PERBEDAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM HAL

31 Berdasarkan stereotype sifat-sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan seperti yang telah dijelaskan di atas, ada penelitian yang mengatakan bahwa bahwa perempuan memiliki kecenderungan prokrastinasi akademik yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini cenderung disebabkan karena adanya perbedaan pendekatan saat permasalahan datang. Perempuan berpikir bahwa pendekatan pasif terhadap suatu masalah adalah hal yang efektif, sebaliknya pada laki-laki berpikir bahwa menggunakan pendekatan aktif pada saat mengalami dan menghadapi masalah adalah jalan yang lebih efektif. Hal ini juga didukung dengan adanya karakteristik yang berhubungan dengan laki-laki seperti percaya diri, mandiri, agresif, ambisius, dominan, aktif, bersemangat, dan menyukai pengalaman baru. Sedangkan karakteristik perempuan adalah emosional, lemah, sensitif, pendiriannya berubah-ubah, patuh, dan sentimental Matlin dalam Catrunada, 2012

D. PERBEDAAN

TINGKAT PROKRASTINASI AKADEMIK MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN Menurut Ghufron dalam Mayasari, dkk, 2010, salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi seseorang melakukan prokrastinasi akademik adalah kondisi lingkungan. Sedangkan menurut Burka dan Yuen dalam Adi, 2012, budaya merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi munculnya perilaku prokrastinasi. Hal ini sejalan dengan pendekatan perspektif sosiokultural dalam area psikologi yang mempercayai bahwa 32 konteks sosial dan peraturan budaya mempengaruhi berbagai keyakinan dan perilaku individu Wade dan Tavris, dalam Adi, 2012. Mahasiswa sebagai makhluk sosial yang hidup ditengah-tengah budaya yang melatarbelakanginya tentu akan berperilaku berdasarkan latar belakang budaya yang diyakininya. Dalam hal ini perilaku mahasiswa banyak dipengaruhi oleh budaya patriarki yang telah mengakar dan melatarbelakanginya, termasuk perilaku sesuai peran gendernya sebagai laki- laki dan perempuan. Budaya patriarki dikatakan cukup berpengaruh karena budaya patriarki merupakan salah satu budaya yang cukup berpengaruh dan masih mengakar di masyarakat hingga saat ini Retnowulandari, 2010. Dalam budaya patriarki tampak ada perbedaan peran gender pada laki- laki dan perempuan. Budaya ini dapat dikatakan sebagai budaya yang menganggap bahwa kaum laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada perempuan sehingga tuntutan sosial dalam masyarakat pada akhirnya berpengaruh juga pada perbedaan peran yang seharusnya dilakukan oleh laki- laki dan perempuan. Nugroho 2011 dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam setiap budaya muncul stereotype tertentu mengenai sesuatu yang pantas bagi perempuan maupun laki-laki dan stereotype tertentu yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Sebagai sosok yang dianggap nomor satu dan nantinya akan berperan dalam memimpin keluarga dan pencari nafkah, maka seorang mahasiswa laki-laki dituntut untuk mampu menjadi sosok pemimpin 33 yang bisa memimpin, mengatur dan mengambil keputusan dalam keluarga. Seorang mahasiswa laki-laki diharapkan kelak mampu menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga yang baik dengan cara menjadi sumber ekonomi utama keluarga, yaitu sebagai pencari nafkah utama, sedangkan perempuan tidak dituntut untuk menjadi pencari nafkah utama. Apabila nantinya perempuan juga bekerja mencari nafkah, statusnya hanya sebagai pencari nafkah tambahan untuk membantu suami Budiati, 2010. Hal ini disebabkan karena dalam budaya patriarki, perempuan lebih memiliki peran dalam sektor domestik atau mengurus urusan rumah tangga. Berdasarkan uraian diatas, tampak terjadi ada perbedaan peran dalam keluarga antara kaum laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki dituntut untuk bekerja demi menafkahi keluarga, sedangkan perempuan tidak terlalu dituntut untuk menjadi pencari nafkah. Oleh karena itu, hal ini mengakibatkan adanya perbedaan tuntutan akademik antara kaum laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini adalah mahasiswa laki-laki dan perempuan. Mahasiswa laki-laki tentu saja memiliki tuntutan akademik yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa perempuan. Misalnya dalam bentuk IPK tinggi atau lulus dengan tepat waktu. Hal ini disebabkan karena untuk menjadi pencari nafkah utama, seorang laki-laki harus memiliki pekerjaan yang tetap, dan untuk memiliki sebuah pekerjaan, latar belakang pendidikan seseorang akan menjadi salah satu syarat penting dalam dunia kerja. 34 Sebagai seseorang yang nantinya akan menjadi sumber ekonomi utama dalam keluarga, tentu saja sebagai seorang mahasiswa laki-laki dituntut untuk lulus tepat waktu agar dapat segera mencari kerja setelah lulus kuliah. Hal ini disebabkan karena apabila mahasiswa, dalam hal ini adalah mahasiswa laki- laki dapat lulus tepat waktu, mereka tidak perlu merasa khawatir karena kesempatan untuk memilih pekerjaan yang terbaik terbuka lebar dan persaingan dalam mendapatkan pekerjaan tidak terlalu ketat. Hal ini tentu akan berbeda dengan mahasiswa yang melakukan prokrastinasi akademik karena mahasiswa yang melakukan prokrastinasi akan menyebabkan masa studinya terlalu lama yang mempengaruhi peluangnya untuk memilih pekerjaan yang terbaik semakin terbatas, tidak bisa mengambil peluang untuk ketika ada tawaran pekerjaan yang menurutnya baik dan harus menghadapi persaingan yang lebih berat daripada mahasiswa yang bisa lulus tepat waktu Kurniawan, 2013. Hal ini selajan dengan pernyataan Ferrari, dkk dalam Kurniawan, 2013 yang menyebutkan bahwa prokrastinasi bisa mengakibatkan seseorang kehilangan kesempatan dan peluang yang datang. Oleh karena itu, agar mampu bersaing dan mendapatkan pekerjaan yang terbaik, seorang mahasiswa, dalam hal ini mahasiswa laki-laki perlu memenuhi tuntutan akademiknya untuk lulus tepat waktu dengan cara tidak menjadi seorang prokrastinator. Menyadari bahwa latar belakang pendidikan sangat penting dalam mencari pekerjaan untuk menafkahi keluarganya nanti, maka hal ini 35 menjadikan para mahasiswa laki-laki termotivasi untuk berusaha memenuhi tuntutan akademiknya, misalnya dengan memperoleh IPK yang memuaskan atau lulus dengan tepat waktu. Usaha ini dilakukan demi memiliki prestasi dan hasil akademik yang memuaskan sebagai bekalnya untuk bersaing dalam mencari pekerjaan yang terbaik. Cara yang dapat dilakukannnya adalah dengan berusaha serius dan maksimal di bidang akademik, misalnya dengan mengerjakan tugas akademiknya secara maksimal dan tidak menunda-nunda ketika mendapatkan tugas akademik. Selain itu, mahasiswa laki-laki juga dapat mengasah ketrampilan dalam bidang kepemimpinan dan pengambilan keputusan dengan mengaplikasikan ilmu yang didapatnya dengan mengikuti kegiatan di luar bidang akademik, seperti mengikuti kegiatan dalam organisasi. Adanya pandangan dalam budaya patriarki seperti yang diungkapkan Budiati 2010 bahwa perempuan tidak dituntut untuk menjadi pencari nafkah utama, lebih banyak berperan pada sektor domestik dan sebagai pencari nafkah tambahan apabila nanti dirinya bekerja, maka tuntutan akademik pada mahasiswa perempuan dapat dikatakan tidak setinggi mahasiswa laki-laki. Hal ini bisa jadi dipengaruhi oleh budaya yang melatarbelakanginya. Misalnya pada budaya patriarki yang berkembang pada budaya Jawa jaman dahulu. Pada budaya ini, terdapat anggapan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, perempuan sebagai ibu rumah tangga, pendidik anak dan pendamping suami tidak memerlukan pendidikan tinggi. Perempuan tidak