V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut
A.1. Sejarah Penunjukan Gunung Lumut Menjadi Hutan Lindung
Dahulu istilah wilayah atau kawasan kehutanan adalah TGHK Tata Guna Hutan Kesepakatan yang merupakan kesepakatan antara beberapa instansi terkait seperti
Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Bappeda dan Dinas Pekerjaan Umum. Yang menghasilkan fungsi-fungsi status kawasan hutan di Propinsi Kalimantan Timur
termasuk seluruh bagian Indonesia. Status-status tersebut adalah kawasan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan hutan produksi terbatas. Seluruh
kawasan hutan yang diberi status hutan lindung diberi nama oleh Badan Planologi. Nama hutan lindung diambil dari tanda terbesar di kawasan tersebut yaitu Gunung Lumut
Gambar 5. Kemudian pemerintah propinsi mengusulkan ke pemerintah pusat untuk selanjutnya dibakukan oleh Menteri Pertanian. Pada tanggal 15 Januari 1983, Menteri
Pertanian mengeluarkan Surat Keputusan No. 24KptsUm1983 tentang Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Propinsi Kalimantan Timur untuk menunjuk
Gunung Lumut dan sekitarnya menjadi kawasan hutan lindung. Tahun 1998, TGHK mengalami peninjauan ulang oleh propinsi seiring masa desentralisasi tahun 1998-2000
merupakan masa transisi dari sentralisasi menuju desentralisasi dan ternyata kawasan HLGL masih dipertahankan dengan bentuk kawasan yang tidak berubah dan masih
seperti dulu pada saat awal penunjukan.
Gambar 5. Gunung Lumut Secara petunjuk pelaksanaannya, penunjukan status suatu kawasan dilakukan
apabila hasil pengukuran suatu kawasan telah ’temu gelang’; yang berarti ujung kawasan sebelah Utara bertemu dengan ujung kawasan sebelah Selatan. Setelah diketahui luas
kawasan maka Menteri Kehutanan mengukuhkan; apabila telah dikukuhkan maka akan didapatkan legalitas. Proses tata batas dilakukan setelah penunjukan yaitu TGHK No.
241983. Tata batas dilakukan melalui tiga tahap yaitu pertama, tahap orientasi pihak ketiga yaitu kepemilikan suatu lahan dalam kawasan seperti kebun masyarakat, ladang
dan dusun, kedua adalah pemancangan batas sementara danketiga adalah pengukuran dan penanaman pal batas. Tata batas dilakukan oleh Badan Planologi masa
sentralistik, UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan dengan pengikutsertaan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir masa desentralisasi
. Di kawasan HLGL telah dilakukan
tiga kali tata batas, yaitu pada tahun 1986, 1990 dan tahun 2003, dengan panjang batas yang ditata batas berturut-turut adalah 100.975 Km, 20.600 Km dan 121.575 Km.
Penataan batas yang telah dilakukan sebanyak tiga kali belum menghasilkan ’temu gelang’. Hal ini yang menyebabkan kawasan HLGL masih berstatus penunjukan karena
pengukuhan suatu kawasan memerlukan proses yang cukup panjang setelah ’temu gelang’. Walaupun berdasarkan informasi dari TBI Indonesia pada tahun 2004 kawasan
HLGL telah ’temu gelang’ tetapi berita acara yang dikeluarkan Dinas Kehutanan belum diperoleh pihak TBI Indonesia. Kawasan HLGL merupakan salah satu dari empat hutan
lindung di Kabupaten Pasir dengan luas kawasan 35.350 Ha dari total luas kawasan hutan lindung di Kabupaten Pasir 116.952 Ha Lampiran 3.
Pengukuhan suatu kawasan hutan saat ini masih menggunakan sistem top-down yaitu pemerintah pusat yang langsung menetapkan status kawasan dengan pemerintah
propinsi yang melakukan sosialisasi untuk diteruskan sampai ke tingkat terbawah yaitu masyarakat sekitar kawasan. Secara aktual pengukuhan status suatu kawasan hutan
seharusnya gabungan dari sistem top-down dan bottom-up sehingga dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan dalam pengajuan status kawasan hutan sekitar mereka
maka masyarakat memiliki kesadaran penuh dalam arti dan fungsi penting suatu kawasan lindung serta menyetujui status tersebut karena yakin akan kontribusi positif
kawasan bagi keberlangsungan kehidupan mereka. Pelibatan tersebut berupa sosialisasi awal pengajuan kawasan lindung beserta arti dan fungsinya bagi masyarakat dan dalam
kegiatan tata batas yang akan dilakukan sesaat setelah penunjukan kawasan menjadi kawasan lindung.
Menurut PADI Indonesia, dasar keputusan pemerintah pusat menunjuk Gunung Lumut menjadi hutan lindung adalah karena resistensi masyarakat Muluy terhadap
kawasan Gunung Lumut. Dengan kata lain masyarakat Muluy dipercaya dapat menjaga dan melindungi hutan dari pihak luar swasta yang berorientasi ekonomi. Selain itu
didukung pula dengan keadaan ekologi dan topografi maka pemerintah mendompleng gagasan demi menyelamatkan Gunung Lumut. Menurut Dinas Kehutanan Kabupaten
Pasir, latar belakang kawasan Gunung Lumut dan sekitarnya perlu tetap dipertahankan keberadaannya menjadi kawasan hutan lindung, karena didasari oleh potensi tambang,
peran sebagai penampung air dan sumber penelitian ilmiah. Potensi tambang yang terkandung di dalam kawasan HLGL diantaranya batubara, nikel dan emas. Gunung
Lumut merupakan penampung air bagi dua DAS besar di Kabupaten Pasir yaitu DAS Kendilo dan DAS Telake. Kedua DAS tersebut merupakan penyedia air bagi 68 daerah di
sekitarnya meliputi Tanah Grogot, ibukota Kabupaten Pasir. Kawasan HLGL juga
berperan sebagai sumber penelitian ilmiah karena mengandung beragam potensi keanekaragaman hayati yang dapat dikembangkan dari flora maupun faunanya.
A.2. Pembentukan Kelompok Kerja Pengelolaan HLGL
Kelompok kerja pengelolaan HLGL Pokja HLGL lahir berdasarkan kesepakatan bersama dalam lokakarya pengelolaan HLGL di Kabupaten Pasir tahun 2004 saat TBI
Indonesia mengajukan wacana arah dan masa depan HLGL serta menginisiasikan terbentuknya Pokja tersebut. Lokakarya pengelolaan HLGL dilaksanakan pada tanggal
1-2 Desember 2004 di Tanah Grogot, ibukota Kabupaten Pasir. Lokakarya ini terselenggara atas kerjasama Pemerintah Kabupaten Pasir, TBI Indonesia dan PeMA
Paser. Sasaran penyelenggaraan lokakarya ini adalah untuk memperoleh informasi, kesepahaman dan kesepakatan dalam pengelolaan SDH di HLGL. Terdapat 101
peserta
2
dari pihak-pihak yang terlibat dan berperan serta dalam lokakarya tersebut yang berasal dari instansi pemerintah terkait propinsi dan kabupaten, perusahaan swasta
pertambangan dan perkayuan, perguruan tinggi, organisasi non pemerintah dan masyarakat lokal.
Secara garis besar hasil rumusan lokakarya pengelolaan HLGL adalah bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam lokakarya menyadari banyaknya permasalahan yang
dihadapi dalam pengelolaan HLGL. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah tidak jelasnya tata batas dan tata ruang kawasan HLGL, pencurian kayu dan perambahan
hutan serta dilema sosial-kultural dan ekonomi kawasan HLGL bagi kehidupan masyarakat sekitar kawasan. Sebab-sebab yang melatarbelakangi permasalahan
tersebut, diantaranya adalah tingginya aksesibilitas jalan darat menuju kawasan, kurangnya sosialisasi mengenai status dan fungsi HLGL kepada masyarakat sekitar
kawasan dan koordinasi antar instansi pemerintah terkait. Oleh karena itu seluruh peserta lokakarya menyepakati pembentukan Pokja HLGL demi tercapainya pengelolaan
HLGL yang lestari, adil dan berbasis rakyat serta akan saling bekerjasama kerjasama multipihak dalam mempersiapkan dan mengelola HLGL di masa mendatang.
Pembentukan Pokja HLGL disahkan oleh Bupati Kabupaten Pasir dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati Pasir No. 340 tahun 2005 Lampiran 5. Dalam
keputusan tersebut diputuskan bahwa Pokja HLGL bertugas mengkoordinasikan kegiatan pemeliharaan dan pelestarian fungsi HLGL sebagai kawasan penyangga bagi kawasan di
sekitarnya dan segala biaya yang timbul akibat penetapan keputusan ini dibebankan pada APBD Kabupaten Pasir tahun anggaran 2005 atau sumbangan dari pihak lain yang
tidak mengikat. Komposisi dan personalia Pokja HLGL
3
terdiri atas Bupati Kabupaten Pasir selaku Pembina, Sekretaris Daerah sebagai Pengarah, dengan Ketua Pokja HLGL
adalah Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, Kepala Bappeda sebagai wakil,
2
Daftar peserta yang mengikuti lokakarya pengelolaan HLGL terlampir Lampiran 4.
3
Tercantum dalam Surat Keputusan Bupati Kabupaten Pasir No. 340 tahun 2005 Lampiran 5
Kepala Sub Bidang Pembinaan Hutan Dinas Kehutanan sebagai sekretaris dan Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan II Bappeda sebagai wakil sekretaris. Pokja HLGL
juga terdiri dari anggota tetap dan tidak tetap yang berasal dari perwakilan instansi pemerintah, organisasi non pemerintah, perusahaan swasta, perguruan tinggi dan
masyarakat sekitar kawasan. Pada prinsipnya Pokja HLGL bertugas menyusun blue print pengelolaan HLGL
dengan melibatkan seluruh stakeholder melalui kerjasama multipihak. Pokja HLGL yang dibentuk mendapat mandat membuat perencanaan pengelolaan HLGL. Perkembangan
Pokja HLGL baru sampai pada tahap penyusunan kegiatan. Penyusunan rencana kegiatan ini disusun oleh kelompok kecil yang mewakili seluruh pihak untuk kemudian
dipresentasikan dan didiskusikan serta disahkan pada lokakarya tahap kedua. Pokja HLGL mereprentasikan para stakeholder dalam membuat rencana kegiatan. Walaupun
akan memakan waktu lama proses tetapi diyakini akan solid untuk jangka panjang. Diharapkan dapat menghasilkan program kerja dan kegiatan-kegiatan pengelolaan HLGL
yang implementatif, terarah dan tepat sasaran.
A.3. Bentuk-bentuk Kegiatan yang Dilakukan di Kawasan HLGL dan Penyelewengan yang Terjadi
Pengelolaan SDH adalah pemanfaatan dan perlakuan terhadap ekosistem SDH dengan tetap menjaga kelestarian kawasan mencakup ekonomi, sosial dan ekologi. Hal
ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pasal 33 UUD 1945, pasal 3 UU RI No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan pasal 4 UU RI
No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan memperkuat tujuan tersebut. Pengelolaan suatu kawasan hutan didasari oleh status kawasan hutan tersebut. Kawasan HLGL merupakan
kawasan hutan lindung yang pengelolaannya diatur oleh UU RI No. 41 tahun 1999, PP RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan dan Keppres RI No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Pengelolaan kawasan hutan lindung
adalah upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian serta pemanfaatan kawasan hutan lindung.
Bentuk-bentuk pengelolaan SDH di HLGL belum terealisasi secara optimal walaupun terdapat banyak kegiatan yang dilakukan terkait dengan potensi hayati, non
hayati maupun SDM terkait dengan HLGL. Sehingga bentuk-bentuk pengelolaan dasar dan standar yang meliputi empat elemen utama yaitu perencanaan, pengorganisasian,
pemanfaatan dan pelestarian belum terealisasi. Hal ini disebabkan oleh belum maksimalnya koordinasi stakeholder terkait dalam pengelolaan dan kualitas serta
kuantitas SDM yang mampu melaksanakan suatu bentuk pengelolaan hutan lindung yang terarah dan tepat sasaran sehingga dalam kawasan HLGL banyak terjadi
penyelewengan.
Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan di dalam dan sekitar kawasan HLGL terdiri dari pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu termasuk tambang, penggunaan
kawasan berbentuk ruang, perlindungan kawasan, penataan batas kawasan, pemberdayaan masyarakat dan kualitas dan kuantitas SDM dalam instansi serta
koordinasi antar stakeholder yang terkait dalam pengelolaan kawasan. Bentuk pemanfaatan terhadap hutan lindung yang diperbolehkan berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa kawasan dan pemungutan HHNK yang dilakukan tanpa mengurangi fungsi utama kawasan. Tidak diperkenankan untuk memanfaatkan atau memungut hasil
hutan berupa kayu di kawasan hutan lindung. Hal ini tercantum dalam pasal pasal 26 UU RI No. 41 tahun 1999 dan PP RI No. 34 tahun 2002 pasal 18-21. Dalam kawasan HLGL
terdapat penyelewengan yang terjadi dalam pemanfaatan hasil hutan dan kawasan, seperti penebangan liar dan pemukiman dalam kawasan. Walaupun dalam penggunaan
kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan dapat dilakukan di hutan lindung; seperti tercantum dalam pasal 72 PP RI No. 34 tahun 2002. penggunaan kawasan yang
diperbolehkan adalah untuk tujuan strategis dan kepentingan umum terbatas. Akan tetapi, dalam tujuan tersebut tidak tercantum bahwa diperbolehkan adanya
pembangunan pemukiman dalam kawasan hutan lindung. Perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dilakukan untuk mencegah
terjadinya erosi, banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah dan air permukaan pasal 7 Keppres RI No. 32
tahun 1990. Menurut UU RI No. 41 tahun 1999 pasal 47, perlindungan kawasan hutan adalah usaha mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan
perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Kegiatan perlindungan kawasan hutan di HLGL
diemban oleh seluruh stakeholder terkait dengan perannya masing-masing. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir sebagai pengelola utama berkewajiban untuk mengawasi
dan memonitor kawasan HLGL berkoordinasi dengan instansi pemerintah lainnya seperti Bapedalda dalam menangani dampak lingkungan, organisasi non pemerintah seperti
PeMA Paser, PADI Indonesia dan TBI Indonesia dan masyarakat sekitar kawasan dalam penyampaian informasi-informasi ancaman perusakan terhadap HLGL. Untuk
perusahaan swasta yang beroperasi di sekitar kawasan HLGL, berkewajiban melindungi dari segala ancaman yang dapat merusak hutan di areal sekitar pengusahaan misalnya
kebakaran hutan dan mengelola dengan baik pengolahan limbah yang memiliki kemungkinan mencemari kawasan HLGL dan areal sekitarnya.
Penataan batas kawasan HLGL termasuk kedalam kegiatan tata hutan di hutan lindung. Kegiatan tata hutan di hutan lindung dalam pasal 12 PP RI No. 34 tahun 2002,
meliputi penentuan batas-batas hutan yang ditata; inventarisasi, identifikasi dan perisalahan kondisi kawasan hutan; pengumpulan data sosial, ekonomi dan budaya di
hutan dan sekitarnya; pembagian hutan; registrasi dan pengukuran serta pemetaan.
Keseluruhan tahap-tahap dalam kegiatan tata hutan telah dilalui kawasan HLGL. Tetapi dalam hal pengukuhan, kawasan HLGL belum dikukuhkan disebabkan ‘temu gelang’
kawasan baru dihasilkan pada tahun 2004. Kondisi aktual pal batas dalam kawasan HLGL yang tidak memadai menyebabkan tidak tertatanya batas-batas kawasan HLGL.
Begitu pula mengenai sosialisasi kawasan kepada seluruh stakeholder terkait termasuk masyarakat sekitar kawasan, belum dilaksanakan secara menyeluruh. Terbukti dengan
hampir seluruh masyarakat Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy tidak mengetahui secara jelas batas-batas kawasan HLGL.
Masyarakat sekitar kawasan HLGL berhak dalam memanfaatkan hutan dan hasil hutan serta mendapatkan kompensasi atas hilangnya akses terhadap hutan.
Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan HLGL perlu dilakukan oleh seluruh stakeholder terkait. Kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
kelembagaan masyarakat dalam pemanfaatan hutan pasal 51 PP RI No. 34 tahun 2002. Instansi pemerintah Kabupaten Pasir melakukan program pemberdayaan
masyarakat berbentuk pemberian bibit tanaman untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan dan pengembangan budaya HHNK dalam pengembangan ekonomi alternatif. Program
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan organisasi non pemerintah terhadap masyarakat Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy adalah pendampingan masyarakat
dalam memperjuangkan hak adat dan pengetahuan lokal, inventarisasi partisipatif dari aspek sosial, ekonomi, budaya dan potensi biologi di sekitar kawasan HLGL, pemetaan
partisipatif dan pengembangan ekonomi alternatif. Bentuk pemberdayaan masyarakat yang dilakukan perusahaan swasta yang beroperasi di sekitar kawasan HLGL adalah
pemberian insentif dan kompensasi seperti pembangunan sarana prasarana fisik, solar, peningkatan kualitas kesehatan; perekrutan tenaga lokal dan pembinaan desa. Menurut
UU RI No. 41 tahun 1999 pasal 70, masyarakat harus turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan dan pemerintah wajib mendorong peran serta
masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan SDH kawasan hutan lindung
mutlak diperlukan demi mencapai pengelolaan kawasan yang adil; menguntungkan seluruh pihak terkait, lestari dan berbasis rakyat.
Memasuki masa desentralisasi, pemerintah pusat menyerahkan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kehutanan untuk mengelolanya.
Penyerahan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan. Dalam pengelolaan kawasan HLGL dibutuhkan kualitas dan kuantitas SDM dari stakeholder
terkait yang terampil, berdedikasi, jujur, berakhlak mulia dan konsisten. Kondisi ini harus didukung kerjasama dan koordinasi antar stakeholder yang solid. Pencapaian kualitas
dan kuantitas SDM yang dibutuhkan dalam pengelolaan suatu kawasan dicantumkan dalam pasal 55 mengenai Pendidikan dan Latihan Kehutanan dan pasal 56 mengenai
Penyuluhan Kehutanan UU RI No. 41 tahun 1999. Walaupun secara aktual dalam
pengelolaan kawasan HLGL, dirasakan masih kurang kualitas dan kuantitas SDM yang dibutuhkan khususnya bagi instansi pemerintah. Sehingga dalam hal koordinasi,
hubungan antar stakeholder yang masih ego sektoral menyebabkan kurang solidnya koordinasi antar stakeholder. Hal ini sangat berdampak pada pengelolaan SDH di HLGL.
Ketimpangan dan tumpang tindih kewenangan masih berlaku dalam pengelolaan HLGL. Ketidakpercayaan organisasi non pemerintah kepada instansi pemerintah juga
menyebabkan kurang harmonisnya hubungan diantara kedua pihak tersebut. Begitu pula ketidakpercayaan yang diberikan masyarakat sekitar kawasan terhadap instansi
pemerintah, perusahaan swasta dan organisasi non pemerintah. Kondisi ini perlu segera diatasi dengan membangun jaringan komunikasi yang kuat dan menanamkan rasa saling
memiliki sense of belonging terhadap HLGL.
A.4. Permasalahan yang Dihadapi dalam Pengelolaan HLGL
Bentuk permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan HLGL dan perlu segera diatasi demi mewujudkan pengelolaan HLGL adalah tata batas kawasan, koordinasi antar
stakeholder terkait, penebangan liar dan dilema sosial-kultural dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan. Sebab-sebab yang melatarbelakangi permasalahan tersebut adalah
belum optimalnya pelimpahan dan tumpang tindih kewenangan yang terjadi di instansi pemerintah terkait dan aksesibilitas jalan darat yang mudah untuk mencapai kawasan
HLGL. Kawasan HLGL telah mengalami penataan batas sebanyak tiga kali
berdasarkan berita acara yang dibuat oleh UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan tetapi belum menemukan ‘temu gelang’ kawasan. Setelah menemukan ‘temu gelang’
maka status suatu kawasan dapat dikukuhkan walaupun membutuhkan waktu dan melewati prosedur yang panjang. Penemuan ‘temu gelang’ menurut informasi TBI
Indonesia pada tahun 2004 tetapi belum ada berita acaranya. Jika muncul ancaman perusakan hutan dari segi hukum terhadap HLGL maka posisi HLGL rentan karena
status hukum legalitas HLGL lemah. Sejak tahun 1983 saat penunjukan Gunung Lumut menjadi hutan lindung hingga tahun 1998 yang notabene merupakan masa sentralistik,
tidak ada yang mengatur maupun mengelola kawasan HLGL secara spesifik karena pengelolaan tersebut masih dipegang oleh pemerintah pusat; dalam hal ini Departemen
Kehutanan. Tidak ada pengurusan status kawasan HLGL untuk dikukuhkan karena terlalu banyak kawasan hutan yang diatur oleh Departemen Kehutanan. Memasuki masa
desentralisasi yaitu otonomi daerah tahun 1999; seluruh pengurusan dan pengelolaan SDH dilimpahkan ke pemerintah daerah yaitu Dinas Kehutanan kabupaten. Tetapi
pelimpahan dirasa kurang optimal oleh pemerintah daerah karena pemerintah derah tidak dibekali oleh fasilitas dan sarana prasarana pendukung dalam mengelola SDH di suatu
kawasan hutan lindung. Selain itu kegiatan penataan batas suatu kawasan hutan masih simpang siur dalam hal penugasannya. Penataan batas dan rekonstruksi kawasan hutan
yang harus rutin dalam pelaksanaannya, belum jelas instansi yang harus melaksanakannya antara UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan di bawah wewenang
pemerintah propinsi atau Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dibawah wewenang pemerintah kabupaten.
Pengelolaan kawasan hutan lindung membutuhkan koordinasi yang solid dan baik antara stakeholder terkait. Hal ini dapat melancarkan suatu pengelolaan hutan
lindung yang terarah dan tepat sasaran. Koordinasi yang tidak tepat sasaran dapat melahirkan kesalahpahaman yang terjadi antara stakeholder terkait, khususnya dalam
hal persamaan persepsi dalam pengelolaan kawasan hutan lindung yang akan tertuang kedalam program kerja dan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Koordinasi antara
stakehoder terkait yang solid mutlak dibutuhkan dalam mengantisipasi kegiatan-kegiatan ilegal yang dapat merusak hutan, seperti penebangan liar dan perambahan hutan.
Penebangan liar dan dilema sosial-kultural dan ekonomi kawasan HLGL bagi kehidupan masyarakat sekitar kawasan juga menjadi pokok masalah yang perlu segera
diantisipasi. Kondisi ini terjadi akibat tingginya aksesibilitas jalan darat menuju kawasan HLGL, kurangnya sosialisasi mengenai status dan fungsi HLGL kepada masyarakat
sekitar kawasan dan kurang koordinasi antar instansi pemerintah terkait. Dilema sosial- kultural merupakan bentuk permasalahan yang awam bagi pengelolaan SDH hampir di
seluruh kawasan hutan khususnya kawasan hutan yang dilindungi. Masyarakat sekitar kawasan yang telah turun-menurun bermukim didalam dan sekitar hutan memiliki bentuk
ketergantungan yang cukup tinggi dalam hal pemanfaatan kawasan dan hasil hutan. Hal tersebut sangat tidak adil bagi masyarakat apabila masyarakat tiba-tiba dilarang dan
dihilangkannya akses terhadap hutan tanpa landasan yang kuat. Oleh karena itu kegiatan sosialisasi kawasan dan penumbuhan sense of belonging dengan melibatkan masyarakat
dalam pengelolaan SDH di suatu kawasan dari instansi pemerintah dan instansi-instansi terkait lainnya sangat penting untuk dilakukan.
Jalan darat dari Kecamatan Long Ikis menuju kawasan HLGL dibuat oleh perusahaan HPH PT Telaga Mas yang beroperasi di tahun 1970-an untuk mengangkut
kayu log dari areal konsesi menuju TPK Gambar 6. Jalan darat tersebut telah ada sebelum penunjukkan HLGL di tahun 1983 dan membelah bagian utara kawasan HLGL.
Gambar 6. Jalan logging yang membelah HLGL Saat ini, jalan logging tersebut digunakan oleh perusahaan PT Rizky Kacida Reana
dalam pengangkutan kayu log serta sebagai akses keluar kawasan bagi masyarakat Dusun Muluy yang bermukim di tepi jalan logging.
B. Karakteristik Stakeholder dalam Pengelolaan SDH di Kawasan HLGL