sedangkan organisasi melekat pada interpretasi, yang dapat didefinisikan sebagai meletakkan suatu rangsangan bersama rangsangan lainnya sehingga menjadi suatu
keseluruhan yang bermakna. Sebenarnya sulit membedakan sensasi dan persepsi. Misalnya, apa yang terjadi ketika membaui bunga warna, apakah terlebih dahulu
merasakan sensasi fisiologis bau dan kemudian persepsi psikologis aroma menyenangkan yang berkaitan dengan bunga mawar. Kedua hal itu sebenarnya
terjadi secara serempak.
Atensi tidak terelakkan karena sebelum merespons atau menafsirkan kejadian atau rangsangan apapun, harus terlebih dahulu memperhatikan kejadian
atau rangsangan tersebut. Ini berarti bahwa persepsi mensyaratkan kehadiran suatu objek untuk dipersepsi, termasuk orang lain dan juga diri sendiri.
Tahap terpenting dalam persepsi dalam persepsi adalah interpretasi atas informasi yang diperoleh melalui salah satu atau lebih indra kita. Namun tidak
dapat menginterpretasikan makna setiap objek secara langsung melainkan menginterpretasikan makna informasi yang dipercayai mewakili objek tersebut.
Jadi pengetahuan yang diperoleh melalui persepsi bukan pengetahuan mengenai objek yang sebenarnya, melainkan pengetahuan mengenai bagaimana tampaknya
objek tersebut Mulyana, 2005:168.
Dari penjelasan diatas, persepsi merupakan bagian dari keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan ditetapkan kepada manusia.
Subproses psikologis lain adalah pengenalan, penalaran, perasaan, dan tanggapan. Secara singkat, persepsi didefinisikan sebagai cara manusia menangkap
rangsangan. Kognisi adalah cara manusia memberi arti terhadap rangsangan. Penalaran adalah proses sewaktu rangsangan dihubungkan dengan rangsangan
lainnya pada tingkat pembentukkan psikologis. Perasaan adalah konotasi emosional yang dihasilkan oleh rangsangan baik diri sendiri atau bersama-sama
dengan rangsangan lain pada tingkat kognitif atau konseptual.
2.2.4 Objek Persepsi
Objek adalah suatu sasaran atau target yang diteliti untuk mendapatkan jawaban dari suatu masalah. Objek yang dipersepsi sangat banyak, yaitu segala
sesuatu yang ada disekitar manusia. Manusia itu sendiri dapat menjadi objek persepsi. Orang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai objek persepsi, ini yang
disebut sebagai persepsi diri self perception. Karena banyaknya objek yang dapat dipersepsi, maka pada umumnya objek persepsi diklasifikasikan. Objek
persepsi dapat dibedakan atas objek yang nonmanusia dan manusia. Objek persepsi yang berwujud manusia ini disebut person perception atau juga ada yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menyebutnya sebagai social perception, sedangkan persepsi yang berobjekan nonmanusia, hal ini sering disebut sebagai nonsocial perception atau juga disebut
sebagai things perception. Apabila yang dipersepsi itu manusia dan yang non manusia, maka adanya
kesamaan tetapi juga adanya perbedaan dalam persepsi tersebut. Persamaannya yaitu apabila manusia dipandang sebagai objek benda yang terikat pada waktu dan
tempat seperti benda-benda lain. Namun perbedaannya, apabila yang dipersepsi itu manusia maka objek persepsi mempunyai aspek-aspek yang sama dengan yang
mempersepsi dan hal ini tidak terdapat apabila yang dipersepsi itu nonmanusia. Pada objek persepsi manusia, manusia yang dipersepsi mempunyai kemampuan-
kemampuan, perasaan, ataupun aspek-aspek lain seperti halnya pada orang yang mempersepsi. Orang yang dipersepsi akan dapat mempengaruhi pada orang yang
mempersepsi, dah hal ini tidak akan dijumpai apabila persepsi itu nonmanusia. Karena itu objek persepsi, yaitu manusia yang dipersepsi, lingkungan yang
melatarbelakangi objek persepsi, dan perseptor sendiri akan sangat menentukan dalam hasil persepsi Walgito, 2002:76.
2.2.5 Kekeliruan dan Kegagalan Persepsi
Persepsi kita sering tidak cermat. Salah satu penyebabnya adalah asumsi atau pengharapan kita. Kita mempersepsi sesuatu atau seseorang sesuai dengan
pengharapan kita. Sehingga tidak jarang asumsi yang kita berikan terhadap sesuatu objek tidak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya.
Ada beberapa bentuk kekeliruan dan kegagalan dalam pembentukan persepsi Mulyana, 2005:211, yakni :
a. Kesalahan Atribusi
Atribusi adalah proses internal dalam diri kita untuk memahami penyebab perilaku orang lain. Dalam usaha mengetahui orang lain, kita menggunakan
beberapa sumber informasi. Misalnya, kita mengamati penampilan fisik mereka, karena faktor-faktor seperti usia, gaya pakaian, dan daya tarik dapat memberikan
isyarat mengenai sifat-sifat utama mereka. Kita dapat menduga sifat-sifat pria setengah baya yang berambut gondrong dan sebelah telinganya beranting, seorang
wanita yang gemar mengenakan rok mini, atau seorang eksekutif yang sering mengenakan jas dan dasi. Namun dugaan kita tidak selalu benar mengenai sifat-
sifat mereka.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b. Efek Halo
Kesalahan persepsi yang disebut efek halo halo effects merujuk pada fakta bahwa begitu membentuk suatu kesan menyeluruh mengenai seseorang,
kesan yang menyeluruh ini cenderung menimbulkan efek yang kuat atas penilaian kita akan sifat-sifat yang spesifik. Misalnya, gagasan yang dianggap biasa bahkan
using bila dikemukakan oleh orang awam dianggap brilliant atau kreatif bila hal itu dikemukakan oleh tokoh nasional, sehingga cepat diliput oleh pers.
Efek halo ini sangat berpengaruh kuat sekali pada diri dalam menilai orang-orang yang bersangkutan bila kita sangat terkesan oleh seseorang, karena
kepemimpinannya atau keahliannya dalam suatu bidang, kita cenderung memperluas kesan awal kita. Kemudian kita kecewa karena ternyata setelah ia
menduduki jabatan tersebut kinerjanya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.
c. Stereotip
Kesulitan komunikasi akan muncul dari penstereotipan stereotyping, yakni menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan
membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, penstereotipan adalah proses menempatkan
orang-orang dan objek-objek ke dalam kategori-kategori yang mapan, atau penilaian mengenai orang-orang atau objek-objek berdasarkan kategori-kategori
yang dianggap sesuai, berdasarkan karakteristik individual mereka.
Stereotip berasal dari buku Public Opinion Walter Lippman 1922 yang berarti pictures in our head. Larry A. Samovar dan Richard E. Porter
mendefinisikan stereotip sebagai persepsi atau kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok-kelompok atau individu-individu berdasarkan pendapat ydan
sikap yang lebih dulu terbentuk. Menurut Robert A. Baron dan Paul B. Paulus, stereotip adalah kepercayaan hampir selalu salah bahwa semua anggota suatu
kelompok tertentu memiliki ciri-ciri atau menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. Ringkasnya stereotip adalah kategorisasi atas suatu kelompok secara serampangan
dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual. Kelompok-kelompok ini mencakup kelompok ras, keompok etnik, kaum tua, berbagai pekerjaan dan
profesi atau dengan orang penampilan fisik tertentu. Contohnya, orang padang pelit, orang batak kasar, orang jawa halus pembawaan dan sebagainya.
Menurut Baron dan Paulus, beberapa faktor tampaknya berperan terjadinya stereotip. Pertama, kita cenderung membagi dunia ini ke dalam dua
kategori kita dan mereka lebih jauh, orang-orang yang kita persepsi sebagai di luar kelompok kita dipandang sebagai lebih mirip satu sama lain dari pada orang-orang
dalam kelompok kita sendiri. Kedua, setereotip bersumber dari kecenderungan untuk melakukan kerja kognitif sedikit mungkin, dalam berpikir mengenai orang
lain. Kita dapat mengasumsikan bahwa kita mengetahui banyak tentang sifat-sifat utama mereka dan bagaimana kecenderungan perilaku mereka. Padahal kita tidak
mengenal mereka bahkan tidak pernah bertemu dengan seorang anggota pun dari kelompok itu, meskipun pernah mendapat informasi dari kenalan atau media
massa.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
d. Prasangka
Suatu kekeliruan persepsi terhadap orang yang berbeda adalah prasangka, suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip. Istilah prasangka prejudice
berasal dari kata latin praejudicium yang berarti suatu penilaian berdasarkan keputusan dan pengalam terdahulu. Prasangka ini bermacam-macam, yang
populer adalah prasangka rasial, prasangka kesukuan, prasangka gender, dan prasangka agama. Wujud prasangka yang nyata dan ekstrim adalah diskriminasi,
yakni pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang terhadap sumber daya semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok ras, suku, gender,
pekerjaan dan sebagainya.
e. Gegar Budaya
Menurut Kalvero Oberg, gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan karena hilangnya tanda-tanda yang sudah dikenal dan simbol-simbol sosial.
Lundstedt mengatakan gegar budaya adalah suatu bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang merupakan suatu reaksi terhadap upaya sementara yang
gagal untuk meyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang baru sedangkan menurut P. Harris dan R. Moran, gegar budaya adalah suatu trauma umum yang
dialami seseorang dalam suatu budaya yang baru dan berbeda karena harus belajar dan mengatasi begitu banyak nilai budaya dan pengharapan baru, sementara nilai
budaya dan pengharapan budaya lama tidak lagi sesuai. Meskipun gegar budaya ini dikaitkan dengan fenomena memasuki suatu budaya asing, lingkungan budaya
baru yang dimaksudkan disini sebenarnya bisa juga merujuk pada agama baru, lembaga pendidikan baru, lingkungan kerja baru, atau keluarga besar baru.
Berdasarkan penjelasan di atas maka penyebab kekeliruan dan kegagalan dari persepsi seseorang pada dasarnya disebabkan oleh kekuranglengkapan
informasi mengenai objek yang dipersepsikan, sehingga menimbukan kesan-kesan inderawi yang diterimanya. Jadi, tidak dapat disangkal bahwa persepsi seseorang
tidak selamanya benar terkadang bisa saja keliru atau berbeda dengan orang lain.
2.3 Komunikasi Massa