5.4. Kebijakan Penetapan Tata Batas, Luas Wilayah dan Status TAHURA.
Penetapan Tata batas, Luas Wilayah dan Status TAHURA Sulawesi Tengah yang sebelumnya adalah kawasan yang terbuka bagi berbagai pihak dalam
memanfaatkan sumberdaya kawasan hutan berupa kayu dan produk non kayu rotan, damar, hasil tambang dll. Perencanaan kawasan ini setelah berlakunya
keputusan Menteri Kehutanan dengan beberapa prinsip pengembangan yaitu 1 prinsip pelestarian preservasi dan konservasi lingkungan alami dari kawasan
TAHURA, 2 prinsip pemanfaatan berbagai potensi lingkungan alami kawasan TAHURA sebagai media pendidikan, 3 prinsip pengembangan berbagai potensi
lingkungan alami pada kawasan TAHURA untuk kegiatan pariwisata dan pembibitan serta koleksi flora dan fauna Kanwil Dephut Sulteng, 1997.
Prinsip ini mengacu pada landasan pengembangan dari rencana tata letak Site plan yang berupaya untuk melestarikan, memanfaatkan dan
mengembangkan berbagai potensi alami yang dapat menjadi suatu wadah aktifitas masyarakat di dalam kawasan hutan dan masyarakat umum dalam rangka
pengenalan, menanamkan rasa cinta dan rasa kepemilikan. Aktivitas ini menurut Kantor Wilayah Kehutanan Sulteng 1997 dilakukan melalui beberapa pola
antara lain : 1. Melestarikan berbagai potensi flora, fauna dan ekosistem hutan existing
dalam dan sekitar hutan TAHURA Sulteng sebagai kekayaan keanekaragaman hayati yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya.
2. Memanfaatkan berbagai potensi flora dan fauna dan ekosistem existing yang berada di sekitar dan dalam hutan sebagai kekayaan keanekaragaman
hayati yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, ekonomi dan pendidikan.
3. Mengembangkan berbagai potensi flora, fauna dan ekosistem hutan existing yang berada sekitar dan dalam kawasan hutan sebagai kekayaan
keanekaragaman hayati yang dapat dinikmati sebagai wahana dalam berbagai aktifitas sosial, ekonomi dan budaya termasuk kegiatan rekreasi
dan olah raga.
Taman Hutan Raya TAHURA SULTENG dikukuhkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 24Kpts-II1999, menetapkan
status, tata batas dan luas menjadi 7.128 Tujuh Ribu Seratus Dua Puluh Delapan hektar. Dari luasan yang tertata batas saat ini termasuk dalam wilayah Kota Palu
seluas 4.696,27 Ha, dan Wilayah Kabupaten Donggala seluas 2.431,73 Ha.
Keputusan ini merupakan pembaharuan dari Surat Keputusan No. 461Kpts- II1995 dengan luas keseluruhan 8.100 ha, dengan nama TAHURA PALU.
Pengukuhan kawasan hutan sejak dimulai dengan penunjukan kawasan hutan per propinsi pada tahun 1982-an yang dikenal dengan istilah Tata Guna Hutan
Kesepakatan Depatemen Kehutanan, 2004. Saat ini Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK sudah tidak digunakan dan diganti dengan penunjukan
kawasan hutan dan perairan propinsi dengan merujuk pada SK Menteri Kehutanan No. 195Kpts-II2003. Surat Keputusan tersebut dibuat berdasarkan masukan
pemerintah daerah dalam bentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi RTRWP yang dipaduserasikan dengan kepentingan
Departemen Kehutanan atau dikenal dengan TGHK baru. Untuk Propinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi RTRWP Sulawesi Tengah, di dalam pasalnya memuat Taman Hutan Raya TAHURA SULTENG.
Keputusan-keputusan yang menjadi acuan penetapan kawasan hutan sebagai berikut :
¾ SK Menhut No. 634Kpts-II1996 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan.
¾ SK Menhut No. 635Kpts-II1996 tentang Panitia Tata Batas. ¾ SK Menhut No. 613Kpts-II1997 tentang Pedoman Pengukuhan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Perairan. ¾ SK Menhut No. 48Kpts-II2004 tentang Perubahan Keputusan
Menteri Kehutanan No. 70Kpts-II2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan.
¾ SK Menhut No. 70Kpts-II2001 tentang tentang Penetapan Kawasan Hutan, Pereubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan.
¾ SK Menhut No. 32Kpts-II2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan.
Proses pelaksanaan tata batas, penetapan luas dan status tidak melalui sosialisasi terlebih dahulu, baik terhadap masyarakat di dalamsekitar kawasan
maupun kepada stakeholder yang berkepentingan terhadap sumberdaya TAHURA, dan pemerintah dalam hal ini bertindak sepihak. Sementara dalam
TGHK baru pada dasarnya untuk penunjukan kawasan hutan tidak menghilangkan hak seseorang atau kelompok masyarakat atas tanahnya yang berada pada wilayah
yang ditunjuk sebagai kawasan hutan Departemen Kehutanan, 2004. Dengan mengacu pada isi keputusan tersebut maka pelaksanaan rekonstruksi kembali tata
batas kawasan hutan TAHURA SULTENG masih memungkinkan untuk dilakukan dengan pelibatan para pihak stakeholders, duduk satu meja molibu.
Hasil wawancara dengan informan yang memiliki interest termasuk penentu kebijakan bahwa untuk pengembangan ke depan agar TAHURA dapat
berkesinambungan, pihak pengelola Dinas Kehutanan harus berani melakukan
rekonstruksi total tata batas, dan dalam proses rekonstruksi tersebut harus
melibatkan penuh masyarakat di dalam kawasan dan stakeholders terkait untuk menyusun perencanaan bersama
11
. Hal yang sama disampaikan Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah VI Sulawesi bahwa pengelolaan
TAHURA harus dilakukan secara khusus dengan membentuk Unit Pengelolaan Teknis Daerah UPTD dan masyarakat sebagai subyek harus masuk dalam
organik sebagai representasi komunitasnya. Kemandegan TAHURA disebabkan antara lain belum transparannya pengelola terhadap stakeholders khususnya
masyarakat lokal penghuni dalam kawasan yang secara defakto telah memiliki sumberdaya, memelihara dan memanfaatkannya untuk kehidupan secara turun
temurun.
5.5. Kebijakan Konservasi Kawasan TAHURA