5.2. Aspek Historis TAHURA SULTENG
Dalam perspektif sejarah, berawal dari dilaksanakannya Proyek Penghijauan Nasional PPN ke 30 tahun 1990 di kawasan Ngata Baru Kapopo
Kecamatan Sigi-Biromaru Kabupaten Donggala oleh Pemerintah Daerah melalui koordinasi Wakil Gubernur Sulawesi Tengah. Proses pelaksanaannya hingga
Tahun 1994, dilakukan secara bersama antar Pemda Sulteng dengan APHI Komisariat Daerah Sulawesi Tengah Dinas Kehutanan, 2002. Kegiatan
pemeliharaan dilakukan mulai tahun 1995 sampai sekarang, dan pembiayaannya dibebankan pada sumber dana APBD Propinsi Sulawesi Tengah.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461Kpts-II1995, tanggal 4 September 1995, lokasi PPN ke 30 seluas 100 hektar dimasukkan
menjadi bagian Taman Hutan Raya yang meliputi gabungan dari kawasan- kawasan yakni Cagar Alam Poboya dengan luas 1.000 hektar, Hutan Lindung
Paneki seluas 7.000 hektar sehingga luas keseluruhan TAHURA menjadi 8.100 hektar. Proses perubahan dan perkembangan kawasan bergerak terus seiring
dengan perkembangan penduduk, maka pada tanggal 29 Januari 1999 terbit Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 24Kpts-II1999
menetapkan tata batas, status TAHURA dengan luas 7.128 hektar sehingga wilayah ini merupakan temu gelang.
Untuk menindaklanjuti kebijakan Nasional di atas, Gubernur Sulawesi Tengah meresponnya dengan menetapkan lokasi PPN ke 30 menjadi Taman
Wisata Alam Kapopo melalui Surat Keputusan Nomor : 188.441400Dis 1200 PAR-G.572003.
Pemerintah sebagai pemegang hak atas tanah, sebelumnya telah dibuat kebijakan melalui Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor
SK.239591IX1987 tentang pengawasan tanah negara Bumi Roviga oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah. Tanah Negara yang dimaksud
dalam surat keputusan tersebut adalah kawasan bagian Utara TAHURA sekarang, dan sebagian telah menjadi pemukiman transmigrasi swakarsa Lingkungan
Industri Kecil Layana Indah. Luas tanah-tanah negara yang dianggap tidak bertuan sekalipun pemiliknya berada di dalam kawasan ini, seluas ± 6.750 Ha.
Dalam Surat Keputusan No. SK.239591IX1987 menetapkan lima 5 point sebagai berikut :
a Tanah Negara seluas ± 6.750 Ha dengan keadaan penggunaan tanah berupa semak belukar, padang rumput, hutan belukar, tanah gundul,
maupun tanah tegalan dinyatakan berada dibawah pengawasan Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah.
b Bagi masyarakat yang bermaksud memanfaatkan kawasan tersebut, pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah akan mengeluarkan
rekomendasi yang dikoordinasikan oleh Bappeda Tingkat I Sulawesi Tengah.
c Kepada masyarakat yang merasa menguasai tanah negara di kawasan tersebut dalam waktu tiga 3 bulan setelah dikeluarkannya surat
keputusan ini supaya melaporkan kepada pemerintah daerah tingkat I Sulawesi Tengah yang dikoordinir oleh Bappeda Tingkat I Sulawesi
Tengah dengan membawa bukti penguasaannya, untuk keperluan pengaturan lebih lanjut.
dTidak dibenarkan kepada masyarakat baik yang merasa menguasai tanah maupun yang akan menguasai tanah di kawasan tersebut untuk
melakukan pematokan, pemagaran, tanpa seizin Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah.
Dengan menelaah isi dari keputusan tersebut dengan realitas lapangan bahwa kebijakan dan tindakan yang dilakukan pemerintah daerah adalah sepihak
tanpa mempertimbangkan situasi yang sebenarnya. Pada situasi saat itu Tahun 1987 adalah kekuatan rezim orde baru yang menempatkan posisi masyarakat
dipihak yang lemah. Saat itu memang kekuatan dan kekuasaan berada di pihak pemerintah, dan masyarakat semata obyek bagi pembangunan dalam berbagai
aspek. Sepuluh bulan kemudian, menyusul permohonan Gubernur Sulawesi
Tengah, Abdul Azis Lamadjido, SH dengan Surat Nomor. 522.52835Ro.BKLH, tanggal 13 Juli 1988, yang menindaklanjuti Surat Permohonan Nomor 104VII-
1KM-II1988 tanggal 14 Maret 1988 dengan harapan Menteri Departemen Kehutanan R.I dapat mempercepat proses realisasi permohonan pembangunan
Taman Hutan Raya Palu. TAHURA juga bagian yang tidak terpisahkan dari rekomendasi hasil
penelitian yang dilakukan Paimbonan dkk 1993 dalam Bappeda 2003 mengenai Rancangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Terpadu DAS
Palu seluas 30.000 hektar dan Rancangan Teknik detail Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah Sub DAS Kavatuna seluas 10.000 hektar yang dibiayai oleh Dana Proyek Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Kantor Departemen
Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah Sub Balai RLKT Tahun 1993. Dari proyek tersebut salah satu kebijakan yang diimplementasikan adalah penghijauan pola
khusus lembah Palu seluas 1.483,34 hektar yang tersebar pada tiga sub DAS yaitu sub-sub DAS Kavatuna 311,35 hektar, MamaraNgia 431,80 hektar, dan
Paneki 957,50 hektar dengan teknik konservasi menggunakan teras guludan,
teras bangku dan penanaman cover crop. Sub-sub Das tersebut adalah lokasi- lokasi yang rawan erosi dan banjir sehingga perlu mendapat prioritas. Lokasi
tersebut merupakan bagian dari kawasan TAHURA. Luas lokasi TAHURA yang masuk dalam perencanaan konservasi pada lahan-lahan kritis dan rawan erosi
seluas 2.589,95 hektar sampai tahun anggaran 20022003 Bappeda, 2003.
5.3. Kebijakan-kebijakan dalam Pengelolaan TAHURA SULTENG.