menghasilkan filtrat yang lebih banyak dan residu atau ampasnya dapat tetap ditinggalkan didalam corong tersebut.
B. Standarisasi isoflavon genistein dari tempe
Sebelum dilakukan pengukuran kadar genistein dengan menggunakan HPLC, perlu dicari terlebih dahulu panjang gelombang maksimum yang akan
digunakan dalam penelitian. Pengukuran pada panjang gelombang maksimum akan memberikan serapan yang maksimum sehingga hasil lebih reprodusibel pada
pengulangan pengukuran, meningkatkan sensitivitas dan meminimalkan kesalahan dalam pengukuran. Pengukuran gelombang maksimum dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer UV, karena detektor yang digunakan pada instrumen HPLC juga merupakan detektor UV. Genistein dapat diukur dengan
spektrofotometer UV karena mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi yang dari cincin benzennya sehingga dapat menyerap spektrum UV. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Lin 2012, Isoflavon mempunyai panjang gelombang maksimum teoritis pada 260 nm. Dari hasil penetapan gelombang maksimum
ditemukan panjang gelombang 261 nm sebagai panjang gelombang yang akan digunakan dalam analisis kuantitatif genistein dengan menggunakan HPLC.
Penetapan kadar aglikon isoflavon genistein dilakukan dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi atau HPLC High Performance
Liquid Chromatography . Dipilih instrumen HPLC untuk menetapkan kadar
karena genistein merupakan komponen minor dalam kedelai sehingga dibutuhkan instrumen yang sensitif untuk mendeteksi kadar yang kecil.
Metode kromatografi yang digunakan mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh de Vargas et al. 2010. Fase diam yang digunakan adalah silanol
dengan modifikasi penempelan gugus oktadesil silika ODS atau C
18
karena mampu memisahkan senyawa dengan kepolaran rendah, sedang, maupun tinggi.
Metode pemisahannya menggunakan reversed phase, di mana fase gerak bersifat lebih polar daripada fase diam. Genistein memiliki nilai log K
ow
2,94 sebesar sehingga sifatnya cenderung non polar Rostagno et al., 2002. Digunakan metode
reversed phase agar senyawa diharapkan dapat tertahan lebih lama pada fase diam
sehingga pemisahan dapat berjalan dengan optimal. Interaksi yang terjadi antara fase diam dan analit isoflavon merupakan interaksi hidrofobik atau van der waals
sedangkan gugus OH pada isoflavon berinteraksi dengan fase gerak yang bersifat polar. Fase gerak yang dipakai adalah campuran 70 methanol dan 30 air
karena campuran ini mempunyai nilai kepolaran yang mirip dengan kepolaran genistein. Salah satu syarat dari fase gerak adalah harus dapat melarutkan analit
dalam sampel sehingga dibutuhkan kepolaran yang mirip supaya analit dapat larut dalam fase gerak like-dissolve-like.
Fase gerak yang dipilih juga harus memiliki nilai UV cut off jauh di bawah panjang gelombang maksimum analit. Menurut Rohman 2009, methanol
mempunyai nilai UV cut off sebesar 205 nm dan aquadest mempunyai nilai UV cut off
sebesar 170 nm kedua pelarut ini mempunyai nilai UV cut off yang cukup jauh di bawah panjang gelombang maksimum isoflavon genistein yakni 261 nm
sehingga tidak akan mengganggu serapan. Selain itu kedua pelarut ini mudah untuk didapatkan dan affordable.
Pada pembuatan kurva baku standar genistein dilarutkan dalam ethanol p.a karena genistein mempunyai kelarutan yang tinggi pada pelarut organik polar
seperti methanol. Penentuan persamaan kurva baku ditentukan dari regresi linier yang dihasilkan oleh tiga kali repetisi dengan metode loading mass. Regresi linier
ini dilihat dari respon AUC yang dimiliki oleh peak analit sebagai nilai fungsi x dan konsentrasi seri larutan baku sebagi nilai x. Persamaan dengan regresi linier
yang nilainya paling mendekati 1 merupakan persamaan kurva baku yang memenuhi syarat linearitas yang baik. Linearitas menentukan kemampuan metode
analisis memberikan respon proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel.
Tabel 4. Linearitas kurva baku standar genistein
Konsentrasi AUC
0,002 µg 50344
0,004 µg 102206
0,005 µg 160040
0,007 µg 291895
0,009 µg 299067
b 34598642,83
a -19430,1
r
2
0,998 Dalam analisis menggunakan HPLC terdapat dua macam analisis yang
dapat dilakukan, yaitu: analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif genistein dilihat dari profil kromatografi yang dihasilkan dengan
membandingkan puncak dengan waktu retensi yang sama dengan standar. Waktu retensi merupakan waktu yang diperlukan solut untuk keluar dari kolom dan
mencapai detektor. Rentang waktu retensi yang ditentukan berkisar dari menit ke- 3,913
– 4,297.
Gambar 11. Kurva Baku Loading Mass Standar Genistein AUC vs massa µg
Analisis kuantitatif genistein dihitung dengan memasukkan respon AUC pada sampel ekstrak tempe ke dalam persamaan kurva baku yang sudah
ditentukan. Pada penetapan kadar genistein pada ekstrak tempe digunakan kurva baku loading mass di mana nilai x merupakan jumlah massa genistein pada
sampel dalam satuan µg. Persamaan regresi linier yang digunakan adalah y= 34598642,83x + 19430,1. Crude extract yang diukur ditimbang sebanyak 0,5 mg
kemudian dilarutkan dalam ethanol p.a sebanyak 25 mL. Dalam larutan stok crude extract
diambil sebanyak 50 µL kemudian diencerkan sampai 1 mL, dilakukan tiga kali replikasi. Volume crude extract yang diinkjeksikan ke dalam sistem
adalah sebanyak 20 µ L, sehingga diketahui 0,02 mg crude extract tempe diinjeksikan ke dalam sistem.
y= 34598642,83x + 19430,1
Tabel 5. Perhitungan Jumlah Genistein dalam Ekstrak Tempe dengan Kurva Loading Mass
AUC Jumlah genistein dalam
vol. injeksi 20 µL 92885
2,12 ng 77662
1,68 ng 77472
1,68 ng Rata-rata= 82673 ± 8844, 36
1,83 ng ≈ 2 ng = 0,002 µg
Pada tiga kali replikasi dalam crude extract tempe ditemukan rata-rata kandungan genistein sebanyak 0,002 µg sehingga dapat disimpulkan dalam
kandungan genistein dalam crude extract tempe yang digunakan sebanyak 10.
Gambar 12. Kromatogram Crude Extract Tempe
Pada kromatogram crude extract tempe dapat dilihat bahwa pada peak menit ke-4,370 diduga merupakan senyawa genistein, namun senyawa ini
tercampur dengan senyawa-senyawa hidrofobik lainnya karena tidak ada proses pemisahan lebih lanjut sampel ekstrak. Hal ini juga bisa disebabkan oleh sistem
yang digunakan kurang optimal karena pada penelitian tidak dilakukan validasi terhadap metode yang digunakan. Ketidakoptimalan ini dapat dilihat dari resolusi
peak yang nilainya kurang dari 2, sehingga tidak sesuai dengan criteria SST
System Suitability Testing dan membutuhkan optimasi dan validasi metode lebih lanjut.
C. Pembuatan Gel Anti-Aging