sosial kelas, gender, ras dan lain sebagainya, terhadap tanah dan kekayaan alam yang berada diatasnya dan apa yang terkandung didalamnya.
Tabel 1. Rekapitulasi Konflik Sumberdaya Alam SDA Tahun 1990-1996
No. Sumber Konflik
Jumlah Kasus
Jenis Konflik
Pelaku Konflik
1. HPH 8741 Pembakaran
areal, tumpang tindih status
lahan, konflik sosial Perusahaan, masyarakat
lokal dan pemerintah pusatdaerah
2. HTI 5757 Perubahan
status penggunaan kawasan,
mark-up dana reboisasi, konflik sosial
Perusahaan, masyarakat lokal dan pemerintah
pusatdaerah 3.
Perhutani 3097
Pencurian kayu, penjarahan lahan dan jati,
penyerangan petugas Perhutani, masyarakat
lokal dan komplotan pencuri
4. Tanah
1492 Sengketa lahan dan tanah,
penyalahgunaan HGU BPN, masyarakat,
Pemda dan perusahaan swasta
5. Taman Nasional
1492 Penebangan liar, tumpang
tindih status lahan, perladangan liar dan
penjarahan Masyarakat lokal, taman
nasional dan PKA 6.
Perkebunan 405
Penjarahan hasil kebun dan penyerobotan lahan
masyarakat Perusahaan negara,
perusahaan swasta dan masyarakat lokal
7. Etnis 331 Perang
antar etnis,
penyingkiran etnis, konflik sosial antara pendatang
dan penduduk asli Berbagai macam
kelompok etnis, perusahaan dan
pemerintah
Sumber: Pusat Dokumentasi dan Informasi Departemen Kehutanan dalam LATIN 1998 dalam Muhshi 2004
C. Kawasan Hutan Lindung
Menurut UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Keppres RI No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kawasan hutan lindung adalah
kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya dan memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Penentuan suatu kawasan hutan menjadi hutan lindung
berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837 tahun 1980, di daerah perbukitan atau pegunungan yaitu dengan cara skoring; menurut keadaan lereng bobot 20, kepekaan
terhadap erosi jenis tanah bobot 15, dan intensitas curah hujan bobot 10. Jika skor
175, maka kawasan hutan tersebut perlu dijadikan, dibina dan dipertahankan sebagai hutan lindung Soerianegara, 1996. Sedangkan menurut Keppres RI No. 32
tahun 1990, kriteria hutan lindung adalah memiliki lereng lapangan 40, dan atau
mempunyai jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi pada lereng lapangan 15 dan atau kawasan tersebut memiliki ketinggian
2000 mdpl Soerianegara, 1996. Pengelolaan kawasan hutan lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan
pengendalian serta pemanfaatan kawasan hutan lindung. Pengelolaan ini menurut Keppres RI No. 32 tahun 1990 bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi
lingkungan hidup. Sasaran pengelolaan kawasan lindung adalah meningkatkan fungsi lindung terhadap air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa
serta mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam. Menurut Keppres RI No. 32 tahun 1990, perlindungan terhadap kawasan hutan
lindung dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air
tanah, air permukaan. Menurut UU RI No. 41 tahun 1999 pasal 26 ayat 1 dan 2 dan PP RI No. 34
tahun 2002 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan pasal 18-21, pemanfaatan hutan
lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu HHNK. Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan
melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pemungutan HHNK. Terdapat larangan melakukan kegiatan
budidaya kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung berdasar Keppres RI No. 32 tahun 1990. Dengan tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang bersangkutan di
dalam kawasan lindung dapat dilakukan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam. Penggunaan kawasan
hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan tercantum dalam pasal 38 ayat 3 UU RI No. 41 tahun 1999. Dalam UU No. 41 pasal 38 ayat 4 tahun 1999 juga menegaskan bahwa pada kawasan
lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
D. Analisis Stakeholders