Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
5
rendah pengawasan dan memiliki stimulus reinforcement tertentu cenderung akan mendorong individu melakukan prokrastinasi akademik Ghufron dalam
Mayasari, dkk, 2010. Masalah sosial dan budaya dimana individu tinggal juga akan mempengaruhi berkembangnya perilaku prokrastinasi. Hal ini
tampak sejalan dengan pendekatan perspektif sosiokultural dalam area psikologi yang mempercayai bahwa konteks sosial dan peraturan budaya
mempengaruhi berbagai keyakinan dan perilaku individu Wade dan Tavris, dalam Adi, 2012. Burka dan Yuen dalam Adi, 2012 juga menjelaskan
bahwa budaya merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi munculnya perilaku prokrastinasi.
Retnowulandari 2010 dalam penelitiannya menjelaskan bahwa budaya patriarki merupakan salah satu budaya yang cukup berpengaruh dan
masih mengakar di masyarakat hingga saat ini. Pada saat ini patriarki dapat dikatakan telah membudaya dalam segala sistem kehidupan masyarakat, baik
dalam bidang sosial, budaya, keagamaan, dan muncul sebagai sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya
dibandingkan perempuan. Di Indonesia, konsep budaya patriarki masih terasa cukup kental di beberapa daerah, seperti Jawa, Bali, Batak, dll.
Secara singkat, budaya patriarki merupakan budaya yang memiliki konsep pemikiran bahwa kaum laki-laki ditempatkan pada posisi utama.
Aristoteles mengungkapkan bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki dianggap sebagai sosok
6
superior yang mengatur sosok inferior, dalam hal ini adalah perempuan dalam Retnowulandari, 2010. Dari konsep inilah, maka muncul tugas yang
berbeda di tengah masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Dalam budaya patriarki, laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang
berbeda di masyarakat sehingga tuntutan yang dirasakan pun juga berbeda. Adanya pandangan dalam budaya patriarki yang menomorduakan perempuan
dan tidak menuntut perempuan untuk mencari nafkah utama dalam keluarga, membuat tuntutan akademik pada kaum perempuan dirasa lebih rendah
dibandingkan kaum laki-laki yang nantinya akan menjadi pencari nafkah utama atau sumber ekonomi utama dalam keluarga.
Sebagai individu yang memasuki tahap dewasa awal, mahasiswa juga dituntut untuk belajar tanggung jawab terhadap tugasnya diluar bidang
akademik, seperti mulai belajar melakukan tugas sesuai dengan yang diharapkan masyarakat dimana mereka tinggal. Misalnya, sebagai sosok yang
nantinya memiliki tugas utama untuk memimpin keluarga, mengatur dan menghidupi keluarga, maka banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh kaum
laki-laki. Dalam hal ini adalah mahasiswa laki-laki. Sebagai seorang yang kelak akan menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga, tidak dapat
dipungkiri bahwa mahasiswa laki-laki memiliki tuntutan pendidikan atau tuntutan akademik yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa
perempuan. Hal ini karena dalam urusan pekerjaan atau karier, latar belakang akademik atau pendidikan akan menjadi syarat penting dalam dunia kerja,
7
terutama dalam bidang pekerjaan yang dianggap memiliki status sosial yang tinggi, misalnya menjadi seorang pegawai atau karyawan perusahaan.
Anoraga 1992 menambahkan bahwa dalam dunia kerja, semakin tinggi gaji pekerjaan, maka banyak pula orang yang semakin tertarik dengan
pekerjaan itu. Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa apabila seorang laki-laki memiliki pandangan bahwa dirinya ingin
mendapatkan gaji yang tinggi untuk menafkahi keluarganya, maka dirinya harus mampu bersaing dengan yang lain mengingat banyaknya orang yang
tertarik dengan pekerjaan itu juga. Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh laki-laki agar mampu
bersaing dalam dunia kerjanya adalah dengan menyiapkan pendidikan atau berprestasi dalam bidang akademik. Hal ini diperkuat dengan pendapat
Kurniawan 2013 yang menjelaskan bahwa kesuksesan dalam pendidikan
tinggi menjadi salah satu faktor dalam mendapatkan pekerjaan yang baik. Persaingan yang cukup ketat dalam dunia kerja menuntut mahasiswa untuk
lebih meningkatkan kompetensi dan kualitas diri agar mampu bersaing dengan sesamanya. Oleh karena itu, diperlukan adanya
adanya kemandirian dan keaktifan dari dalam diri mahasiswa dalam proses belajarnya, dalam hal ini
adalah mahasiswa laki-laki. Mahasiswa harus dapat belajar secara lebih
mandiri dan tidak boleh hanya bergantung pada orang lain. Mahasiswa juga
harus dapat mengerjakan tugas-tugas akademiknya dengan sebaik mungkin Kurniawan, 2013.
8
Menyadari bahwa kesuksesan pendidikan adalah bekal untuk bersaing dalam dunia kerja untuk mencari nafkah nantinya, seharusnya mahasiswa laki-
laki cenderung lebih berprestasi daripada mahasiswa perempuan. Akan tetapi, pada kenyataannya justru mahasiswa perempuan dapat dikatakan lebih
beprestasi daripada mahasiswa laki-laki. Hal ini terlihat pada hasil survey wisuda kelulusan Universitas Sanata Dharma periode April 2015 yang
menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan cenderung lebih berprestasi daripada mahasiswa laki-laki. Hal ini tampak dari banyaknya jumlah
mahasiswi yang lulus dengan predikat cumlaude atau Lulus Dengan Pujian ketika wisuda karena masa studi yang tepat waktu dan hasil IPK yang tinggi.
Dari 962 mahasiswa yang lulus dalam periode tersebut, diketahui bahwa sebanyak 161 mahasiswa perempuan lulus dengan predikat cumlaude,
sedangkan pada mahasiswa laki-laki tercatat hanya 48 orang. Godfrey mengemukakan bahwa pemanfaatan waktu yang tidak efektif
menyebabkan lama studi yang seharusnya dapat diselesaikan dalam waktu 4 tahun, terpaksa diperpanjang 7-10 tahun, sedangkan Solomon dan Rothblum
mengungkapkan bahwa indikasi prokrastinasi akademik adalah masa studi 5 tahun atau lebih dalam Rumiani, 2006. Berdasarkan uraian singkat tersebut,
dapat dilihat bahwa indikasi pelaku prokrastinasi akademik adalah mahasiswa laki-laki apabila mengingat status cumlaude yang biasanya diberikan pada
mahasiswa yang mampu menyelesaikan studi dalam waktu 4 tahun. Hal ini mungkin sependapat dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang
9
mengatakan bahwa mahasiswa laki-laki cenderung lebih sering menunda masa studinya adalah mahasiswa laki-laki Huda; 2012 dan Akmal; 2013. Namun,
disisi lain Rumiani 2006 menyebutkan bahwa sebenarnya fenomena prokrastinasi akademik dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, tanpa
ada perbedaan derajat kecenderungan. Hasil penelitian Solomon dan Rothblum 1984 juga menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan
berdasarkan perbedaan jenis kelamin pada beberapa area prokrastinasi akademik.
Berdasarkan uraian perbedaan pendapat di atas dan perbedaan realita di lapangan dengan keadaan yang seharusnya terjadi, maka peneliti ingin
membuktikan kembali dengan melihat apakah ada perbedaan tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa laki-laki dan perempuan dalam
pengaruh budaya patriarki. Peneliti beranggapan bahwa dalam masyarakat patriarki akan terdapat perbedaan tingkat prokrastinasi akademik pada
mahasiswa laki-laki dan perempuan. Peneliti berasumsi bahwa mahasiswa perempuan akan memiliki tingkat prokrastinasi yang tinggi karena memiliki
tuntutan akademik yang rendah karena nantinya tidak memiliki tuntutan yang tinggi sebagai pencari nafkah utama. Sedangkan mahasiswa laki-laki akan
memiliki tingkat prokrastinasi yang lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa perempuan. Hal ini disebabkan karena kaum laki-laki memiliki
pemikiran bahwa untuk mengejar tujuannya dalam hal berkarier dan menafkahi keluarga nanti, diperlukan latar belakang pendidikan atau prestasi
10
akademik yang baik agar mampu bersaing dalam mencari pekerjaan untuk kedepannya nanti.