Pertanyaan Penelitian Analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya alam oleh masyarakat kaili di taman hutan raya (TAHURA), Sulawesi Tengah

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili di SULTENG.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Sejak ditetapkannya kawasan Poboya menjadi Cagar Alam seluas 1.000 ha, Pekan Penghijauan Nasional 30 seluas 100 ha menjadi Wisata Alam Kapopo dan kawasan Paneki menjadi Hutan Lindung seluas 7.000 ha, yang dihuni tujuh komunitas masyarakat lokal Kaili sebanyak berkisar 529 kepala keluarga 2.416 jiwa, telah menjadi konsensus Nasional yang harus dilaksanakan di daerah melalui berbagai program dan upaya pemerintah daerah. Cagar Alam Poboya program Kebijakan TAHURA SULTENG UU No.51990;UU No.411999 PP No. 621998;PP No.681998 PP No. 342002;PP No.62007 KepMenHut No. 24Kpts- II1999 PerDa No. 22004 Pemerintah Masyarakat Swasta P.Tinggi LSM Pelestarian Pemanfaatan SDA Ekososekbud Pelestarian Htn Lindung Cagar Alam TAHURA Potensi konflik kepentingan Komunitas masy. adat Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses SDA awalnya diintroduksi tanaman kayu cendana yang berasal dari daerah lain di Indonesia dan salah satu mega proyek di zaman itu hingga menyeret Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah dalam penjara karena kasus dana reboisasi. Proyek penghijauan pada Tahun 1980-an adalah primadona dan sumber mendapatkan keuntungan bagi pihak tertentu, khususnya pejabat di daerah. Melalui program tersebut berbagai upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam mencari dan membebaskan lokasi untuk penghijauan. Salah satu strategi yang dilakukan adalah mengambil alih tanah milik masyarakat dengan alasan tanah negara. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan pemerintah pusat, dan pertanda kesiapan daerah untuk mempersiapkan segala sesuatunya menurut yang dipersyaratkan oleh pemerintah pusat, termasuk mempersiapkan dan menunjukkan lokasi. Dengan melalui kekuatan kekuasaan pada saat itu, maka pada Tahun 1987 pemerintah daerah mempersiapkan TAHURA dengan jalan : Pertama, mengeluarkan kebijakan untuk wilayah Utara Kota Palu supaya lahan-lahantanah baik milik negara maupun tanah hak milik dalam pengawasan pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Tengah yang dikoordinir oleh Bappeda Propinsi dengan dasar hukum Keputusan Gubernur Nomor SK.239591IX1987 tentang pengawasan tanah Bumi Roviga 9 . Kedua, Tanah negara seluas 6.750 ha baik tanah negara maupun hak milik berada dalam pengawasan pemda, dan jika masyarakat yang akan maupun telah mengelola harus melaporkan kepada pemerintah daerah cq Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah. Ketiga, tidak dibenarkan masyarakat untuk mematok, memagar baik yang telah menguasai maupun akan menguasai tanah tersebut. Keinginan besar menjadikan wilayah ini sebagai kawasan pelestarian dengan nama Taman Hutan Raya oleh pemerintah belum surut. Usulan Gubernur Sulawesi Tengah kepada Menteri Kehutanan dengan Nomor Surat 522.52835Ro.BKLH, tertanggal 13 Juli 1988 untuk menindaklanjuti SK. 239591IX1987. Perihal surat tersebut untuk meminta percepatan proses pembangunan Taman Hutan Raya Lembah Palu. Sebelumnya Kepala Kantor Wilayah Deparetemen Kehutanan Propinsi 9 Tanah yang dimaksud adalah Wilayah TAHURA bagian Utara sekarang yang meliputi Vintu, kawasan Bulu Bionga dan sekitarnya. Sulawesi Tengah membentuk tim orientasi dengan Surat Perintah Tugas No. 5.98II- 5KW-PL88, tertanggal 11 Pebruari 1988 dengan susunan tim yang diwakili masing- masing instansi : BKSDA VI Sulawesi, Kanwil Kehutanan, Dinas Kehutanan, RLKT, staf SBIPHUT dan KCDK Donggala. Konsekwensi dari suatu usulan daerah, maka pemerintah melalui Menteri Kehutanan Republik Indonesia menindaklanjuti dalam bentuk Surat Keputusan No. 461Kpts-II1995 menetapkan, mengubah fungsi cagar alam Poboya seluas 1.000 seribu hektar, komplek hutan lindung Paneki seluas 7.000 tujuh ribu hektar dan lokasi PPN XXX seluas 100 seratus hektar yang terletak di areal hutan tetap Raranggonau Kabupaten Daerah Tingkat II Donggala Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah menjadi Taman Hutan Raya TAHURA dengan nama sementara Taman Hutan Raya Palu. Perubahan fungsi tersebut berjalan sepihak, yaitu proses pelaksanaan aktivitas di dalam kawasan hingga keputusannya dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan elemen masyarakat penghuni di dalam kawasan dan stakeholder pemangku kepentingan. Informasi tersebut belum santer dibicarakan di kalangan masyarakat karena komunikasi yang tidak terjalin dan simpangsiurnya informasi yang sampai dengan masyarakat lokal Kaili dalamsekitar kawasan hutan TAHURA. Proses administratif pengusulan untuk menjadi TAHURA tetap berlanjut, empat tahun kemudian keluar surat untuk pengukuhannya melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 24Kpts-II1999, menetapkan kelompok Hutan TAHURA SULTENG seluas 7.128 tujuh ribu seratus dua puluh delapan hektar, terletak di Kecamatan Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah dengan Nama TAHURA SULTENG. Keputusan tersebut mengacu pada Berita Acara Tata Kelompok Hutan Sulteng, tertanggal 13 Juni 1997. Dalam kurung waktu antara tahun 1987 – 1995 ; 1995 – 1999, dan 1999 sampai sekarang cukup banyak menuai permasalahan yang berbeda setiap komunitas masyarakat. Informasi yang disajikan disini adalah hasil penuturan informan aktor yang merasakan langsung proses perkembangan berdasarkan tahapan-tahapan waktu tersebut. Kurung waktu tahun 1987-1995 proses pencarian lokasi untuk dijadikan Taman Hutan Raya yang dilakukan dengan berbagai cara seperti yang dikemukakan di atas implementasi kebijakan Gubernur Nomor SK. 239591IX1987. Tahun 1995-1999, sebelum proses pengukuhan, berbagai upaya dan rencana yang dilakukan pihak pemerintah daerah kepada masyarakat khususnya di wilayah Kecamatan Palu Timur dan bagian Utara Kota Palu. Tahun 1997-1998 proses rencana pemindahan penduduk Vatutela relokasi penduduk, namun tidak berhasil karena terjadi penolakan kolektif komunitas masyarakat. Masyarakat menolak karena wilayah ini adalah tanah kelahiran dan secara emosional memiliki keterikatan batiniah yang telah menyatu dengan alam dan lingkungannya. Hal yang sama diperlakukan bagi masyarakat komunitas Poboya yang kehidupannya bergantung pada sumberdaya alam kawasan yang saat ini menjadi TAHURA, juga terjadi penolakan dan perlawanan. Tahun 1999 terjadi klaim wilayah oleh pemerintah menjadi kawasan pelestarian yang serta merta melarang masyarakat untuk melakukan aktivitas di dalam kawasan yang telah ditata batas, tanpa memberikan sosialisasi dan informasi yang jelas sebelum dilakukan pengukuhan. Situasi ini masyarakat menganggap pemerintah tidak lagi berpihak pada rakyat, aktivitas ekonomi pada sektor produksi tertentu telah terhalang dan terganggu, proses pembiayaan rumah tangga petani terusik karena telah dilarang melakukan pemanenan hasil produksi perkebunan dan pertanian yang terdapat dalam kawasan TAHURA. Hal tersebut mengindikasikan telah terjadi proses penindasan terhadap kaum lemah masyarakat miskin yang memiliki keterbatasan dalam segala aspek. Kondisi ini diperburuk lagi dengan masuknya PT. Citra Palu Mineral untuk melakukan eksplorasi tambang emas di Cagar Alam Poboya sekarang TAHURA. Konflik-pun terjadi antar masyarakat yang mempertahankan kawasaan agar tetap terjaga dan kelompok elit yang berpihak pada investor. Kenyataan empirik di atas berimplikasi pada proses pengelolaan TAHURA hingga sekarang menuai permasalahan yang sesungguhnya dapat diselesaikan jika pengelola transparan dan komunikatif dengan masyarakat setempat. Beberapa pertanyaan yang harus dijawab dan dijelaskan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimanakah prosesnya masyarakat lokal Kaili mengakses sumberdaya alam yang telah menjadi haknya secara de fakto, ketika pemerintah melakukan klaim dan pelarangan tatkala wilayah ini ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya. 2. Bagaimana upaya dari masyarakat lokal Kaili dan stakeholders ketika diketahui memiliki kelemahan dalam melakukan bargaining position baik secara personality, kelompok maupun institusi kelembagaan. 3. Bagaimana upaya masyarakat lokal Kaili dalam mengatasi kebutuhan rumah tangganya ketika pendapatan yang diperoleh tidak mencukupi rendah dari sebelumhnya. 4. Bagaimanakah solusinya jika instansi pemerintah sebagai leading sektor stakeholder kunci pengelolaan Taman Hutan Raya tidak menjalankan wewenang dan fungsinya serta merubah paradigma pengelolaan yang proporsional. 5. Bagaimanakah langkah yang seharusnya dilakukan jika peraturan perundang- undangan tidak sinkron antar satu dengan lainnya secara hirarkhis, termasuk pelaksanaan operasional yang tidak mengacu dengan peraturan di atasnya, bahkan tidak mencantumkan mekanisme yang jelas mengenai pengelolaan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.

1.4. Tujuan Penelitian