Latar Belakang Analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya alam oleh masyarakat kaili di taman hutan raya (TAHURA), Sulawesi Tengah

BAB. I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Taman Hutan Raya TAHURA adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi 1 . Dalam perspektif ini kawasan yang akan ditetapkan menjadi TAHURA idealnya bebas dari kegiatan rutinitas masyarakat dan pemukiman penduduk, namun kenyataan dari 17 wilayah di Indonesia yang dijadikan TAHURA dengan luasan 343.454,41 hektar, kebanyakan menuai permasalahan dengan penduduk lokal yang secara de fakto menempati kawasan sebelum penetapan suatu kawasan dilakukan DepHut, 2004. TAHURA SULTENG 2 merupakan salah satu kawasan pelestarian yang dikukuhkan dengan KepMenHut No. 24Kpts-II1999, dengan luas 7.128 ha atau 0,186 dari total luas hutan Sulawesi Tengah 3.833.330 ha atau sekitar 1,174 dari luas kawasan konservasi 607.100 ha di Sulawesi Tengah DepHut, 2004 atau berkisar 0,104 dari luas Sulawesi Tengah 68.316,02 km2. Secara administratif kawasan tersebut termasuk dalam dua wilayah daerah tingkat II yaitu Kabupaten Donggala seluas 2.431,73 ha 34,115 dan Kota Palu seluas 4.696,27 ha 65,885 . Dari aspek historisnya kawasan ini merupakan penggabungan dari tiga kawasan, meliputi Cagar Alam Poboya seluas 1.000 ha, Hutan Lindung Paneki 7.000 ha dan lokasi PPN 30 seluas 100 ha, melalui Keputusan MenHut No. 461Kpts-II1995 dengan nama TAHURA PALU. 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya. 2 Secara geografis wilayahnya berada pada posisi antara 119 55’ - 120 0’ 0” BT dan 0 48’ -0 59 LS. Pada bagian Utara dibatasi oleh oleh Wilayah Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala Hutan Produksi Terbatas, bagian Timur dengan Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung, bagian Selatan berbatas dengan Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala Hutan Produksi Terbatas, dan bagian Barat berbatas dengan Desa Ngata Baru Kapopo Kabupaten Donggala, Kelurahan Tondo dan Poboya Kecamatan Palu Timur ; Kelurahan Kavatuna Kecamatan Palu Selatan. Jarak dari Kota Palu sekitar 4-11 km arah Timur dengan jalur aksesibilitas melalui Universitas Tadulako Vatutela, Kelurahan Poboya, Desa Ngata Baru Kapopo, Gumbasa Paneki dan Kelurahan Layana Indah Vindu. Pertimbangan ditetapkannya wilayah ini menjadi TAHURA antara lain : a untuk melindungi flora dan fauna eksotik dan endemik yang mendekati kepunahan, b sebagai daerah penyangga buffer area untuk Kota Palu dan sekitarnya, c sebagai pensuplai air bagi Daerah Aliran Sungai DAS Poboya, Paneki, Mamara- Ngia dan Vatutela, d keadaan fisik tanah yang labil lempung berpasir yang rawan erosi dan gundul dan e sebagai pengatur iklim mikro. Aspek-aspek tersebut merupakan isi sumberdaya TAHURA yang dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu sumberdaya non hayati, sumberdaya hayati dan sumberdaya manusia Mantjoro, 1999. Ketiga kelompok ini berada dalam satu sistem kehidupan bersama ecosystem yang seimbang dan serasi. Sumberdaya non hayati dan hayati berperan sebagai pemasok supplier dan sumberdaya manusia sebagai konsumer dan pengelola. Fungsi dan manfaat sumberdaya alam hutan bersifat interpretatif, bergantung cara pandang individu atau kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap hutan tersebut. Kegagalan sistem pengelolaan hutan seperti sekarang ini berakibat pada turunnya kualitas hutan serta kesejahteraan masyarakat dalamsekitar hutan semakin termarginalkan. Kebijakan penetapan TAHURA SULTENG berimplikasi pada beragam persepsi stakeholders dan masyarakat lokal Kaili di dalamsekitar kawasan. Perspektif yang berbeda ini disebabkan tidak terjalinnya komunikasi kedua pihak, antar pengelolan pemerintah dengan masyarakat lokal Kaili. Situasinya menjadi krusial tatkala pemerintah melakukan pengukuran dan pemasangan tapal batas tahun 1997, beberapa tapal batas ditempatkan dalam kebun-kebun dan di halaman pekarangan warga masyarakat lokal 3 . Penentangan semakin terbuka ketika PT. Citra Palu Mineral Rio Tinto Group melakukan eksplorasi tambang emas di dalam Kawasan Cagar Alam Poboya yang seharusnya dalam persepsi normatif masyarakat dilindungi dari berbagai bentuk. Keyakinan semakin kuat dan membuktikan ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyatnya, hanya mementingkan pihak kapital swasta. 3 Sanarudin 56 th, tenaga kerja harian pemasangan tapal batas thn 1997, wawancara 19 Juli 2006 di Uentumbu Kelurahan Kavatuna Kecamatan Palu Selatan. Keadaan tersebut mempengaruhi sistem sosial masyarakat lokal Kaili yang berjumlah 529 KK 2.416 jiwa atau sekitar 10,55 dari total jumlah jiwa tiga wilayah kecamatan 22.889 jiwa yang termasuk dalam wilayah TAHURA. Masyarakat lokal Kaili secara de fakto telah terbangun sistem itegratif dengan alam kehidupannya secara lintas generasi, namun kenyataan menunujukkan lain, kenyamanan terganggu tatkala kawasan ini diklaim menjadi kawasan pelestarian yang membatasi ruang gerak mereka untuk mengakses sumberdaya hasil kebun yang berbeda dari sebelumnya. Masyarakat lokal Kaili yang tinggal dalamsekitar kawasan ini memiliki hubungan dialektika yang erat dengan lingkungan sumberdaya alam hutan. Hutan dalam perspektif masyarakat lokal Kaili bukan hanya menjadi tempat tinggal dan sumber pemenuhan kebutuhan hidup, namun memiliki fungsi sosial, budaya dan religiusitas Murtijo dan Nugraha, 2005. Nilai-nilai spiritual religiusitas dalam masyarakat menjalin ikatan batin dan emosional yang kuat dengan sumberdaya alam Kartodihardjo, 2006. Keadaan ini dapat diamati dalam masyarakat lokal Kaili dari beragam upacara adat, dan ritual yang selalu mengiringi kegiatan praktek bertani ladang yang interaksinya berulang-ulang. Interaksi yang berulang tersebut, maka terbangun suatu sistem tatanan sosial budaya masyarakat yang menyatu dengan ekosistem hutan 4 . Ritual adat dimulai dari pemilihan lahan 5 , pembukaan lahan, pembersihan noropu, penanaman sampai pemanenan. Kearifan- kearifan tersebut dapat berlangsung secara sistematis jika institusi kelembagaan 6 4 Hutan adalah bagian integral, merupakan kesatuan ekosistem kehidupan masyarakat yang hidup di dalamnya. Hubungan interaksi antar masyarakat dan lingkungan hutan telah berlangsung berabad- abad dari generasi ke generasi. Untuk mempertahankan kehidupannya, masyarakat mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam, dan hutan menjadi penyedia lahan untuk pertanian ladang dan pemenuhan kebutuhan hidup Nugraha, 2005. 5 Laudjeng, Hedar 2003, adat pombui di rumpun Kaili Da’a memperlihatkan hubungan erat antar pengelolaan hutan dengan kepercayaan religius khususnya dalam pemilihan lahan. Proses pemilihan lahan oleh petani disampaikan kepada pimpinan petani sobo. Setelah disetujui Sobo, baru dilakukan bersama dengan pemilik untuk mempersiapkan ritual-ritual yang harus dipenuhi petani berupa adat Tava’a Lahandu, 2002. Adat Tava’a dilakukan tujuh hari sebelum perencanaan pembukaan lahan. Setelah tujuh hari pelaksanaan adat Tava’a terdapat fenomena alam yang berubah di lokasi rencana pembukaan kebun tersebut, maka Sobo akan melakukan pemindahan lokasi kebun yang lebih layak menurut perspektif adat Tava’a. 6 Kelembagaan adalah institusi masyarakat adat, kelompok yang terkait, untuk mengatur anggotanya baik secara teknis maupun aspek nilai-nilai moral dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam TAHURA SULTENG. Masyarakat adat menurut Ter Haar dalam Fay dkk 2000 masyarakat seperti kelembagaan adat setempat kuat. Perilaku masyarakat termasuk pengaturan pola usahatani, hubungan sosial baik antara individu, antar kelompok maupun dalam organisasi yang sama. Kelembagaan adat merupakan satu-satunya yang dihargai, didengar dan ditaati anggota masyarakatnya dalam berbagai hal termasuk pola mengakses sumberdaya apalagi merubah struktur permukaan tanah dan tutupan lahan seperti hutan. Akses 7 masyarakat lokal Kaili di wilayah ini telah berlangsung ratusan tahun, namun dengan adanya klaim pemerintah, maka di dalam wilayah ini terdapat kelompok kepemilikan sumberdaya yaitu kepemilikan comunal communal property, kepemilikan warga private dan kepemilikan negara state property. Jika dikelompokkan terdapat dua sifat kepemilikan yaitu kepemilikan de fakto dan de jure. Adanya dua kepemilikan tersebut akan menimbulkan persoalan tentang sumber dari legitimasi klaim atas sumberdaya lahan, tanah, hutan. Mereka mendapatkan akses dan menguasai sebidang tanah, sumberdaya alam berdasarkan klaim de jure, menggunakan izin pemerintah dan aturan hukum yang berlaku untuk legitimasi kepemilikannya Affif, 2002. Dalam suatu kepemilikan terdapat beberapa hak boundle right dan menunjukkan berbagai hubungan sosial Ribot dan Peluso, 2003 ; Ostrom dalam Kartodihardjo, 2003. Dari aspek politik ekonomi, penting ketika membagi aktivitas dalam hubungan sosial menjadi pengguna gain, kendali akses control acces, dan pemelihara akses maintan acces. Ribot dan Peluso 2003 menjelaskan, kendali akses merupakan kemampuan untuk memediasi akses yang dimiliki pihak lain ; sementara kendali akses itu sendiri adalah memeriksa, mengatur dan menggerakkan aktivitas. adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, idiologi, ekonomi politik, budaya dan sosial yang khas. 7 Akses adalah kemampuan untuk mendapatkan benefit dari sesuatu, termasuk benda, orang ataupun lembaga Ribot Peluso, 2003. Untuk mengelola mekanisme akses seperti yang disebutkan di atas, dibutuhkan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan dari beragam pemangku. Hal ini dapat berjalan jika pengambil kebijakan di daerah dapat memahami dan mengimplementasikannya dengan memperhatikan beragam kepentingan melalui pendekatan holistik. Menurut Dunn 2000, Darusman dkk 2003, Kartodihardjo dan Wollenberg 2003 bahwa kebijakan merupakan bentuk intervensi pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam yang memiliki karakteristik yaitu 1 suatu kebijakan harus didukung oleh sistem. Kebijakan tidak eksis tunggal, tetapi berantai, terikat dengan kebijakan lainnya. Kebijakan pengelolaan TAHURA harus sinkron dengan kebijakan tata ruang wilayah propinsi seperti ruang penggembalaan bagi ternak rakyat, kawasan pemanfaatan bagi petani dan pemanfaatan hasil hutan, 2 Keberhasilan suatu kebijakan sehingga perubahan- perubahan kebijakan harus didukung oleh sistem yang baik, 3 Kebijakan mempengaruhi sesuatu keadaan yang almost imposible menjadi possible, dan 4 Kebijakan yang baik didukung oleh informasi yang lengkap dan akurat. Secara konseptual terdapat dua aturan hukum dalam pengaturan kegiatan hutan yaitu hukum formal positif sebagai peraturan pemerintah serta hukum adat yang menjadi acuan masyarakat Nugraha dan Iskandar, 2004. Kecenderungan yang berkembang di lapangan berkaitan dengan landasan aturan kegiatan pengelolaan hutan yaitu dominasi hukum posistif formal sebagai produk peraturan pemerintah penguasa. Sementara kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat merupakan sebuah aturan sosial yang berjalan sejak sebelum peraturan positif ada. Dalam konteks penetapan kebijakan pengelolaan hutan secara konseptual tidak dapat dipisahkan dari sistem, tata nilai, norma-norma atau paradigma-paradigma yang menjadi latar belakang budaya para birokrat pembuat kebijakan. Bagaimana kebijakan pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili dan mekanisme akses dijalankan dalam pengelolaan suatu Taman Hutan Raya, telah dilakukan penelitian tentang analisis kebijakan 8 pengelolaan akses sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.

1.2. Kerangka Pemikiran