Gambar 6. Jalan logging yang membelah HLGL Saat ini, jalan logging tersebut digunakan oleh perusahaan PT Rizky Kacida Reana
dalam pengangkutan kayu log serta sebagai akses keluar kawasan bagi masyarakat Dusun Muluy yang bermukim di tepi jalan logging.
B. Karakteristik Stakeholder dalam Pengelolaan SDH di Kawasan HLGL
Stakeholder yang berkaitan dengan pengelolaan SDH di HLGL dibagi berdasarkan institusinya atau kepentingan yang dilakukan di dalam dan sekitar kawasan
HLGL. Institusi atau kepentingan tersebut adalah instansi pemerintah yang terdiri dari Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
Bappeda Kabupaten Pasir, Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah Bapedalda Kabupaten Pasir, Dinas Sosial Kabupaten Pasir, UPTD Planologi Kehutanan
Balikpapan dan UPTD Pengelolaan Hutan Kabupaten Pasir. Organisasi non pemerintah yaitu LSM yang terdiri dari PeMA Paser dan PADI Indonesia serta lembaga penelitian
yaitu Tropenbos Internasional Indonesia TBI Indonesia. Perusahaan swasta yang beroperasi di sekitar kawasan HLGL, yaitu PT Kideco Jaya Agung yang bergerak di
bidang pertambangan dan PT Rizky Kacida Reana yang bergerak di bidang pengusahaan kayu serta masyarakat sekitar kawasan HLGL; Desa Rantau Layung dan
Dusun Muluy. Karakteristik masing-masing stakeholder di HLGL dianalisis hak, kewenangan,
kewajiban dan permasalahan yang dihadapi yang berkaitan dengan pengelolaan HLGL Tabel 4. Permasalahan yang dimaksud adalah permasalahan yang dihadapi oleh
masing-masing stakeholder baik yang terkait dengan pengelolaan HLGL, hubungan atau koordinasi dengan stakeholder lainnya maupun masalah intern stakeholder. Keseluruhan
analisis stakeholder disajikan dalam bentuk tabulasi untuk memudahkan dalam mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan pengaruh-kepentingan stakeholder dan
isu pengelolaan SDH di HLGL.
Tabel 4. Karakteristik Stakeholder dalam Pengelolaan SDH di Kawasan HLGL dan sekitarnya
No. Stakeholder
Asal Kewenangan Hak
Kewajiban Permasalahan yang Dihadapi Terkait
Dengan Pengelolaan HLGL
1. Dinas Kehutanan
Kabupaten Pasir Pemerintah
kabupaten yaitu Bupati Kabupaten
Pasir Melaksanakan
kewenangan otonomi daerah kabupaten di
bidang kehutanan Mengeluarkan
IUPHHK di luar kawasan HLGL
Merumuskan kebijaksanaan teknis dan
menerbitkan rekomendasi teknis izin
Mengawasi dan memonitor kawasan HLGL
Melestarikan kawasan
HLGL untuk masa depan Optimalisasi
pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten
Pengukuhan status kawasan HLGL Tata
batas Keterbatasan
sarpras dan fasilitas pendukung
Tumpang tindih kewenangan antara Dishut dan UPTD Pengelolaan Hutan
Perusakan dan perambahan hutan seperti illegal logging
Pemahaman masyarakat sekitar kawasan terhadap arti dan fungsi penting HLGL
Ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten
2. Bappeda Kabupaten Pasir
Pemerintah kabupaten yaitu
Bupati Kabupaten Pasir
Melakukan tata ruang dan wilayah di
Kabupaten Pasir Menentukan
kebijaksanaan di bidang perencanaan
pembangunan serta penilaian atas
pelaksanaannya Ego sektoral antar instansi pemerintah
terkait Kurang terbangunnya hubungan
pemerintah daerah dengan masyarakat sekitar kawasan dengan baik
Belum adanya program pemerintah yang tepat sasaran dalam upaya pelestarian
hutan 3. Bapedalda
Kabupaten Pasir Pemerintah
kabupaten yaitu Bupati Kabupaten
Pasir Melaksanakan
penilaian dampak lingkungan
Mengendalikan dampak
lingkungan yang timbul akibat adanya
pembangunan Perusahaan tambang yang masih buruk
dalam pengelolaan limbahnya Kurangnya pemahaman masyarakat
sekitar terhadap HLGL sehingga mudah dipengaruhi oleh pihak luar untuk
melakukan illegal logging dan merambah hutan
Kurang koordinasi antar instansi pemerintah terkait
4. Dinas Sosial
Kabupaten Pasir Pemerintah
kabupaten yaitu Bupati Kabupaten
Pasir -
Membantu pemerintah
Kabupaten Pasir dalam pembangunan di bidang
kesejahteraan sosial Tanpa koordinasi dengan Dishut
membangun pemukiman di dalam kawasan HLGL
Status ilegal
pemukiman Muluy
37
No. Stakeholder
Asal Kewenangan Hak
Kewajiban Permasalahan yang Dihadapi Terkait
Dengan Pengelolaan HLGL
5. UPTD Planologi
Kehutanan Balikpapan
Pemerintah propinsi yang didelegasikan
oleh pemerintah pusat
Menyelenggarakan inventarisasi hutan,
perencanaan kehutanan, pengukuran dan
perpetaan hutan Melakukan
pengecekan dan rekonstruksi tata batas
kawasan hutan Tumpang tindih kewenangan dengan
Dishut Kurang koordinasi antar instansi
pemerintah terkait Illegal logging
Pengamanan kawasan
hutan 6. UPTD
Pengelolaan Hutan Kabupaten
Pasir Pemerintah Propinsi
Kalimantan Timur Melaksanakan
kewenangan desentralisasi dan
dekonsentrasi kehutanan di Kabupaten Pasir
Pengeluaran SKSHH
Melakukan koordinasi
dalam pengelolaan hutan, pengendalian, pembinaan,
peredaran dan iuran kehutanan
Tumpang tindih kewenangan dengan Dishut
7. PeMA Paser
Dewan adat Paser Mendampingi
dan memfasilitasi masyarakat
Paser di berbagai aspek baik sosial-ekonomi,
budaya, pendidikan dan potensi biologi kawasan
Memonitor dan
mengevaluasi kegiatan- kegiatannya
Menjembatani masyarakat
sekitar kawasan dengan pihak luar kawasan
Kurangnya peran Dishut dalam mengantisipasi ancaman terhadap
kawasan HLGL sehingga cenderung merugikan masyarakat
Lemahnya penegakan hukum dan pengeluaran kebijakan yang cenderung
tidak memihak masyarakat 8.
PADI Indonesia Dewan PADI
Indonesia Mendampingi
dan memfasilitasi masyarakat
Paser di berbagai aspek baik sosial-ekonomi,
budaya, pendidikan dan potensi biologi kawasan
Memonitor dan
mengevaluasi kegiatan- kegiatannya
Menjembatani masyarakat
sekitar kawasan dengan pihak luar kawasan
Lemahnya penegakan hukum Kurang harmonis hubungan PADI
Indonesia dengan instansi pemerintah dan LSM lainnya dalam hal persepsi dan
paradigma pengelolaan HLGL Keterbatasan SDM yang kompeten dan
konsisten Pendekatan terhadap masyarakat sekitar
kawasan yang dilakukan TBI Indonesia dan Dishut kurang mengakomodir keinginan
dan harapan masyarakat terhadap keberadaan HLGL
38
No. Stakeholder
Asal Kewenangan Hak
Kewajiban Permasalahan yang Dihadapi Terkait
Dengan Pengelolaan HLGL
9. TBI Indonesia
MoU TBI
Indonesia dengan Departemen
Kehutanan Melakukan
penelitian, penguatan kelembagaan
dan pengumpulan data dan informasi kawasan
Menginformasikan hasil
penelitian kepada masyarakat sekitar
kawasan dan instansi- instansi terkait
Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan HLGL
Koordinasi antara pemerintah pusat dan kabupaten kurang sinergis
Kecenderungan instansi pemerintah bergantung pada TBI dari segi dana dan
pemikiran untuk menghasilkan program kerja implementatif dan tepat sasaran
Kondisi Indonesia yang labil sehingga diperlukan program kerja dan kegiatan
yang responsif di bidang kehutanan 10. PT
Kideco Jaya
Agung Pemerintah pusat
Menambang batubara di aeal tambang sesuai
PKP2B Melakukan
penilaian dampak lingkungan
Melakukan rehabilitasi
hutan dan lahan serta bayar retribusi
Melakukan program
community development Pengelolaan
limbah
11. PT Rizky
Kacida Reana
Pemerintah daerah yaitu Dinas
Kehutanan Kabupaten Pasir
Melakukan penebangan
kayu di areal konsesi berdasarkan IUPHHK
Melakukan rehabilitasi
hutan dan lahan serta bayar retribusi
Melakukan program
community development Pengelolaan daur tebang dan pemulihan
areal konsesi 12. Masyarakat
Desa Rantau Layung
Kepala desa dan kepala adat
Memanfaatkan hutan
dan hasil hutan
Mendapatkan kompensasi atas
hilangnya akses dengan hutan
Menjaga dan melindungi kawasan hutan dari
ancaman perusakan Tata batas dan tidak adanya sosialisasi
serta pelibatan masyarakat dari pemerintah daerah
Illegal logging yang dilakukan pihak luar 13. Masyarakat
Dusun Muluy
Kepala desa dan kepala adat
Memanfaatkan hutan
dan hasil hutan
Mendapatkan kompensasi atas
hilangnya akses dengan hutan
Menjaga dan melindungi kawasan hutan dari
ancaman perusakan Tata batas dan tidak adanya sosialisasi
serta pelibatan masyarakat dari pemerintah daerah
Illegal logging yang dilakukan pihak luar maupun desa tetangga
Banyaknya perusahaan
tambang mengajukan investasi di kawasan HLGL
dan sekitarnya
39
Berdasarkan tabel karakteristik stakeholder , terdapat empat instansi pemerintah yang kewenangannya berasal dari pemerintah kabupaten antara lain Bupati Kabupaten
Pasir yaitu Dinas Kehutanan, Bappeda, Bapedalda dan Dinas Sosial. Keempat instansi tersebut merupakan instansi yang berdiri sebagai akibat penerapan sistem desentralisasi
otonomi daerah yang dialami Indonesia tahun 1999. Kewenangan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan dan UPTD Pengelolaan Kabupaten Pasir berasal dari pemerintah
Propinsi Kalimantan Timur dengan pendelegasian dari pemerintah pusat. Bagi organisasi non pemerintah seperti PeMA Paser, PADI Indonesia dan TBI Indonesia, kewenangan
tertinggi dipegang oleh dewan organisasi. Perusahaan-perusahaan swasta yang beroperasi di Kabupaten Pasir seperti PT Kideco Jaya Agung yang bergerak di bidang
pertambangan batubara memiliki wewenang berdasarkan PKP2B yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan masa operasi 30 tahun. Sedangkan wewenang PT Rizky
Kacida Reana yang bergerak di bidang pengusahaan kayu berasal dari IUPHHK yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dengan luas areal konsesi 30.000
Ha. Wewenang tertinggi di Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy dipegang oleh kepala desa yang berperan dalam bidang pemerintahan dan kepala adat bagi urusan intern
masyarakat adat dan budaya. Latar belakang perusahaan swasta PT Kideco Jaya Agung adalah perusahaan
PT Kideco Jaya Agung didirikan oleh Korea-Indonesia Resources Development Coorporation pada bulan Mei 1982. Perjanjian kerja antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Korea disahkan melalui kontrak karya PKP2B Perjanjian Kerja Pengusahaan
Pertambangan Batubara selama 30 tahun terhitung sampai tahun 2022. Yang
mengesahkannya adalah pemerintah pusat. Pada bulan September 1982 dilakukan penandatanganan perjanjian kerja sama dengan PT Tambang Batubara Bukit Asam
Persero dan mendapat izin usaha dari Departemen Pertambangan dan Energi pada bulan Juni 1987. Kemudian pada bulan Desember 1989 PT Kideco Jaya Agung memulai
Persiapan Konstruksi dan Rencana Tambang dan melakukan ekspor percobaan Trial Cargo pada April 1992. PT Kideco Jaya Agung melakukan produksi perdana pada tahun
1992, dimulai dengan kapasitas produksi satu juta tontahun. Luas total area kuasa pertambangan PT Kideco Jaya Agung sebesar 50.339 Ha Tabel 5 yang mencakup
empat lokasi, yaitu Roto-Samurangau, Samu, Susubang dan Pinang Jatus. Tabel 5. Lokasi dan Luas Area Tambang Batubara PT Kideco Jaya Agung
Nama Lokasi KP Luas Ha
Roto- Samurangau 27.434
Samu 7.875 Susubang 9.000
Pinang Jatus 6.090
Total 50.399
Sumber: agusptkideco.co.kr
Tidak ada perusahaan tambang yang beroperasi di Kabupaten Pasir yang memiliki areal pengusahaan berbatasan langsung dengan kawasan HLGL. Terdapat
perusahaan yang limbah tambangnya berdampak pada DAS Kendilo; yang merupakan daerah tangkapan air dari HLGL. Hal ini akan merugikan masyarakat yang menggunakan
air dari anak sungai DAS Kendilo di bagian hilir. Perusahaan tersebut adalah PT. Kideco Jaya Agung. Secara singkat, tujuan jangka panjang PT Kideco Jaya Agung adalah
menambang dan menjual batubara untuk mendapatkan keuntungan dan menjaga kelangsungan kegiatan tersebut. Menanggapi dampak limbah batubara yang ditimbulkan
oleh PT Kideco Jaya Agung terhadap DAS Kendilo, Bapedalda pernah menegur pihak perusahaan. Oleh karena itu atas fasilitasi Bapedalda, akan diatur pertemuan dari pihak
perusahaan, pemerintah daerah Bapedalda, PeMA Paser sebagai wakil dari masyarakat lokal dan TBI Indonesia sebagai lembaga penelitian untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut. Namun pertemuan tersebut belum terealisasi akibat tidak tersedianya waktu yang dibutuhkan dari pihak perusahaan.
PT Rizky Kacida Reana merupakan salah satu perusahaan swasta yang beroperasi di bidang pengusahaan kayu di Kabupaten Pasir yang memegang IUPHHK
dari 15 IUPHHK yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir pada tahun 2001 Lampiran 6. Pihak perusahaan saat ini sedang menunggu keputusan Menteri
Kehutanan untuk mengubah izin IUPHHK menjadi HPH Hak Pengusahaan Hutan. PT Rizky Kacida Reana baru memulai kegiatan pada bulan Januari tahun 2003 dengan luas
areal konsesi sebesar 30.000 Ha di Desa Lusan dan Binangon, Kecamatan Muara Komam; areal konsesi berjarak 100 Km dari kawasan HLGL. Produksi hasil tebangan PT
Rizky Kacida Reana per bulan adalah sekitar 4000 m
3
dengan izin tebangan seluas 1000 Hatahun MoF-Tropenbos Kalimantan Programme, 2004.
Desa Rantau Layung merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan kawasan HLGL. Desa Rantau Layung bagian dari Kecamatan Batu Sopang
dengan luas wilayah desa meliputi hutan adat seluas 18.914 Ha dengan jumlah penduduk 214 jiwa Tabel 6. Mayoritas masyarakat Desa Rantau Layung berasal dari
suku Dayak Paser dan menganut agama Islam. Sarana pendidikan yang tersedia di Desa Rantau Layung hanya sekolah dasar SD dengan terbatasnya kapasitas guru yang
disediakan pemerintah. Hampir seluruh anak-anak usia SD di Desa Rantau Layung bersekolah walaupun kegiatan belajar-mengajar dalam sebulan hanya efektif tiga
minggu. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, diharuskan untuk meneruskan ke ibukota kabupaten. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Rantau Layung
adalah sebanyak 168 orang mengenyam bangku pendidikan SD, satu orang yang lulus SLTP Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, satu orang lulus SMU Sekolah Menengah
Umum dan sebanyak 42 orang tidak sekolah.
Tabel 6. Data Kependudukan Desa Rantau Layung
Klasifikasi Umur tahun
Jenis Kelamin Jumlah KK
Pria Wanita
15 39 39 54
15-25 27 23
25-60 48 32
60 4 2
Jumlah 118 96
Jumlah total 214
Perbandingan 1 : 1
Di Desa Rantau Layung berlaku hukum adat yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat desa. Hukum adat mengatur mengenai batas hutan adat, upacara
perkawinan dan lain-lain. Dalam hukum adat juga tercantum larangan bagi masyarakat Desa Rantau Layung untuk menebang atau mengambil pohon buah seperti Durian,
Lahung, Rambutan serta mengambil madu dari pohon Bangris Compassia sp. yang dikenal sebagai habitat Lebah madu. Denda yang dikenakan bagi masyarakat yang
melanggar adalah denda adat berupa separuh dari hasil penjualan pohon tersebut diberikan kepada desa kas desa. Begitu pula dengan perburuan binatang, hanya boleh
dilakukan sesuai keperluan. Dusun Muluy merupakan satu-satunya dusun yang berada dalam kawasan HLGL
Gambar 7. Secara administratif Dusun Muluy bagian dari Kecamatan Muara Komam dan bagian pecahan dari Desa Swan Selutung sebagai desa induk. Masyarakat Dusun
Muluy hidup pada awalnya terpencar-pencar dan terpisah serta mengalami perpindahan pemukiman sebanyak empat kali. Pemukiman pertama didirikan pada tahun 1977 dekat
Sungai Muluy lalu berpindah ke kaki Gunung Lumut sampai tahun 1994. Kemudian pemukiman berpindah lagi ke Gunung Janas Km 63.
Gambar 7. Pemukiman Dusun Muluy dalam Kawasan HLGL Pada tahun 1999 Dinas Sosial Kabupaten Pasir Dinsos membangun
pemukiman bagi masyarakat Muluy berdasarkan program Dinsos yaitu program Komunitas Adat Terpencil. Terdapat dua pilihan dalam menentukan lokasi pemukiman;
yang pertama di kaki Gunung Lumut karena aksesibilitas dengan air mudah dan kedua
adalah lokasi bekas TPK PT Telaga Mas yang berada di tepi jalan logging perusahaan dan aksesibilitas terhadap air sulit jarak untuk mendapatkan air dari lokasi sekitar tiga
km. Akhirnya berdasarkan hasil musyawarah, masyarakat sepakat pada lokasi bekas TPK PT Telaga Mas perusahaan HPH yang sudah tidak beroperasi lagi karena dekat
dengan jalan besar sehingga akan memudahkan rotasi perjalanan. Pada tahun 2001 masyarakat Muluy menghuni pemukiman baru dengan tersedia 52 unit rumah secara
aktual dari 52 unit rumah, dua diantaranya telah dibongkar dan hanya 48 unit rumah yang dihuni.
Jumlah penduduk masyarakat Muluy sebanyak 113 jiwa, yang terbagi ke dalam 21 KK Tabel 7. Luas wilayah Dusun Muluy 12.953 Ha meliputi wilayah hutan adat luas
inti hutan adat 7000 Ha. Seluruh masyarakatnya berasal dari suku Dayak Paser dan menganut agama Islam.
Tabel 7. Data Kependudukan Dusun Muluy
Klasifikasi Umur tahun
Jenis Kelamin Jumlah KK
Pria Wanita
15 19 17 21
15-25 10 10
25-60 32 17
60 3 5
Jumlah 64 49
Jumlah total 113
Perbandingan 1 : 1
Sama halnya dengan Desa Rantau Layung, sarana pendidikan yang tersedia di Dusun Muluy hanya SD. Terdapat dua orang pengajar SD untuk mengajar empat kelas
sekaligus kelas 1-4 dan satu orang guru ngaji. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, diharuskan untuk meneruskannya di Kecamatan Long Ikis atau Tanah
Grogot; ibukota Kabupaten Pasir. Bangunan SD tersebut merupakan bantuan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pasir pada tahun 2001 Gambar 8. Tingkat
ketertarikan masyarakat Dusun Muluy terhadap pendidikan sangat kurang, terbukti dengan hampir seluruh masyarakatnya tidak lulus SD. Walaupun demikian terdapat
beberapa masyarakat, akhirnya mau mengenyam pendidikan melalui program paket A dan B yang diberikan oleh PADI Indonesia tahun 1995.
Gambar 8. Bangunan SD di Dusun Muluy Secara adat, masyarakat Muluy dipimpin oleh ketua adat sedangkan secara
kepemerintahan masyarakat Muluy memiliki kepala desa yang bertempat di desa induk yaitu di Desa Swan Selutung. Masyarakat Muluy juga memiliki hukum adat untuk
mengatur kehidupan adat masyarakatnya dan interaksi masyarakat dengan hutan adat serta pemanfaatan hasil hutan. Sedikit banyak hukum adat Muluy dari segi kandungan
dan denda serta sanksi sama dengan hukum adat Rantau Layung. Masyarakat Muluy terkenal sejak dahulu sebagai penjaga Gunung Lumut; yang berarti mereka sangat
memperhatikan kelestarian dan keberadaan Gunung Lumut. Hal ini dibuktikan dengan adanya keberadaan masyarakat Muluy, hutan sekitar mereka cenderung aman dari
ancaman perusakan hutan, karena mereka seringkali melarang siapapun baik masyarakat Muluy sendiri, masyarakat dari desa lain maupun pihak swasta yang
berkeinginan mengeksploitasi hutan. Larangan ini berupa himbauan, sanksi dan denda adat bahkan pengusiran secara paksa.
Permasalahan yang dihadapi instansi pemerintah di Kabupaten Pasir yang paling mendasar adalah perihal koordinasi antar instansi pemerintah terkait; sebagai contoh
dengan status HLGL yang masih penunjukan belum pengukuhan maka dibutuhkan koordinasi yang solid antar Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, Bappeda dan UPTD
Planologi Kehutanan Balikpapan dalam penataan batas kawasan HLGL sehingga pengukuhan kawasan dapat segera dilakukan. Begitu pula perihal pemanfaatan hasil
hutan hayati dan non-hayati serta perlindungan kawasan yang melibatkan Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, Bapedalda, UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan dan
UPTD Pengelolaan Hutan Kabupaten Pasir belum dikoordinasikan dengan baik. Dalam upaya perlindungan kawasan, instansi pemerintah juga harus melibatkan masyarakat
sekitar kawasan sebagai pihak yang mendiami kawasan sehingga memahami seluk beluk kawasan. Selain itu, kurang memadai sarana dan prasarana fasilitas pendukung
menyebabkan belum optimalnya pengelolaan kawasan hutan yang sejak masa desentralisasi dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten. Masalah intern juga dihadapi
oleh instansi pemerintah mengenai kualitas dan kuantitas SDM yang kompeten, profesional, berdedikasi tinggi dan konsisten.
Permasalahan yang dhadapi oleh organisasi non pemerintah dan masyarakat sekitar kawasan HLGL, tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang dihadapi oleh
instansi pemerintah, yakni kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten mengakibatkan banyaknya tumpang tindih kewenangan sehingga
memberikan dampak tersendiri bagi organisasi non pemerintah dan masyarakat sekitar kawasan HLGL. Dampak yang terjadi antara lain dalam hal implementasi peraturan yang
seringkali overlap serta keabsahan dan ketersediaan data dan informasi potensi hayati dan non-hayati kawasan HLGL. Lemahnya penegakan hukum bagi pihak maupun oknum
yang merusak atau berpotensi untuk merusak hutan dari pihak pemerintah serta keterlibatan seluruh stakehoder terkait dalam pengelolaan SDH di HLGL yang belum
dilakukan secara menyeluruh, terutama dalam hal tata batas dan manfaat hutan mengakibatkan banyaknya penyelewengan yang terjadi di dalam kawasan HLGL.
B.1. Program Kerja dan Jalinan Kerjasama yang Dilakukan Masing-masing Stakeholder Terkait Dengan Pengelolaan HLGL
Masing-masing stakeholder mempunyai program kerja dan kegiatan yang termasuk kedalam rencana kerja meliputi Kabupaten Pasir pada umumnya dan HLGL
pada khususnya. Begitu pula jalinan kerjasama yang dilakukan terkait dengan pengelolaan HLGL. Pada tabel 8 akan disajikan program kerja, kegiatan dan jalinan
kerjasama yang dilakukan masing-masing stakeholder dan difokuskan pada implikasi positif maupun negatif yang terjadi pada pengelolaan HLGL. Implikasi negatif tersebut
dapat menyebabkan konflik antar stakeholder.
Tabel 8. Program Kerja dan Jalinan Kerjasama Terkait Dengan Pengelolaan HLGL
No. Stakeholder
Program Kerja dan Kegiatan yang Dilakukan
Jalinan Kerjasama
1. Dinas Kehutanan
Kabupaten Pasir Pengeluaran
IUPHHK Pemberdayaan
masyarakat sekitar kawasan
Sosialisasi status dan keberadaan HLGL
Perlindungan kawasan
TNI dan Kepolisian Bapedalda
Bappeda BKSDA
TBI Indonesia Litbang Universitas
Mulawarman CIFOR
PADI Indonesia HIMPLI
PeMA Paser PT Rizky Kacida Reana
2. Bappeda Kabupaten
Pasir Pengembangan
dan perencanaan kawasan tata
ruang Pemberdayaan
masyarakat Dinas Kehutanan
CIFOR TBI Indonesia
3. Bapedalda Kabupaten
Pasir Pembinaan,
pengawasan, pemantauan dan evaluasi
perusahaan swasta Pemantauan kualitas air di DAS
Kendilo Pelestarian
sumberdaya alam
Dinas Kehutanan Bappeda
Dinas Pertambangan PeMA Paser
4. Dinas Sosial
Kabupaten Pasir
Komunitas Adat Terpencil KAT -
5. UPTD Planologi
Kehutanan Balikpapan Penyediaan peta kawasan
Penataan batas
kawasan Dinas Kehutanan
6. UPTD Pengelolaan
Hutan Kabupaten Pasir Perlindungan
kawasan -
7. PeMA Paser
Menjembatani masyarakat
adat Paser dengan pihak luar
Pemberdayaan masyarakat
Dinas Kehutanan TBI Indonesia
Universitas Mulawarman BIOMA
BEBSIC
8. PADI Indonesia
Pemetaan partisipatif
Menggali kearifan
tradisional TBI Indonesia
CIFOR AMAN
9. TBI Indonesia
Identifikasi stakeholder
Eksplorasi keanekaragaman
hayati Penilaian
keanekaragaman hayati
Bappeda Dinas Kehutanan
Bapedalda PeMA Paser
BIOMA BEBSIC
PT Rizky Kacida Reana Universitas Mulawarman
LIPI
10. PT Kideco Jaya Agung
- -
11. PT Rizky Kacida Reana
Pemberdayaan masyarakat
TBI Indonesia 12.
Masyarakat Desa Rantau Layung
Bertani Pengumpulan hasil hutan non
kayu Dinas Kehutanan
CIFOR PADI Indonesia
PeMA Paser TBI Indonesia
13. Masyarakat Dusun Muluy
Bertani Pengumpulan hasil hutan non
kayu Dinas Kehutanan
PADI Indonesia PeMA Paser
TBI Indonesia
Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir Dishut
Pada tahun 2001-2005, Dishut berkutat pada IUPHHK Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu skala kecil 1000 hingga 30.000 Ha, sampai pada tahun 2005, Dishut
telah mengeluarkan izin dalam hal pemanfaatan kayu sebanyak 15 IUPHHK. Untuk program yang dilakukan Dishut di dalam dan sekitar kawasan HLGL terpusat pada Dusun
Muluy, Desa Rantau Layung dan Rantau Buta. Kegiatan yang dilakukan diantaranya Maulana, Pers.com.
4
pengembangan budidaya rotan 50 Ha di Muluy, pengembangan kawasan penyangga dengan bentuk hutan rakyat, rehabilitasi hutan dengan penanaman
pemberian bibit Jati Tectona grandis, Mahoni Swietenia sp., Karet Hevea brasiliensis, Kemiri Aleurites moluccana dan buah-buahan seperti durian dan rambutan
di desa-desa sekitar kawasan HLGL dalam rangka program pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 2006 tersedia dana sebesar Rp 39 juta dari APBD yang difokuskan
pada pengelolaan HLGL. Dishut mengharapkan Gunung Lumut ke depannya tidak hanya berperan sebagai kawasan konservasi tetapi juga sebagai kawasan pariwisata, hutan
pendidikan dan kawasan standar pengelolaan atau sampel bagi kawasan hutan lindung lainnya di Propinsi Kalimantan Timur khususnya Kabupaten Pasir. Program kerja tahun
2006 dari Dishut Purwanto, Pers. com.
5
adalah sosialisasi ke masyarakat sekitar mengenai HLGL, pelatihan semacam lokakarya dan penyuluhan dalam bentuk
pemberdayaan masyarakat seperti rotan atau tanaman budidaya lainnya yang diinginkan masyarakat untuk mengembangkan ekonomi alternatif, membuat papan himbauan atau
rambu-rambu. Pengamanan kawasan juga akan dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan, selama ini Dishut dapat menangani pengamanan seluas 14
m
3
dalam lima hari. Target program kerja 2006 adalah Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung, tetapi jika tidak dapat dilaksanakan bagi kedua desa maka salah satu saja, untuk
kemudian tahun dan program kerja selanjutnya mendapatkan bayangan dan dapat melakukan studi banding antar desa.
Jalinan kerjasama atau mitra kerja Dishut antara lain TNI Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian untuk menangani masalah pengamanan kawasan hutan,
Bapedalda, Bappeda, BKSDA Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Lembaga penelitian dan pengembangan Litbang Universitas Mulawarman dan CIFOR. Jalinan kerjasama
terkait HLGL dijalin dengan TBI Indonesia dalam menggali potensi SDH di HLGL untuk pengembangan ekonomi alternatif untuk pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan,
CIFOR dalam program pemberdayaan masyarakat, Bapedalda dalam Komisi Penilaian AMDAL dan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan dalam kegiatan penataan batas
kawasan hutan lindung. Serta bekerja sama dengan LSM seperti PADI Indonesia sebagai LSM yang mewakili masyarakat sekitar kawasan untuk mendapatkan perlakuan adil
dalam pengelolaan SDH di HLGL demi kesejahteraan masyarakat, HIMPLI Himpunan
4
Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir
5
Kepala Seksi Pengelolaan Hutan Lindung, Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir
Masyarakat Peduli Lingkungan dan PeMA Paser sebagai penjembatan masyarakat Dayak Paser juga sebagai informan atau penyalur informasi mengenai berbagai kegiatan
dari yang kemungkinan mengancam keberadaan dan kelestarian kawasan HLGL. Selain itu Dishut juga menjalin mitra kerja dengan perusahaan swasta, misalnya perusahaan-
perusahaan yang berada dan beroperasi di sekitar kawasan seperti PT Rizky Kacida Reana. Kerjasama dilakukan untuk jalinan program pemberdayaan masyarakat sekitar
areal perusahaan sebagai kompensasi dari pengambilan hasil hutan.
Bappeda Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Pasir
Program kerja dan kegiatan Bappeda di sekitar kawasan HLGL adalah melakukan usaha-usaha pengembangan dan perencanaan kawasan termasuk tata ruang
kawasan yang hasilnya akan diintegrasikan kedalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten RTRWK Kabupaten Pasir, berkoordinasi dengan Dishut dalam program
budidaya Gaharu Aquilaria malaccensis untuk mempertahankan masyarakat dalam menjaga hutan dan program pemberdayaan masyarakat, pembinaan dan penumbuhan
persepsi mengenai HLGL di desa sekitar kawasan Desa Rantau Layung dan Rantau Buta tahun 2001-2002 dalam Adaptive Collaborative Management ACM bersama
CIFOR. Bappeda menjalin kerjasama dengan Dishut dalam pengembangan ekonomi alternatif seperti budidaya hasil hutan non kayu Gaharu untuk jaminan kehidupan
jangka panjang dan pelestarian hutan. Bersama TBI Indonesia sebagai mitra dalam pelatihan GIS Forum GIS untuk penyusunan tata ruang Kabupaten Pasir RTRWK.
Bapedalda Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten Pasir
Program kerja dan kegiatan yang dilakukan Bapedalda masih umum di Kabupaten Pasir, sampai tahun 2005 belum ada kegiatan yang dilakukan Bapedalda di
kawasan HLGL. Program yang dilakukan di Kabupaten Pasir MoF-Tropenbos Kalimantan Programme, 2004 hingga tahun 2005, diantaranya:
1 Pembinaan, pengawasan dan pemantauan serta evaluasi kegiatan perusahaan yang beroperasi di Pasir, seperti perusahaan tambang PT Kideco Jaya Raya dan
PT BHP Kendilo Coal Indonesia, perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan dan perkebunan. Untuk program pemantauan, Bapedalda melaksanakan program
Peringkat Kinerja Perusahaan. Dalam program ini Bapedalada akan memberikan penghargaan Bendera Hijau bagi perusahaan yang berwawasan lingkungan atau
ramah lingkungan. 2 Pemantauan kualitas air di daerah aliran sungai DAS, dengan cara mengambil
sampel air di DAS Kendilo dua kali setahun untuk mengetahui perubahan kualitas air sehingga mendapatkan kelayakan penggunaannya.
Dalam rencana strategik Bapedalda 2006-2010, tercantum program pembinaan, pemanfaatan dan pemulihan kualitas lingkungan hidup, penyelamatan kawasan lindung
daerah dan penghijauan, reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis. Program ini untuk mewujudkan pelestarian sumberdaya alam SDA hayati dan non hayati serta
terpeliharanya kelestarian kawasan-kawasan yang dilindungi dan fungsi SDH dan lahan. Mitra kerja atau jalinan kerjasama dalam melaksanakan program kerja
Bapedalda adalah dengan instansi pemerintah terkait di Kabupaten Pasir seperti Dishut, Bappeda, Dinas Pertambangan, Dinas Perhubungan, Dinas Perkebunan dan Dinas
Pekerjaan Umum bersama akademisi dan masyarakat yang tergabung dalam Komisi Penilaian AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang diketuai oleh
Bapedalda. Dengan Dinas Pertambangan, Bapedalda berkoordinasi untuk pengawasan perusahaan tambang PT Kideco Jaya Raya dan PT BHP Kendilo Coal Indonesia. Jalinan
kerjasama Bapedalda yang dijalin dengan LSM lokal seperti PeMA Paser dan Forum Penyelamat Aset-aset Kabupaten Pasir yang merupakan gabungan dari beberapa LSM
peduli lingkungan adalah untuk melaksanakan pemantauan terhadap lingkungan dan pelatihan di dalam program pemberdayaan masyarakat jangka panjang. Kegiatan ini
dilakukan agar masyarakat juga memiliki wawasan terhadap lingkungan. Walaupun demikian kerjasama yang dilakukan bersama PeMA Paser hanya sebatas pertukaran
informasi, belum melakukan program kerja secara konkrit.
Dinas Sosial Kabupaten Pasir Dinsos
Kegiatan yang dilakukan Dinsos terkait dengan kawasan HLGL adalah program Komunitas Adat Terpencil KAT yang didanai oleh APBN Anggaran Pendapatan Belanja
Negara dan APBD. Dengan sasaran program adalah membangun rumah bagi masyarakat Muluy tahun 2000-2001. Latar belakang Dinsos membangun unit rumah di
dalam kawasan HLGL didasari oleh perintah langsung dari Gubernur Propinsi Kalimantan Timur Bapak Suwarna Sianturi, Pers. com.
6
. Masyarakat Muluy yang mayoritas merupakan masyarakat adat Dayak Paser hidup secara terpencar-pencar dan telah
mengalami perpindahan pemukiman sebanyak empat kali sehingga masyarakat Muluy memohon dan meminta kepada Gubernur saat Gubernur melakukan kunjungan ke lokasi
terpencil, agar dibangun suatu pemukiman khusus untuk masyarakat Muluy. Dalam program ini Dinsos menawarkan kepada masyarakat Muluy untuk
menempati lahan transmigrasi namun masyarakat Muluy menginginkan lokasi pemukiman dekat dan berada dalam kawasan HLGL untuk menjaga hutan dari perambah
pihak luar. Hal ini pula yang membuat Dinsos tidak melakukan uji kelayakan suatu kawasan untuk membangun rumah, padahal saat itu Dinsos mengetahui status Gunung
Lumut sebagai kawasan hutan lindung. Walaupun demikian Dinsos dalam menanggapi permintaan masyarakat Muluy mengajukan beberapa persyaratan, yaitu terdapat minimal
50 KK Kepala Keluarga dalam suatu pemukiman, tanda tangan kontrak yang berisi
6
Staf Dinas Sosial Kabupaten Pasir
mengenai persetujuan menjadi warga binaan dan mampu melaksanakan kegiatan yang diajukan Dinsos, ketua adat harus mengajukan lokasi dan menyiapkan lahan tanpa ganti
rugi; lokasi yang diajukan adalah lokasi bekas TPK Tempat Penimbunan Kayu PT Telaga Mas berlokasi di Km 66 yang dilewati oleh jalan logging perusahaan serta pihak
ketiga yang akan kontraktor membangun rumah walaupun secara aktual masyarakat Muluy turut membangun dengan upah per satu unit rumah sebesar Rp 350 ribu.
Persyaratan tersebut disetujui oleh masyarakat Muluy dan Dinsos kemudian merancang program kerja tiga tahun 1999-2002.
Pada tahun pertama dana APBN ± Rp 250 juta, digunakan untuk pembangunan 52 unit rumah dengan mengontrak pemborong kontraktor. Pembangunan pemukiman
selesai tahun 2001 dengan ukuran per unit rumah 25 x 50m. Kayu yang digunakan dalam membangun rumah berasal dari hutan adat Muluy dan TPK Batapang. Tahun kedua dan
tiga, Dinsos memberikan bantuan seperti sembako, penampungan air, bibit untuk ditanam di ladang dengan sistem tumpang sari dan jenset. Dana yang digunakan untuk
program tahun kedua dan tiga berasal dari APBN dan APBD walaupun jumlah tidak diketahui. Setelah tahun kedua dan tiga selesai, Dinsos melepaskan seluruh tanggung
jawab kepada masyarakat Muluy dengan harapan masyarakat Muluy sendiri yang akan mengurus surat tanah pemukiman secara legal tetapi yang terjadi sampai saat ini
status tanah yang ditempati masyarakat Muluy masih ilegal karena berada di dalam kawasan HLGL.
Dengan pembangunan pemukiman dalam kawasan HLGL yang dilakukan Dinsos tanpa melakukan koordinasi dengan Dishut menyebabkan status legal pemukiman Muluy
masih dipertanyakan. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir sangat menyayangkan tindakan sepihak yang diambil Dinsos saat mengabulkan permohonan masyarakat Muluy saat
masyarakat Muluy meminta langsung kepada Gubernur Propinsi Kalimantan Timur. Walaupun di tahun 2002, Dinsos pernah mengajukan permohonan perubahan status
HLGL di pemukiman Muluy menjadi KBNK kepada Bupati Kabupaten Pasir untuk dilanjutkan ke Departemen Kehutanan. Namun permohonan yang diajukan belum
ditanggapi oleh pihak pemerintah kabupaten sampai saat ini.
UPTD Unit Pelaksana Teknis Daerah Planologi Kehutanan Balikpapan
Kegiatan yang dilakukan di kawasan HLGL, diantaranya adalah melakukan pengukuran dan pembuatan tata batas kawasan hutan dan pemukiman dalam kawasan
yang kemudian diikuti dengan rekonstruksi; kawasan HLGL sudah dilakukan tiga kali rekonstruksi pal batas Tjahjono, Pers. comm.
7
yaitu pada tahun 1986, 1990 dan 2003. Dengan panjang batas yang di tata batas berturut-turut adalah 100.975 Km, 20.600 Km
dan 121.575 Km dengan ukuran pal batas yang dibuat UPTD Planologi Kehutanan
7
Kepala badan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan
Balikpapan 15x15x30 cm terbuat dari kayu Ulin Eusideroxylon zwageri atau kayu kelas awet setempat. Untuk tahun 1986 dan 1990, penataan batas dilakukan oleh Badan
Planologi saat masa sentralistik. Kondisi pal batas kawasan HLGL terakhir yang dilakukan tim orientasi batas UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan dan Dishut tahun
2003 menghasilkan data sebanyak 1205 buah pal batas dengan rincian sebanyak 223 buah pal batas rusak akibat lapuk dan sebanyak 979 buah hilang atau tidak diketemukan
karena dirusak dan dicabut oleh masyarakat sekitar kawasan serta masih terdapat tiga buah pal batas dalam kondisi baik UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan, 2003.
A.3.1.6. UPTD Pengelolaan Hutan Kabupaten Pasir
Di sekitar kawasan HLGL, UPTD Pengelolaan Hutan Kabupaten Pasir melakukan koordinasi kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan dibawah koordinasi
sub bagian peredaran hasil hutan dan perlindungan hutan Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur. Dalam pengamanan yang dilakukan di sekitar kawasan HLGL,
petugas lapangan terdiri dari Pengawas Hutan Lapangan PHL dan koordinator PHL. Pemantauan kawasan hutan dilakukan oleh polisi hutan di bagian PHL Muara Komam,
PHL Batu Kajang, PHL Long Ikis, PHL Kuaro, PHL Long Kali dan PHL Waru. UPTD Pengelolaan Hutan juga memiliki wewenang dalam mengeluarkan SKSHH untuk hutan
produksi merupakan mandat dari pemerintah pusat atas rekomendasi dari dinas kehutanan kabupaten yang mengeluarkan izin atas perusahaan IUPHHK yang
beroperasi di wilayahnya termasuk Kabupaten Pasir. Jalinan kerjasama yang dijalin oleh UPTD Pengelolaan Hutan Kabupaten Pasir
tidak terdata secara terperinci terkait dengan kegiatan yang dilakukan UPTD Pengelolaan Hutan Kabupaten Pasir di kawasan HLGL dan sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh peneliti
yang tidak mendapatkan data tersebut karena tidak mewawancarai langsung informan dari pihak terkait.
PeMA Persatuan Masyarakat Adat Paser
PeMA Paser melakukan pemberdayaan masyarakat melalui program pendidikan, mengorganisir pertemuan-pertemuan masyarakat, memfasilitasi pengakuan hak-hak
adat masyarakat desa sekitar hutan dalam upaya pelestarian lingkungan hidup dan pendataan pengetahuan lokal masyarakat bekerjasama dengan AMAN. Kegiatan yang
dilakukan PeMA Paser di dalam dan sekitar kawasan HLGL adalah pendampingan masyarakat desa sekitar kawasan HLGL dalam hal aturan adat dan pengetahuan lokal
masyarakat. Pendampingan yang dilakukan PeMA Paser berarti dalam setiap kegiatan antara pihak luar seperti instansi pemerintah, perusahaan swasta maupun lembaga
penelitian yang akan mengajukan dan melakukan kegiatan di dalam maupun sekitar kawasan HLGL yang melibatkan masyarakat maka disinilah peran PeMA Paser sebagai
pendamping masyarakat dalam hal bahasa. Hal ini disebabkan mayoritas desa-desa sekitar HLGL dihuni oleh masyarakat adat Paser dengan bahasa Paser yang bervariasi.
Pada tahun 2005 PeMA Paser mengeluarkan himbauan yang disebarluaskan pada setiap pihak-pihak pemerintah maupun swasta, baik individu maupun lembaga yang
akan melakukan kegiatan atau masuk ke dalam kawasan HLGL dan hutan adat. Himbauan tersebut merupakan kesepakatan bersama antara PeMA Paser, masyarakat
Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung dan berisikan larangan-larangan yang harus dipatuhi Lampiran 7. Selain itu peran PeMA Paser juga dibutuhkan untuk menjembatani
perusahaan swasta baik kayu maupun tambang yang ingin melakukan investasi di kawasan HLGL. PeMA Paser berperan sebagai mediator penjembatan antara
masyarakat, pihak perusahaan swasta dan instansi pemerintah terkait. PeMA Paser menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah seperti Dishut
dalam hal penyampaian informasi ancaman perusakan hutan atau terjadinya kegiatan yang merusak hutan, sebagai contoh PeMA Paser pernah menyampaikan informasi
kepada Dishut Ardiansyah, Pers. comm.
8
beserta barang bukti berupa video dan data lokasi mengenai keberadaan sawmill ilegal di Kabupaten Pasir, walaupun ternyata pihak
Dishut pun juga mengetahuinya berdasar informasi PeMA terdapat 11 sawmill tetapi menurut Dishut terdapat 32 sawmill. Tindak lanjut dan pengusutan dari Dishut
mengenai informasi ini tidak diketahui secara jelas arah dan bentuk antisipasinya. PeMA Paser juga bermitra dengan lembaga penelitian dan akademisi seperti TBI
Indonesia dan universitas Mulawarman dalam kegiatan penelitian di bidang ekonomi, sosial-budaya dan ekologi yang dilakukan di kawasan HLGL. Saat ini PeMA Paser
bersama LSM lokal lainnya seperti BIOMA dan BEBSIC di bawah koordinasi TBI Indonesia sedang melakukan pendampingan masyarakat di Desa Rantau Layung dan
Pinang Jatus dalam rangka pengembangan ekonomi alternatif untuk pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan HLGL untuk jangka panjang.
PADI Indonesia
Kegiatan PADI Indonesia di kawasan HLGL dan sekitarnya diantaranya adalah memfasilitasi masyarakat dalam beberapa program, memberikan pelatihan dan
melakukan pemetaan partisipatif yang bekerjasama dengan beberapa lembaga lainnya. Beberapa kegiatan yang dilakukan PADI Indonesia di kawasan HLGL dan sekitarnya
MoF-Tropenbos Kalimantan Programme, 2004 adalah
8
Sekretaris PeMA Paser
1 Menggali kearifan tradisional masyarakat sekitar HLGL bersama PeMA Paser dan AMAN.
2 Identifikasi dan pemetaan partisipatif bersama masyarakat sekitar kawasan, salah satu diantaranya dilakukan di Dusun Muluy. Pemetaan dilakukan pada kawasan
hutan adapt. Pada tahun 2003 PADI Indonesia melakukan kerjasama dengan TBI Indonesia
mengenai lokakarya pengelolaan hutan berbasis kerakyatan tetapi sejak kegiatan eksplorasi keanekaragaman hayati di HLGL pada bulan November-Desember 2005 yang
dilakukan TBI Indonesia dan institusi-institusi lainnya, hubungan PADI Indonesia dan TBI Indonesia menjadi renggang dan kurang terbangun dengan baik. Hal ini mungkin
disebabkan adanya kesalahpahaman dalam penanganan pengelolaan HLGL dan masalah individual. Dengan CIFOR dan AMAN dalam program pemberdayaan
masyarakat dan fasilitasi kegiatan mengenai kearifan tradisional. Hubungan PADI Indonesia dengan instansi pemerintah terkait terutama Dishut kurang terjalin dengan
baik, karena PADI Indonesia menolak dengan tegas tanpa kompromi kegiatan yang diajukan terkait dengan masyarakat sekitar HLGL apabila hasilnya akan berdampak
negatif bagi masyarakat tanpa ada dampak positif ke masyarakat.
A.3.2.3. Tropenbos Internasional Indonesia TBI Indonesia
Program awal TBI Indonesia saat memulai program kerja dan kegiatan di HLGL adalah melakukan identifikasi dan kajian mengenai para stakeholder pemangku
kepentingan di kawasan HLGL, yang langsung maupun tidak langsung berperan dalam pengelolaan dan pemanfaatan HLGL. Hal ini dilakukan supaya program-program dan
kegiatan yang akan dilakukan selanjutnya dapat dikembangkan dan diimplementasikan secara efektif dan tepat sasaran. Program kerja TBI Indonesia berazaskan penelitian,
yang dilakukan di kawasan HLGL Nooryashini et al., 2004 adalah 1 Pertukaran nilai-nilai keanekaragam hayati dan eksploitasi hutan di area hutan
tertentu wilayah Gunung Lumut, Untir-Beratus dan sekitarnya
9
Trade-off between biodiversity values and forest exploitation in selected forest areas of the Gunung
Lumut Untir-Beratus extention area. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pertukaran antara pelestarian keaneakaragam hayati dan ekstraksi produk-produk
hutan kayu dan non kayu untuk membantu Pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah dalam melakukan peran mereka untuk menutupi biaya pelestarian yang kian
meningkat. 2 Penilaian Keanekaragaman hayati di kawasan HLGL. Kegiatan ini merupakan
rencana kegiatan TBI Indonesia pada tahun 2005. TBI Indonesia bermaksud melaksanakan ekspedisi keanekaragaman hayati atau Biodiversity Assessment
9
Program penelitian ini turut melibatkan peneliti-peneliti S1 dari Institut Pertanian Bogor, termasuk penelitian pemetaan konflik yang dilakukan peneliti.
untuk mengumpulkan data keanekaragaman hayati yang baru, yang dapat digunakan untuk mendukung implementasi rencana pengelolaan HLGL
Jalinan kerjasama TBI Indonesia dengan instansi pemerintah, diantaranya dengan Bappeda dalam program Forum-GIS Global Information System yang dimulai
pada tahun 2004 untuk melakukan revisi tata guna lahan di Kabupaten Pasir, Dishut dalam kegiatan pengamanan hutan patroli di kawasan HLGL bersama masyarakat
sekitar, pembuatan papan himbauan dan translog informasi dan data mengenai HLGL baik ekonomi, sosial-budaya maupun ekologi serta bersama Bapedalda dalam merevisi
pengelolaan lingkungan perusahaan tambang PT Kideco Jaya Agung. Kerjasama yang dijalin bersama LSM lokal seperti PeMA Paser, BIOMA dan BEBSIC adalah dalam
program pengembangan ekonomi alternatif bagi masyarakat sekitar kawasan HLGL, tepatnya di Desa Rantau Layung dan Pinang Jatus yang dimulai sejak bulan Desember
2005. TBI Indonesia pun menjalin MoU dengan perusahaan kayu PT Rizky Kacida Reana dan masih dalam tahap perencanaan dengan PT Kideco Jaya Agung. PT Rizky Kacida
Reana merupakan mitra kerja TBI Indonesia di luar HLGL karena termasuk ke dalam lingkup Kabupaten Pasir. Perjanjian MoU yang disepakati antara TBI Indonesia dan PT
Rizky Kacida Reana baru berupa ‘payung’ yang secara luas lebih ditekankan pada kerjasama kedua belah pihak untuk menyongsong pengelolaan hutan secara lestari
tetapi bentuk pengelolaan secara mendetail dan teknisnya masih dalam proses penyusunan.
PT Rizky Kacida Reana
PT Rizky Kacida Reana melakukan pembinaan desa dalam program pemberdayaan masyarakat untuk Dusun Muluy, Desa Muara Payang, Long Sayo, Swan
Selutung dan Lusan. Jenis bantuan yang diberikan pada Dusun Muluy berupa bahan bakar solar untuk genset satu drum 1000 liter setiap bulan serta dana insentif Rp
150.000bulan. Selain itu PT Rizky Kacida Reana juga mengontrak pekerja sebagai hawkman penebang dari Muluy dengan status harian, walaupun akhirnya banyak
masyarakat Dusun Muluy yang mengundurkan diri dan tidak memperpanjang kontrak karena terlalu berat pekerjaannya. Untuk program AMDAL, peneliti tidak mendapatkan
data yang dibutuhkan karena tidak berhasil mewawancarai secara langsung pihak perusahaan.
PT Rizky Kacida Reana menjalin MoU dengan TBI Indonesia mengenai upaya pengelolaan hutan secara lestari. Kegiatan dalam MoU tersebut adalah reboisasi, hak
atas lahan dan pemberdayaan masyarakat, walaupun bentuk pengelolaan secara mendetail dan teknisnya sedang dalam proses penyusunan.
Pada tahun 2003-2004 PT Rizky Kacida Reana mengalami konflik dengan masyarakat Dusun Muluy perihal air bersih. Masyarakat Muluy meminta karyawan
perusahaan saat mengangkut kayu logging dari areal konsesi menuju TPK Tempat
Penimbunan Kayu agar saat kembali ke camp karyawan untuk membawa air bersih dari bawah. Pada suatu ketika salah satu karyawan menolak dan hampir mengalami
perkelahian dengan masyarakat Muluy. Akhirnya ketua adat Muluy memberikan sanksi adat berupa uang sebesar Rp 2.5 juta yang harus dibayar oleh pihak perusahaan.
Masyarakat Desa Rantau Layung
Mata pencaharian masyarakat Desa Rantau Layung didominasi oleh bidang pertanian dengan sistem perladangan bergilir yang berarti penggunaan ladang untuk
menanam padi dan tanaman sayur digunakan sebanyak dua hingga tiga kali. Setelah itu masyarakat membuka ladang baru dengan bekas ladang sebelumnya digunakan untuk
menanam karet, rotan dan tanaman buah. Rentang waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan, terdapat kemungkinan masyarakat kembali ke ladang awal. Pembukaan ladang
diawali dengan musyawarah antara masyarakat untuk penentuan lokasi ladang, luasan ladang 0.25-2 Ha sesuai tanggungan keluarga dan cukup untuk pemenuhan kebutuhan
beras selama setahun serta kemungkinan terjadinya ladang gabungan. Lokasi ladang berada dalam kawasan hutan adat.
Kegiatan pertanian diawali dengan pembukaan lahan hutan; kayunya digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti kayu bakar dan bahan bangunan untuk
membangun rumah ladang lalu manduk membakar lahan untuk mendapatkan unsur hara baru, lahan kemudian didiamkan selama kira-kira dua minggu Gambar 9.
Kegiatan selanjutnya adalah nugal yaitu membuat lubang di lahan ladang menggunakan kayu yang telah diruncingkan kemudian lubang diberi benih padi beras dan padi ketan
Gambar 10.
Gambar 9. Kegiatan manduk Gambar 10. Kegiatan nugal Seluruh kegiatan dilakukan secara gotong royong dan selalu diawali dengan
upacara adat belian baik saat mulai berladang hingga saat panen. Tidak setiap tahun masyarakat Rantau Layung melakukan kegiatan bertani, biasanya jika persediaan beras
masih ada mereka tidak bertani. Kegiatan sampingan masyarakat Rantau Layung selain bertani adalah berburu binatang seperti Rusa Payou, Kijang, Landak dan Pelanduk
menggunakan jerat untuk dimakan sendiri atau bahkan dijual, menangkap ikan di Sungai
Kesungai dan Sungai Prayan saat musim ikan, berkebun Rotan panen hanya satu kali dalam lima tahun, Jagung, dan Karet panen dalam tiga tahun, mendulang emas di
Sungai Kesungai dan berdagang bahan- bahan pokok serta mengumpulkan madu. Interaksi masyarakat dengan HLGL berupa pencarian dan pengumpulan Gaharu
Aquilaria malaccensis, buah-buahan seperti Durian, Rambutan, Lahung, madu,
penebangan jenis kayu Ulin Eusideroxylon zwageri, Meranti Swietenia sp. dan berburu binatang. Penebangan liar yang dilakukan oleh pihak luar masyarakat pendatang dari
Kecamatan Batu Kajang, Simpang Lombok, Banjar-Kalimantan Selatan, Pulau Sulawesi dengan menarik penebang dari masyarakat Rantau Layung. Biasanya jika kegiatan ini
diketahui oleh ketua adat maka pihak luar diharuskan membayar denda adat apabila menebang di hutan adat sebesar 50 dari harga penjualan satu pohon yang ditebang.
Dusun Muluy
Pemanfaatan hasil hutan yang diperbolehkan menurut hukum adat adalah pengambilan hasil hutan non kayu dan perburuan binatang untuk dimakan seperti
Landak, Rusa, Kijang dan Pelanduk. Pemanfaatan ini tidak diperbolehkan melampaui batas harus sesuai keperluan saja. Hukum adat yang berlaku di Dusun Muluy jauh lebih
ditaati oleh masyarakatnya dibanding hukum pemerintah.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat Muluy bermata pencaharian dengan berladang dengan sistem perladangan bergilir
10
, dengan bentuk perladangan yang berbukit-bukit. Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa hutan
sekitar ladang merupakan hutan yang termasuk ke dalam kawasan HLGL, masyarakat mengambil kayu dari sekitar pemukiman sebagai bahan bangunan untuk membangun
rumah ladang dan bahan bakar serta mengumpulkan HHNK Hasil Hutan Non Kayu seperti Gaharu, madu, Rotan, buah-buahan dan binatang buruan. Masyarakat Muluy juga
dikenal sebagai pengrajin; membuat gelang, anjat bakul dan tas bakul dari rotan. Hanya saja kerajinan tersebut masih untuk penggunaan sendiri dan belum diperjualbelikan.
Gambar 11. Bentuk lahan perladangan masyarakat Muluy
10
Kronologis sistem perladangan sama dengan yang digunakan oleh masyarakat Desa Rantau Layung.
Selain itu, mereka juga melakukan pendulangan emas di sungai sekitar kawasan HLGL dan penangkapan burung jenis Kucica hutan Copsychus malabaricus untuk
diperdagangkan Gambar 12 karena memiliki kicauan yang sangat indah. Penangkapan burung dilakukan menggunakan pulut lem yang rata-rata diambil dari dalam kawasan
HLGL.
Gambar 12. Kucica hutan Copsychus malabaricus
Masyarakat Muluy hanya melakukan kegiatan penambangan emas di saat kritis seperti tidak ada beras gagal panen, dengan kata lain jika masih tersedia beras maka
mereka tidak akan menambang atau secara insidental seperti upacara adat, pendidikan dan kesehatan. Kegiatan menambang dilakukan maksimal selama satu bulan dan secara
tradisional dengan sebelumnya dilaksanakan rapat adat. Rapat adat dilakukan untuk persetujuan membuka ‘tabungan’ masyarakat berupa perut bumi dan pembentukan
kelompok. Hasil tambang dibagikan secara merata sesuai jumlah kelompok. Kegiatan yang pernah dilakukan Dishut untuk masyarakat Muluy adalah kegiatan
reboisasi dengan membagikan bibit tanaman buah-buahan, Jati dan Karet. Dari PeMA Paser melakukan pendampingan masyarakat adat dengan membantu dalam pengajuan
hukum adat ke pemerintah kabupaten agar berjalan sinergis dengan hukum pemerintah yang berkaitan dengan hak ulayat. Masyarakat Muluy melakukan pemetaan partisipatif
batas-batas hutan adat atas fasilitasi PADI Indonesia selama tiga tahun terhitung sejak dilakukan pada tahun 1995. Masyarakat Muluy juga ikut mendampingi sebagai informan
lokal saat penelitian-penelitian dan kegiatan eksplorasi keanekaragaman hayati yang dilakukan di kawasan HLGL dibawah koordinasi TBI Indonesia.
A.4. Penggolongan dan Matriks Intensitas Pengaruh-Kepentingan Masing-masing Stakeholder Terhadap SDH di HLGL
Matriks pengaruh-kepentingan adalah salah satu cara dalam memilah stakeholder ke dalam kuadran yang mengindikasikan intensitas tinggi-rendahnya suatu
pengaruh dan kepentingan masing-masing stakeholder terhadap suatu isu atau potensi dan pengelolaan sumberdaya. Pemilahan ini dilakukan untuk menentukan tindakan yang
diperlukan dalam memperlakukan stakeholder dalam setiap pengambilan keputusan.
Bagi stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang sama-sama tinggi maka tindakan yang patut dilakukan adalah
pelibatan secara aktif. Pelibatan yang dimaksud adalah selalu melibatkan stakeholder tersebut ke dalam setiap pengambilan keputusan
pengelolaan HLGL, karena merupakan tokoh sentral dan memiliki tanggungjawab atas SDH di HLGL. Tindakan bagi stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi dengan
pengaruh rendah adalah penyaluran data dan informasi mengenai potensi sumberdaya yang terkandung dalam kawasan secara bekelanjutan. Sedangkan bagi stakeholder yang
memiliki kepentingan rendah dengan pengaruh yang tinggi, perlu selalu dipuaskan dengan potensi sumberdaya yang ada. Terakhir, bagi yang memiliki pengaruh dan
kepentingan sama-sama rendah maka hanya tindakan memonitor yang perlu dilakukan. Intensitas pengaruh dan kepentingan masing-masing stakeholder terhadap SDH di HLGL
didasarkan pada tingkat kewenangan atau posisi dalam pengambilan keputusan yang akan dilakukan, penjabaran kewajiban yang harus dilakukan terhadap kawasan job
description, bentuk interaksi dan dampak langsung dan tak langsung yang dialami stakeholder apabila hilang atau rusaknya potensi SDH di HLGL.
Pemilahan stakeholder juga didasarkan pada penggolongan kedalam
stakeholder primer dan sekunder; yang nantinya akan mempengaruhi bentuk-bentuk tindakan yang akan dilakukan terhadap stakeholder tersebut. Tindakan yang dilakukan
adalah pengutamaan dan tidaknya stakeholder dalam pelibatan setiap pengambilan keputusan dan dilibatkan secara periodik atau bahkan seberapa besar intensitas
pengaruh dan kepentingannya stakeholder dalam pengelolaan SDH di HLGL. Hal tersebut dilakukan sehingga diketahui signifikansi peran stakeholder dalam hal
mempengaruhi dan dipengaruhi serta langsung dan tidak langsungnya keluaran keputusan pengelolaan HLGL. Latar belakang penggolongan stakeholder didasarkan
pada kepemilikan kekuasaan, tanggung jawab dan klaim atas SDH di HLGL serta setiap pengambilan keputusan pengelolaan yang dilakukan akan mempengaruhi para
stakeholder tersebut secara langsung sehingga partisipasinya sangat dibutuhkan. Sedangkan bagi stakeholder sekunder, bentuk partisipasinya dibutuhkan secara periodik
disesuaikan dengan kebutuhan yang bersangkutan serta pengelolaan SDH. Di kawasan HLGL terdapat 13 stakeholder meliputi instansi pemerintah,
organisasi non pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat sekitar kawasan yang terkait dalam potensi SDH di HLGL. Masing-masing stakeholder memiliki pengaruh dan
kepentingan yang berbeda-beda terhadap potensi SDH di HLGL Tabel 9.
Tabel 9. Penggolongan dan Intensitas Pengaruh-Kepentingan Stakeholder di HLGL
No. Penggolongan
Stakeholder Pengaruh
Kepentingan Tinggi
Rendah Tinggi Rendah
1.
Primer Dinas Kehutanan
Kabupaten Pasir 9
- 9
- 2. Bappeda
Kabupaten Pasir
9 -
9 -
3. Bapedalda Kabupaten Pasir
9 -
9 -
4. Masyarakat Desa
Rantau Layung
9 -
9 -
5. Masyarakat Dusun
Muluy 9
- 9
- 6. UPTD
Planologi Kehutanan
Balikpapan 9
- 9
- 7.
Sekunder Dinas Sosial Kabupaten
Pasir -
9 -
9 8.
UPTD Pengelolaan Hutan Kabupaten Pasir
- 9
- 9
9. PeMA Paser
- 9
- 9
10. PADI Indonesia
- 9
- 9
11. TBI Indonesia
- 9
9 -
12. PT Kideco Jaya Agung
- 9
- 9
13. PT Rizky Kacida Reana
- 9
9 -
Dalam pengelolaan SDH di HLGL, stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang sama-sama tinggi adalah instansi pemerintah yaitu Dinas Kehutanan
Kabupaten Pasir, Bappeda, Bapedalda dan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan serta masyarakat Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy. Jika didasarkan pada penggolongan
stakeholder keseluruhan instansi pemerintah yaitu Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, Bappeda, Bapedalda dan UPTD Planologi Kehutanan termasuk kedalam stakeholder
primer. Kondisi ini didasarkan pada penjabaran kewajiban job description masing- masing instansi tersebut yang sangat penting terhadap pengelolaan HLGL. Para
stakeholder tersebut harus selalu berkoordinasi sebagai stakeholder yang paling berpengaruh berperan dan mempengaruhi setiap keputusan pengelolaan SDH di HLGL
agar dapat mewujudkan tujuan pengelolaan bersama dengan turut melibatkan stakeholder lainnya.
Masyarakat Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung termasuk kedalam stakeholder primer serta memiliki tingkat pengaruh dan kepentingan yang tinggi.
Pengaruh tinggi yang dimiliki oleh masyarakat Dusun Muluy disebabkan oleh keberadaan dusun yang berada dalam kawasan HLGL sehingga bentuk pengelolaan HLGL harus
mengakomodir lokasi pemukiman tersebut, sedangkan bagi masyarakat Desa Rantau Layung diakibatkan oleh keberadaan desa yang berada di sekitar kawasan HLGL jauh
sebelum penunjukkan kawasan HLGL. Tingginya tingkat ketergantungan terhadap keberadaan HLGL bagi mayoritas masyarakat Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung
demi keberlangsungan hidup merupakan alasan bahwa masyarakat Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung memiliki kepentingan yang tinggi terhadap SDH di HLGL.
PT Rizky Kacida Reana dan TBI Indonesia merupakan stakeholder yang memiliki pengaruh rendah dan kepentingan yang tinggi terhadap SDH di HLGL.
Kepentingan didasarkan pada keberadaan HLGL sebagai sumber penelitian ilmiah bagi TBI Indonesia untuk mendapatkan data dan informasi menyeluruh ekologi, ekonomi dan
sosial-budaya dari kawasan HLGL dan jalan logging yang membelah kawasan HLGL sebagai jalur lintasan pengangkutan pemanfaatan hasil hutan kayu bagi PT Rizky Kacida
Reana. Dinas Sosial, UPTD Pengelolaan Hutan Kabupaten Pasir, PeMA Paser, PADI Indonesia dan PT Kideco Jaya Agung merupakan stakeholder yang memiliki pengaruh
dan kepentingan yang rendah terhadap SDH di HLGL. Keseluruhan stakeholder memiliki tujuan yang berbeda-beda dalam suatu
pengelolaan SDH tetapi tujuan utama tersebut pastilah yang tidak berdampak merugikan pada stakeholder yang bersangkutan. Oleh karena itu penggolongan dan pemilahan
intensitas pengaruh dan kepentingan stakeholder sangat penting agar dapat dilakukan tindakan yang tepat demi mencapai tujuan pengelolaan bersama.
C. Identifikasi Konflik Antar Stakeholder dalam Pengelolaan SDH di HLGL C.1. Berdasarkan Aktor Konflik dan Isu Konflik
C.1.1. Konflik Antar Instansi Pemerintah
Dalam mengidentifikasi konflik antar stakeholder pengelolaan SDH di HLGL, dilakukan melalui analisis stakeholder. Analisis yang telah dilakukan menghasilkan
matriks identifikasi konflik dengan pengelompokan aktor konflik; konflik antar instansi pemerintah, konflik antara instansi pemerintah dengan organisasi non pemerintah,
perusahaan swasta dan masyarakat sekitar kawasan HLGL dan konflik antar organisasi non pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat sekitar kawasan HLGL, matriks
intensitas pengaruh dan kepentingan stakeholder di HLGL dan sekitarnya serta pohon konflik. Keseluruhan isu konflik dalam pengelolaan SDH di HLGL meliputi pemanfaatan
hasil hutan, pemanfaatan kawasan hutan, perlindungan kawasan, penataan batas kawasan, pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan, kuantitas dan kualitas SDM serta
koordinasi antar stakeholder. Kelompok aktor konflik pertama merupakan konflik antar instansi pemerintah.
Instansi pemerintah yang terkait dalam pengelolaan SDH di kawasan HLGL dan sekitarnya adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir Dishut, Bappeda, Bapedalda,
Dinas Sosial, UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan dan UPTD Pengelolaan Hutan Kabupaten Pasir. Identifikasi konflik yang terjadi dilakukan berdasarkan isu konflik dalam
pengelolaan SDH di HLGL Tabel 10.
Tabel 10. Matriks Identifikasi Konflik Antar Instansi Pemerintah Berdasarkan Isu Konflik
Instansi Pemerintah
UPTD Pengelolaan
Hutan Kabupaten
Pasir UPTD
Planologi Kehutanan
Balikpapan Dinas
Sosial Bapedalda
Bappeda Dinas
Kehutanan Kabupaten
Pasir Dinas
Kehutanan Kabupaten
Pasir
- Penataan
batas kawasan
mencuat Pemanfaatan
kawasan hutan
mencuat - Koordinasi
antar instansi
tertutup Kualitas dan
kuantitas SDM
tertutup dan
pemanfaatan hasil hutan
mencuat
Bappeda
- - - - -
Bapedalda
- - - Kualitas
dan kuantitas
SDM tertutup
Dinas Sosial
- - - UPTD
Planologi Kehutanan
Balikpapan
- -
UPTD Pengelolaan
Hutan Kabupaten
Pasir
-
Isu konflik yang terjadi antar instansi pemerintah adalah pemanfaatan hasil hutan, pemanfaatan kawasan hutan, penataan batas kawasan dan kualitas dan kuantitas
SDM serta koordinasi antar instansi. Konflik pemanfaatan hasil hutan yang terjadi antar Dishut merupakan konflik yang berwujud mencuat, yaitu bentuk permasalahan dan
perselisihan teridentifikasi dan jelas tetapi proses penyelesaiannya belum berkembang. Konflik terjadi akibat adanya oknum dalam Dishut yang melakukan penyelewengan
berupa memprovokasi dan mengimingi masyarakat sekitar kawasan untuk menebang kayu komersial. Konflik antar Dishut yang terjadi termasuk kedalam ruang konflik nilai,
yaitu ketidaksesuaian sistem kepercayaan yang dianut dalam instansi sehingga memaksakan suatu sistem nilai kepada pihak lain.
Konflik horizontal pemanfaatan kawasan hutan terjadi antara Dishut dan Dinas Sosial yang berwujud mencuat dan merupakan konflik struktural. Ketimpangan dalam
pengontrolan akses dan sumberdaya serta pihak berkuasa menyebabkan tindakan kontrol sepihak terhadap pihak lain, hal ini terjadi dalam pembangunan pemukiman
secara sepihak oleh Dinas Sosial bagi masyarakat Muluy dalam kawasan HLGL. Pembangunan pemukiman tersebut dilakukan tanpa adanya koordinasi kepada Dishut
sebagai pengelola utama kawasan HLGL.
Konflik vertikal terjadi antara Dishut dan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan mengenai isu penataan batas kawasan yang berhubungan masalah kewenangan dalam
melakukan kegiatan tata batas kawasan HLGL. Konflik tersebut berwujud konflik mencuat dan masuk kedalam ruang konflik kepentingan dan struktural. Persaingan kepentingan
terjadi antara Dishut dan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan yang disebabkan oleh masalah tata cara dalam menata batas kawasan HLGL serta perbedaan asal
kewenangan. Hal ini membuktikan belum optimalnya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah seiring masa desentralisasi.
Konflik horizontal mengenai isu kualitas dan kuantitas SDM menjadi konflik internal dalam instansi Dishut dan Bapedalda. Konflik tersebut termasuk konflik tertutup
karena belum keluar di permukaan masih merupakan masalah internal yang dapat diselesaikan dengan saling membuka wawasan SDM dalam instansi. Keseluruhan konflik
yang terjadi merupakan konflik tertutup; konflik yang dicirikan dengan adanya tekanan- tekanan tetapi tidak sepenuhnya berkembang dan tampak dan masuk kedalam ruang
konflik nilai. Perihal konflik berkaitan dengan pengelolaan dalam instansi yang membutuhkan SDM yang terampil, profesional, berdedikasi tinggi, berakhlak mulia dan
konsisten. Konflik horizontal dan tertutup juga terjadi antara Dishut dan Bappeda akibat
kurang terbangunnya koordinasi yang baik. Konflik terjadi akibat kedua instansi tersebut saling meragukan kemampuan SDM masing-masing instansi sehingga menimbulkan
hubungan yang kurang solid dan koordinasi yang tidak terjalin dengan baik. Berdasarkan ruang konflik, konflik yang terjadi antara Dishut dan Bappeda termasuk konflik
kepentingan dan konflik hubungan antar manusia. Konflik kepentingan disebabkan adanya persaingan kepentingan yang tidak bersesuaian karena masalah penanganan
pengelolaan SDH. Konflik hubungan antar manusia sebenarnya tidak perlu terjadi menurut Moore 1956 dalam Fuad Maskanah 2000, karena terjadi akibat salah
komunikasi dan persepsi. Kondisi ini dapat diantisipasi dengan mengangkat masalah tersebut ke permukaan sehingga disadari adanya ketidaksesuaian pandangan dalam
pengelolaan HLGL dan dapat segera ditangani secara efektif dengan meningkatkan komunikasi.
C.1.2. Konflik Antara Instansi Pemerintah dengan Organisasi Non pemerintah, Perusahaan Swasta dan Masyarakat Sekitar Kawasan HLGL
Kelompok aktor konflik kedua adalah konflik antara instansi pemerintah dengan organisasi non pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat sekitar kawasan HLGL
Tabel 11. Organisasi non pemerintah terdiri dari PeMA Paser dan PADI Indonesia yang merupakan LSM dan TBI Indonesia yang merupakan lembaga penelitian internasional
bergerak di bidang kehutanan. Dua perusahaan swasta yaitu PT Rizky Kacida Reana dalam bidang pengusahaan kayu dan PT Kideco Jaya Agung di bidang pertambangan
batubara. Serta masyarakat Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy sebagai pihak masyarakat sekitar kawasan HLGL.
Isu konflik yang terjadi antara aktor konflik instansi pemerintah dengan organisasi non pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat sekitar kawasan HLGL
adalah pemanfaatan hasil hutan, pemanfaatan kawasan hutan, perlindungan kawasan, penataan batas kawasan, pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan dan koordinasi
antar stakeholder. Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa konflik pemanfaatan hasil hutan terjadi antara PT Kideco Jaya Agung dengan Dishut dan Bapedalda. Konflik tersebut
termasuk jenis konflik vertikal karena berada dalam skala kelembagaan yang berbeda. Latar belakang konflik yang terjadi adalah mengenai pengolahan limbah tambang
batubara PT Kideco Jaya Agung yang berdampak pada DAS Kendilo sebagai penyuplai air bagi sekitar 68 pemukiman sekitar kawasan HLGL. Walaupun, areal tambang
perusahaan berjarak sangat jauh dan berada diluar kawasan HLGL. Konflik antara pihak perusahaan dengan Dishut merupakan konflik tertutup karena pihak Dishut belum
mengetahui secara mendetail mengenai dampak tersebut dan merupakan konflik struktural karena adanya ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya.
Sedangkan bagi Bapedalda, konflik tersebut merupakan konflik mencuat karena pihak Bapedalda telah menegur langsung pihak perusahaan. Namun sampai saat ini belum ada
tindakan negosiasi dengan pihak perusahaan untuk segera mengantisipasi limbah tersebut.
Konflik pemanfaatan kawasan timbul akibat pemukiman dalam kawasan HLGL yang terjadi antara masyarakat Muluy dan Dinas Sosial. Perihal konflik mengenai status
legalitas pemukiman yang masih dipertanyakan, disebabkan adanya tarik-ulur kepentingan dalam pengurusan status legalitas pemukiman tersebut antara kedua pihak.
Konflik tersebut adalah konflik vertikal dan merupakan konflik struktural serta berwujud tertutup, yang dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan terhadap kedua belah pihak
namun tak tampak dan berkembang.
Tabel 11. Matriks Identifikasi Konflik Antara Instansi Pemerintah Dengan Organisasi Non pemerintah, Perusahaan Swasta dan Masyarakat Sekitar Kawasan HLGL Berdasarkan Isu Konflik
Stakeholder PeMA Paser
PADI Indonesia TBI Indonesia
PT Rizky Kacida Reana
PT Kideco Jaya Agung
Masyarakat Desa Rantau
Layung Masyarakat
Dusun Muluy Dinas
Kehutanan Kabupaten
Pasir
Perlindungan kawasan
mencuat Koordinasi antar
stakeholder tertutup
Koordinasi antar stakeholder
tertutup - Pemanfaatan
hasil hutan tertutup
Penataan batas kawasan
terbuka Penataan batas
kawasan terbuka dan
pemberdayaan masyarakat
terbuka
Bappeda -
- - - -
- -
Bapedalda Koordinasi antar
stakeholder tertutup
- - - Pemanfaatan
hasil hutan mencuat
- -
Dinas Sosial -
- - - -
- Pemanfaatan
kawasan tertutup
UPTD Planologi Kehutanan
Balikpapan
- -
- - - -
- UPTD
Pengelolaan Hutan
Kabupaten Pasir
- -
- - - -
-
64
Penegakan hukum yang masih lemah dan kurang tegas dalam menanggapi ancaman dan perusakan hutan yang terjadi telah mengakibatkan timbulnya isu konflik
perlindungan kawasan. Konflik terjadi akibat kurang responsifnya Dishut terhadap informasi perusakan hutan yang diberikan PeMA Paser. Informasi yang diberikan berupa keberadaan
sawmill tempat pengumpulan kayu liar yang terdapat di Kabupaten Pasir dan kemungkinan terdapat kayu liar yang berasal dari kawasan HLGL. Jenis konflik yang terjadi antara Dishut
dan PeMA Paser merupakan konflik vertikal, berwujud mencuat dan merupakan konflik struktural.
Isu konflik penataan batas kawasan timbul akibat masyarakat sekitar kawasan tidak ikut terlibat dalam kegiatan tata batas kawasan HLGL. Konflik terjadi antara Dishut dengan
pihak masyarakat Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy yang termasuk kedalam konflik vertikal dan berwujud konflik terbuka. Hampir seluruh masyarakat Desa Rantau Layung dan
Dusun Muluy tidak mengetahui batas-batas kawasan HLGL, hal ini terjadi karena pihak Dishut tidak pernah melakukan sosialisasi mengenai keberadaan HLGL maupun melibatkan
masyarakat sekitar kedalam kegiatan tata batas kawasan. Kawasan HLGL telah mengalami penataan batas sebanyak tiga kali. Tetapi kondisi pal batas sebagai penanda batas kawasan
sangat memprihatinkan karena dari 1205 pal batas yang terdapat dalam kawasan HLGL hanya tiga yang masih dalam kondisi baik. Oleh karena itu sebaiknya kegiatan penataan
batas selanjutnya rekonstruksi ulang melibatkan masyarakat sekitar kawasan supaya penetapan batas-batas kawasan HLGL menjadi jelas dan adil berdasarkan kesepakatan
pihak Dishut dan masyarakat sehingga dapat bekerjasama dalam memonitor pal batas. Ruang konflik yang terjadi adalah konflik kepentingan dan struktural.
Terjadi konflik antara Dishut dengan masyarakat Muluy mengenai pemberdayaan masyarakat. Menurut masyarakat Muluy, program pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan Dishut tidak tepat sasaran. Program tersebut berupa pemberian bibit tanaman Jati, Mahoni, Karet dan buah-buahan, tetapi lokasi yang harus ditanami tidak sesuai dengan
keinginan masyarakat Muluy. Kondisi ini diperkuat pula oleh ketertarikan masyarakat Muluy yang sangat kurang untuk menanam dan memelihara tanaman tersebut. Konflik yang terjadi
merupakan konflik terbuka karena telah berselisih dan bernegosiasi walaupun menemui jalan buntu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bibit yang terbengkalai dan pihak Dishut
yang cenderung tidak memonitor keberhasilan pertumbuhan tanaman yang diberikan kepada masyarakat Muluy.
Isu konflik koordinasi antar stakeholder terjadi antara Dishut dengan PADI Indonesia dan TBI Indonesia serta antara Bapedalda dengan PeMA Paser. Keseluruhan konflik
merupakan konflik vertikal dan tertutup karena tidak tampak dan berkembang walaupun telah muncul tekanan-tekanan. Konflik yang terjadi antara Dishut dengan PADI Indonesia
dan Bapedalda dengan PeMA Paser merupakan konflik data dan kepentingan. Dengan latar belakang penyaluran dan penyampaian informasi terkait yang tidak tersalurkan, seperti
informasi mengenai para pihak perusahaan swasta yang beroperasi secara legal maupun
ilegal yang beroperasi di dalam dan sekitar kawasan HLGL. Sikap dalam penanganan masalah juga melatarbelakangi terjadinya konflik, karena masing-masing stakeholder
memiliki sikap sendiri dalam penanganan masalah terkait dengan kawasan dan tidak saling berkomunikasi. Berbeda dengan konflik tertutup yang terjadi antara Dishut dengan TBI
Indonesia yang dilatarbelakangi oleh konflik kepentingan dan struktural. Pihak Dishut menganggap TBI Indonesia tidak berkontribusi langsung terhadap HLGL maupun Dishut,
sedangkan TBI Indonesia menganggap Dishut kurang pro aktif dalam pengelolaan HLGL.
C.1.3. Konflik Antar Organisasi Non pemerintah, Perusahaan Swasta dan Masyarakat Sekitar Kawasan HLGL
Kelompok aktor konflik terakhir adalah konflik antar organisasi non pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat sekitar kawasan HLGL Tabel 12. Konflik yang terjadi
antar organisasi non pemerintah dan antar masyarakat sekitar kawasan merupakan konflik horizontal. Konflik yang terjadi antara organisasi non pemerintah dengan perusahaan swasta
dan masyarakat sekitar begitu pula sebaliknya, merupakan konflik vertikal. Terlihat pada Tabel 12 bahwa isu konflik antar organisasi non pemerintah,
perusahaan swasta dan masyarakat sekitar kawasan adalah konflik pemanfaatan hasil hutan, pemberdayaan masyarakat, kualitas dan kuantitas SDM dalam stakeholder serta
koordinasi antar stakeholder. Terdapat tiga kasus konflik dalam pemanfaatan hasil hutan; dua diantaranya merupakan konflik horizontal antar masyarakat sekitar kawasan yaitu
antara masyarakat Desa Rantau Layung dengan Dusun Muluy dan antar masyarakat Desa Rantau Layung. Konflik disebabkan oleh kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh
oknum dari masyarakat itu sendiri atau pendatang yang menetap di desa tersebut. Penebangan yang dilakukan masyarakat Desa Rantau Layung di perbatasan hutan adat
Muluy dan Rantau Layung menyebabkan konflik terbuka walaupun konflik tersebut telah diselesaikan melalui negosiasi yang dilakukan kedua belah pihak. Pihak Muluy telah
melakukan peneguran kepada Desa Rantau Layung dan membuat perjanjian adat apabila melanggarnya akan dikenai sanksi adat. Berbeda dengan penebangan yang dilakukan oleh
masyarakat Rantau Layung, konflik tersebut merupakan konflik mencuat. Keduanya termasuk kedalam ruang konflik nilai dan kepentingan. Konflik lainnya adalah konflik yang
terjadi antara PT Kideco Jaya Agung dengan PeMA Paser mengenai dampak limbah tambang perusahaan dan berwujud konflik tertutup. Pihak PeMA Paser mendorong pihak
perusahaan untuk menanggulangi secara cepat kondisi tersebut sehingga termasuk kedalam konflik kepentingan.
Tabel 12. Matriks Identifikasi Konflik Antar Organisasi Non pemerintah, Perusahaan Swasta dan Masyarakat Sekitar Kawasan HLGL Berdasarkan Isu Konflik
Stakeholder Masyarakat
Dusun Muluy Masyarakat Desa
Rantau Layung PT Kideco Jaya
Agung PT Rizky Kacida
Reana TBI Indonesia
PADI Indonesia PeMA Paser
PeMA Paser
Pemberdayaan masyarakat
tertutup Koordinasi antar
stakeholder tertutup
Pemanfaatan hasil hutan
tertutup - Koordinasi
antar stakeholder
tertutup Koordinasi antar
stakeholder terbuka Kualitas dan
kuantitas SDM tertutup
PADI Indonesia
- - - - Koordinasi
antar stakeholder
terbuka Kualitas dan kuantitas
SDM tertutup -
TBI Indonesia
Koordinasi antar stakeholder
terbuka - - - - - -
PT Rizky Kacida Reana
Pemberdayaan masyarakat
terbuka; telah diselesaikan
- - - - - -
PT Kideco Jaya Agung
- - - - - - -
Masyarakat Desa Rantau Layung
Pemanfaatan hasil hutan
terbuka; telah diselesaikan
Pemanfaatan hasil hutan
mencuat - - - - -
Masyarakat Dusun Muluy
- - - - - - -
67
Konflik vertikal antara PeMA Paser dengan masyarakat Muluy dan PT Rizky Kacida Reana dengan masyarakat Muluy adalah perihal isu konflik pemberdayaan masyarakat.
Konflik antara PeMA Paser dengan masyarakat Muluy terjadi akibat ketidakpercayaan masyarakat Muluy terhadap peran PeMA Paser sebagai penjembatan masyarakat adat
Paser dengan pihak luar. Sedangkan konflik antara masyarakat Muluy dengan PT Rizky Kacida Reana disebabkan perihal insentif dan kompensasi yang harus diberikan pihak
perusahaan kepada masyarakat Muluy atas keberadaan perusahaan camp karyawan yang berdekatan dengan kawasan hutan adat Muluy dan dampak pengangkutan kayu log
terhadap pemukiman yang berlokasi di tepi jalan logging. Wujud konflik antara masyarakat Muluy dengan PeMA Paser adalah tertutup dan merupakan ruang konflik kepentingan,
sedangkan wujud konflik antara masyarakat Muluy dengan PT Rizky Kacida Reana adalah terbuka. Konflik terbuka terjadi karena pada suatu ketika pihak perusahaan mengingkari janji
pemberian air bersih sehingga masyarakat Muluy menuntut pembayaran ganti rugi berupa uang. Setelah bernegosiasi akhirnya ganti rugi tersebut dibayar oleh pihak perusahaan,
konflik tersebut telah diselesaikan melalui negosiasi yang dilakukan kedua belah pihak. Terdapat dua kasus dalam isu konflik kualitas dan kuantitas SDM dalam
stakeholder kelompok aktor konflik antar organisasi non pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat sekitar kawasan di HLGL. Konflik terjadi dalam internal organisasi non
pemerintah yaitu PeMA Paser dan PADI Indonesia. Keseluruhan konflik termasuk konflik horizontal dan tertutup serta termasuk ke dalam ruang konflik nilai. Konflik terjadi akibat
SDM yang terkandung dalam masing-masing stakeholder menganut sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian baik yang hanya dirasakan maupun memang nyata terjadi dan
terjadi akibat adanya pemaksaan kepercayaan tujuan pengelolaan HLGL atau tidak mungkin adanya percabangan kepercayaan didalam tubuh stakeholder tersebut. Konflik
horizontal yang terjadi antar PeMA Paser adalah mengenai konsistensi dan kompeten SDM yang dibutuhkan PeMA Paser. Tidak semua anggota PeMA Paser memiliki komitmen kuat
dalam mewujudkan tujuan berdirinya PeMA Paser sehingga seleksi alam terjadi saat PeMA Paser menghadapi kasus yang membutuhkan perhatian dan komitmen penuh. Latar
belakang konflik horizontal di PADI Indonesia juga disebabkan kurangnya SDM yang idealis dan berkomitmen terhadap tujuan PADI.
Isu konflik koordinasi antar stakeholder merupakan konflik yang utama dialami oleh stakeholder terkait di HLGL. Konflik-konflik tersebut terjadi antara PeMA Paser dengan
masyarakat Desa Rantau Layung, TBI Indonesia dan PADI Indonesia, antara PADI Indonesia dengan TBI Indonesia dan antara masyarakat Muluy dengan TBI Indonesia.
Konflik yang terjadi antara PeMA Paser dengan masyarakat Rantau Layung berkaitan dengan masalah data dan informasi yang tidak tersalurkan dengan baik antara kedua belah
pihak. Kasus konflik tersebut merupakan konflik tertutup dan termasuk ruang konflik data. Konflik yang terjadi antara TBI Indonesia dengan PeMA Paser dan masyarakat Muluy
merupakan konflik data dan kepentingan. Konflik data disebabkan kekurangan informasi
yang dibutuhkan atau mendapat informasi yang salah sedangkan konflik kepentingan disebabkan persaingan kepentingan meliputi masalah substantif sumberdaya dan uang,
penanganan masalah dan rasa kepercayaan, keadilan dan hormat yang tidak bersesuaian. Latar belakang konflik antara TBI Indonesia dengan PeMA Paser adalah adanya oknum
yang cenderung menunggangi kegiatan dengan orientasi yang berbeda sehingga jika tidak segera diatasi dapat mengancam hubungan mitra kerja yang telah terjalin dengan baik.
Konflik antara TBI Indonesia dengan masyarakat Muluy terjadi akibat kesalahpahaman. Sehingga masyarakat Muluy pernah menolak kehadiran TBI Indonesia di Muluy dan
kawasan HLGL. Oleh sebab itu, pembangunan rasa saling percaya dan menghormati dengan membangun komunikasi yang baik diantara kedua belah pihak dengan atau tanpa
bantuan pihak ketiga fasilitator dirasakan sangat penting. Konflik kepentingan dan nilai antara PeMA Paser dengan PADI Indonesia
dilatarbelakangi oleh keraguan PADI Indonesia terhadap peran PeMA Paser sebagai wakil dan mediator masyarakat adat Paser dalam menjembatani masyarakat dengan pihak luar.
Konflik terbuka terjadi antara PeMA Paser dengan PADI Indonesia saat PeMA Paser menolak kedatangan PADI Indonesia di tanah adat Paser karena diyakini telah melakukan
provokasi kepada masyarakat Paser untuk menolak tujuan PeMA Paser. Konflik terbuka juga terjadi antara PADI Indonesia dengan TBI Indonesia. Konflik tersebut merupakan
konflik kepentingan, hubungan antar manusia dan nilai. Akar masalahnya adalah adanya hubungan kurang baik antara tetua dalam organisasi meliputi komunikasi dan sikap yang
akhirnya menimbulkan persaingan kepentingan dan ketidaksesuaian sistem kepercayaan paradigma pengelolaan hutan, khususnya dalam penanganan masyarakat Dusun Muluy
yang berada dalam kawasan HLGL.
C.2. Pohon Konflik
Pohon konflik dilakukan untuk membantu dalam menyepakati masalah inti, merangsang berbagai sebab dan efek dalam suatu konflik, membantu dalam mengambil
keputusan tentang prioritas untuk mengatasi berbagai isu konflik dan untuk menghubungkan berbagai sebab dan efek satu sama lain serta untuk memfokuskan aktor konfliknya. Pohon
konflik merupakan alat bantu untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik Fisher, et al., 2001. Penggunaan pohon konflik dilakukan dengan menggambar pohon yang terdiri dari batang
pohon sebagai masalah inti isu pokok konflik, akar sebagai penyebab masalah dan ranting sebagai efek atau dampak dari masalah yang ditimbulkan. Berdasarkan identifikasi konflik
yang telah diidentifikasi melalui analisis stakeholder, didapatkan tujuh isu konflik yang terjadi dalam pengelolaan SDH di HLGL. Isu-isu konflik tersebut adalah pemanfaatan hasil hutan,
pemanfaatan kawasan hutan, perlindungan kawasan, penataan batas kawasan, pemberdayaan masyarakat, kualitas dan kuantitas SDM dalam stakeholder dan koordinasi
antar stakeholder. Melalui pohon konflik, akan diketahui permasalahan inti atau isu pokok konflik yang terjadi dalam pengelolaan SDH di HLGL Gambar 13.
Gambar 13. Pohon Konflik Pengelolaan SDH di HLGL
Pal batas tidak terawat
Penanaman tanaman introduksi
Perambahan hutan
Penebangan liar Tumpang tindih
kewenangan di instansi pemerintah
Tidak adanya sense of belonging
terhadap kawasan Pemukiman dalam
kawasan
Aksesibilitas jalan yang mudah menuju
kawasan
EFEK
KOORDINASI ANTAR STAKEHOLDER YANG
TIDAK SOLID
Dilema sosial-kultural masyarakat sekitar
kawasan
Kurangnya optimalisasi dan
tumpang tindih kewenangan
Penegakan hukum yang lemah
Lemahnya sense of belonging terhadap
kawasan Oknum perusak hutan
dan provokator Tingkat
ketergantungan yang tinggi terhadap
kawasan Tidak adanya
sosialisasi dan konsultasi publik
mengenai kawasan
MASALAH INTI
PENYEBAB
D. Pemetaan Konflik D.1. Berdasarkan Tingkat Pengaruh dan Kepentingan