BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Akses Masyarakat Lokal terhadap Pengelolaan Sumberdaya Alam
. Akses didefinisikan sebagai kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari
sesuatu termasuk sumberdaya alam, lembaga, dan simbol-simbol berupa penghargaanpredikat Ribot dan Peluso, 2003. Konsep akses yang akan
dimaksudkan disini adalah untuk memfasilitasi siapa sebenarnya yang mempunyai kepentingan, dan memperoleh manfaat dari Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah dan
bagaimana prosesnya. Salah satu kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap
sumberdaya di TAHURA termasuk kawasan pemanfaatan adalah masyarakat lokal yang dikenal dengan masyarakat asli atau disebut juga masyarakat adat Kaili.
Masyarakat adat Kaili atau masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih terikat dengan nilai-nilai moral dan aktivitas kebersamaan, dijewantahkan
dalam bentuk paguyuban atau di tanah Kaili menyebutnya polibu gemeinschap, ada kelembagaan adat, ada wilayah hukum, ada hukum adat yang masih ditaati yang
keberadaannya dikukuhkan oleh gubernur kepala daerah tingkat I Sembiring dan Husbani, 1999. Selanjutnya dinyatakan pengertian masyarakat hukum adat menurut
Ter Haar yaitu kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang
terlihat maupun tidak terlihat. Masyarakat adat diartikan sebagai masyarakat yang berdiam di negara-negara
yang merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut dan statusnya diatur, baik
seluruhnya maupun sebagaian oleh adat, dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum atau peraturan khusus Konvensi ILO 169 dalam Wiratno dkk, 2004.
Bagaimanakah akses masyarakat lokal masyarakat adat terhadap sumberdaya alam khususnya terhadap kawasan konservasi? Adakah pengakuan dan jaminan---atau
15
sekedar kesempatan untuk memasuki kawasan-kawasan yang dilindungi tersebut? Di bawah ini sejauh mana akses tersebut dimungkinkan.
Pasal 17 Undang-undang nomor 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kehutanan menyebutkan bahwa pelaksanaan hak-hak perorangan untuk
mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini. Penjelasan pasal ini secara tegas menyatakan bahwa keberadaan
hak ulayat tidak dapat dibenarkan untuk menghalang-halangi pelaksanaan proyek- proyek besar yang telah menjadi program pemerintah. Pasal 8 ayat 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan menyebutkan bahwa siapapun dilarang melakukan penebangan pohon dalam radiusjarak tertentu dari
mata air, tepi jurang, waduk, sungai, dan anak sungai. Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 juga menyatakan bahwa selain dari petugas-petugas
kehutanan atau orang yang karena tugasnya atau kepentingannya dibenarkan berada dalam kawasan hutan, siapapun dilarang membawa alat-alat yang lazim
digunakan untuk memotong, menebang, membelah pohon di dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang ayat 2.
Ribot dan Peluso 2003 menjelaskan bahwa illegal akses diperoleh berdasarkan hak yang bertentangan dengan apa yang disetujui oleh adat, kebiasaan,
atau hukum. Selanjunya dinyatakan, akses illegal disini adalah menikmati manfaat dari sesuatu dengan cara yang tidak disetujui secara sosial oleh negara dan
masyarakat. Contoh pencurian dapat menjadi suatu bentuk dari akses sumberdaya secara langsung. Akses illegal ini dijalankan melalui pemaksaaan, kekuatan atau
ancaman dan secara sembunyi-sembunyi. Dengan cara tersebut akses ini dapat dikelola secara legal dengan mengembangkan hubungan dengan orang yang memiliki
akses tersebut atau memposisikan diri untuk menekan. Contoh, pejabat pemerintah, militer, polisi ; dapat secara sembunyi menggunakan kekuatan jabatannya untuk
melindungi akses sumberdaya pribadi mereka. Banyak literatur yang menjelaskan Common property dan sumberdaya alam
menunjukkan bahwa hukum baik oral atau tertulis, formal atau informal tidak akan ada secara sempurna menghilangkan akses terhadap sumberdaya selama terdapat
16
kompleksitas dan ketumpangtindihan jaringan kekuasaan Ribbot dan Peluso, 2003. Property sebagai klaim moral terhadap hak, dimana hak ini muncul dengan
memadukan lahan dan tenaga kerja land and labour. Hak ini kemudian dimasukkan ke dalam sistem hukum yang dilindungi oleh negara lembaga
penguasa. Undang-undang nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi keanekaragaman
hayati dan ekosistemnya, mengatur mengenai bentuk-bentuk pemanfaatan apa yang bisa dilakukan, misalnya seperti yang tercantum dalam pasal 31 menyatakan
bahwa : 1. Di dalam Taman Hutan Raya, Taman Nasional, dan Taman Wisata alam,
dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud, harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-mamsing.
Undang-undang ini mengatur pemanfaatan ruang bagi ilmuanpeneliti, koleksi sumberdaya hayati dan non hayati, budaya, dan kegiatan-kegiatan wisata. Untuk
kegiatan lainnya khususnya oleh masyarakat lokal atau adat tidak terdapat aturan yang jelas. Pada kawasan pelestarian yang di dalamnya terdapat area pemanfaatan,
seperti halnya di Taman Hutan Raya, tidak selalu merupakan kawasan yang tidak berpenghuni. Penghuni di dalam kawasan hutan baik hutan produksi maupun yang
telah ditetapkan sebagai kawasan pelestariankonservasi adalah masyarakat lokal masyarakat adat yang cukup beragam julukan diberikan kepadanya ” peladang
berpindah, suku terasing dan masyarakat awam”. Mereka adalah masyarakat lokal yang memiliki pola usahatani sistem rotasi dengan keteraturan-keteraturan
mekanisme yang telah diatur menurut kesepakatan adat, jika warga komunitas melanggarnya akan mendapat sangsi. Pola tersebut berkaitan dengan pengetahuan
yang dimiliki yang dikenal dengan pengetahuan kearifan lokal. Pengetahuan masyarakat lokal menurut Fay dkk 2000 adalah pengetahuan
yang digunakan masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang khusus. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengetahuan masyarakat lokal adalah
17
sekumpulan pengetahuan yang diciptakan sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam.
Beberapa pengalaman masyarakat yang menggantungkan dirinya terhadap sumberdaya hutan dengan pola usaha ladang berpindah.
Studi Kasus : Bentuk Akses Pengelolaan Sumberdaya alam.
Sumber : Nugraha 2005.
Secara historis kultural sistem pertanian berladang swidden cultivation merupakan cara pertanian yang tertua dan banyak dijumpai di daerah tropika. Sistem
tersebut telah ada di dunia sejak 6.000 tahun sebelum masehi. Sejak zaman neolitik hingga sekarang banyak daerah di dunia yang ditanami dengan sistem ladang
berpindah. Menurut badan FAO pada Tahun 1957 daerah-daerah yang ditanami dengan cara ladang berpindah meliputi areal 14 juta mil persegi yang terpencar di
Asia Tenggara, Oseania, Amerika Tengah, dan Afrika Selatan.
Saat ini kurang lebih 240 sampai 300 juta manusia yang hidup di daerah tropis masih menerapkan sistem pertanian berladang. Di kawasan Asia dan Pasifik
saja lebih kurang 30 juta manusia hidup dari sistem pertanian berladang dengan menggunakan lahan kurang lebih 75 juta hektar. Sanchez 1976 menyatakan bahwa
perladangan merupakan sistem pertanian yang dominan dipraktekkan di berbagai belahan dunia yang luasnya ditaksir mencapai 360 juta Ha atau 30 dari luas lahan
yang dapat digarap di dunia dengan orang yang terlibat tak kurang 250 juta jiwa atau 8 dari total penduduk dunia. Pada tahun 1988 masyarakat di Indonesia yang
yang bergantung pada sistem pertanian ladang berpindah mencapai 12 juta jiwa dengan luas lahan mencapai 35 juta Ha. Secara umum praktek perladangan berpindah
di Indonesia dilakukan di daerah luar Jawa yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Masyarakat peladang yang tinggal terpencar di desa hutan
pedalaman ini notabene adalah kantong kemiskinan yang memegang porsi 20,57 dari penduduk miskin di Indonesia.
Sistem perladangan berpindah gilir balik sering dikenal dengan 6 M yakni menebas, menebang, membakar, menugal, merumput, dan menuai. Coklin 1957
dalam Nugraha 2005 mendefiniskan perladangan sebagai sistem pertanian yang sifatnya tidak berkesinambungan. Lahan ladang yang sudah tidak subur setelah
ditanami selama 1-2 tahun akan diistrahatkan fallaw. Sambil menunggu suksesi secara alami dengan terbentuknya hutan sekunder berupa padang rumput dan pohon
liar, maka peladang pindah ke lahan lain. Mereka akan kembali ke lahan awal, jika lahan yang ditinggalkan telah cukup mengalami masa bera sekitar 5 tahun.
Kotak 1. Perladangan Berpindah : Tinjauan Kesejahteraan
18
Analisa : Sistem pertanian ladang berpindah pada berbagai negara dan daerah di Indonesia bila
dibandingkan dengan sistem berladang berpindah masyarakat di dalam kawasan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah, berbeda dari aspek tipologi masyarakat dan
geografis wilayah. Di Sulawesi Tengah di kenal dengan masyarakat asli lokal yang menempati wilayah-wilayah pegunungan, lereng dan sebagian dataran rendah yang
sistem bertaninya adalah berladang. Di pegunungan kawasan Gawalaise di kenal dengan topo da’a, mereka berusaha tani dengan sistem ladang berpindah di bukit-
bukit puncak dan lereng dengan kemiringan 40-70 . Kemiringan ini secara teori tidak dapat memenuhi persyaratan bertani lahan tidak layak diolah, namun itulah
kenyataannya. Lahan tersebut ditanami dengan tanaman semusim sehingga dampaknya setelah panen akan terjadi erosi disaat hujan. Sampai saat ini sistem
pertanian ladang berpindah belum menjadi program yang prioritas bagi pemerintah daerah maupun pusat. Beberapa bukti empiris yang dapat ditunjukkan seperti
kebanyakan wilayah-wilayah konflik adalah daerah dimana masyarakatnya sebagian besar berusaha dengan sistem pertanian ladang. Dengan demikian besar kemungkinan
bahwa mereka yang berada pada wilayah-wilayah ini belum mendapat sentuhan program pembangunan yang signifikan bagi kesejahteraan hidup mereka Nugraha,
2005. Pengelolaan dan Pemanfaatan sumberdaya alam selalu menimbulkan masalah
karena masyarakat dapat melakukan akses terhadap sesuatu didasarkan pada faktor perizinan atau dengan kata lain hanya berdasarkan pada faktor de jure, namun
kepemilikan secara de fakto bukan menjadi dasar untuk membuat kebijakan Afiff, 2002.
19
Studi Kasus : Perjuangan Masyarakat Desa Lalombi terhadap Tanah Perkebunan Kelapa Hibrida di Kecamatan Banawa Selatan dan Masyarakat Adat Kaili Pombui
di Kecamatan Marawola Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah.
Sumber : Saleh R 2003 dan Laudjeng 1997.
Analisa : Kasus tersebut merupakan fakta betapa lemahnya akses masyarakat jika tidak
didukung oleh legalitas formal legal akses. Masyarakat sama sekali tidak mendapatkan haknya, dan masyarakat adat jika memasuki areal yang telah diklaim
oleh pihak UD Maju sebagai pemilik hak karena aspek lagal tadi, maka masyarakat dianggap inkompatible terhadap sumberdaya lahan di wilayah tersebut. Masyarakat
lokal karena keterbatasan dalam melakukan akses informasi, hubungan dengan pihak yang dapat memberikan advokasi, yang terjadi adalah konflik antara masyarakat
Lokal adat dengan kelompok pendukung UD Maju yang notabene adalah pekerja dari luar daerah yang diorganisir perusahaan dan bekerja sama dengan aparat.
Keadaan ini merupakan pengalaman pahit bagi sistem kebijakan di daerah tanpa
Masyarakat desa Lalombi berpandangan bahwa tanah yang dimanfaatkan untuk kebun kelapa Hibrida oleh UD Maju adalah bekas lahan kebun masyarakat yang diberikan
kepada perusahaan UD. Maju oleh Kepala Desa Lalombi. Pemberian izin ini tanpa melakukan konfirmasi kepada masyarakat adat yang tinggal di wilayah ini. Tanah yang
diberikan tersebut adalah tanah Ntoli atau tanah komunal yang secara administratif masuk dalam wilayah desa lain. Dalam tahun yang sama pemerintah daerah Kabupaten
Donggala membentuk badan pekerja pembebasan tanah, salah satunya melibatkan mantan Bupati Donggala Sahabuddin Labadjo. Tahun 1972 UD Maju mulai melakukan
aktivitasnya dengan diawali land cliring, dilanjutkan dengan memanfaatkan lahan untuk pembibitan. Pada tahun 1973 masyarakat adat Kaili Da’a yang bermukim di tanah
leluhurnya diusir paksa. Masyarakat diusir dengan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan seperti masyarakat adat Kaili Da’a adalah masyarakat liar, mereka adalah PKI.
Masyarakat Adat Kaili Pombui di Kecamatan Marawola adalah kehadiran proyek transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit yang menyebabkan masyarakat Pombui dan
Ngovi tergusur dari pemukiman serta hak mereka terhadap Ova, Oma, Kaore dan Pandope dirampas sepihak oleh perusahaan karena dianggap tanah tidak bertuan, dan
tanah negara. Masyarakat adat kemudian melakukan perlawanan dengan mengadukkan persoalan tersebut ke instansi pemerintah. Hal ini kurang mendapat respon yang
memuaskan dari pihak pemerintah karena telah melakukan koalisi dengan perusahaan. Perlawanan semakin kuat, dan terorganisir dengan bantuan LBH Bantaya pada tahun
1996 ketika pihak perusahaan akan mencaplok lagi lahan mereka untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit.
20
melakukan konsolidasi, negosiasi, dan komunikasi para pihak baru melakukan tindakan, karena menganggap penguasa di atas segala-galanya. Apa yang dilakukan
masyarakat Kaili Da’a adalah memperjuangkan hak dan akses sumberdaya alam, namun-pun mengalami pengorbanan jiwa dan berdarah, itulah realitas kebijakan di
daerah Masih dalam perebutan akses, tragedi sekitar sengketa agraria antar
masyarakat adat Pombui di Ngovi Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah dengan pihak luar. Laudjeng dan Ramlah 1997 menyatakan sengketa tersebut karena
kehadiran proyek transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit, oleh pemerintah memberikan kewenangan dan izin legalitas kepada pihak perusahaan untuk
melakukan ekspansi lahan perkebunannya tanpa memperdulikan dan melihat bahwa lahan yang akan ditanami untuk pengembangan kelapa sawit adalah lahan masyarakat
adat yang secara prosedural diatur oleh adat Pombui. Kegiatan tetap dilakukan hingga penggusuran pemukiman dan lahan-lahan yang dianggap memiliki nilai
kultural oleh komunitas adat Pombui. Penggusuran dilakukan terhadap tanaman- tanaman perkebunan masyarakat, tanaman sagu yang dianggap tempat sumber
kehidupan mereka berupa penyimpan air, dan sumber kehidupan lainnya yang dijadikan sebagai tempat sakral yang disebut Tinja Nosa.
2.2. Konsep PelestarianKonservasi dalam Perspektif Biofisik, Ekonomi, dan Sosial Budaya Masyarakat.
Dengan fenomena saat ini dan fakta lapangan menggiring para pemerhati lingkungan untuk melihat pelestariankonservasi dalam perspektif yang luas. Ide-ide
konservasi tidak hanya berangkat dari logika preservasi yaitu mengawetkan alam untuk pelestarian tanpa pemanfaatan untuk kepentingan pembangunan Wiratno dkk,
2004. Paradigma baru memberikan rekomendasi jika suatu kawasan konservasi dikelola dengan baik dan tepat, dapat memberikan keuntungan yang berkelanjutan
bagi masyarakat khususnya yang telah menghuni turun-temurun di dalamnya. Betapa pentingnya pemikiran-pemikiran untuk menyimak pengalaman empiris di lapangan
bahwa kerugian negara dalam tiga dekade terakhir dengan maraknya perkebunan-
21
perkebunan skala besar, menyebabkan kenaikan tingkat penggundulan hutan secara signifikan pada tahun 1990-an. Sesuai dengan laporan Bank Dunia, dari 17 juta
hektar hutan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi yang hilang, hanya sekitar 4,3 juta hektar yang sungguh-sungguh telah diganti dengan tanaman kayu Departemen
Kehutanan, 2004. Situasi ini perlu direnungi dan untuk disadari, kini saatnya menelaah kembali ide-ide dan praktek konservasi tradisional asli Indonesia yang
berbasis lokal, masyarakat sekitar dan di dalam kawasan untuk membangun gerakan dengan basis yang kuat. Dengan demikian pelestarian itu sendiri akan penting artinya
dalam pembangunan sosial ekonomi pedesaan dan atau daerah pinggiran kota untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat penghuni kawasan, sebagai pendukung
pengembangan pertumbuhan ekonomi di pusat-pusat perkotaan. Hubungan harmonis yang telah dibangun nenek moyang bangsa Indonesia dengan lingkungan untuk
mendukung kehidupan mereka saat itu masih sederhana ; namun setelah manusia berkembang pemanfaatan-pun berkembang dengan pesat Ali Kodra, 2004.
Dengan perkembangan saat ini, pengelolaan konservasi bukan hanya sekedar memenuhi komitmen konservasi global, tetapi juga memberi pertimbangan yang
lebih besar pada konservasi berbasis sumberdaya lokal baik dari sisi biofisik, ekonomi maupun sosio-kultural masyarakat lokal. Konservasi Nasional sudah harus
berpihak pada masyarakat lokal melalui berbagai instrumen kebijakan yang berorientasi pada pembagian keuntungan serta pembagian hak dan tanggungjawab
yang adil dalam pengelolaan kawasan maupun produk-produk konservasi Wiratno dkk, 2004. Selanjutnya, strategi konservasi harus diarahkan kepada upaya-upaya
yang berproses bukan dari atas ke bawah top down tapi lebih mengutamakan dialog, penyelarasan visi dan persepsi yang semuanya memerlukan dukungan berbagai
disiplin ilmu sosial. Upaya konservasi tidak lagi menjadi monopoli konservasionis, rimbawan atau pencinta lingkungan saja, karena isu dan masalah dalam pengelolaan
kawasan konservasi sangat kompleks dan melebar pada aspek-aspek sosial-budaya, ekonomi, psikologi, sejarah, hukum dan politik yang masing-masing kasusnya
bervariasi Adiwibowo, 2005. Beberapa kasus yang dapat dijadikan bahan perenungan mengenai peran masyarakat dalam pengelolaan konservasi di Kabupaten
22
Kutai Barat. Keterlibatan masyarakat kampung dalam menentukan perencanaan hingga pelaksanaan dan kontrol terhadap pengelolaan kawasan konservasi yang
melibatkan para stakeholder dengan pola pendekatan partisipatif. Kegiatan ini menghasilkan panduan kampung, menurut Nanang dan Devung 2004 mengacu
pada enam tolok ukur sebagai berikut : 1.
Adanya akses dan kontrol penguasaan atas lahan dan sumberdaya hutan oleh warga.
2. Adanya keseimbangan kesempatan dalam menikmati hasil-hasil dari hutan.
3. Adanya komunikasi tukar wacana yang baik dan hubungan yang konstruktif
saling menopang antar pihak yang berkepentingan terhadap hutan. 4.
Adanya keputusan kampung yang dibuat oleh warga kampung tanpa tekanan dari luar masyarakat tidak didikte saja oleh pihak luar dan prakarsa-prakarsa
dilakukan sendiri oleh warga kampung tanpa tekanan pihak manapun. 5.
Adanya pengaturan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan kepentingan yang berkaitan dengan sumberdaya hutan, dengan cara yang mengarah pada
penghindaran terjadi perselisihan dan pengandaan penyelesaian perselisihan secara adil.
6. Adanya kemampuan teknis warga kampung dalam mengelola hutan.
Sejalan dengan pengalaman nyata di lapangan bahwa kemauan politik Political will pemerintah dan peraturan yang ada umumnya kurang mendukung
institusionalisasi multi pihak dalam mengelola sumberdaya alam. Ada tiga cara yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengelola sumberdaya daya alam dengan multi
pihak Nanang dan Devung, 2004 yaitu Pertama, tidak merintangi dan merasa terancam posisinya apabila masyarakat lokal berdiskusi mengenai masalah dan
solusi, pengembangan dan pengaturan institusi lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam atau kawasan konservasi, Kedua, komunitas lokal harus diberikan akses untuk
mengekspresikan gagasan dan kepeduliannya, Ketiga, masyarakat lokal diberikan hak mengembangkan organisasi, mengembangkan jaringan kerja atau pun koalisi
guna keperluan koordinasi dan kerjasama. Peranan Pemerintah disini adalah menciptakan legitimasi dan akuntabilitas bagi organisasi lokal dan pengaturannya.
23
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang Kehutanan Kepada Daerah, merupakan peluang yang dapat
dimanfaatkan Daerah Tingkat II dalam mengakomodasi masyarakat lokal. Taman Hutan Raya TAHURA, salah satu bentuk riil kebijakan yang pengelolaannya
pembangunan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangan diserahkan ke daerah propinsi, sedangkan pengelolaan hutan lindung diserahkan kepada daerah tingkat II
Kota dan Kabupaten.
2.3. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam