Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
64
pertukaran peran dapat saja terjadi karena pada dasarnya konsep gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan
hasil konstruksi sosial, dimana konsep tersebut adalah buatan manusia, tidak bersifat kodrat, dapat berubah, dapat ditukar, tergantung waktu dan budaya
setempat Widaningsih, 2010. Oleh karena itu, keadaan tersebut memang wajar terjadi karena masyarakat sudah mengalami perkembangan jaman
sehingga perannya bisa mengalami perubahan maupun pertukaran. Dewasa ini telah terjadi sebuah perkembangan nilai baru yang terjadi
di tengah masyarakat, dimana saat ini telah terlihat persamaan kesempatan untuk perempuan dan laki-laki dalam hal berkarier di ranah publik. Dalam
budaya patriarki, sudah bukan yang asing lagi apabila kita mendengar bahwa wilayah publik yang terdiri atas pranata publik, negara, pemerintahan,
pendidikan, perusahaan, perbankan, perdagangan, dan lain-lain hampir seluruhnya dikuasai oleh kaum laki-laki. Sedangkan perempuan lebih
berkiprah di sektor domestik, membersihkan rumah, memasak, mencuci, dan mengasuh anak dalam Budiati, 2010. Akan tetapi, keadaan seperti itu
tampaknya telah berubah dan mulai melunak. Pada masa sekarang ini dapat dikatakan bahwa kesempatan menjadi
penguasa sektor publik bukan hanya kaum laki-laki saja, tetapi kaum perempuan pun juga telah memiliki kesempatan yang sama. Hal ini
dibuktikan dengan meningkatnya jumlah perempuan di Indonesia yang mampu mengisi kedudukan di wilayah publik, seperti menjadi jendral,
65
menteri tenaga kerja, duta besar, direktur eksekutif majalah, pendiri dan pimpinan surat kabar, direktur bank, direktur eksekutif di bursa efek, dan
manajer di berbagai perusahaan, bahkan sejarah juga pernah mencatat bahwa perempuan juga dapat mampu menjadi ratu dan memimpin negara Sadli,
2010. Adanya persamaan kesempatan dalam hal berkarier dalam sektor
publik bagi laki-laki dan perempuan, sedikit banyak juga berpengaruh dalam cara pandang masyarakat terhadap pendidikan mereka. Tidak dapat dipungkiri
untuk dapat bekerja dalam sektor publik dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di luar sektor pertanian, yaitu pekerjaan “kantoran” dan mendapat
gaji tetap, pendidikan formal setinggi-tingginya merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam Sadli, 2010. Oleh karena itu,
masyarakat yang telah menyadari akan hal ini, akan terbuka kesadarannya mengenai pentingnya pendidikan bagi siapa saja, baik kaum laki-laki, maupun
perempuan. Sudah bukan hal yang asing lagi kita dengar bahwa dalam budaya
patriarki terkenal sebuah pepatah yang mengatakan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena ujung-ujungnya akan kembali ke dapur juga
Budiati, 2010. Seiring kemajuan jaman, bisa jadi pepatah ini sedikit demi sedikit mulai menghilang karena telah muncul kesadaran masyarakat tentang
pentingnya pendidikan yang terbilang terbuka bagi siapa saja. Hal ini dibuktikan dengan kondisi sekarang ini dimana terlihat semakin banyak
66
jumlah perempuan yang sebagai istri dan ibu atau nenek berhasil meraih gelar akademik tertinggi, sebagai doktor dan profesor. Selain itu, dewasa ini juga
terlihat semakin banyak fenomena masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai istri maupun sebagai suami, yang meninggalkan
keluarganya untuk belajar karena memperoleh program beasiswa di luar negeri. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu perkembangan nilai dalam
kehidupan keluarga di Indonesia yang relatif baru, tetapi sudah mulai semakin meluas di masyarakat Sadli, 2010.
Melihat peluang dan semakin terbukanya dunia pendidikan dan karier bagi kaum laki-laki dan perempuan, dapat menjadi pemicu bagi para
mahasiswa laki-laki dan perempuan untuk selalu bersaing memberikan yang terbaik dalam bidang akademiknya demi memiliki karier atau pekerjaan yang
bagus di sektor publik. Anoraga 1992 menjelaskan bahwa dalam dunia kerja, semakin tinggi gaji pekerjaan, maka banyak pula orang yang semakin
tertarik dengan pekerjaan itu. Oleh karena itu, berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan
yang ingin mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tinggi, mereka harus mampu bersaing untuk mendapatkannya.
Salah satu cara bersaing untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tinggi adalah dengan menyiapkan pendidikan atau berprestasi di bidang
akademik. Kurniawan 2013 menjelaskan bahwa kesuksesan dalam
pendidikan tinggi menjadi salah satu faktor dalam mendapatkan pekerjaan
67
yang baik. Persaingan yang cukup ketat dalam dunia kerja menuntut mahasiswa untuk lebih meningkatkan kompetensi dan kualitas diri agar
mampu bersaing dengan sesamanya. Oleh karena itu, diperlukan adanya adanya kemandirian dan keaktifan dari dalam diri mahasiswa dalam proses
belajarnya. Mahasiswa harus dapat belajar secara lebih mandiri, tidak boleh
hanya bergantung pada orang lain, dan harus dapat mengerjakan tugas-tugas akademiknya dengan sebaik mungkin Kurniawan, 2013.
Menyadari bahwa pendidikan adalah bekal penting untuk bersaing mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi nantinya, maka mahasiswa, baik
laki-laki maupun perempuan, cenderung akan lebih mandiri dan aktif dalam proses belajarnya sehingga cenderung tidak melakukan prokrastinasi
akademik. Hal ini disebabkan karena mahasiswa yang mampu belajar secara mandiri biasanya terlihat
senang belajar dan berkecenderungan untuk memenuhi target yang telah direncanakan, mampu mengatur waktu, kecepatan
belajar, dan rencana penyelesaian tugas Guglielmino dan Guglielmino, dalam Islam, 2010. Mahasiswa yang memiliki kesiapan untuk belajar mandiri akan
cenderung mampu tidak melakukan prokrastinasi akademik, dimana prokrastinasi akademik biasanya ditunjukkan dengan ciri yang bertolak
belakang dengan hal yang disebutkan di atas. Individu yang melakukan prokrastinasi akademik, biasanya menunjukkan perilaku yang cenderung
menunda memulai
dan menyelesaikan
pekerjaan, lamban
dalam menyelesaikan tugas, tidak melaksanakan rencana yang telah dibuat, dan lebih
68
memilih aktivitas yang menyenangkan Schouwenberg, dalam Ferrari, 1995. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sama rendahnya tingkat
prokrastinasi akademik yang dimiliki mahasiswa laki-laki dan perempuan disebabkan karena para mahasiswa menyadari pentingnya pendidikan dalam
dunia kerja sehingga mereka berusaha mempersiapkan diri dengan cara belajar mandiri dan aktif dalam proses belajarnya. Sama rendahnya tingkatnya
prokrastinasi akademik yang dimiliki mahasiswa laki-laki dan perempuan juga disebabkan karena mereka benar-benar telah memiliki kesiapan mental atau
psikis dalam mengikuti sistem belajar di Perguruan Tinggi yang berbeda dengan sistem belajar ketika di tingkat SMA Saputri, 2013.
Untuk dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik di Perguruan Tinggi, seorang mahasiswa juga perlu memiliki kesiapan dalam hal
pengelolaan diri. Mahasiswa dituntut untuk dapat menyesuaikan, mengatur dan mengendalikan dirinya termasuk saat menghadapi padatnya aktivitas
perkuliahan dan tugas-tugas kuliah yang sulit. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu usaha aktif dan mandiri oleh mahasiswa untuk membantunya
mengarahkan proses belajar pada tujuan belajar yang ingin dicapai, yang disebut dengan self-regulated learning Kurniawan, 2013. Hal ini sejalan
dengan pendapat Hernawati 2006 yang menjelaskan untuk dapat bersaing atau berprestasi dalam bidang akademik, maka seorang mahasiswa harus
memiliki self-regulation. Mahasiswa harus memiliki kemampuan membuat perencaan jangka panjang dan pendek. Karena prestasi akademik berada
69
dalam ranah akademik, maka dalam perencanaan jangka pendek, seorang mahasiswa harus mampu menentukan prioritas utama dalam hal studi. Secara
lebih spesifik lagi, harus direncanakan mengenai pembagian jumlah jam dalam sehari untuk membaca literatur dan jumlah jam untuk mengerjakan
tugas yang diberikan dosen. Selain itu, dalam perencanaan juga perlu diperhatikan target materi yang akan dipahami dan target nilai yang ingin
diraih tanpa melupakan aspek rekreasi. Misalnya, perlu direncakan juga jumlah jam untuk beribadah, rekreasi bersama teman, nonton TV, pacaran,
dan aktivitas lain agar semua tugas perkembangan psikologisnya terpenuhi. Setelah segala sesuatunya direncanakan dengan matang, mahasiswa
diharapkan mampu melaksanakan apa yang sudah direncanakan sambil mengamati apa yang bisa dijalankan dan tidak bisa dijalankan. Sedangkan
untuk perencanaan jangka panjang mahasiswa diharapkan mampu membuat perencanaan yang mencakup semua aktivitas sampai selesai masa studinya.
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa untuk mampu bersaing dan mendapatkan prestasi dalam bidang akademik, baik mahasiswa laki-laki
maupun perempuan, secara singkat diharapkan agar mahasiswa memiliki self- regulation
agar tidak memiliki kecenderungan melakukan prokrastinasi akademik. Pendapat ini juga terlihat sejalan dengan pendapat Ghufron dalam
Lestari, dkk, 2014 yang menyatakan bahwa dengan adanya self-regulation mahasiswa diharapkan mampu menampilkan serangkaian tindakan yang
ditujukan untuk mencapai target malalui perencaan terarah, sehingga
70
prokrastinasi dapat lebih diminimalisir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi self-regulation yang dimiliki seseorang, maka semakin rendah
kecenderungannya untuk melakukan prokrastinasi akademik. Sebaliknya, semakin rendah self-regulation yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi
kecenderungan melakukan prokrastinasi akademik Firlianne, 2012. Hasil dalam penelitian ini yang menyebutkan sama rendahnya tingkat
prokrastinasi akademik pada mahasiswa laki-laki maupun perempuan bisa disebabkan karena mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan, telah
memiliki self-regulation yang baik agar mampu berprestasi secara akademik. Secara singkat, menurut Schouwenberg dalam Ferrari, 1995 ciri-ciri
prokrastinasi akademik, ditunjukkan dengan perilaku menunda pekerjaan, cenderung tidak dapat memenuhi jadwal yang telah dibuat dan direncanakan,
dan cenderung memilih aktivitas yang lebih menyenangkan dibandingkan fokus menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya diselesaikan. Sedangkan
mahasiswa yang memiliki self-regulation yang baik tentu tidak akan menunjukkan ciri perilaku prokrastinasi akademik. Mahasiswa yang memiliki
self-regulation yang baik tentu akan memiliki jadwal dan dengan disiplin akan
melakukan apa yang telah mereka rencanakan dengan matang. Berdasarkan data yang diperoleh ketika pengambilan data, subjek
terbanyak diperoleh peneliti adalah mahasiswa yang sedang menempuh semester lima sehingga bisa dikatakan hal ini yang menyebabkan tingkat
prokrastinasi mahasiswa laki-laki menjadi sama rendah. Pada mahasiswa
71
semester empat hingga enam diketahui bahwa mahasiswa memiliki tanggung jawab mengerjakan tugas yang sangat banyak dan memiliki deadline yang
cukup padat. Selain itu, tugas mahasiswa juga bersifat simultan yang berarti apabila satu tugas selesai, maka tugas mahasiswa tidak akan selesai saat itu,
tetapi masih akan ada tugas lain yang akan berlanjut. Oleh karena itu, apabila mahasiswa tidak mampu memenuhi deadline pengerjaan tugas yang satu,
maka akan mempengaruhi kelanjutan tugas berikutnya Tetan, 2013. Dengan demikian, karena adanya karakteristik tugas pada semester lima seperti yang
telah disebutkan diatas, maka hal ini menyebabkan kecenderungan prokrastinasi akademik, baik mahasiswa laki-laki maupun mahasiswa
perempuan menjadi rendah karena mereka dituntut untuk segera menyelesaikan tugasnya demi kelanjutan tugas berikutnya.
Schouwenberg dalam Ferrari, 1995 mengungkapkan bahwa mahasiswa yang melakukan prokrastinasi tahu bahwa tugas yang dihadapinya
merupakan hal penting dan berguna yang harus segera diselesaikan. Akan tetapi, mereka cenderung menunda dalam memulai mengerjakannya. Apabila
sebelumnya mereka sudah mengerjakan, mereka cenderung untuk menunda menuntaskan penyelesaian tugas tersebut terlebih dahulu. Melihat hasil yang
menunjukkan bahwa tingkat prokrastinasi yang dimiliki sama-sama rendah, terlihat bahwa dewasa ini, baik mahasiswa laki-laki dan perempuan mulai
menyadari bahwa pendidikan adalah hal penting dalam urusan karier, sehingga terbentuk konsep dalam pikiran mereka bahwa tugas adalah hal yang
72
penting untuk dikerjakan sebagai bentuk tanggung jawab akademiknya dan bentuk tanggung jawab mereka terhadap orang tua yang membiayainya.
Sebagai individu yang memasuki tahap dewasa awal, Hurlock dalam Hernawati, 2006 menjelaskan bahwa usia mahasiswa tengah berada dalam
fase memiliki ketergantungan finansial pada orang tua berkaitan dengan biaya kuliah atau institusi pendidikan yang memberi beasiswa. Oleh karena itu, rasa
ketergantungan ini membuat para mahasiswa merasa tidak bebas atau sering merasa adanya tekanan dari lingkungan eksternal yang mengharuskannya
membuat prioritas utama pada aktivitas kuliah. Dengan demikian, sebagai bentuk tanggungjawabnya dalam bidang akademik dan orang tua, serta
merasa adanya tekanan dari lingkungan eksternal, maka mahasiswa akan cenderung meminimalkan penundaan agar tugas atau prestasi akademiknya
dapat maksimal. Berdasarkan rasa kesadaran bahwa tugas adalah hal yang penting
untuk segera dikerjakan, maka dapat dikatakan mahasiswa akan cenderung untuk tidak melakukan prokrastinasi akademik dan cenderung tidak
menunjukkan perilaku yang menggambarkan prokrastinasi akademik. Mereka cenderung akan berusaha untuk segera menyelesaikan tugasnya dan
memperhitungkan waktu yang dimilikinya untuk segera menyelesaikan tugas. Mahasiswa yang ingin berprestasi secara akademik tentu saja akan
menunjukkan perilaku yang positif. Mahasiswa akan cenderung memiliki jadwal yang teratur dan terperinci sehingga mereka mampu melakukan
73
rencana yang telah dibuat dan harus dilakukan. Menyadari bahwa tugas adalah hal penting, mahasiswa bisa jadi akan berusaha fokus pada tugasnya dengan
dengan cara mengesampingkan kegiatan lain, meskipun kegitan lain itu dirasa lebih menyenangkan. Mereka akan cenderung menggunakan waktunya untuk
mengerjakan tugas yang dimiliki agar cepat selesai dan segera mendapatkan hasil yang maksimal dalam bidang akademiknya.
Selain karena adanya kesamaan kesempatan dalam bidang pendidikan dan karier, juga karena melemahnya tuntutan masyarakat berdasarkan peran
gendernya, pemicu sama rendahnya tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa adalah kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan adalah salah satu
faktor yang menyebabkan munculnya perilaku prokrastinasi akademik. Kondisi lingkungan yang tinggi pengawasan akan memunculkan prokrastinasi
akademik yang rendah, sedangkan kondisi lingkungan yang rendah pengawasan akan berlaku sebaliknya Ghufron, dalam Mayasari, dkk, 2010.
Hasil analisis yang menyebutkan bahwa baik mahasiswa laki-laki maupun mahasiswa perempuan memiliki tingkat prokrastinasi yang sama-sama rendah
dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan dimana mereka tinggal yang masih dibawah pengawasan orang tua sehingga perilaku mereka cenderung masih
teratur dalam mengatur waktu dan menyebabkan kecenderungan prokrastinasi akademiknya menjadi rendah.
Gaya pengasuhan juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya
perilaku prokrastinasi
akademik. Teori
psikodinamika
74
menjelaskan bahwa prokrastinasi muncul karena tidak terlepas dari trauma masa kanak-kanak dan kesalahan dalam pengasuhan anak. Anak yang
cenderung dituntut orang tua dalam bidang apapun akan memunculkan rasa kecemasan, kekhawatiran, dan ketidakberartian anak jika tidak bisa memenuhi
harapan mereka. Kecemasan, kekhawatiran, dan ketidakberartian ini yang pada akhirnya memunculkan perilaku menunda melakukan pekerjaan pada
anak Gufron dan Rini, dalam Ramdhani, 2013. Hal ini sejalan dengan pendapat Catrunada 2012 yang mengatakan bahwa kecemasan anxiety dan
rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri self depreciation merupakan faktor yang dapat memicu timbulnya perilaku prokrastinasi.
Menurut Ollivete dan Ferrari, gaya pengasuhan orang tua yang otoriter akan memunculkan kecenderungan perilaku prokrastinasi, sedangkan orang
tua yang mendidik anaknya secara demokratis cenderung akan memunculkan sikap asertif karena anak merasa diberi kebebasan dalam mengekspresikan
diri sehingga memunculkan rasa percaya diri dalam Ramdhani, 2013. Rendahnya tingkat prokrastinasi akademik yang didapatkan dari hasil
penelitian bisa dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orang tua yang bersifat otoritatif atau demokratis. Orang tua tidak lagi menanamkan cara pengasuhan
seperti jaman dahulu dimana orang tua dipandang sebagai penyandang tertinggi dalam hierarki keluarga dan anak harus menurut sepenuhnya apa
yang dikatakan orang tua.
75
Dewasa ini anak cenderung diberi kebebasan dan tidak sepenuhnya harus mengikuti semua kemauan orang tua sehingga mereka merasa tidak
memiliki trauma pada masa kecilnya dan cenderung tidak menunda tugas. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Ramdhani 2013 yang mengatakan bahwa
pendidikan, bimbingan, dan sikap dari orang tua yang dapat mendisiplinkan serta melindungi anaknya dengan kontrol yang baik dan kehangatan yang
cukup dapat memberi pengaruh terhadap perilaku prokrastinasi akademik. Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa peranan dan dukungan orang
tua sangatlah penting bagi anaknya, meskipun mereka telah memasuki usia mahasiswa atau dewasa awal. Menurut Warner Schaie dalam Dariyo, 2008,
usia mahasiswa adalah usia dimana individu memasuki tahap menguasai pengetahuan dan ketrampilan acquisitive serta tahap pencapaian prestasi
achieving stage. Pada tahap acquisitive, orang tua memiliki peranan penting
dalam hal memberikan dukungan dan kesempatan kepada anaknya agar memperoleh pendidikan terbaik guna memperoleh pengetahuan dan
ketrampilan melalui jalur pendidikan formal dan non formal demi masa depannya. Sedangkan pada tahap pencapaian prestasi dianggap tahap
kemampuan individu untuk mempraktikan seluruh potensi itelektual, bakat, minat, pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh selama masa acquisitive
dalam dunia kerja. Selain berada dalam tahap pencapaian prestasi, Dariyo 2003
menambahkan bahwa usia mahasiswa merupakan usia dimana mereka telah
76
mencapai puncak kekuatan strength, energi energy, dan ketekunan endurance
yang prima. Secara fisik, mereka memiliki kekuatan tubuh yang prima sehingga mereka giat melakukan berbagai aktivitas seolah tanpa rasa
lelah. Meskipun aktivitas mereka dirasa cukup padat, mereka akan tetap tekun dalam melakukan aktivitas tersebut sehingga terkadang mampu bekerja
hingga larut malam bahkan kurang istirahat. Hal ini terjadi karena mereka memiliki fisik yang sehat juga didukung oleh kemauan dan ketekunan yang
luar biasa motivation, commitment, and endurance. Motivasi yang dimaksud adalah motivasi internal, yaitu dorongan yang
berasal dari kesadaran diri sendiri untuk meraih keberhasilan dalam suatu pekerjaan. Seseorang yang memiliki motivasi internal, biasanya ditandai
dengan usaha kerja keras tanpa dipengaruhi lingkungan eksternal. Artinya, seseorang tersebut akan bekerja secara tekun sampai benar-benar mencapai
suatu tujuan yang diharapkan, tanpa putus asa walaupun memperoleh hambatan atau rintangan dari lingkungan eksternal Dariyo, 2003.
Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu alasan yang menyebabkan sama rendahnya tingkat prokrastinasi akademik
pada mahasiswa laki-laki dan perempuan dapat disebabkan karena faktor tersebut. Usia mahasiswa yang berada dalam usia dewasa awal menjadikan
mereka berada dalam puncak kekuatan strength, energi energy, dan ketekunan endurance yang prima dan didukung oleh motivasi internal yang
tinggi dalam mencapai tujuan, maka memunculkan tingkat prokrastinasi
77
akademik yang rendah. Hal ini disebabkan karena seseorang yang memiliki motivasi internal yang tinggi akan berusaha kerja keras dan bertekun tanpa
putus asa untuk mencapai tujuannya. Berdasarkan beberapa uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya jenis kelamin tidak mempengaruhi perbedaan tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa laki-laki maupun perempuan. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solomon dan Rothblum 1984 yang menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
berdasarkan jenis kelamin pada beberapa area prokrastinasi akademik. Rumiani 2006 juga menyebutkan bahwa sebenarnya fenomena prokrastinasi
akademik dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, tanpa ada derajat kecenderungan.
78