengusaha yang wilayah konsesinya berbatasan atau berdekatan dengan kawasan pelestarian dengan mencoba merambah hingga ke kawasan hutan lindung. Bahkan terdapat beberapa kasus yang lebih menyedihkan yaitu izin konsesi di wilayah satu namun melakukan aktivitas perambahan di kawasan hutan wilayah lain dengan menggunakan izin konsesi yang dimiliki kasus izin konsesi Kabupaten Parigimoutong, aktivitas penebangan di Kabupaten Donggala. Kondisi ini tidak menutup kemungkinannya akan dapat terjadi di kawasan TAHURA yang sulit dilakukan pengendaliannya karena dalam proses penetapan kawasan tersebut tidak memberikan ruang kepada masyarakat di sekitar, dan dalam kawasan termasuk dalam pengambilan keputusan. Dengan melihat pengalaman di berbagai daerah yang prosesnya menggunakan pendekatan top down maka sudah saatnya merubah paradigma pengelolaan kawasan hutan baik di kawasan pelestariankonservasi, kawasan produksi, maupun 27 konversi. Pengalaman yang dapat disimak untuk menjadi pembelajaran berupa yang dilakukan di Desa Sidoarjo Jawa Timur bahwa masyarakat sudah menjadi salah satu aktor di dalamnya Afianto dkk, 2005. Selanjutnya dinyatakan, di kawasan hutan rakyatnya merupakan kawasan synekologi, tidak hanya berwujud lingkungan secara fisik, namun juga terdapat sistem sosial manusia atau masyarakat yang saling berinteraksi secara harmonis. Dalam pengelolaan kehutanan sudah harus membangun kerjasama dalam kesejajaran, keserasian, dan kesepadanan cooperation dengan berbagai staecholders yang bertanggung jawab atas sehatnya lingkungan ; Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang bertanggung jawab atas lestarinya industri pengolah, dan perdagangan produk- produk olahan, dan Menteri Dalam Negeri yang mengelola proses desentralisasi dan otonomi daerah ; dimana sektor kehutanan secara bertahap juga dituntut untuk melakukan desentralisasi dan otonomi daerah Iskandar dan Nugraha, 2004. Pola yang dikemukakan di atas sudah harus diterapkan, dalam beberapa kasus seperti hasil studi yang dilakukan Verbist dan Pasya 2004 di Lampung bahwa penduduk setempat tidak dapat mengelola hutan secara berkelanjutan, sehingga area menjadi lebih cepat terdegradasi dan akan berdampak negatif pada fungsi perlindungan Daerah Aliran Sungai DAS. Selanjutnya dijelaskan, dalam pelaksanaan tata batas justru menimbulkan banyak konfrontasi antara penduduk lokal dengan aparat pemerintah. Berbagai kebijakan pemerintah dalam upaya mewujudkan pengelolaan hutan lestari yang dituangkan dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan, yang secara khusus ditetapkan beberapa ketentuan teknis yang merupakan respon dari kesepakatan internasional seperti yang ditetapkan dalam sidang ITTO ke-8 di Bali tahun 1999, menyepakati tahun 2000 sebagai tahun indikatif penerapan prinsip- prinsip pengelolaan hutan secara lestari Wardojo, 2004. Selanjutnya, kebijakan tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 252Kpts-II1993 yang telah disempurnakan melalui Keputusan No. 576Kpts-II1993 tentang kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi alam secara lestari, dan Keputusan No. 28 610Kpts-IV1993 tentang kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi alam secara lestari pada tingkat manajemen unit. Fakta lapangan menunjukkan bahwa kebijakan tersebut di beberapa daerah belum berjalan seperti diharapkan, seperti halnya di beberapa kabupaten di Sulawesi Tengah. Upaya tersebut adalah wujud dari kepedulian pemerintah untuk menghindari deforestasi hutan alam, dan memberdayakan masyarakat di sekitar hutan. Dalam pengelolaan hutan di beberapa negara seperti di Zambia telah menggunakan pendekatan politis dalam pengambilan keputusan bersama untuk merangkul kompleksitas kaitan antara kebijakan, tuntutan pasar, kelembagaan dan peningkatan kapasitas Meyers IIED, 2005. Meyers selanjutnya menjelaskan, dalam membandingkan kebijakan-kebijakan misalnya suatu analisis tentang kekuatan dan kelemahan kebijakan yang diterapkan dalam suatu kondisi tertentu. Contoh kasus di Zambia membuktikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan dengan tools Rights, Responsibilities, Revenues dan Relationships, mengungkapkan hak adanya harmonisasi pada berbagai peraturan kehutanan khususnya menyangkut hak dan tanggungjawab formal maupun aktual. Dalam proses-proses negosiasipun didapatkan bahwa piranti ini dapat diadaptasikan dan dikembangkan dengan baik untuk tujuan tertentu. Dengan demikian Meyer-pun merekomendasikan untuk efektivitas tools tersebut dalam implementasinya menggunakan pendekatan partisipatif dengan ragam alat kaji serta dalam analisis mengkolaborasikan dengan beragam analisis untuk membandingkan dan menilai keragaan. Kebijakan pemerintah untuk melakukan pelestarian dan pengelolaan agar masyarakat di dalam, dan atau sekitar kawasan mendapat manfaat dari pengelolaannya. Pengelolaan TAHURA adalah wewenang pemerintah daerah propinsi dan kabupatenkota. Hal ini dimaksudkan untuk lebih apresisif dalam merespon kebutuhan daerah. Salah satu bentuk kebijakan pengelolaan sumberdaya daya alam untuk dilakukan pelestarian konservasi adalah Taman Hutan Raya TAHURA. 29

2.4. Taman Hutan Raya TAHURA