Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

64 pertukaran peran dapat saja terjadi karena pada dasarnya konsep gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan hasil konstruksi sosial, dimana konsep tersebut adalah buatan manusia, tidak bersifat kodrat, dapat berubah, dapat ditukar, tergantung waktu dan budaya setempat Widaningsih, 2010. Oleh karena itu, keadaan tersebut memang wajar terjadi karena masyarakat sudah mengalami perkembangan jaman sehingga perannya bisa mengalami perubahan maupun pertukaran. Dewasa ini telah terjadi sebuah perkembangan nilai baru yang terjadi di tengah masyarakat, dimana saat ini telah terlihat persamaan kesempatan untuk perempuan dan laki-laki dalam hal berkarier di ranah publik. Dalam budaya patriarki, sudah bukan yang asing lagi apabila kita mendengar bahwa wilayah publik yang terdiri atas pranata publik, negara, pemerintahan, pendidikan, perusahaan, perbankan, perdagangan, dan lain-lain hampir seluruhnya dikuasai oleh kaum laki-laki. Sedangkan perempuan lebih berkiprah di sektor domestik, membersihkan rumah, memasak, mencuci, dan mengasuh anak dalam Budiati, 2010. Akan tetapi, keadaan seperti itu tampaknya telah berubah dan mulai melunak. Pada masa sekarang ini dapat dikatakan bahwa kesempatan menjadi penguasa sektor publik bukan hanya kaum laki-laki saja, tetapi kaum perempuan pun juga telah memiliki kesempatan yang sama. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah perempuan di Indonesia yang mampu mengisi kedudukan di wilayah publik, seperti menjadi jendral, 65 menteri tenaga kerja, duta besar, direktur eksekutif majalah, pendiri dan pimpinan surat kabar, direktur bank, direktur eksekutif di bursa efek, dan manajer di berbagai perusahaan, bahkan sejarah juga pernah mencatat bahwa perempuan juga dapat mampu menjadi ratu dan memimpin negara Sadli, 2010. Adanya persamaan kesempatan dalam hal berkarier dalam sektor publik bagi laki-laki dan perempuan, sedikit banyak juga berpengaruh dalam cara pandang masyarakat terhadap pendidikan mereka. Tidak dapat dipungkiri untuk dapat bekerja dalam sektor publik dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di luar sektor pertanian, yaitu pekerjaan “kantoran” dan mendapat gaji tetap, pendidikan formal setinggi-tingginya merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam Sadli, 2010. Oleh karena itu, masyarakat yang telah menyadari akan hal ini, akan terbuka kesadarannya mengenai pentingnya pendidikan bagi siapa saja, baik kaum laki-laki, maupun perempuan. Sudah bukan hal yang asing lagi kita dengar bahwa dalam budaya patriarki terkenal sebuah pepatah yang mengatakan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena ujung-ujungnya akan kembali ke dapur juga Budiati, 2010. Seiring kemajuan jaman, bisa jadi pepatah ini sedikit demi sedikit mulai menghilang karena telah muncul kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan yang terbilang terbuka bagi siapa saja. Hal ini dibuktikan dengan kondisi sekarang ini dimana terlihat semakin banyak 66 jumlah perempuan yang sebagai istri dan ibu atau nenek berhasil meraih gelar akademik tertinggi, sebagai doktor dan profesor. Selain itu, dewasa ini juga terlihat semakin banyak fenomena masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai istri maupun sebagai suami, yang meninggalkan keluarganya untuk belajar karena memperoleh program beasiswa di luar negeri. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu perkembangan nilai dalam kehidupan keluarga di Indonesia yang relatif baru, tetapi sudah mulai semakin meluas di masyarakat Sadli, 2010. Melihat peluang dan semakin terbukanya dunia pendidikan dan karier bagi kaum laki-laki dan perempuan, dapat menjadi pemicu bagi para mahasiswa laki-laki dan perempuan untuk selalu bersaing memberikan yang terbaik dalam bidang akademiknya demi memiliki karier atau pekerjaan yang bagus di sektor publik. Anoraga 1992 menjelaskan bahwa dalam dunia kerja, semakin tinggi gaji pekerjaan, maka banyak pula orang yang semakin tertarik dengan pekerjaan itu. Oleh karena itu, berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan yang ingin mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tinggi, mereka harus mampu bersaing untuk mendapatkannya. Salah satu cara bersaing untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tinggi adalah dengan menyiapkan pendidikan atau berprestasi di bidang akademik. Kurniawan 2013 menjelaskan bahwa kesuksesan dalam pendidikan tinggi menjadi salah satu faktor dalam mendapatkan pekerjaan 67 yang baik. Persaingan yang cukup ketat dalam dunia kerja menuntut mahasiswa untuk lebih meningkatkan kompetensi dan kualitas diri agar mampu bersaing dengan sesamanya. Oleh karena itu, diperlukan adanya adanya kemandirian dan keaktifan dari dalam diri mahasiswa dalam proses belajarnya. Mahasiswa harus dapat belajar secara lebih mandiri, tidak boleh hanya bergantung pada orang lain, dan harus dapat mengerjakan tugas-tugas akademiknya dengan sebaik mungkin Kurniawan, 2013. Menyadari bahwa pendidikan adalah bekal penting untuk bersaing mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi nantinya, maka mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan, cenderung akan lebih mandiri dan aktif dalam proses belajarnya sehingga cenderung tidak melakukan prokrastinasi akademik. Hal ini disebabkan karena mahasiswa yang mampu belajar secara mandiri biasanya terlihat senang belajar dan berkecenderungan untuk memenuhi target yang telah direncanakan, mampu mengatur waktu, kecepatan belajar, dan rencana penyelesaian tugas Guglielmino dan Guglielmino, dalam Islam, 2010. Mahasiswa yang memiliki kesiapan untuk belajar mandiri akan cenderung mampu tidak melakukan prokrastinasi akademik, dimana prokrastinasi akademik biasanya ditunjukkan dengan ciri yang bertolak belakang dengan hal yang disebutkan di atas. Individu yang melakukan prokrastinasi akademik, biasanya menunjukkan perilaku yang cenderung menunda memulai dan menyelesaikan pekerjaan, lamban dalam menyelesaikan tugas, tidak melaksanakan rencana yang telah dibuat, dan lebih 68 memilih aktivitas yang menyenangkan Schouwenberg, dalam Ferrari, 1995. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sama rendahnya tingkat prokrastinasi akademik yang dimiliki mahasiswa laki-laki dan perempuan disebabkan karena para mahasiswa menyadari pentingnya pendidikan dalam dunia kerja sehingga mereka berusaha mempersiapkan diri dengan cara belajar mandiri dan aktif dalam proses belajarnya. Sama rendahnya tingkatnya prokrastinasi akademik yang dimiliki mahasiswa laki-laki dan perempuan juga disebabkan karena mereka benar-benar telah memiliki kesiapan mental atau psikis dalam mengikuti sistem belajar di Perguruan Tinggi yang berbeda dengan sistem belajar ketika di tingkat SMA Saputri, 2013. Untuk dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik di Perguruan Tinggi, seorang mahasiswa juga perlu memiliki kesiapan dalam hal pengelolaan diri. Mahasiswa dituntut untuk dapat menyesuaikan, mengatur dan mengendalikan dirinya termasuk saat menghadapi padatnya aktivitas perkuliahan dan tugas-tugas kuliah yang sulit. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu usaha aktif dan mandiri oleh mahasiswa untuk membantunya mengarahkan proses belajar pada tujuan belajar yang ingin dicapai, yang disebut dengan self-regulated learning Kurniawan, 2013. Hal ini sejalan dengan pendapat Hernawati 2006 yang menjelaskan untuk dapat bersaing atau berprestasi dalam bidang akademik, maka seorang mahasiswa harus memiliki self-regulation. Mahasiswa harus memiliki kemampuan membuat perencaan jangka panjang dan pendek. Karena prestasi akademik berada 69 dalam ranah akademik, maka dalam perencanaan jangka pendek, seorang mahasiswa harus mampu menentukan prioritas utama dalam hal studi. Secara lebih spesifik lagi, harus direncanakan mengenai pembagian jumlah jam dalam sehari untuk membaca literatur dan jumlah jam untuk mengerjakan tugas yang diberikan dosen. Selain itu, dalam perencanaan juga perlu diperhatikan target materi yang akan dipahami dan target nilai yang ingin diraih tanpa melupakan aspek rekreasi. Misalnya, perlu direncakan juga jumlah jam untuk beribadah, rekreasi bersama teman, nonton TV, pacaran, dan aktivitas lain agar semua tugas perkembangan psikologisnya terpenuhi. Setelah segala sesuatunya direncanakan dengan matang, mahasiswa diharapkan mampu melaksanakan apa yang sudah direncanakan sambil mengamati apa yang bisa dijalankan dan tidak bisa dijalankan. Sedangkan untuk perencanaan jangka panjang mahasiswa diharapkan mampu membuat perencanaan yang mencakup semua aktivitas sampai selesai masa studinya. Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa untuk mampu bersaing dan mendapatkan prestasi dalam bidang akademik, baik mahasiswa laki-laki maupun perempuan, secara singkat diharapkan agar mahasiswa memiliki self- regulation agar tidak memiliki kecenderungan melakukan prokrastinasi akademik. Pendapat ini juga terlihat sejalan dengan pendapat Ghufron dalam Lestari, dkk, 2014 yang menyatakan bahwa dengan adanya self-regulation mahasiswa diharapkan mampu menampilkan serangkaian tindakan yang ditujukan untuk mencapai target malalui perencaan terarah, sehingga 70 prokrastinasi dapat lebih diminimalisir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi self-regulation yang dimiliki seseorang, maka semakin rendah kecenderungannya untuk melakukan prokrastinasi akademik. Sebaliknya, semakin rendah self-regulation yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi kecenderungan melakukan prokrastinasi akademik Firlianne, 2012. Hasil dalam penelitian ini yang menyebutkan sama rendahnya tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa laki-laki maupun perempuan bisa disebabkan karena mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan, telah memiliki self-regulation yang baik agar mampu berprestasi secara akademik. Secara singkat, menurut Schouwenberg dalam Ferrari, 1995 ciri-ciri prokrastinasi akademik, ditunjukkan dengan perilaku menunda pekerjaan, cenderung tidak dapat memenuhi jadwal yang telah dibuat dan direncanakan, dan cenderung memilih aktivitas yang lebih menyenangkan dibandingkan fokus menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya diselesaikan. Sedangkan mahasiswa yang memiliki self-regulation yang baik tentu tidak akan menunjukkan ciri perilaku prokrastinasi akademik. Mahasiswa yang memiliki self-regulation yang baik tentu akan memiliki jadwal dan dengan disiplin akan melakukan apa yang telah mereka rencanakan dengan matang. Berdasarkan data yang diperoleh ketika pengambilan data, subjek terbanyak diperoleh peneliti adalah mahasiswa yang sedang menempuh semester lima sehingga bisa dikatakan hal ini yang menyebabkan tingkat prokrastinasi mahasiswa laki-laki menjadi sama rendah. Pada mahasiswa 71 semester empat hingga enam diketahui bahwa mahasiswa memiliki tanggung jawab mengerjakan tugas yang sangat banyak dan memiliki deadline yang cukup padat. Selain itu, tugas mahasiswa juga bersifat simultan yang berarti apabila satu tugas selesai, maka tugas mahasiswa tidak akan selesai saat itu, tetapi masih akan ada tugas lain yang akan berlanjut. Oleh karena itu, apabila mahasiswa tidak mampu memenuhi deadline pengerjaan tugas yang satu, maka akan mempengaruhi kelanjutan tugas berikutnya Tetan, 2013. Dengan demikian, karena adanya karakteristik tugas pada semester lima seperti yang telah disebutkan diatas, maka hal ini menyebabkan kecenderungan prokrastinasi akademik, baik mahasiswa laki-laki maupun mahasiswa perempuan menjadi rendah karena mereka dituntut untuk segera menyelesaikan tugasnya demi kelanjutan tugas berikutnya. Schouwenberg dalam Ferrari, 1995 mengungkapkan bahwa mahasiswa yang melakukan prokrastinasi tahu bahwa tugas yang dihadapinya merupakan hal penting dan berguna yang harus segera diselesaikan. Akan tetapi, mereka cenderung menunda dalam memulai mengerjakannya. Apabila sebelumnya mereka sudah mengerjakan, mereka cenderung untuk menunda menuntaskan penyelesaian tugas tersebut terlebih dahulu. Melihat hasil yang menunjukkan bahwa tingkat prokrastinasi yang dimiliki sama-sama rendah, terlihat bahwa dewasa ini, baik mahasiswa laki-laki dan perempuan mulai menyadari bahwa pendidikan adalah hal penting dalam urusan karier, sehingga terbentuk konsep dalam pikiran mereka bahwa tugas adalah hal yang 72 penting untuk dikerjakan sebagai bentuk tanggung jawab akademiknya dan bentuk tanggung jawab mereka terhadap orang tua yang membiayainya. Sebagai individu yang memasuki tahap dewasa awal, Hurlock dalam Hernawati, 2006 menjelaskan bahwa usia mahasiswa tengah berada dalam fase memiliki ketergantungan finansial pada orang tua berkaitan dengan biaya kuliah atau institusi pendidikan yang memberi beasiswa. Oleh karena itu, rasa ketergantungan ini membuat para mahasiswa merasa tidak bebas atau sering merasa adanya tekanan dari lingkungan eksternal yang mengharuskannya membuat prioritas utama pada aktivitas kuliah. Dengan demikian, sebagai bentuk tanggungjawabnya dalam bidang akademik dan orang tua, serta merasa adanya tekanan dari lingkungan eksternal, maka mahasiswa akan cenderung meminimalkan penundaan agar tugas atau prestasi akademiknya dapat maksimal. Berdasarkan rasa kesadaran bahwa tugas adalah hal yang penting untuk segera dikerjakan, maka dapat dikatakan mahasiswa akan cenderung untuk tidak melakukan prokrastinasi akademik dan cenderung tidak menunjukkan perilaku yang menggambarkan prokrastinasi akademik. Mereka cenderung akan berusaha untuk segera menyelesaikan tugasnya dan memperhitungkan waktu yang dimilikinya untuk segera menyelesaikan tugas. Mahasiswa yang ingin berprestasi secara akademik tentu saja akan menunjukkan perilaku yang positif. Mahasiswa akan cenderung memiliki jadwal yang teratur dan terperinci sehingga mereka mampu melakukan 73 rencana yang telah dibuat dan harus dilakukan. Menyadari bahwa tugas adalah hal penting, mahasiswa bisa jadi akan berusaha fokus pada tugasnya dengan dengan cara mengesampingkan kegiatan lain, meskipun kegitan lain itu dirasa lebih menyenangkan. Mereka akan cenderung menggunakan waktunya untuk mengerjakan tugas yang dimiliki agar cepat selesai dan segera mendapatkan hasil yang maksimal dalam bidang akademiknya. Selain karena adanya kesamaan kesempatan dalam bidang pendidikan dan karier, juga karena melemahnya tuntutan masyarakat berdasarkan peran gendernya, pemicu sama rendahnya tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa adalah kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan adalah salah satu faktor yang menyebabkan munculnya perilaku prokrastinasi akademik. Kondisi lingkungan yang tinggi pengawasan akan memunculkan prokrastinasi akademik yang rendah, sedangkan kondisi lingkungan yang rendah pengawasan akan berlaku sebaliknya Ghufron, dalam Mayasari, dkk, 2010. Hasil analisis yang menyebutkan bahwa baik mahasiswa laki-laki maupun mahasiswa perempuan memiliki tingkat prokrastinasi yang sama-sama rendah dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan dimana mereka tinggal yang masih dibawah pengawasan orang tua sehingga perilaku mereka cenderung masih teratur dalam mengatur waktu dan menyebabkan kecenderungan prokrastinasi akademiknya menjadi rendah. Gaya pengasuhan juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya perilaku prokrastinasi akademik. Teori psikodinamika 74 menjelaskan bahwa prokrastinasi muncul karena tidak terlepas dari trauma masa kanak-kanak dan kesalahan dalam pengasuhan anak. Anak yang cenderung dituntut orang tua dalam bidang apapun akan memunculkan rasa kecemasan, kekhawatiran, dan ketidakberartian anak jika tidak bisa memenuhi harapan mereka. Kecemasan, kekhawatiran, dan ketidakberartian ini yang pada akhirnya memunculkan perilaku menunda melakukan pekerjaan pada anak Gufron dan Rini, dalam Ramdhani, 2013. Hal ini sejalan dengan pendapat Catrunada 2012 yang mengatakan bahwa kecemasan anxiety dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri self depreciation merupakan faktor yang dapat memicu timbulnya perilaku prokrastinasi. Menurut Ollivete dan Ferrari, gaya pengasuhan orang tua yang otoriter akan memunculkan kecenderungan perilaku prokrastinasi, sedangkan orang tua yang mendidik anaknya secara demokratis cenderung akan memunculkan sikap asertif karena anak merasa diberi kebebasan dalam mengekspresikan diri sehingga memunculkan rasa percaya diri dalam Ramdhani, 2013. Rendahnya tingkat prokrastinasi akademik yang didapatkan dari hasil penelitian bisa dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orang tua yang bersifat otoritatif atau demokratis. Orang tua tidak lagi menanamkan cara pengasuhan seperti jaman dahulu dimana orang tua dipandang sebagai penyandang tertinggi dalam hierarki keluarga dan anak harus menurut sepenuhnya apa yang dikatakan orang tua. 75 Dewasa ini anak cenderung diberi kebebasan dan tidak sepenuhnya harus mengikuti semua kemauan orang tua sehingga mereka merasa tidak memiliki trauma pada masa kecilnya dan cenderung tidak menunda tugas. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Ramdhani 2013 yang mengatakan bahwa pendidikan, bimbingan, dan sikap dari orang tua yang dapat mendisiplinkan serta melindungi anaknya dengan kontrol yang baik dan kehangatan yang cukup dapat memberi pengaruh terhadap perilaku prokrastinasi akademik. Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa peranan dan dukungan orang tua sangatlah penting bagi anaknya, meskipun mereka telah memasuki usia mahasiswa atau dewasa awal. Menurut Warner Schaie dalam Dariyo, 2008, usia mahasiswa adalah usia dimana individu memasuki tahap menguasai pengetahuan dan ketrampilan acquisitive serta tahap pencapaian prestasi achieving stage. Pada tahap acquisitive, orang tua memiliki peranan penting dalam hal memberikan dukungan dan kesempatan kepada anaknya agar memperoleh pendidikan terbaik guna memperoleh pengetahuan dan ketrampilan melalui jalur pendidikan formal dan non formal demi masa depannya. Sedangkan pada tahap pencapaian prestasi dianggap tahap kemampuan individu untuk mempraktikan seluruh potensi itelektual, bakat, minat, pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh selama masa acquisitive dalam dunia kerja. Selain berada dalam tahap pencapaian prestasi, Dariyo 2003 menambahkan bahwa usia mahasiswa merupakan usia dimana mereka telah 76 mencapai puncak kekuatan strength, energi energy, dan ketekunan endurance yang prima. Secara fisik, mereka memiliki kekuatan tubuh yang prima sehingga mereka giat melakukan berbagai aktivitas seolah tanpa rasa lelah. Meskipun aktivitas mereka dirasa cukup padat, mereka akan tetap tekun dalam melakukan aktivitas tersebut sehingga terkadang mampu bekerja hingga larut malam bahkan kurang istirahat. Hal ini terjadi karena mereka memiliki fisik yang sehat juga didukung oleh kemauan dan ketekunan yang luar biasa motivation, commitment, and endurance. Motivasi yang dimaksud adalah motivasi internal, yaitu dorongan yang berasal dari kesadaran diri sendiri untuk meraih keberhasilan dalam suatu pekerjaan. Seseorang yang memiliki motivasi internal, biasanya ditandai dengan usaha kerja keras tanpa dipengaruhi lingkungan eksternal. Artinya, seseorang tersebut akan bekerja secara tekun sampai benar-benar mencapai suatu tujuan yang diharapkan, tanpa putus asa walaupun memperoleh hambatan atau rintangan dari lingkungan eksternal Dariyo, 2003. Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu alasan yang menyebabkan sama rendahnya tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa laki-laki dan perempuan dapat disebabkan karena faktor tersebut. Usia mahasiswa yang berada dalam usia dewasa awal menjadikan mereka berada dalam puncak kekuatan strength, energi energy, dan ketekunan endurance yang prima dan didukung oleh motivasi internal yang tinggi dalam mencapai tujuan, maka memunculkan tingkat prokrastinasi 77 akademik yang rendah. Hal ini disebabkan karena seseorang yang memiliki motivasi internal yang tinggi akan berusaha kerja keras dan bertekun tanpa putus asa untuk mencapai tujuannya. Berdasarkan beberapa uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya jenis kelamin tidak mempengaruhi perbedaan tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa laki-laki maupun perempuan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solomon dan Rothblum 1984 yang menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan berdasarkan jenis kelamin pada beberapa area prokrastinasi akademik. Rumiani 2006 juga menyebutkan bahwa sebenarnya fenomena prokrastinasi akademik dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, tanpa ada derajat kecenderungan. 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh nilai nilai probabilitas sebesar 0,217 p0.05 sehingga hipotesis dalam penelitian ditolak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat prokrastinasi akademik mahasiswa laki-laki dan perempuan.

B. Saran

1. Berkaitan Dengan Manfaat Penelitian

Dengan ditemukannya hasil penelitian yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa laki- laki dan perempuan, maka peneliti beranggapan bahwa peran gender terhadap laki-laki dan perempuan pada dasarnya tidak mempengaruhi tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa. Oleh karena itu, akan menjadi hal yang sah apabila orang tua tetap mendidik anak berdasarkan peran gendernya, tetapi sebaiknya tetap memperhatikan kemajuan jaman karena pada dasarnya peran gender bukanlah hal yang bersifat kodrat dari Tuhan dan dapat berubah sesuai perkembangan jaman.

2. Berkaitan Dengan Penelitian Selanjutnya

a. Dalam pengambilan data, peneliti menyadari bahwa subjek penelitian yang diambil menunjukkan proporsi yang cukup timpang dan kurang setara karena peneliti hanya berfokus pada jenis kelamin, sehingga setelah didapatkan hasilnya terlihat perbedaan proporsi karakteristik lain yang dapat berpengaruh pada hasil penelitian, misalnya dalam hal semester yang sedang ditempuh subjek. Oleh karena itu, peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya agar dalam pengambilan data memilih subjek yang lebih bervariasi sehingga diharapkan diperoleh hasil data yang lebih bervariasi pula. b. Dalam penelitian masih kurang terlihat secara jelas mengenai maksud dari jenis kelamin dalam artian sebatas fisik atau jenis kelamin berkaitan dengan peran gendernya, sehingga masih perlu banyak diperbaiki. c. Berdasarkan penelitian ini, peneliti berharap agar penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian yang sejenis. Dengan demikian, peneliti menyarankan agar peneliti selanjutnya apabila ingin meneliti tentang prokrastinasi akademik dan berkaitan dengan budaya agar memperlihatkan budaya suatu daerah bukan dari sudut pandang secara umum, melainkan lebih ditonjolkan lagi perbandingan mengenai perbedaan dua daerah terhadap kecenderungan perilaku prokrastinasi akademik. Selain itu, peneliti juga berharap untuk kedepannya ada peneliti lain yang membuat penelitian sejenis tentang prokrastinasi akademik mahasiswa berdasarkan jenis kelamin, misalnya variabel self-regulation. 81 DAFTAR PUSTAKA Adi, Angela Merici.D. 2012. Perbedaan Prokrastinasi Akademik Antara Mahasiswa Etnis Jawa Dan Cina Skripsi Tidak Diterbitkan. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia. Ahmaini, D. 2010. Perbedaan Prokrastinasi Akademik Antara Mahasiswa Yang Aktif Dengan Yang Tidak Aktif Dalam Organisasi Kemahasiswaan PEMA USU. Universitas Sumatera Utara, Indonesia. Aini, A. N., Mahardayani, I. H. 2012. Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Prokrastinasi Dalam Menyelesaikan Skripsi Pada Mahasiswa Universitas Muria Kudus. Jurnal Psikologi: PITUTUR, 12. Akmal, V. E. 2013. Perbedaan Prokrastinasi Akademik Berdasarkan Jenis Kelamin Dengan Mengontrol Manajemen Waktu Pada Mahasiswa Yang Kuliah Sambil Bekerja Di Yogyakarta. Empathy Jurnal Fakultas Psikologi, 21. Anoraga, Drs. Pandji 1992. Psikologi Kerja. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Azwar, S. 2009. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Budiati, A. C. 2010. Aktualisasi Diri Perempuan Dalam Sistem Budaya Jawa. Jurnal Premator, 31. Catrunada, L., Puspitawati, I. 2012. Prokrastinasi Task Differences On Thesis Introvert And Extrovert Personality. Dariyo, A. 2008. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Ferrari, J, Johnson, J Mccown, W, “Procrastination And Task Avoidance: Theory, Research And Treatment”, New York: Plenum Press, New York, 1995. Firlianne, R. 2012. Hubungan Antara Self Regulated Learning Dan Prokrastinasi Akademik Pada Mahasiswa UEU Jakarta-Barat . Universitas Esa Unggul, Indonesia. Handayani, S. W. R. I. 2012. Konsep Diri, Stres, Dan Prokrastinasi Akademik Pada Mahasiswa. Persona, 12. 82 Handayani, C. S., Novianto, A. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara. Hernawati, L. 2006. Meningkatkan kemampuan mengelola pikiran pada mahasiswa. Psikodimensia: Kajian Ilmiah Psikologi, 51. Huda, Muhammad. J. N. 2012. Perbedaan Prokrastinasi Akademik Berdasarkan Jenis Kelamin Di Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jurnal Palastren, 4 2. Iriani, Fransisca., Ninawati. 2005. Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Dewasa Muda Ditinjau Dari Pola Attachment. Jurnal Psikologi, 301. Islam, S. 2010. Kesiapan Belajar Mandiri Mahasiswa UT dan Siswa SMA untuk Belajar Dengan Sistem Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh di Indonesia. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh 11 1. Kurniawan, R. 2013. Hubungan Antara Self-Regulated Learning Dengan Prokrastinasi Akademik Pada Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Negeri Semarang. Universitas Negeri Semarang, Indonesia. Lestari, H.N., Lilik, S., Priyatama, A.N. 2014. Hubungan Antara Self-Regulated Learning dengan Prokrastinasi Penyusunan Skripsi pada Mahasiswa Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. Jurnal Ilmiah Psikologi Candrajiwa, 25. Lianawati, Ester.2008. Kesejahteraan Psikologis Ditinjau Dari Sikap Peran Gender Pada Pasutri Muslim. Jurnal Psikologi, 21. Mayasari, M. D., Mustamiah, D., Warni, W. E. 2012. Hubungan Antara Persepsi Mahasiswa Terhadap Metode Pengajaran Dosen Dengan Kecenderungan Prokrastinasi Akademik Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Hang Tuah Surabaya. Jurnal Insan Media Psikologi, 122. Melisa, M., 2012. Hubungan Antara Tingkat Stres Dengan Perilaku Prokrastinasi Akademik Pada Mahasiswa Universitas Bina Nusantara Yang Sedang Mengerjakan Skripsi Pada Semester Genap 20112012 Doctoral Dissertation, Binus. Noor, Juliansyah 2012. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Nugroho, Riant 2011. Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar