Mayoritas wujud konflik yang terjadi adalah konflik tertutup 13 kasus dari 28 total kasus konflik. Konflik tertutup dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan di dan antar
stakeholder yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum muncul ke permukaan. Umumnya penyelesaian konflik tertutup dapat melalui komunikasi dengan
bersama-sama mencari penyelesaian yang paling tepat. Konflik tertutup banyak terjadi dalam konteks isu konflik koordinasi antar stakeholder yang mayoritas terjadi antara instansi
pemerintah dengan organisasi non pemerintah. Untuk wujud konflik terbuka terdapat delapan kasus dan sisanya merupakan konflik mencuat.
Ruang konflik yang banyak dialami oleh kasus konflik pengelolaan SDH di HLGL adalah konflik kepentingan, nilai dan struktural. Mayoritas konflik mempunyai sebab ganda
sebagai kombinasi dari masalah antar stakeholder yang mengalami konflik. Kriteria ruang konflik yang terdiri dari lima ruang konflik merupakan suatu sistem dan tidak berdiri sendiri;
berarti satu sama lainnya saling berhubungan dan berada dalam satu kesatuan. Oleh sebab itu dari rangkaian kasus konflik yang terjadi dalam pengelolaan SDH di HLGL mayoritas
masing-masing identifikasi konflik yang dilakukan masuk lebih dari satu ruang konflik.
E. Relevansi Konflik dengan Pengelolaan HLGL
Berdasarkan identifikasi konflik yang telah dilakukan maka dianalisis relevansi atau keterikatan serta keterkaitan perihal konflik antar stakeholder terhadap pengelolaan HLGL
Tabel 13. Relevansi yang dianalisis berdasarkan bentuk signifikansi konflik terhadap keberhasilan pengelolaan HLGL. Hasil analisis relevansi adalah aktor dan isu utama yang
perlu segera diatasi pengelolaan dan penyelesaiannya demi mewujudkan tujuan pengelolaan HLGL.
Keseluruhan kasus konflik antar stakeholder yang teridentifikasi berjumlah 28 kasus dengan dua kasus yang telah diselesaikan secara adat, yaitu antara masyarakat Dusun
Muluy dengan PT Rizky Kacida Reana mengenai permintaan air bersih isu pemberdayaan masyarakat dan antara masyarakat Dusun Muluy dengan Desa Rantau Layung mengenai
penebangan pohon di antara batas kepemilikan hutan adat isu pemanfaatan hasil hutan. Dari ke-26 identifikasi konflik dan telah dianalisis relevansinya terhadap keberhasilan
pengelolaan HLGL, hasil yang didapat adalah isu utama yang harus dengan segera diantisipasi yaitu pemanfaatan hasil hutan, pemanfaatan kawasan, perlindungan kawasan,
penataan batas kawasan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan. Dengan stakeholder utama yang dibutuhkan partisipasi atau keterlibatannya secara aktif dalam
setiap pengambilan keputusan dalam pengelolaan HLGL adalah Dinas Kehutanan, Bapedalda, UPTD Planologi kehutanan Balikpapan, masyarakat Desa Rantau Layung dan
Dusun Muluy.
Tabel 13. Relevansi Konflik Terhadap Pengelolaan SDH di HLGL
No. Isu Pengelolaan
Aktor Konflik Keterkaitan dengan Keberhasilan
Pengelolaan HLGL
1. Pemanfaatan hasil hutan
1. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir
2. Bapedalda 3. PeMA
Paser 4. PT Kideco Jaya Agung
5. Dusun Muluy
6. Desa Rantau Layung 1-1. Tidak signifikan
Pemberlakukan dan penindakan hukum 1-4. Tidak signifikan
Jauh dari kawasan dan info tentang limbah masih lemah
2-4. Signifikan Fungsi pokok HLGL sebagai
penyuplai air bersih
3-4. Tidak signifikan Diantisipasi dengan negosiasi
pengolahan limbah
6-6. Signifikan Diantisipasi dengan membangun rasa
saling percaya serta penyaluran data dan informasi
2 Pemanfaatan kawasan
1. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir
2. Dinas Sosial
3. Dusun Muluy
1-2. Signifikan Perundang-undangan yang melarang
adanya pemukiman dalam kawasan hutan lindung
2-3. Signifikan -
Perundang-undangan yang melarang adanya pemukiman dalam kawasan
hutan lindung
- Perintah langsung dari Gubernur Propinsi Kalimantan Timur
3’ Perlindungan kawasan
1. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir
2. PeMA Paser
1-2. Signifikan -
Pemberlakukan hukum
- Sarana dan prasarana yang kurang
memadai
Kewajiban Dinas Kehutanan
4. Penataan batas kawasan
1. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir
2. UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan
3. Dusun Muluy
4. Desa Rantau Layung
1-2; 1-3; 1-4. Signifikan -
Melibatkan banyak pihak lain - Pengukuhan kawasan
5. Pemberdayaan masyarakat
1. Dinas Kehutanan
Kabupaten Pasir
2. PeMA Paser
3. PT Rizky Kacida Reana 4. Dusun
Muluy
1-4. Signifikan Penanaman tanaman introduksi
2-4. Tidak signifikan Cenderung ke masalah adat dan budaya
6. Kualitas dan kuantitas
SDM 1. Dinas
Kehutanan Kabupaten
Pasir 2. Bapedalda
3. PeMA Paser
4. PADI Indonesia
1-1; 2-2. Tidak signifikan Dapat diantisipasi dengan penguatan
kelembagaan 3-3; 4-4. Tidak signifikan
Diantisipasi dengan melakukan persamaan pandangan dan visi organisasi
7. Koordinasi antar
stakeholder 1. Dinas
Kehutanan Kabupaten
Pasir 2. Bappeda
3. Bapedalda 4. PeMA
Paser 5. PADI
Indonesia 6. TBI
Indonesia 7. Dusun
Muluy 8. Desa Rantau Layung
1-2. Tidak signifikan Dapat diantisipasi dengan penguatan
kelembagaan 1-5; 1-6; 3-4; 4-8. Tidak signifikan
Dapat diantisipasi dengan penyaluran data dan informasi secara berkesinambungan
4-6. Tidak signifikan -
Penyaluran data dan informasi - Pelibatan dalam program kerja
4-5. Tidak signifikan - Masalah
kepercayaan - Diantisipasi dengan persamaan persepsi
dan pandangan 5-6. Tidak signifikan
- Masalah individual
- Penyaluran data dan informasi
- Pelibatan dalam program kerja 6-7. Tidak signifikan
- Dapat diantisipasi dengan penyaluran data dan informasi secara berkesinambungan
- Diantisipasi dengan membangun rasa saling percaya
Isu konflik pemanfaatan hasil hutan melibatkan enam aktor konflik yaitu Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, Bapedalda, PeMA Paser, masyarakat Dusun Muluy dan Desa
Rantau Layung. Dari kelima kasus konflik teridentifikasi hanya dua yang memiliki potensi berpengaruh kuat signifikan terhadap keberhasilan pengelolaan HLGL. Antara perusahaan
tambang PT Kideco Jaya Agung dengan Bapedalda mengenai dampak limbah PT Kideco Jaya Agung terhadap DAS Kendilo yang merupakan daerah tangkapan air dari kawasan
HLGL untuk menyuplai air bersih bagi pemukiman sekitar kawasan HLGL. Sesuai salah satu fungsi pokok kawasan hutan lindung sebagai pengatur tata air dan penyuplai air bersih maka
sangat penting keberadaan kawasan HLGL bagi keberlangsungan hidup manusia di Kabupaten Pasir. Kondisi ini juga terkait dengan konflik yang terjadi antar masyarakat
Rantau Layung mengenai penebangan liar dalam kawasan HLGL. Dampak dari penebangan liar yang dilakukan dalam kawasan HLGL adalah apabila penebangan dilakukan di hulu
maka besar kemungkinan terjadinya erosi dan banjir yang akan menyebabkan bencana pada pemukiman yang berada di hilir. Oleh karena itu diperlukan bentuk pengelolaan yang
tepat dalam mengakomodir fungsi kawasan HLGL sebagai penyuplai air bersih dan mencegah terjadinya erosi serta banjir. Isu konflik ini juga dapat dikaitkan dengan isu konflik
perlindungan kawasan. Konflik isu perlindungan kawasan antara Dishut dengan PeMA Paser mengenai keberadaan sawmill illegal yang tidak ditindak oleh pihak Dishut.
Keberadaan sawmill illegal tersebut dapat menjembatani penebangan liar yang dapat terus dilakukan oleh oknum di kawasan HLGL. Oleh sebab itu, sebagai pengelola utama Dishut
diharapkan untuk lebih pro aktif dalam menjalankan kewajibannya yaitu perlindungan dan pelestarian kawasan.
Konflik antara masyarakat Dusun Muluy, Dinas Sosial dan Dinas Kehutanan mengenai pemanfaatan kawasan terkait dengan adanya pemukiman dalam kawasan HLGL.
Atas perintah langsung Gubernur Propinsi Kalimantan Timur yang meminta Dinas Sosial untuk membangun pemukiman bagi masyarakat Muluy bertujuan agar masyarakat adat
Paser tidak hidup secara terpecah-pecah. Situasi tersebut langsung ditanggapi oleh pihak Dinas Sosial tanpa koordinasi dengan pihak Dishut. Kondisi tersebut menyebabkan status
pemukiman Muluy menjadi ilegal karena berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 34 tahun 2002 dilarang adanya pembangunan pemukiman dalam kawasan hutan lindung. Oleh
karena itu perlu segera diantisipasi bentuk pengelolaan HLGL yang tepat dalam menyikapi pemukiman Muluy yang berada dalam kawasan.
Isu konflik penataan batas kawasan antara UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan dengan Dishut dilatarbelakangi oleh tumpang tindih kewenangan dalam menata batas
kawasan HLGL. Konflik tersebut termasuk signifikan karena kegiatan tata batas melibatkan banyak pihak selain instansi pemerintah juga organisasi non pemerintah dan masyarakat
sekitar kawasan. Serta kegiatan tata batas merupakan prosedur awal dalam pengukuhan status kawasan sehingga apabila kegiatan tata batas tidak dilakukan sesuai prosedural
maka kawasan HLGL tidak dapat dikukuhkan dan kondisi ini menyebabkan kawasan HLGL
menjadi sasaran mudah untuk dirusak oleh oknum yang mengetahui potensi SDH kayu dan tambang yang tinggi di HLGL. Terkait dengan penataan batas yang melibatkan banyak
pihak, maka sebagai stakeholder yang mendapatkan dampak langsung atau yang merasa paling dirugikan apabila penataan batas kawasan HLGL tidak dilakukan secara multipihak
adalah masyarakat Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung. Tidak terlaksananya kegiatan tata batas juga dapat mengakibatkan penyelewengan pengusahaan terhadap kawasan
seperti misalnya adanya lahan pengusahaan perusahaan swasta yang overlap dengan kawasan HLGL, perambahan hutan dan penebangan liar. Kondisi tersebut akan menjadi
permasalahan yang dapat menggagalkan tujuan pengelolaan HLGL. Sesuai dengan kondisi yang perlu dijaga kelestariannya dan tidak diperkenankan
untuk menanami kawasan hutan lindung dengan tanaman introduksi maka konflik antara masyarakat Muluy dengan Dishut mengenai pemberdayaan masyarakat perlu segera
diatasi. Tujuan Dishut untuk melakukan program rehabilitasi kawasan HLGL dengan memberdayakan masyarakat Muluy untuk melakukan penanaman di ladang mereka,
sepertinya kurang tepat sasaran dan terarah. Bibit-bibit tanaman yang diberikan oleh pihak Dishut adalah tanaman introduksi dan bukan tanaman asli dari Pulau Kalimantan, bibit
tersebut adalah Jati emas. Jenis bibit tanaman lainnya adalah Mahoni, Karet dan Rambutan. Seperti yang diketahui Jati emas merupakan tanaman yang dikhususkan untuk
diambil kayunya sehingga tidak bersifat ekologis. Hal ini juga ditunjang dengan kurangnya keinginan masyarakat Muluy untuk menanam bibit-bibit tersebut sehingga bibit-bibit tersebut
terabaikan sehingga kondisi ini jelas tidak mencerminkan tujuan rehabilitasi kawasan HLGL. Bentuk pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan HLGL harus lebih mengakomodir
harapan dan keinginan masyarakat itu sendiri bukan dilakukan secara sepihak sehingga akhirnya menghasilkan koordinasi dan hubungan jangka panjang yang jauh lebih solid.
Isu koordinasi antar stakeholder merupakan isu yang paling banyak melibatkan aktor konflik namun tidak signifikan keterkaitannya terhadap keberhasilan pengelolaan
HLGL. Terdapat delapan aktor konflik yang terlibat dalam isu tersebut, yaitu Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, Bappeda, Bapedalda, PeMA Paser, PADI Indonesia, TBI
Indonesia, masyarakat Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung. Keseluruhan konflik yang terjadi dapat diantisipasi dengan penguatan kelembagaan, penyaluran data dan informasi
secara berkesinambungan, pelibatan dalam program kerja, memperbaiki dan membangun kembali rasa kepercayaan serta melakukan persamaan persepsi dan pandangan diantara
keseluruhan stakeholder teridentifikasi mengalami konflik koordinasi. Oleh sebab itu isu koordinasi menjadi landasan yang kuat dalam mengelola kawasan HLGL dengan banyaknya
kepentingan yang berlangsung didalamnya, namun dapat diantisipasi dengan membangun komunikasi dan mengesampingkan ego sektoral yang terjadi.
F. Rekomendasi Pengelolaan dan Penyelesaian Konflik