Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat dalamsekitar Kawasan TAHURA SULTENG

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN.

5.1. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat dalamsekitar Kawasan TAHURA SULTENG

5.1.1. Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk kelurahandesa yang termasuk dalam wilayah penelitian disajikan dalam Tabel 7. Masyarakat dari kelurahandesa di sekitar TAHURA adalah komunitas asli masyarakat lokal Kaili yang memiliki akses cukup besar terhadap integritas dan keberlanjutan TAHURA Sulawesi Tengah. Tabel 7. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah perkelurahandesa di sekitar Kawasan TAHURA Sulawesi Tengah. No. Kecamatan KabupatenKota Kelurahan Desa Luas Wilayah km2 Jumlah KK Jumlah Jiwa Kepadatan Penduduk Per-km2 1. Palu SelatanPalu ¾ Kavatuna 20,67 613 2.666 126 2 Palu TimurPalu ¾ Poboya ¾ Tondo ¾ Layana Indah 63,41 55,16 15,00 601 2.588 607 1.287 10.097 2.579 20 183 172 3. Sigi-Biromaru Donggala ¾ Pumbeve ¾ Ngata Baru ¾ Loru 44,80 224,32 57,68 553 284 496 1987 2367 1906 44 11 33 Jumlah 481,048 5.742 22.889 Sumber : BPS, Kecamatan Dalam Angka 2004 ; Bappeda 2003 Dari jumlah penduduk dalam Tabel 7 di atas, yang termasuk dalam kawasan TAHURA, menempati hulu Daerah Aliran Sungai DAS, pegunungan dan bukit berjumlah 529 kepala keluarga dengan 2.416 jiwa, tersebar pada tujuh kawasan dilihat Tabel 8. Jumlah pemukim dalam kawasan bila dibandingkan dengan penduduk kelurahan dan desa yang termasuk dalam tiga wilayah kecamatan, berkisar 9,21 kepala keluarga atau 10,55 jumlah jiwa. Angka tersebut jika ditilik dari prosentasenya masih rendah, namun bila dibandingkan dengan luasan TAHURA, dapat diprediksi akan mengalami proses degradasi yang cepat manakala warga masyarakat yang memiliki akses di dalam kawasan tidak diberikan ruang sebagai salah satu komponen yang berperan aktif dan bertanggung jawab menjaga kelestarian kawasan itu. Tabel 8. Jumlah penduduk dalam kawasan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah. No. Kawasan Lokasi Pemukiman Jml KK Jml Jiwa Aktivitas Tanaman yang diusahakan 1. Dusun Tompu Kalinjo Kambilo 47 36 230 200 Kebun coklat, merotan, berladang, Berburu, padi ladang, menjual kayu bakar, kopi, mangga, durian, 2. Paneki Raranggonau 40 167 Merotan, berladang, kebun coklat, kayu bakar. 3. Hulu DAS Kavatuna Uentumbu Valiri 86 357 Berladang, beternak kambing sapi, merotan, kayu bakar, bambu. 4. Bukit Poboya PPN 25-29 Bunti Pobau 76 228 Usahatani bawang, jagung, kacang tanah, dan tanaman pelindung. 5. Hulu Das Pondo RT.6 RT.7 RT.8 28 25 37 143 129 198 Pendulang emas, berkebun coklat, mangga, durian, kelapa, bawang. 6. Vatutela Vatutela 80 317 Kebun cengkeh, kopi, berladang 7. Bulu Bionga Vintu RT. 19 Paranjese RT.18 33 41 198 249 Kebun ubi, kopi, cengkeh, kayu bakar, kemiri, kelapa, sukun, jagung, Padi ladang, mangga, asam, cabe, Pisang, dll. Jumlah 529 2.416 Sumber : Data Kelurahan RT dan Dusun Desa 2006 Penduduk masyarakat lokal Kaili di dalam kawasan, tertera pada Tabel 8 di atas, menunjukkan keberadaan pemukiman dalam kawasan saat ini adalah penduduk yang telah ada sebelumya. Mereka telah beranak pinang beratus tahun secara turun-temurun. Pemukiman yang dihuni saat ini dulunya adalah desa-desa tua yang kini telah menjadi dusun dan lingkungan dari kelurahan. Hal ini terjadi pergeseran karena perubahan dan perkembangan kota Palu dengan pertumbuhan penduduk 5 tahun terakhir rata-rata 3,15 pertahun atau dari 269.083 jiwa tahun 2000 menjadi 304.674 jiwa tahun 2005. Pertambahan penduduk kota dalam kurung waktu tertentu akan mempengaruhi situasi wilayah TAHURA yang hanya berjarak 4-11 km dari Kota Palu, terutama pada penguasaan lahan untuk pemukiman dan lahan untuk usaha pertanian. Dengan perkembangan yang cukup pesat ini yang di dalamnya juga kepentingan yang tidak mungkin dihindarkan, maka kebijakan seharusnya dapat menerjemahkan secara benar makna ”untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang menjadi landasan Undang-Undang Pokok Agraria Maria Sumardjono, 2005. Pertambahan penduduk dengan kebutuhan-kebutuhan dasar yang semakin tinggi akan mempercepat proses perubahan sosial dan ekonomi masyarakat yang berekses pada penguasaan sumberdaya alam. Perubahan ini juga tidak terlepas dari intervensi pemerintah untuk merubah struktur kehidupan sosial masyarakat yang tadinya sangat kental dengan pola kehidupan yang sepenuhnya bergantung kepada sumberdaya alam, bagaimana dapat merubah pola kehidupan pada sektor- sektor jasa. Peran ini sepenuhnya dilakoni pemerintah sebagai pemegang kendali akses sumberdaya dan memiliki pawer dalam banyak hal. Pembangunan yang dilakoni pemerintah sejak orde baru hingga sekarang masih menganut pola-pola top down dan berorientasi pada kepentingan sesaat dan sepihak. Tidak sedikit masyarakat yang menerima dampak dari perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi. Kasus Dompu dan Taman Hutan Raya Marhum di Sulawesi Tenggara perlu menjadi bahan perenungan bagi pengambil kebijakan, betapa lemahnya keadilan atas rakyat yang juga bagian dari negeri ini Noerdin Nainggolan dalam Suporahardjo, 2006 10 . Masyarakat lokal Kaili yang bermukim dalam kawasan ini juga dijuluki sebagai masyarakat tradisional yang menganggap segala sesuatu dalam alam saling berhubungan. Sudah merupakan sebuah kebudayaan untuk memperlakukan alam dengan arif dan bijaksana untuk menghindari dampak buruk dari alam Marten, 2001. Dalam konteks inilah masyarakat lokal Kaili menganggap kehadiran pihak luar di lingkungan mereka merupakan ancaman bagi kelestarian 10 Kelompok tani Cando Permai dan Mada Feli memiliki niat baik dan berkeinginan untuk mengelola kawasan hutan yang telah rusak dan telah berhasil menjadi hutan kembali, justru bukan mendapatkan penghargaan dari pemerintah Kabupaten Dompu, namun sebaliknya ”mereka ditangkap dan dijebloskan kepenjara dengan cara sewenang-wenang oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Dompu dan selanjutnya dituntut oleh Kejaksaan Negeri Dompu dan dihukum penjara oleh Putusan Pengadilan Negeri Dompu antara 6 enam sampai 9 sembilan bulan penjara Noerdin, W dan Nainggolan L, 2005; 23. alam khususnya sumberdaya hutan. Pihak luar dipersepsikan sebagai pembawa pembaharuan dan perubahan yang dapat menciptakan malapetaka bagi mereka terutama kelompok-kelompok yang akan mengakses sumberdaya hutan berupa penebangan pohon-pohon yang berdiameter besar. Jika mereka yang datang hanya bermaksud mengambil hasil hutan berupa kayu tanpa ada rekomendasi dari kepala desa kami halau dan kalau tidak mau pergi akan dilaporkan kepada pemangku adat untuk diproses lanjut. Persepsi masyarakat lokal Kaili tentang Taman Hutan Raya, diketahui hanya terbatas pada singkatan TAHURA. Dari 52 responden di komunitas masyarakat sekitar 17,31 yang hanya mengetahui singkatan TAHURA, namun fungsi dan kegunaan Taman Hutan Raya terhadap kelestarian hutan tidak diketahui atau sekitar 82,69 dari jumlah responden. Tabel 9 di bawah ini menunjukkan persepsi masyarakat tentang Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah. Tabel 9. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah Persepsi Kelompok Umur Responden Jumlah Responden Tahu Tidak Tahu 27 - 30 6 2 4 31 - 35 9 1 ragu-ragu 8 36 - 40 13 2 11 41 - 50 13 3 10 51 12 1 11 Total 52 9 44 Informan selain masyarakat lokal Kaili, para pejabat yang memiliki kepentingan dan keterkaitan dengan kawasan TAHURA juga sebagai sumber informasi yang dapat djadikan petimbangan dalam analisis. Pemangku kepentingan dimaksud disajikan dalam Tabel 10. Persepsi para respondeninforman yang juga bagian dalam penentuan keputusan pengelolaan Taman Hutan Raya, berbeda satu sama lain. Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa instansi sektoral yang sesungguhnya pemegang kunci stakeholder kunci justru tidak dapat memberikan penjelasan yang menggambarkan pengelolaan TAHURA dalam konsteks kebijakan, dan belum membagi peran masing-masing sektor secara teknis. Hasil dari indepth interview wawancara mendalam dengan masyarakat lokal Kaili dan instansi sektoral secara terpisah menunjukan perbedaan informasi yang cukup signifikan. Masyarakat berpendapat bahwa pemerintah tidak memperdulikan rakyatnya dalam beragam aspek termasuk dengan menjadikannya wilayah ini sebagai TAHURA. Tidak sedikit lahan milik masyarakat yang dieksploitasi, dan dimasukkan dalam areal TAHURA dengan tidak mengganti rugi atau tanpa kompensasi. Tabel 10. Perspektif pemangku kepentingan dan pejabat yang berkaitan dengan keberlanjutan TAHURA. Konsep pengelolaan Informan Responden Jabatan Instansi Institusi Peme rintah Tidak jelas Peme rintah + Masy. P.emeri ntah+ Masy + Stakhld Haerul Anantha, Ir. Kepala Dinas Dinas Kehutanan Propinsi Sulteng 9 Trimuljono Admomartono, Ir. Kepala Balai Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai BP-DAS Palu-Poso Sulteng 9 Istanto, M.Sc Kepala Balai Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA VI Sulawesi 9 Said Awad, MH, Drs. Kepala Badan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Sulteng 9 Ardin T.Tayeb, MT, SE Kasie Perencanaan dan Tata Ruang Wilayah. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPEDA Sulteng 9 Helmy D. Yambas, SE Wakil Ketua DPRD Propinsi Sulteng 9 Hedar Laudjeng, SH Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, Perkumpulan Bantaya 9 Rusdi Mastura Walikota Pemerintrah Kota Palu. 9 9 Zainal Arifin H. Tongko, MS. Ir. Kepala Dinas Dinas Kehutanan Kota Palu. 9 Usman, SH. MH Kepala Biro Hukum Sekretariat Pemda Sulteng 9 9 Harun Lapasere, Drs. Sekretaris LPPM Universitas Tadulako 9 Dari hasil wawancara mendalam dengan para pimpinan instansi yang juga merupakan elemen yang bertanggung jawab dalam proses penetapan dan keberlanjutan Taman Hutan Raya, namun faktanya memperlihatkan berbagai perspektif dan konsep yang berbeda dalam pengelolaan TAHURA. Dinas Kehutanan misalnya memberikan pernyataan dan menjelaskan dengan lugas bahwa pengelolaannya hanya dapat dilakukan pemerintah tanpa peran pihak lain kelola mono sektoral. Dalam perspektif ini menunjukkan ego sektoral dari setiap instansi cukup tinggi, sementara pengelolaan yang ideal adalah megkolaborasikan berbagai konsep yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi tipikal wilayah bersangkutan dan melakukannya secara bersama dengan peran fungsional masing-masing. Hal lain menunjukkan bahwa pengelolaan TAHURA masih berpegang pada pengelolaan preservasi tanpa memperbolehkan aktivitas lain sekitar dan dalam kawasan, sementara fakta menunjukkan terdapat ratusan hektar lahan milik warga dan komunal serta ribuan jiwa penduduk penghuni dengan aktivitas usahatani dan sejumlah kearifan yang dimiliki dalam mengelola sumberdaya alam. Keadaan inilah yang menyebabkan salah satu timbulnya proteksi masyarakat terhadap lahan-lahan yang de fakto-nya telah dimiliki secara turun temurun, sementara pihak pemerintah daerah tidak memberikan kesempatan bagi pemilik lahan melakukan akses dari pemilikan berbagai bukti berupa tanaman keras dan sumberdaya lainnya. Hal yang serupa namun berbeda versi adalah Biro Hukum Sekretariat Daerah, menyatakan pengelolaan sepenuhnya dilakukan pemerintah, untuk pelibatan masyarakat dalam memanfaatkan lokasi-lokasi yang telah ditetapkan pemerintah menjadi TAHURA, perlu dilihat kembali aturannya. Berkaitan dengan fungsi biro hukum yang bertanggung jawab terhadap penyusunan peraturan daerah tentang TAHURA, namun sampai saat ini pemikiran untuk melakukan upaya-upaya penguatan dari aspek hukum atas sumberdaya TAHURA belum ada 11 . Kondisi ini menunjukkan betapa tidak pedulinya pihak-pihak yang berkompeten terhadap sebuah kawasan yang merupakan sumber kehidupan bagi sebagian masyarakat Kota Palu. 11 Usman Suhudin, SH,MH Kepala Biro Hukum PemDa Sulteng menyatakan “tidak tahu menahu hal tentang TAHURA, silahkan ditanyakan kepada Dinas Kehutanan, saya mau rapat”. Dalam perspektif Kepala Biro Hukum, TAHURA adalah sepenuhnya wewenang dinas teknis, termasuk penyusunan peraturan yang berhubungan dengan kawasan dimaksud, dan biro hukum bertugas untuk membuat keputusan-keputusan pemerintah yang berkaitan dengan sekretariat, dan memfilekan keputusan-keputusan pemerintah dan peraturan perundang-undangan. Disini nampak mekanisme dan koordinasi sangat lemah dan tidak berjalan. Dalam perspektif masyarakat lokal Kaili pendidikan merupakan faktor penting yang harus menjadi perhatian pemerintah, namun kenyataan di lapangan menunjukkan ketidakpedulian kepada masyarakat lokal di dalam kawasan TAHURA yang semakin termarginalkan dalam berbagai aspek. Sentuhan pembangunan hanya diperuntukkan kepada wilayah-wilayah yang secara kasat mata dan selalu dilalui oleh para pejabat daerah dan atau pejabat negara. Hal ini dapat dibuktikan bahwa dilokasi penelitian menunjukkan persentase terbesar adalah masyarakat yang hanya dapat menikmati jenjang pendidikan formal pada Sekolah Menengah Pertama ke bawah. Keragaman masyarakat yang menempuh jenjang pendidikan formal merupakan indikasi rendahnya kemampuan masyarakat dari aspek ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tujuh komunitas masyarakat lokal yang mendiami kawasan ini masih dapat dikategorikan rata-rata berpendidikan rendah. Jenjang pendidikan formal masyarakat lokal Kaili dari tujuh komunitas yang tersebar dalam kawasan TAHURA berdasarkan sampel penelitian, disajikan dalam Tabel 11 berikut : Tabel 11. Jenjang Pendidikan Formal Informan dalamsekitar TAHURA SULTENG. Jenjang Pendidikan Orang Komunitas Desa Kelurahan Kecamatan Jumlah Informan Tamat SDSR Tamat SMP Tamat SLTA Tamat PT 1 2 3 4 5 Vintu Layana Indah Palu Timur 8 7 - 1 - Vatutela Tondo Palu Timur 8 4 2 2 - Bunti Pobau Poboya Palu Timur 9 2 4 3 - Hulu DAS Pondo Poboya Palu Timur 7 - 1 6 - Uentumbu Hulu Das Mamara Kavatuna Palu Selatan 9 7 1 1 - Tompu Ngata Baru Sigi Biromaru 7 6 1 - - Raranggo nau Pumbeve Sigi Biromaru 4 3 1 - - Jumlah 52 29 10 13 - Dari jumlah tersebut di atas menggambarkan sumberdaya manusia masyarakat lokal yang berdomisili di dalam kawasan TAHURA dapat dikategorikan masih rendah atau perlu dilakukan peningkatan sumberdaya melalui berbagai program pendidikan. Sumberdaya manusia dari masing-masing kawasan sangat beragam, yang secara keseluruhan dapat diproporsikan yang menamatkan pendidikan Sekolah Dasar sebesar 55,77 , menamatkan Sekolah Menengah Tingkat Pertama SMP sebesar 19,23 , menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SLTA sebesar 25,00 dan menamatkan Pendidikan pada Perguruan Tinggi negeri maupun swasta belum ditemukan dari tujuh 7 kawasan yang menjadi lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan kelemahan dan terbatasnya akses masyarakat dalam memperoleh informasi termasuk mendapatkan kesempatan menuntut ilmu di jalur pendidikan formal. Selain kesempatan mendapatkan akses pengetahuan, juga dibatasi oleh rendahnya pendapatan petani pada umumnya yang berada dalam dan sekitar kawasan TAHURA. Ketaatan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah mengenai adanya program yang menetapkan status kawasan mereka menjadi kawasan pelestarian preservasi, sesungguhnya cukup tinggi, hanya saja pihak pengelola yang diberikan wewenang negara belum mengkomunikasikannya dengan pihak yang berkepentingan termasuk masyarakat lokal Kaili. Pembangunan dalam era sebelumnya bahkan sampai sekarang belum memperdulikan keberadaan masyarakat lokal khususnya yang berada dalam kawasan TAHURA. Masyarakat lokal Vatutela misalnya, sebelum ada pembangunan Universitas Tadulako, kebutuhan air belum mrenjadi masalah bagi mereka. Setelah hadir Universitas Tadulako dengan bertambahnya pembangunan BTN di kawasan Kelurahan Tondo, masyarakat Vatutela semakin terdesak dan kebutuhan air juga semakin lama kian bermasalah. Sumber air DAS Vatutela mulai dibendung dan dibuat bak penampung untuk dialirkan ke Kampus Universitas Tadulako dan Perumahan Dosen, maka kekeringan sudah sering melanda masyarakat di DAS Vatutela dan kini masalah utama bagi kehidupan masyarakat Vatutela. Akses masyarakat terhadap air DAS Vatutela hilang karena kekuasaan dan terbatasnya kapital dalam mengakses air untuk didistribusikan kepada publik. Karena air masih dianggap publik goods, pihak Universitas Tadulako dan pemerintah daerah menganggapnya bukan sesuatu yang harus dipertimbangkan dan dikaji, sesungguhnya siapa yang lebih memiliki akses untuk mendapatkan air tersebut. Pemukiman-pemukiman tersebut digambarkan pada peta penyebaran pemukiman penduduk dan lahan kebun rakyat di dalam kawasan TAHURA SULTENG sebagai berikut : Gambar 10. Peta Taman Hutan Raya TAHURA SULTENG

5.1.2. Keadaan Sosial Budaya.

Masyarakat pemukim tetap di dalam kawasan merupakan komunitas masyarakat adat dari komunitas asli Kaili Ledo dan Kaili Tara. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebiasaan dalam memanfaatkan sumberdaya alam seperti halnya mengelola sumber air yang dikenal dengan “Ada’ Pombagi Uve” yang dilakukan oleh seorang Punggava yang ditunjuk Totua Nu Ada’ . Untuk menanggulangi gangguan pada tanaman hama dan penyakit dilakukan upacara adat yang dikenal dengan “Nompaura” menolak bala’. Selanjutnya, jika terjadi kekeringan sepanjang tahun masyarakat secara Tompu vintu Vatutela Bunti Pobau DAS Pondo Uentumbu Tompu Kws. Raranggonau keseluruhan atas pimpinan Totua nu ada’ melakukan upacara adat “Nora’a Binangga” dengan memotong kambing di hulu sungai. Kegiatan ini diwajibkan diikuti oleh masyarakat sekitar dan dalam kawasan yang berpandangan bahwa interaksi alam dan kehidupan masyarakat yang terdapat di dalamnya tidak dapat dipisahkan. Interaksi yang harmonis dengan alam telah berlangsung lama dari generasi ke generasi. Kondisi seperti ini akan berpeluang besar dijadikan kekuatan dalam melestarikan kawasan ini, namun yang menjadi pertimbangan serius dan sebagai konsekwensi logis bahwa mereka dapat hidup dari sumberdaya kawasan tanpa mengeksploitasi sumberdaya alam kayu dalam TAHURA. Masyarakat lokal Kaili dalam melakukan interaksi sosial dengan pihak lain dan atau antar sesamanya memberikan kesempatan kepada yang lebih tua dari aspek umur. Dalam pergaulan sehari-hari telah terbiasa dengan kondisi yang berlaku dalam struktur keluarga. Kebiasaan tersebut juga menjadi budaya yang terpelihara dalam komunitas masyarakat ini. Jika terdapat individu yang tidak mematuhi norma atau tatanan, akan terpinggirkan dan tidak mendapat penghargaan di tengah masyarakat, dan dianggap tidak mempunyai etika adat, dalam komunikasi bahasa Kaili Ledo disebut sebagai “le no’ada” atau Kaili Tara menyebutnya “ta no ada”. Budaya ini memberikan gambaran bahwa sesungguhnya masyarakat komunitas Kaili sangat terbuka dengan segala hal karena indikator keterbukaan suatu masyarakat dapat dilihat dari keterbukaannya menerima perubahan dalam berbagai hal. Dalam melakukan aktivitas pertanian, secara tipologi dari tujuh komunitas yang masuk di dalam kawasan TAHURA berbeda-beda berdasarkan kondisi wilayah dan geografisnya. Masyarakat Raranggonau Tanalando, dan Tompu mendiami pegunungan di kawasan Timur dari Kota Palu dengan ketinggian 600- 1150 meter dari permukaan laut mdpl. Komunitas Masyarakat Uentumbu menghuni kawasan hulu DAS Kavatuna, komunitas masyarakat Vatutela menghuni sekitar DAS Vatutela, dan komunitas masyarakat Vintu menghuni kawasan bukit Bulu Bionga dan DAS Vintu. Masyarakat Tanalando dan Tompu adalah kmunitas lokal Kaili berdialek Ledo, masyarakat Uentumbu campuran dari dialek Kaili Ledo dan Kaili Tara ; kawasan ini berbatasan antara kawasan Tompu dan Poboya. Uentumbu merupakan pertemuan kedua wilayah ini, dan sebagian masyarakat Tompu melakukan migrasi, dan demikian pula halnya masyarakat Poboya yang berdialek Tara. To ri Tompu atau komunitas masyarakat yang mendiami kawasan Tompu pegunungan Bulili dengan ketinggian 700-1000 mdpl, sebagian besar penduduknya memeluk agama Kristen dan lainnya agama Islam. Komunitas ini adalah sub-Etnik Kaili Ledo sama dengan Raranggonau, dalam eksistensinya memiliki sistem pengelolaan dengan claim wilayahtanah adat, hutan adat dengan azas kelola bersama untuk kepentingan bersama dan keberlanjutan bagi anak cucu. Aktivitas keadatan yang dapat dilihat disaat menyusun perencanaan pembukaan lahan dengan melakukan hal-hal sebagai berikut : 1. Notava’a adalah kegiatan ritual yang dilakukan oleh pemangku adat yang memahami dan mengenal dengan benar sistem dan pengetahuan bertani. Kegiatan ini dilakukan beberapa orang pemangku adat yang dipimpin oleh pemimpin petani yang disebut Sobo. Sobo adalah totua nu ada ketua pemangku adat yang diangkat petani melalui musyawarah adat atau dalam komunitas masyarakat petani adalah pemimpin petani. Sobo dibantu oleh seorang wakil yang dikenal dengan sebutan Tuntu. Jika seorang petani ingin membuka lahan maka ritual adat yang dapat ikut dalam kelompok upacara tersebut adalah pemilik yang akan membuka lahan setelah dimusyawarahkan di pertemuan pemuka adat. Bahan-bahan dalam acara ritual tersebut yang harus disediakan oleh pemilik yang akan membuka lahan adalah sambulu gana yang meliputi antara lain pinang muda, daun dan buah sirih, kapur sirih satu genggam, gambir, daun taba, daun cocor bebek, dan sesajian lainnya berupa makanan dari beras ketan putih, telur satu butir dan ayam jantan putih satu ekor. Bahan-bahan tersebut disajikan di daun Kambuno dan atau pisang mentah, dan diletakkan pada posisi tengah areal dimana rencana akan dibuat kebun. Selanjutnya Sobo melaksanakan acara ritual dengan diakhiri melepas ayam jantan putih tersebut di areal dimaksud. Proses untuk menunggu apakah areal tersebut dapat dibuka untuk menjadi lahan kebun, ditunggu selama tujuh hari terhitung mulai saat melakukan acara ritual tadi. Informasi atau kontak spritual langsung dilakukan oleh Sobo, petani yang akan membuka areal tersebut datang menanyakan kepada Sobo tentang peluang boleh atau tidak diberikan membuka lahan di areal dimaksud. Jika informasi yang disampaikan Sobo bahwa areal tersebut tidak boleh diganggu, maka petani tadi mencari lokasi lain untuk dilakukan kembali ritual yang namanya Tava’a. 2. Nantalu. Kegiatan yang dilakukan ketika membuka kebun dengan menebang pohon-pohon, dengan syarat bahwa pohon yang besar di atas diameter 100 m tidak boleh ditebang. Untuk mengawali penebangan dilakukan oleh Sobo sebagai prasyarat menandakan lokasi yang telah dilakukan ritualnya tadi telah direstui untuk dijadikan kebun atau ladang. Sobo selain melakukan penebangan awal sebagai pertanda lokasi tersebut dapat dijadikan ladang, sekaligus melaksanakan tugasnya meminta kepada sang pencipta dan penguasa alam untuk memberikan izin dan rejeki pada petani yang bersangkutan agar ladang tersebut menghasilkan produksi yang optimal. Dalam waktu yang bersamaan Sobo menentukan posisi sentral tengahpusat kebun yang disebut Pobanea dengan syarat tanah subur kaisia. 3. Nogane adalah rangkaian ritual dalam setiap akan melakukan aktivitas dan atau akan mengolah lahan, demikian pula halnya akan menerima hasil produksi. Aktivitas tersebut dilakukan jika akan memohon sesuatu kepada sang pencipta baik untuk memproteksi gangguan dari dalam maupun dari luar, agar kesinambungan usahatani dapat berkelanjutan. 4. Novunja adalah kebiasaaan yang dilakukan setelah panen atau biasa disebut dengan ada’ mpae. Aktivitas Novunja hanya dilakukan pada komoditas padi ladang dan atau padi sawah yang pelaksanaannya sudah menjadi aturan adat atau semua aktivitas mengikuti aturan keadatan masing-masing lokasi dan komunitas tertentu. Kearifan-kearifan tersebut berlangsung secara sistematis yang diwariskan dari leluhur secara berurutan dalam keturunan masing-masing keluarga. Dogma keadatan diberikan kepada turunan yang dikomunikasikan secara lisan tanpa dokumen tertulis. Sistem ini telah terkomunikasi dengan teratur dan telah menjadi pemahaman kolektif dalam suatu komunitas masyarakat lokal. Sistem ini secara sistematis diterima dan dipahami baik oleh generasi mereka tanpa kecuali,, suatu keyakinan bila hal ini tidak dilaksanakan akan berdampak pada keluarga dan atau komunitas bersangkutan berupa sanksi adat yang dalam kepercayaan komunitas masyarakat lokal Kaili di Sulawesi Tengah adalah “Nerapi tupu ntana” bila tidak dilaksanakan akan meminta korban. Kultur bertani masyarakat lokal Kaili adalah berladang. Sawah merupakan introduksi atau yang diadopsi dari luar. Sistem bertani ladang di tanah Kaili membagi dua tipe yaitu Talua dan Pampa. Talua secara filosofis, dimaknai sebagai suatu aktivitas bertani yang produksinya akan dapat memenuhi kebutuhan selama satu periode panen. Masyarakat lokal Kaili melakukan sistem pergiliran rotasi berkebun ladang selama satu tahun atau berdasarkan umur padi lokal 5-6 bulan. Pampa adalah sistem usahatani pekarangan dan atau di luar pekarangan. Pampa dalam pertanian modern hampir sama atau identik dengan mix farming sistem usahatani campuran. Pampa dikelola untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara rutin sehari-hari selama menunggu panen padi ladang atau produksi tanaman tahunan dari kebun besar talua. Pampa dikelola dengan luas tidak melebihi dari 0,5 hektar 0-0,5 hektar. Produksi hasil usahatani pampa tidak untuk komersil atau dijual, kecuali konsumen yang datang ke pampa atau ke rumah tangga petani untuk membelinya dengan takaran tertentu. Sistem penukarannya-pun tidak dibatasi dengan nilai tukar uang, bisa barter seperti warga dari wilayah pesisir pantai membawa ikan atau garam, dibarter dengan ubi jalar, singkong, jagung, sayur atau beras padi ladang. Dengan demikian maka indikator pampa bukanlah dalam bentuk barang, benda atau suatu komoditas jenis kayu, rotan, atau tanaman tertentu. Pampa juga merupakan proses atau pola bertani masyarakat Kaili. Sebelum membuka hutan lahan baru, didahului mengerjakan lahan untuk pampa agar dalam proses pembukaan lahan baru tidak kekurangan pangan. Tanaman-tanaman yang ditanam adalah jenis tanaman musiman atau berumur pendek seperti ubi jalar, jagung, singkong, dan sayur-sayuran. Dalam proses pembukaan awal dilakukan dengan ritual adat melalui pemangku adat atau sobo. Kaili Tara dan Kaili Ledo di kawasan TAHURA, berprinsip bahwa hubungan alam dengan manusia pada hakekatnya untuk manusia Mattulada, tt. Perspektif tersebut menggambarkan bahwa alam sekitar bagi masyarakat ini harus diperlakukan dengan baik agar dapat memberikan penghidupan untuk selamanya dan menjamin antar generasi. Makna penggambaran tersebut bahwa alam beserta isinya sumberdaya alam harus dikelola dengan kearifan-kearifan yang menghargai hak-hak alam, karena di alam banyak mahluk lain selain manusia yang membutuhkan sumber penghidupan yang sama, termasuk yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Untuk itu dalam proses pengelolaannya selalu diawali dengan ritual-ritual yang intinya memohon kepada yang kuasa penguasa alam dapat mengizinkannya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan ummat manusia. Jika dalam proses awal terdapat gejala yang mengindikasikan tidak dapat dibuka untuk ladang, maka harus dicari tempat lain untuk ladang yang layak dan terjamin dari aspek ekologis. Komunitas di dalamsekitar kawasan ini mengelola sumberdaya hutan, mengelompokannya dalam lansekap hutan menurut perspektif manfaat dan fungsi dari ekosistem yang ada. Masyarakat adat Kaili Ledo dan Kaili Tara membagi hutan dengan fungsi-fungsi tertentu sebagai berikut :

1. Pangale mbongo dalam perspektif masyarakat adat To ri Tompu, Tori Lando

bo To po Tara, merupakan hutan alam primer yang belum dijamak dan atau disebut dengan hutan alam primer.

2. Pangale yaitu hutan alam yang pernah dijamak manusia, namun telah

kembali pulih hutannya dengan komposisi lengkap seperti semula, atau biasa disebut dengan hutan sekunder.

3. Nava adalah hutan yang telah diberakan selama minimal 10 10 tahun dan

telah ditumbuhi pohon-pohonan dan tegakan yang pohonnya masih dibawah diameter 40 cm.

4. Tinalu adalah bekas kebun yang mengalami masa bera di bawah 10 tahun atau

antara 5-10 tahun.

5. Ova adalah bekas kebun yang telah mengalami masa bera di bawah lima 5

tahun atau dikenal dalam perspektif umum merupakan hutan semak belukar. Ova cukup beragam menurut pemanfaatannya, ciri khasnya adalah telah tumbunh tanaman keras terutama jenis tanaman hortikultura.

6. Olo, kawasan yang dilarang melakukan aktivitas apapun di dalamnya.

Kawasan ini merupakan area yang dijaga sebagai sumber mata air, berelevasi di atas 30 dan zona-zona penyangga dalam beragam perspektif. Selain sebagai zona penyangga, kawasan ini dijaga keutuhannya termasuk sumberdaya tambang, habitat hidupan liar flora dan fauna endemik yang harus mendapat perlindungan secara kolektif yang disepakati dalam musyawarah adat, dan telah menjadi komitmen turun-temurun antar generasi. Lansekap hutan menurut perspektif masyarakat Kaili Ledo Topo Ledo dan Topo Tara, mirip dengan komunitas masyarakat adat Ngata Toro To ri Toro di dataran Lindu Kecamatan Kulawi dan Topo Da’a di pegunungan Marwola dan Gawalise Kecamatan Marawola . To ri Toro membagi lansekap hutan Sangaji, 2001; Adiwibowo, 2005 sebagai berikut :

1. Wanangkiki untuk jenis hutan lumut dan menjadi habitat berbagai satwa dan

hewan-hewan liar. Dalam kategori hutan ini tidak ada aktivitas manusia di sana. Luas Wanangkiki sekitar 2.300 ha.

2. Wana adalah kawasan hutan primer yang belum pernah ada kegiatan

pengolahan kebun. Wana dimanfaatkan khusus untuk pengambilan damar, rotan, wewangian, obat-obatan dan sewaktu-waktu tempat untuk berburu binatang dan mencari ikan di sungai. Pada aliran sungai yang mengandung emas dilakukan pendulangan oleh masyarakat. Luas Wana seluas 11.290 hektar.

3. Pangale yaitu untuk hutan yang berada di pegunungan dan dataran. Pangale

termasuk kategori hutan sekunder karena sudah pernah diolah, tetapi telah menjadi hutan. Pangale disiapkan untuk kebun dan datarannya untuk sawah atau ladang. Pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan, kayu, pandan hutan, obat-obatan dan wewangian. Luas pangale berkisar 2.950 hektar hasil pemetaan. 4. Oma adalah hutan bekas kebun yang sering diolah utamanya untuk tanaman kopi, coklat, dan tanaman tahunan lainnya. Menurut usia pemanfaatannya Oma terdiri atas tiga jenis yaitu a oma ntua yakni bekas kebun yang ditinggalkan antara belasan hingga 20-an tahun, b oma ngura yakni bekas kebun yang ditinggalkan antara tiga hingga belasan tahun, yang merupakan jenis hutan yang lebih muda dibanding oma ntua. Tumbuhan yang tumbuh masih dapat ditebas dengan menggunakan parang, semak dan belukar merupakan ciri khasnya, c oma ngkuku adalah bekas kebun yang berusia antara satu sampai dua tahun, vegetasi dominan rerumputan.

5. Balingkea, yakni bekas kebun yang usianya enam bulan sampai satu tahun,

sering dimanfaatkan untuk palawija. Untuk komunitas Topo Da’a di pegunungan Marawola yang mengelompokkan diri sebagai To Pakava atau To Pinembani Laudjeng, 1998 dan To Kamalisi di pegunungan Gawalise Saleh, 2001, pengelolaannya identik sebagai berikut :

1. Pangale, hutan primer yang belum pernah disentuh atau dikelola untuk kebun.

Vegetasi utama adalah kayu jenis pohon, rotan dan tumbuhan lain. Kawasan hutan tersebut dimanfaatkan untuk tempat buruan binatang dan satwa.

2. Ova, untuk bekas ladang yang telah ditinggalkan antara 5-10 tahun. Jenis

vegetasi utama adalah kayu jenis tihang yang dimanfaatkan untuk kayu bakar dan ramuan rumah, termasuk berbagai jenis rotan. 3. Tinalu, untuk kebun ladang mereka dan, 4. Olo adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat dikelola. Olo dijadikan tempat penyimpan bente sajian-sajian upacara adat sebagai perlindungan terhadap bencana.

5.1.3. Perekonomian Masyarakat Lokal di dalamsekitar Kawasan.

Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah TAHURA SULTENG berbatasan langsung dengan kelurahandesa dalam Wilayah Kota Palu, Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah dan penduduknya sebagian besar memiliki pola kehidupan perkotaan, namun aktivitas penduduk yang berada di sekitar batas areal dan yang berada di dalam kawasan umunya petani ladang yang sumber pendapatannya berasal dari hasil hutan non kayu. Hal ini akan menjadi ancaman dan atau potensi yang besar terhadap kelestarian dan keberlanjutan kawasan TAHURA. Masyarakat yang bermukim di dalam kawasan hutan bermata pencaharian bertani dan memiliki sumber pendapatan beragam. Untuk masyarakat yang bermukim di hulu DAS Kavatuna Lingkungan Uentumbu dan Valiri 80 bersumber dari hasil hutan non kayu, utamanya rotan dan sebagian kayu bakar. Masyarakat yang berada di bukit Poboya bersumber dari usahatani bawang dan sebagian kayu bakar. Berbeda halnya dengan masyarakat Vatutela yang berpendapatan dari hasil produksi perkebunan berupa buah cengkeh, kopi dan kemiri, sebagian dari mengumpul kayu bakar dan mengumpul batu kali. Peternakan domba, kambing dan sapi dijadikan sebagai tabungan bila kondisi mendesak baru dijual seperti membiayai anak sekolah, kuliah dan kebutuhan lain yang sama pentingnya, berupa pesta kawin, sunatan atau hajatan. Masyarakat dusun Tompu dan Raranggonau, aktivitas untuk mencari sumber pendapatan masih bersifat nomaden, selain berkebun tanaman sayur-sayuran, coklat dan padi ladang mereka juga melakukan pencarian rotan, dan hasil dari penjualan buah- buahan seperti durian, langsat, nenas, pepaya dan lain-lain. Pendapatan masyarakat yang bersumber dari hasil produksi rotan dalam perbulannya sebesar Rp. 382.500 tiga ratus delapan puluh dua ribu lima ratus rupiah dari penjualan 450 kg rotan dengan harga Rp. 850 perkilogramnya. Dari pendapatan ini dipotong biaya konsumsi selama dalam hutan 14-21 hari sebanyak Rp. 99.000 sembilan puluh sembilan ribu rupiah. Jadi praktis yang diterima bersih dari hasil merotan sebanyak R. 292.500 dua ratus embilan puluh dua ribu lima ratus rupiah. Pendapatan tersebut bila dibandingkan dengan keadaan saat ini maka strata hidup keluarga masyarakat di hulu DAS Kavatuna lingkungan Uentumbu masih dalam taraf berpendapatan rendah miskin. Untuk pendapatan yang bersumber dari hasil produksi usahatani dan perkebunan adalah coklat, beras padi ladang, sayur-sayuran, ubi jalar, ubi kayu singkong, mentimun, labu, bawang, pepaya dan lain-lain. Setiap kawasan pemukiman membawa produksinya ke pasar yang terdekat, dan sehari menjelang hari pasar semua produk-produk yang akan dibawa ke pasar telah siap dan berkumpul pada satu tempat dari warga masyarakat. Untuk kawasan Tompu berkumpul di Boya Tana Nenggila untuk bersam-sama pergi ke pasar Ngata Baru Kapopo besok harinya. Warga dari kawasan Raranggonau langsung turun ke Pasar Biromaru. Untuk warga Uentumbu dan Valiri turun ke pasar Lasoani, demikian pula halnya bagi warga Poboya. Warga dari Vatutela dan Vintu langsung ke pasar Masomba Palu dan pasar Mamboro dan akses transportasi lebih baik dibanding warga dari lokasi lainnya. Sumber pendapatan komunitas masyarakat Vatutela selain dari hasil usahatani juga berprofesi sebagai pengumpul batu kali. Setiap warga dapat mengumpul 3-4 kubik dalam sehari dengan harga di lokasi sebesar Rp. 2.500–Rp. 4.000 per kubik. Penghasilan yang dapat diperoleh dari profesi mengumpul batu kali rata-rata sebesar Rp. 315.000 Tiga ratus lima belas ribu rupiah, dengan perhitungan rata-rata mengumpul 3,5 kubik dan penghasil sebesar Rp. 10.500 per hari. Komunitas masyarakat Vatutela berkisar 10 dari sumber penghasilan mengumpul batu kali batu pondasi. Pendapatan yang diperoleh dari masing-masing komunitas tidak sama. Komunitas masyarakat di kawasan Poboya baik yang berada di kawasan Hulu Sungai Pondo melintasi Kelurahan Poboya, maupun di kawasan Bunti Pobau yang bersumber dari usahatani bawang, dan pendulang emas berpenghasilan lebih besar dibanding komunitas di kawasan Raranggonau, Tompu, Uentumbu, Vatutela dan Vintu. Penghasilan bersih yang diperoleh dari komunitas 12 masyarakat Bunti Pobau dan DAS Pondo Poboya masing-masing informan rata- rata antara Rp 1.500.000-Rp, 4.500.000, bahkan sampai 9 juta rupiah setiap panen bawang. Dalam setahun dapat berproduksi 3-4 kali panen bergantung iklim dan cuaca. Untuk petani bawang bila curah hujan terlalu tinggi akan berdampak kurang menguntungkan bagi petani bawang di kawasan Poboya. Dengan melihat kondisi ini akan membuka ruang dan peluang yang menjanjikan bagi keberlanjutan Taman Hutan Raya, jika komunitas-komunitas ini diberikan ruang dan kesempatan untuk menggarap lahannya masing-masing secara intensif yang didukung oleh kebijakan politik pembangunan pertanian berbasis komunitas.

5.1.4. Penggunaan Lahan di dalamsekitar Kawasan TAHURA

Lahan kebun masyarakat yang menjadi sumber pendapatan dan penghidupan rumah tangga petani selama ini dan sudah diusahakan secara turun temurun hak de fakto adalah masuk di dalam kawasan TAHURA. Total luasan keseluruhan sejumlah 656,72 hektar dari 529 kepala keluarga dan kebun komunal 30 hektar atau 9,63 dari luas TAHURA SULTENG, yang terdistribusi 12 Komunitas dalam kamus antropologi mendefiniskan sebagai kesatuan sosial yang terutama terikat oleh rasa kesadaran wilayah Koentjaraningrat, 2003. dalam tujuh 7 kawasan yaitu kawasan Bulu Bionga Vintu Kelurahan Layana Indah, Kawasan Vatutela Kelurahan Tondo, Kawasan Bunti Pobau Kelurahan Poboya, Hulu DAS Poboya, kawasan Uentumbu-Valiri Kelurahan Kavatuna, Kawasan Bulu Bulili Tompu Desa Ngata Baru Kapopo dan Kawasan Raranggonau Desa Pumbeve. Lahan-lahan yang dimiliki berada di bukit, hulu sungai dan pegunungan yang sebagian besar di atasnya ditanami tanaman perkebunan tanaman keras, kecuali kawasan Bunti Pobau pada lokasi PPN 25, 26 dan 29, umumnya bercocok tanam bawang merah dan bawang goreng. Dari luasan pemilikan lahan tersebut di dalamnya beragam tanaman yang merupakan akses masyarakat dan sekaligus mendorong keras keinginan masuk di dalam kawasan tersebut selain akses untuk memanen hasil hutan non kayu berupa rotan dan damar. Kepemilikan lahan secara de fakto ini sebesar 9,63 dari total luas TAHURA 7.128 hektar. Kondisi ini perlu dijadikan bahan pertimbangan yang serius bagi pengambil kebijakan di daerah, dimana mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan sumberdaya alam tempat mereka tinggal dan hidup sejak dahulu hingga saat ini. Sumberdaya hutan adalah bagian dari kehidupan dan penghidupan masyarakat lokal adat, dan merupakan estetika, ikatan moral dan memiliki nilai kultural. Dengan demikian maka sumberdaya berupa lahan, segala yang hidup di atasnya adalah pemilikannya jelas dan tentunya akses terhadap sumberdaya tersebut juga tinggi. Pemilikan lahan kebun dari masing-masing kawasan yang masuk dalam Taman Hutan Raya TAHURA Sulawesi Tengah disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12. Luas pemilikan penguasaan lahan kebun warga masyarakat Kaili di lokasi penelitian . Komunitas Masyarakat Jumlah KK Rata-rata pemilikan lahan ha Total Luas lahan ha Vintu Bulu Bionga 74 1,11 82,14 Vatutela 80 0,80 64,00 Uentumbu DAS Mamara, Kavatuna 86 1,08 92,88 Bunti Pobau PPN 25, 26, 29 76 0,75 57,00 DAS PondoPoboya 90 2,3 207,00 Tompu Bulu Bulili 83 1,3 107,90 Raranggonau 40 1,17 45,80 Jumlah 529 656,72 Tabel 12 menunjukkan pemilikan lahan rata-rata setiap kepala keluarga rumah tangga petani seluas 1,21 hektar atau antara 0,75-2,3 hektar. Luasan tersebut dimanfaatkan untuk beragam jenis tanaman untuk pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga petani yang bersanggotakan 4-10 orang. Tabel 13. Jenis Padi Lokal dan tanaman pangansayuran di lokasi Penelitian 13 . No. Jenis Komoditas nama lokal Harga Rp Jangka tanam bln panen Keterangan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Pae Saralonja Pae Sarasabe Pae Pelisi Pae Tolevonu Pae Merianggi koyo Pae Banjarone Pae Toparia Pae Topase Pae Pulumuto Pae Meringgi pulu Pae Toburane Pae Bude Pae Pulungguni Pae Mpoiri 4 3 4 5 5 5 3 5 5 5 4 5 4 3 Tidak dijual atau untuk kebutuhan sendiri konsumsi keluarga. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. Marisa nete Cabe rawit Parancina Tomat Tambue kacang panjang Palola Terung Paku paku-pakuan Tavanjuka Daun melinjo Uvu lauro umbut rotan Robu volo vatu Bambu Toboyo Labu Kacang Kedelai Kacang hijau Buncis Kasubi Singkong Pia Bawang Ntomoloku Ubi jalar Paria Tampai Cangkore Kacang tanah Antimu Ketimun Kula Jahe merah Kuni Kunyit Balintua Laos Valangguni Tumbavani Sereh Sarao Vongu Dale jagung 4.000 1.000 1.000 500 500 500 1.500 1.000 1.000 5.000 2.500 2.000 - 1.000 - 1.000 500 2.500 - 9.000 3.000 2.000 - 500 - - - Tidak menentu Dijual per liter Dijual per mangkok Idem Per 3 buah Per ikat Per ikat Per 1 buah Per loyang Per buah Per kilogram Per liter Per liter Tidak dijual Per ikat Tidak dijual Per 5 buah Per ikat Per kaleng blek Tidak dijual Per kilogram Per kilogram Per kilogram Tidak dijual Per ikat Tidak dijual Tidak dijual. Tidak dijual 13 Pae bahasa daerah Kaili sinonim dengan padi. Tabel 13 menggambarkan jenis tanaman musiman yang diusahakan petani untuk kebutuhan hidup dan sebagai sumber penghasilan rumah tangga adalah padi ladang beragam jenis dan tanaman pangan lainnya. Dari sejumlah Komoditas yang diusahakan tidak semuanya memiliki akses ke pasar, namun disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Komoditas tersebut selain untuk dijadikan sumber penghasilan, juga untuk kebutuhan rumah tangga dan sebagian diberikan kepada keluarga yang datang dari jauh sebagai tanda hubungan kekerabatan. Tanah tersebut merupakan penguasaan melalui warisan leluhur de fakto yang secara adat telah diakui leberadaannya, namun negara melihat pemilikan berdasarkan de jure hak milik yang dibuktikan dengan atribut hukum administratif : izin, sertifikat dan lainnya. Tanah dan penguasaannya merupakan suatu faktor yang sangat krusial bagi masyarakat umumnya, khususnya bagi masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan petani yang dalam perkembangan kehidupannya baik sosial, ekonomi dan politik Bappenas, 1994. Secara umum petani komunitas masyarakat lokal Kaili dari tujuh kawasan ini menggunakan sistem rotasi dalam mengelola ladang, dan mereka telah terbiasa berpindah-pindah dari satu ladang ke ladang lain yang dikuasainya, kemudian memanfaatkan ladang tersebut untuk jenis tanaman tertentu yang dapat menunjang keberlanjutan hidupnya. Sistem berladang mereka berpindah-pindah, namun pemukiman tempat tinggal menetap dan berkumpul dalam satu tempat, namun masih terdapat juga lokasi yang menyebar berdasarkan pola kebun seperti Tompu dan Raranggonau. Untuk lokasi Uentumbu, DAS Pondo, Bunti Pobau, Vatutela dan Vintu cenderung berkumpul dalam satu wilayah pemukiman, kebun hanya tempat untuk mendapatkan nafkah hidup dari usahatani semusim dan produksi tanaman perkebunan. Sistem usahatani masyarakat lokal Kaili di dalam kawasan TAHURA cukup beragam, dari sistem rotasi, semi intensif sampai usahatani intensif. Keragaman pola usahatani ini menggambarkan tingkat keragaman pengetahuan bertani yang juga disebabkan karena faktor geografis dan topografis kawasan masing-masing. Untuk komunitas masyarakat lokal Kaili Tara yang mendiami kawasan Bulu Bionga yang meliputi Vintu dan Vatutela adalah menganut sistem bertani menetap dengan pola semi intensif. Komoditas yang dikembangkan umumnya tanaman perkebunan dan kehutanan sebagian kecil tanaman pangan seperti jagung, singkong, sayur-sayuran dan beternak. Lahan-lahan yang dikelola adalah lahan milik individu keluarga : warisan tetua. Demikian pula halnya pada masyarakat lokal Kaili Tara di Uentumbu Kavatuna. Pola pertaniannya adalah semi intensif dengan sumber penghasilan menetap adalah rotan hasil hutan non kayu, dan beternak. Untuk kawasan Bunti Pobau adalah komunitas masyarakat lokal Kaili Tara yang mendiami kawasan pegunungan Masomba, dan DAS Pondo Poboya menggunakan sistem pengelolaan intensif dengan komoditas yang dikembangkan adalah tanaman bawang. Petani di lokasi ini menggunakan sistem bertani intensif dengan sarana produksi dan sistem pertanaman yang telah mengikuti pola usahatani intensif dan panen rutin setiap tiga bulan. Berbeda halnya dengan komunitas masyarakat lokal Kaili Ledo di Tompu dan Raranggonau. Pola bertani masyaralat topo Ledo di Raranggonau dan Tompu adalah menggunakan sistem rotasi untuk lahan-lahan perladangan, dan lahan-lahan pekarangan dilakukan dengan pola tradisional. Lahan pekarangan dalam perspektif masyarakat Kaili Ledo di Tompu dan Raranggonau menyebutnya sebagai pampa. Lokasi pampa dapat berada di luar pemukiman dan atau di dekat kebun talua, dengan catatan luasnya tidak melebihi atau dibawah 0,5 ha dan tanaman yang dikembangkan adalah tanaman yang berumur pendek untuk konsumsi rumah tangga sehari-hari tanaman campuran. Pengelolaan pampa dilakukan secara rutin. Lokasi yang ditanami dengan tanaman tahunan adalah tanah yang diberakan, dan akan diolah kembali setelah beberapa tahun biasanya minimal 5 tahun 14 . Akses terhadap pemanfaatan sumberdaya dalam kawasan yang telah berlangsung selama ini, kini berbeda dengan sebelumnya. Masyarakat lokal Kaili petani merasa terhambat dan terganggu dengan penyampaian dan pengumuman yang disampaikan dari petugas lapangan dari Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah yang menegaskan bahwa setiuap warga masyarakat yang memotong cabang dan ranting pohon di dalam kawasan akan dikenakan denda percabangnya Rp. 50.000 lima puluh ribu rupiah 15 . 14 Hasil wawancara dengan Hi. Djadja 63 th, tokoh adat Vintu, tanggal 17 Mei 2006 ; Tanah yang diberakan biasanya minimal 5 tahun bar udiolah lagi. Maksud pemberakan adalah untuk mengembalikan kesuburan tanah yang telah digunakan untuk tanaman semusim seperti padi dan jagung. 15 Hasil wawancara dengan Muslima 67 th dan warga masyarakat dalam pertemuan, 25 Juli 2006 di Bantaya Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Timur. Tanaman perkebunan dan buah-buhan bagi petani juga merupakan komoditas yang menjadi perhatian untuk penghasilan jangka panjang dan memiliki akses pasar yang besar seperti disajikan dalam Tabel 14. Tabel 14. Jenis tanaman perkebunan dan hortikultura di lokasi penelitian . Jenis Tanaman Musim Panen Harga Rp Keterangan Kaluku Kelapa Tidak menentu Tidak dijual Biau Kemiri 3 kali tahun 7.000 Per kilogram Kopi 3 kali tahun 4.000 Per liter Cengkeh 2 kalitahun 10.000 Per kilogram Tule Air aren 1 kaliminggu 3.000 Per botol Kalosu Pinang Tidak menentu 1.000 Per 5 buah Bou Buah sirih Tidak menentu 1.000 Per 5 buah Soklati Cocoa Tidak menentu 15.000 Per kilogram Loka Pisang Tidak menentu 3.000 Per sisir Taipa Mangga 1 kalitahun 1.000 Per 5 buah Lonja Langsat 1 kalitahun 2.000 Per liter Bunga pepaya Tidak menentu 500 Per mangkok Ganaga Nangka Tidak menentu - Tidak dijual Tara’a Nenas Tidak menentu - Tidak dijual Duria Durian Tidak menentu - Tidak dijual Tanaman tersebut ditanam pada lahan-lahan kebun dan lahan pekarangan. Untuk beberapa jenis tanaman perkebunan di tanam pada lahan-lahan berlereng dan lahan-lahan dekat dengan sumber air seperti tanaman kemiri, durian dan mangga ; sementara tanaman nangka dan nenas umumnya ditanam pada pinggir kebun atau tanda batas dengan lahan-lahan lain. Hasil produksi tanaman tersebut di atas dijual di tempat dan sebagian kecil dibawa ke pasar. Harga yang tercantum adalah harga berlaku di tingkat petani. Produksi yang bersumber dari sumberdaya hutan adalah rotan. Rotan merupakan sumber pendapatan masyarakat yang umumnya enam komunitas masyarakat Vintu, Vatutela, DAS Poboya, Uentumbu, Tompu dan Rarangonau yang disajikan dalam Tabel 15. Tabel 15. Jenis Rotan Hasil Produksi dari Kawasan Hutan TAHURA dan sekitarnya . No. Jenis Rotan nama lokal. Harga Pasar Lokal Rp 1. Lauro Langguku Rotan Lambang 90.000100 kg 2. Lauro Barabata Rotan Batang 110.000100 kg 3. Lauro Leluo Rotan Batang 110.000100 kg 4. Lauro Manggauva Rotan Uban 90.000100 kg 5. Lauro Patani Rotan Tohiti 80.000100 kg 6. Lauro Vatu Rotan Tohiti 80.000100 kg 7. Lauro Nanga Rotan Batang Merah 80.000100 kg 8. Lauro Ngguluvi Rotan Noko 80.000100 kg 9. Lauro Laru Rotan Ombol 95.000100 kg 10. Lauro Lere 95.000100 kg 11. Lauro Mputi 2.000ikat 12. Lauro Ronti 2.000ikat 13. Lauro Matangii 80.000100 kg 14. Lauro Bao 2.000ikat 15. Lauro Ape 2.000ikat 16. Lauro Nggarea 2.000ikat 17. Lauro Paloe 2.000ikat 18. Lauro Njanepa 2.000ikat 19. Lauro Boga 2.000ikat Sumber : Masyarakat Tompu, Raranggonau dan Uentumbu, Juni 2006 Selain aktivitas bertani, merotan, mendulang emas dan mengumpul batu kali, warga masyarakat memiliki dan memelihara ternak. Ternak-ternak digembalakan pada padang penggembalaan di sekitar dan dalam kawasan TAHURA pada siang hari dan dimasukkan di kandang pada malam hari. Hewan ternak yang digembalakan meliputi ternak domba, kambing, sapi, dan sebagian kecil pemilik ternak kuda. Jumlah ternak yang digembalakan di sekitar dan dalam kawasan TAHURA disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16. Jumlah dan Jenis Ternak yang digembalakan di sekitardalam kawasan TAHURA SULTENG. Jenis Ternak Ekor DesaKelurahan Lokasi Sapi Kambing Domba Kuda Layana IndahVintu 112 520 95 23 TondoVatutela 425 875 180 14 KavatunaUentumbu 516 4.640 2.125 50 PoboyaBunti PobauHulu DAS Pondo 475 220 381 32 Ngata BaruTompu 35 500 128 - PumbeveRaranggonau 140 366 205 - Jumlah 1.703 7.121 3.114 119 Sumber : BPS, Kecamatan Dalam Angka, 2005. Dari data tersebut di atas menggambarkan bahwa populasi ternak peliharaan cukup besar yang membutuhkan areal yang luas. Daya tampung dalam setiap unit ternak membutuhkan lahan seluas 10.000 m24 ekor ternak sapi. Setiap jenis ternak membutuhkan daya tampung yang berbeda dan ketersediaan pakan yang berbeda pula. Untuk ternak domba dan kambing sebanyak 6-10 unit ternak per hektarnya. Dengan demikian jumlah ternak kambing dan domba yang berjumlah 10.235 ekor membutuhkan luasan lahan untuk padang penggembalaan sekitar antara 1.023,5 -1.705,8 hektar, dan ternak sapi membutuhkan luasan lahan sebesar 425,75 hektar 3-4 unit ternakha. Dengan demikian maka akses penggembalaan terhadap sumberdaya lahan di dalam kawasan TAHURA berkisar sebesar antara 1.448,75 - 2.131,55 hektar. Dengan demikian akses nasyarakat untuk lahan penggembalaan seluas antara 20,32-29,90 . Ternak bagi masyarakat di kawasan Taman Hutan Raya merupakan sumber pendapatan dan dapat berfungsi ganda, bergantung situasi yang dihadapi keluarga petani, dijual disaat mendesak.

5.2. Aspek Historis TAHURA SULTENG