Lumping it Avoidance or exit Coercion Negotiation Concilliation Mediation Arbitration Adjudication

mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horizontal, terjadi diantara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Menurut Hendricks 1996, jenis konflik juga dapat dibedakan antara konflik intrapersonal dan interpersonal. Konflik intrapersonal melibatkan ketidaksesuaian emosi individu ketika keahlian, kepentingan, tujuan dan nilai- nilai yang dihadapinya jauh dari menyenangkan. Konflik interpersonal melibatkan ketidaksesuaian emosi, kepentingan, tujuan dan nilai-nilai antara satu individukelompok dengan individukelompok lain. Konflik dapat berwujud konflik tertutup latent, mencuat emerging dan terbuka manifest Moore, 1996 dalam Fuad Maskanah, 2000. Konflik tertutup latent dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Konflik mencuat emerging adalah perselisihan antara pihak-pihak yang telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, mayoritas permasalahannya jelas tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka manifest merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi atau bahkan menemui jalan buntu. A.5. Pengelolaan dan Penyelesaian Konflik Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian Condliffe, 1991 dalam Sardjono, 2004, yaitu: 1 Langsung antar pihak yang bersengketa one-to-one, dimana masing-masing pihak yang bersengketa bertindak untuk menyelesaikannya sendiri; 2 Mewakilkan kepada pihak lain representational, dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain seperti pengacara, teman, kolega dan asosiasi resmi; dan 3 Menggunakan pihak ketiga third party, dimana peran pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas permintaan kedua belah pihak yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya. Condliffe 1991 dalam Sardjono 2004, juga mengajukan delapan prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik:

1. Lumping it

Terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan diabaikan simply ignored dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan.

2. Avoidance or exit

Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki powerlessness salah satu pihak ataupun alasan- alasan biaya sosial, ekonomi atau psikologis.

3. Coercion

Satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau kepentingannya pada pihak yang lain.

4. Negotiation

Kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersama-sama mutual settlement tanpa melibatkan pihak ketiga.

5. Concilliation

Mengajak dalam arti menyatukan kedua belah pihak yang bersengketa untuk bersama- sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan.

6. Mediation

Pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.

7. Arbitration

Bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga.

8. Adjudication

Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan yang diambil, baik yang diharapkan ataupun tidak oleh kedua belah pihak bersengketa. Dari kedelapan prosedur umum penyelesaian konflik diatas hanya butir negosiasi, konsiliasi dan mediasi yang merupakan penyelesaian konflik di luar pengadilan yang dipandang kondusif. Hal ini dikarenakan ketiganya mengandung unsur tawar- menawar serta dapat diciptakan ‘win-win solution’ yang sifatnya lebih langgeng. Sebagaimana yang disinggung oleh Sardjono 2004, bahwa penyelesaian konflik melalui jalur legal formal yang akan diperoleh adalah ‘menang-kalah’ atau ‘gembira-kecewa’. Oleh karenanya, cara ini hanya akan ditempuh bila 1 upaya penyelesaian melalui perundingan menemui jalan buntu; 2 tingkat pelanggaran atau tuntutan telah melampaui batas toleransi; dan 3 merupakan kebiasaan dan kepentingan publik. A.6. Pemetaan Konflik Pemetaan konflik adalah suatu teknik visual yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan diantara berbagai pihak yang mengalami konflik Fisher et al., 2001. Pemetaan konflik merupakan salah satu alat bantu untuk menganalisis konflik. Tujuan dari pemetaan konflik diantaranya adalah untuk lebih memahami situasi dengan baik, melihat hubungan diantara berbagai pihak secara lebih jelas, memeriksa keseimbangan masing-masing reaksi, mengidentifikasi mulainya intervensi atau tindakan dan untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam penanganan dan pengelolaan konflik. Mayoritas konflik mempunyai sebab ganda, sebagai kombinasi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai dan mengarah pada konflik yang terbuka. Konflik seringkali menjadi sangat rumit sehingga sangat penting untuk mendefinisikan pusat situasi kritisnya, permasalahan pokoknya atau penyebab pertikaian. Hal ini dilakukan dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai mengalami konflik. Untuk itu dilakukan pemetaan konflik yaitu dengan mengelompokkannya ke dalam ruang-ruang konflik. Kriteria-kriteria ruang konflik tersebut menurut Fuad Maskanah 2000 terbagi kedalam lima ruang konflik, yaitu: ƒ Konflik data, terjadi ketika seseorang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai data yang relevan, menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda. ƒ Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi karena masalah yang mendasar atau substantif misalnya uang dan sumberdaya, masalah tata cara sikap dalam menangani masalah atau masalah psikologis persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat. ƒ Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tingkah laku negatif yang berulang repetitif. Masalah-masalah ini sering menimbulkan konflik yang tidak realistis Cosner, 1956 dalam Fuad Maskanah, 2000 atau yang sebenarnya tidak perlu terjadi Moore, 1986 dalam Fuad Maskanah, 2000. ƒ Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian baik yang hanya dirasakan maupun memang nyata. Nilai adalah kepercayaan yang digunakan manusia untuk memberi arti pada hidupnya. Sehingga konflik nilai terjadi ketika seseorang berusaha untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada orang lain atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif dan didalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan kepercayaan. ƒ Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Kelima ruang konflik diatas merupakan suatu sistem dan tidak berdiri sendiri, sehingga satu sama lain dapat saling berhubungan dan bahkan acapkali berada dalam suatu kesatuan. Konflik dapat bergeser dan berpindah dari ruang konflik satu ke ruang konflik lainnya dengan konsekuensi bahwa konflik akan semakin berat ataupun sebaliknya Gambar 1. Masalah hubungan antar manusia Emosi-emosi yang kuat, salah persepsi, kurangsalah komunikasi, sikap negatif, repetitif Perbedaan data Kurang informasi, perbedaan Perbedaan nilai pandangan, perbedaan Nilai sehari-hari, nilai tetap, interpretasi pendefinisian diri Tc Psi Masalah struktural Sumberdaya, waktu, faktor geografis, kekuasaan Subs kewenangan pengambilan keputusan Kepentinganminat Tata cara Tc, Psikologis Psi, Substantif Subs Gambar 1. Ruang-ruang konflik Fuad Maskanah, 2000

B. Pengelolaan Sumberdaya Hutan