4.5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Berdasarkan hasil kuesioner yang dikategorikan dalam lima bagian, diperoleh distribusi usia responden seperti berikut:
Tabel 4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Usia
No. Usia Jumlah
Persen
1. 20
- 2.
21 – 30 16
16,7 3.
31 – 40 38
39,6 4.
41 – 50 30
31,2 5.
50 12
12,5
Jumlah 96
100
Sumber: Hasil Analisis, 2015 Pada perhitungan distribusi frekuensi usia responden di atas, diperoleh informasi
bahwa responden yang berusia 31-40 tahun mendominasi dalam pelaksanaan partisipasi pembangunan sanitasi air bersih. Dari perhitungan ini terlihat pula bahwa masyarakat yang
berpartisipasi tergolong dalam usia produktif. Begitu juga partisipan terbanyak pada urutan kedua adalah pada golongan responden berusia 41-50. Hal ini menunjukkan adanya
senioritas dalam berpartisipasi. Perbedaan usia ini mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, karena dalam masyarakat terdapat perbedaan kedudukan antara rentang usia,
sehingga akan memunculkan golongan tua dan golongan muda. Menurut Slamet 1994, usia berpengaruh pada keaktifan seseorang untuk berpartisipasi. Dalam hal ini golongan tua
dianggap lebih berpengalaman atau senior, dan akan lebih banyak memberikan pendapat dalam hal menetapkan keputusan.
4.5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil kuesioner yang disebarkan kepada warga tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan sanitasi air bersih melalui Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perdesaan, terlihat bahwa tingkat pendidikan responden paling banyak
adalah SMA yang berjumlah 34 orang, sementara yang paling kecil adalah pada tingkat akademi berjumlah 9 orang.
Tabel 4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Pendidikan Jumlah
Persen
1. SD
22 22,9
2. SMP
15 15,6
3. SMA
34 35,4
4. Akademi
9 9,4
5. Sarjana
16 16,7
Jumlah 96
100
Sumber: Hasil Analisis, 2015 Dari tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa presentase tingkat pendidikan responden
paling tinggi adalah SMA sebanyak 35,4, disusul oleh SMP sebanyak 22,9, Sarjana sebanyak 16,7, SD sebanyak 15,66, dan Akademi sebanyak 9,4. Dari data tersebut,
dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan di Kecamatan Rawang sangat bervariasi, tingkat pendidikan di desa ini tergolong baik dengan mayoritas penduduknya menyelesaikan
pendidikan hingga jenjang yang cukup tinggi, yaitu SMP dan SMA, disamping itu banyak pula yang berpendidikan hingga sarjana walaupun masih banyak juga yang hanya
sampai tingkat SD. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat tidak memiliki hubungan dengan partisipasi
masyarakat, khususnya dalam ketiga tahapan partisipasi.
4.5.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Penghasilan
Berdasarkan hasil kuesioner yang dikategorikan dalam tiga bagian, sehingga diperoleh distribusi penghasilan responden seperti berikut:
Tabel 4.14
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Penghasilan No
Penghasilan Jumlah
Persen
1. Rp 1.000.000
27 28,1
2. Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000
61 63,6
3. Rp 5.000.000
8 8,3
Jumlah 96
100
Sumber: Hasil Analisis, 2015 Pada perhitungan distribusi frekuensi penghasilan responden, diperoleh informasi
bahwa partisipasi responden paling tinggi adalah responden yang mempunyai penghasilan Rp 1.000.000-Rp 5.000.000 per bulan sebanyak 63,6, diikuti dengan golongan responden yang
berpenghasilan Rp1.000.000. Sedangkan golongan yang berpenghasilan lebih tinggi, yaitu Rp5.000.000 hanya sebesar 8,3 atau hanya 8 orang saja.
Menurut Turner dalam Panudju 1999, tingkat penghasilan ini akan mempengaruhi kemampuan finansial masyarakat untuk memberikan sumbangan. Masyarakat hanya akan
bersedia untuk mengerahkan semua kemampuannya apabila hasil yang dicapai akan sesuai dengan keinginan dan prioritas kebutuhan mereka.
4.6 Analisis Bentuk Partisipasi Masyarakat Pada Pembangunan Sanitasi Air Bersih Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perdesaan di Kecamatan Rawang 4.6.1 Analisis Bentuk Partisipasi Masyarakat Pada Tahap Perencanaan
Dari hasil kuesioner yang disebarkan kepada warga berkaitan dengan partisipasi pada tahap perencanaan pembangunan sanitasi air bersih ini, dapat dilihat pada Tabel 4.15:
Tabel 4.15 Partisipasi Masyarakat Pada Tahap Perencanaan
No Partisipasi Pada Tahap Perencanaan
Jumlah Persen
1. Ikut berpartisipasi
80 83,3
2. Tidak ikut berpartisipasi
16 16,7
Jumlah 96
100
Sumber: Hasil Analisis, 2015
Dari tabel di atas, dapat dilihat persentase masyarakat yang berpartisipasi pada tahap perencanaan adalah sebesar 83,3 atau sebanyak 80 orang, sedangkan yang tidak ikut
berpartisipasi sebesar 16,7 atau hanya sebanyak 16 orang. Ada beragam alasan responden mengapa mereka tidak ikut berpartisipasi, diantaranya adalah
kecenderungan masyarakat untuk melimpahkan kewenangan dengan anggapan bahwa lebih baik program tersebut ditangani oleh pihak-pihak yang terkait saja, yaitu pemerintah melalui
perangkat desa, fasilitator, ketua dusun ataupun ketua kelompok di lingkungan masing- masing di dalam tahap perencanan, pelaksanaan, ataupun pengawasannya. Masyarakat hanya
memberikan persetujuan saja dengan sosialisasi program dan tinggal menunggu hasilnya. Sementara ada beberapa responden yang tidak ikut berpartisipasi dengan alasan kesibukan.
Menurut Slamet 1992, ada dua faktor yang menyebabkan orang kurang berpartisipasi dalam suatu kegiatan, yaitu karena mereka mengetahui bahwa final decision bukan pada
mereka tetapi ada pada orang-orang yang mempunyai kekuasaan, serta karena mereka tidak mempunyai kepentingan khusus yang mempengaruhinya secara langsung. Bentuk partisipasi
masyarakat dalam perencanaan pembangunan sanitasi air bersih dapat dilihat dalam Tabel
4.16
Tabel 4.16 Bentuk Partisipasi Masyarakat Pada Tahap Perencanaan
No Partisipasi Pada Tahap Perencanaan
Jumlah Persen
1. Aktif mengikuti pertemuan
42 43,7
2. Aktif menyampaikan
usulansaran 22
22,9 3.
Terlibat dalam pengambilan keputusan
16 16,7
4. Tidak ikut berpartisipasi
16 16,7
Jumlah 96
100
Sumber: Hasil Analisis, 2015
Berdasarkan tabel, terlihat bahwa bentuk partisipasi dengan aktif mengikuti pertemuan adalah 42 responden. Ke-42 responden ini adalah mereka yang selalu hadir
mengikuti pertemuan dari pertemuan–pertemuan yang diadakan. Dari 42 responden tersebut yang aktif menyampaikan usulansaran ada 22 responden dan 16 responden yang terlibat
dalam pengambilan keputusan. Tingginya bentuk partisipasi responden ini disebabkan pendapat bahwa kehadiran dalam mengikuti pertemuan di pandang penting dalam tahap
perencanaan. Dalam penelitian ini, bentuk partisipasi responden dalam menyampaikan usulsaran
dalam pertemuan hanya 16,7 saja. Angka ini menunjukkan bahwa tidak semua responden yang mengikuti pertemuan ikut juga dalam pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan
karena masyarakat banyak yang melimpahkan atau memberikan kewenangan kepada golongan tertentu, yang dalam hal ini adalah pemimpin kelompok ataupun para ketua dusun
untuk diajukan dalam rapat. Menurut Slamet 1994, ada tiga kepemimpinan yang mempengaruhi penyampaian
usulsaran terkait eksistensi sebuah program yaitu: 1.
Kepemimpinan yang bersifat koordinatif, yaitu kepemimpinan yang lebih memberikan kemungkinan kepada warga untuk lebih banyak berpartisipasi.
2. Kepemimpinan yang bersifat oligarcy, yaitu kepemimpinan dengan sifat terbatas, dimana
keputusan-keputusan yang diambil bukan merupakan keputusan rakyat bersama, tetapi merupakan keputusan dari para oligarcy. Hal ini bukan merupakan kesalahan dari pimpinan
tetapi memang keadaan masyarakat sendiri yang memberikan kemungkinan untuk terjadinya sistem ini
3. Kepemimpinan yang bersifat paternalistis. Pada tipe kepemimpinan ini, bahwa segalanya
diserahkan kepada kehendak pimpinan. Keputusan tentang perencanaan pembangunan tidak
dicetuskan melalui rapat-rapat, tetapi rakyat sudah menyerahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan pimpinan setempat.
4.6.2 Analisis Bentuk Partisipasi Masyarakat pada Tahap Pelaksanaan