9
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Stilistika
Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori stilistika. Stilistika adalah 1 ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan
dalam karya sastra ; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; 2 penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa Kridalaksana 1982 : 159.
Dalam Kamus Istilah Sastra, Sudjimar 1990 :79 menuliskan stilistika Stylistics, ilmu yang menyelidiki penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam
karya sastra. Dalam Leksikon Sastra, Yusuf 1995 : 277 menuliskan stilistika Stylistics, ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra,
perpaduan ilmu linguistik dan sastra. Dalam Bunga Rampai Stilistika, Sudjiman 1993 : 3 menyebutkan bahwa
stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat
dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri – ciri yang
membedakan atau mempertimbangkan dengan wacana nonsastra, meneliti derivasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer. Stilistika mengkaji wacana
sastra di satu pihak dan juga linguistik di lain pihak. Menurut Sudjiman 1993 : 13-14 menguraikan pusat perhatian stilistika adalah Style, yaitu cara yang
digunakan pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana Style dapat diterjemahkan sebagai gaya
bahasa.
Universitas Sumatera Utara
10
Dilihat dari sudut bahasa atau unsur – unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang
dipergunakan, yaitu : 1 gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, 2 gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, 3 gaya bahasa berdasarkan
struktur kalimat, dan 4 gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna Keraf, 2006 : 115. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini
biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech. Gaya bahasa yang disebut trope atau figure of speech dalam uraian ini
dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata – mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan
gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna
Keraf, 2006 : 129.
2.2.2 Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna
2.2.2.1 Gaya Bahasa Retoris
Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata – mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu
Keraf, 2006 : 129. Gaya bahasa ini memiliki fungsi antara lain : menjelaskan, memperkuat, menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa, atau untuk
hiasan. Gaya bahasa retoris terdiri atas : 1.
Aliterasi Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi
konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang – kadang dalam
prosa, untuk hiasan atau penekanan. Misalnya : Takut titik lalu tumpah.
Universitas Sumatera Utara
11
2. Asonansi
Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang – kadang dalam prosa
untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Misalnya : Kura – kura dalam perahu, pura – pura tidak tahu.
3. Anastrof
Anastrof atau inversi adalah semacam gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Misalnya :
Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya. 4.
Apofasis atau Preterisio Apofasis atau disebut juga dengan preterisio merupakan sebuah gaya
dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura – pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia
menekankan hal itu. Misalnya : Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya
saya ingin mengatakan bahwa Anda pasti membiarkan anda menipu diri sendiri.
5. Apostrof
Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh
orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada suatu massa, si orator secara tiba - tiba mengarahkan pembicaraan langsung kepada sesuatu yang tidak
hadir, kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau objek
Universitas Sumatera Utara
12
khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada hadirin. Misalnya :
Hai kamu dewa – dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan ini.
6. Asindeton
Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat dimana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak
dihubungkan dengan kata sambung. Misalnya Materi pengalaman diaduk – aduk, modus eksistensi dari cogito ergo sum
dicoba, medium bahasa dieksploitir, imaji – imaji, metode, prosedur, dijungkir balik, masih itu – itu juga.
7. Polisindeton
Polisidenton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain
dengan kata – kata sambung. Misalnya : Dan ke manakah burung – burung yang gelisah dan tak berumah dan tak
menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu – bulunya? 8.
Kiasmus Kiasmus chiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri
atas dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik
bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Misalnya : Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk
melanjutkan usaha itu.
Universitas Sumatera Utara
13
9. Elipsis
Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau
pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku. Misalnya :
Masihkah kau tidak peraya bahwa dari segi fisik engkau tak apa – apa, badanmu sehat, tetapi psikis ....
10. Eufemismus
Kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani euphemizein yang berarti “mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau
dengan tujuan yang baik”. Sebagai gaya bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan – ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau
ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang
tidak menyenangkan. Misalnya : Ayahnya sudah tak ada di tengah – tengah mereka = mati.
11. Litotes
Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari
keadaan sebenarnya. Atau suau pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Misalnya :
Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun – tahun lamanya.
Universitas Sumatera Utara
14
12. Histeron Proteron
Histeron Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar,
misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Gaya bahasa ini disebut juga hiperbaton. Misalnya :
Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh dengan tenang.
13. Pleonasme dan Tautologi
Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata – kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk
menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Misalnya :
Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu
sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya : Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat.
14. Perifrasis
Perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak
dalam hal bahwa kata – kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Misalnya :
Jawaban bagi permintaan Saudara adalah tidak = ditolak.
Universitas Sumatera Utara
15
15. Prolepsis atau Antisipasi
Prolepsis atau Antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata – kata sebelum peristiwa atau gagasan yang
sebenarnya terjadi. Misalnya : Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru.
16. Erotesis atau Pertanyaan Retoris
Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato batau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang
lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Misalnya :
Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan menipulasi di negara ini ?
17. Silepsis dan Zeugma
Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang
sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalm silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi
secara semantik tidak benar. Misalnya : Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.
Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk sala satu daripadanya baik secara logis maupun
gramatikal. Misalnya :
Dengan membelalakan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu.
Universitas Sumatera Utara
16
18. Koreksio atau Epanortosis
Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula – mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Misalnya :
Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali. 19.
Hiperbola Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu
pernyataan yang berlebihan, dengan membesar – besarkan sesuatu hal. Misalnya : Kemarahanku sudah menjadi – jadi hingga hampir – hampir meledak aku.
20. Paradoks
Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta – fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal
yang menarik perhatian karena kebenarannya. Misalnya : Musuh sering merupakan kawan yang akrab.
21. Oksimoron
Oksimoron okys = tajam, moros = gila, tolol adalah suatu acuan berusaha untuk menggabungkan kata – kata untuk mencapai efek yang
bertentangan. Dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata – kata yang berlawanan
dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam daripada paradoks. Misalnya :
Keramah – tamahan yang bengis.
Universitas Sumatera Utara
17
2.2.2.2 Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan ini pertama – tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Memb andingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang
lain, berarti mencoba menemukan ciri – ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu
perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam bahasa kiasan. Kelompok pertama termasuk
gaya bahasa langsung dan kelompok kedua termasuk gaya bahasa kiasan. 1
Dia sama pintar dengan kakaknya. Kerbau itu sama kuat dengan sapi.
2 Matanya seperti bintang timur.
Bibirnya seperti delima merekah. Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya.
Perbandingan biasa mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang sama, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal
yang termasuk dalam kelas yang berlainan Keraf, 2006 : 136. Gaya bahasa kiasan terdiri atas :
1. Persamaan atau Simile
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud perbandingan yang bersifat eksplisit adalah bahwa ia langsung
menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata – kata : seperti, sama,
sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misalnya : Bibirnya seperti delima merekah.
Universitas Sumatera Utara
18
Kadang – kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan objek pertama yang mau dibandingkan, seperti : Bagai duri dalam daging.
2. Metafora
Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat : bunga bangsa, buaya darat, buah
hati, cindera mata, dan sebagainya. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata : seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga
pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya sama dengan simile tetapi secara berangsur – angsur keterangan mengenai
persamaan dan pokok pertama dihilangkan, misalnya : Pemuda adalah seperti bunga bangsa. Pemuda adalah bunga
bangsa, Pemuda Bunga bangsa. 3.
Alegori, Parabel, dan Fabel Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kisahan. Dalam
alegori, nama – nama pelakunya adalah sifat – sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Misalnya :
Cerita tentang putri salju. Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh – tokoh yang biasanya
manusia, yang selalu mengandung tema moral dan biasanya berhubungan dengan agama. Misalnya :
Cerita tentang anak durhaka kepada orang tuanya. Fabel adalah suatu metafora yang berbentuk cerita mengenai dunia binatang,
dimana binatang dapat bertingkah laku seperti manusia. Misalnya : Cerita dongeng Sang Kancil.
Universitas Sumatera Utara
19
4. Personifikasi
Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda – benda mati atau barang – barang yang tidak bernyawa seolah – olah
memiliki sifat – sifat kemanusiaan. Personifikasi penginsanan merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda – benda mati bertindak,
berbuat, berbicara seperti manusia. Misalnya : Matahari baru saja kembali ke peraduannya, ketika kami tiba disana.
5. Alusi
Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Misalnya :
Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya. 6.
Eponim Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering
dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya :
Anak itu masih kecil, namun kekuatannya seperti Hercules. 7.
Epitet Epitet epiteta adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau
ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu
barang. Misalnya : Sang putri malam sedang menunjukkan sinarnya =bulan.
Universitas Sumatera Utara
20
8. Sinekdoke
Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagiann dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan pars pro toto atau
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian totem pro toto. Misalnya :
Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000 pars pro toto. Indonesia memenangkan medali di kejuaraan bulu tangkis dunia totem
pro parte. 9.
Metonimia Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata
untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil pertemuan, pemilik untuk barang
yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Misalnya :
Ia membeli sebuah chevrolet. 10.
Antonomasia Antonomasia merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang
berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya :
Yang Mulia tidak dapat menghadiri pertemuan ini. 11.
Hipalase Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu
dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada
Universitas Sumatera Utara
21
sebuah kata yang lain. Dapat dikatakan bahwa hipalase adalah suatu kebalikan dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan. Misalnya :
Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya.
12. Ironi, Sinisme, dan Sarkasme
Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan hal lain yang berlawanan dengan tujuan agar orang yang dituju tersindir secara
halus. Misalnya : Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua
kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya Sinisme adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan
menggunakan hal yang berlawanan dengan tujuan agar orang tersindir secara lebih tajam dan menusuk perasaan. Misalnya :
Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan akan lenyap bersamamu
Sarkasme adalah gaya bahasa yang melontarkan tanggapan secara pedas dan kasar tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Misalnya :
Kelakuanmu memuakkan saya. 13.
Satire Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk
ini tidak harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Misalnya :
Jangan pernah berpikir kau adalah dewa, menghadapi masalah seperti ini pun kau sudah kewalahan.
Universitas Sumatera Utara
22
14. Inuendo
Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering
tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu. Misalnya : Ia menjadi kaya raya karena sedikit mengadakan komersialisasi
jabatannya. 15.
Antifrasis Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata
dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri. Misalnya :
Lihatlah sang raksasa telah datang maksudnya si cebol. 16.
Pun atau Paronamasia Pun atau Paronamasia adalah kiasan yang menggunakan kemiripan bunyi
yang berupa permainan kata, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya. Misalnya :
“Engkau orang kaya” “Ya, kaya monyet”. Uraian di atas berisi tentang gaya bahasa retoris dan kiasan yang akan
digunakan sebagai landasan teori penelitian ini. Gaya bahasa ini memiliki fungsi yang berbeda – beda di setiap kalimat. Fungsi gaya bahasa tersebut dapat sebagai
menjelaskan dan memperkuat makna, menambah nilai keindahan atau estetik, menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa hiburan, atau sekedar
hiasan. Keseluruhan jenis gaya bahasa inilah yang akan diterapkan penggunaannya dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
23
2.2.3 Semantik
Chaer 1995 : 2 mengungkapkan bahwa kata semantik dalam bahasa Indonesia Inggris : semantics berasal dari bahasa Yunani sema kata benda
yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata semantik sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda
linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga
tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik. Menurut pandangan Ferdinand de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri
atas dua unsur, yaitu 1 yang diartikan signifie, signified sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari suatu tanda bunyi dan 2 yang mengartikan
signifiant, signifier adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa intralingual
yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar bahasa ekstralingual.
Makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, yaitu :
1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Makna leksikal adalah makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem,
atau bersifat kata. Makna leksikal juga dapat dikatakan makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna
yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
24
timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing.
Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna gramatikal. Jika makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata
yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses
reduplikasi, dan proses komposisi. Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangakat juga oleh adik melahirkan makna
‘dapat’. 2.
Makna Referensial dan Nonreferensial Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada
tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut
kata bermakna referensial. Jika kata-kata tidak mempunyai referen , maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang
bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut meja dan kursi. Sebaliknya kata karena dan tetapi
tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan
hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi
Universitas Sumatera Utara
25
faktual objektif. Seperti contoh kata perempuan dan wanita kedua kata ini mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu ‘manusia dewasa bukan laki-laki’.
Makna konotatif apabila kata itu mempunyai ‘nilai rasa’ baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki
konotasi. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti cerewet, tetapi sekarang
konotasinya positif. 4.
Makna Konseptual dan Makna Asosiatif Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem
terlepas dari konteks atatu asosiasi apapun. Makna konseptual sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial. Makna asosiatif adalah
makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang brada di luar bahasa. Misalnya, kata melati
berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian. 5.
Makna Kata dan Makna Istilah Makna kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya
makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai
makna yang jelas, pasti, tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
Perbedaan makna kata dan istilah, yaitu 1 Tangannya luka kena pecahan kaca, 2 Lengannya luka kena pecahan kaca. Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat
tersebut bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata tersebut memiliki yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai jari
Universitas Sumatera Utara
26
tangan, sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.
6. Makna Kias
Semua bentuk bahasa baik kata, frase, maupun kalimat yang tidak merujuk pada arti sebenarnya arti leksikal, arti konseptual, arti denotatif disebut
mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti “bulan
‟ dan raja siang dalam arti
”
matahari” semuanya mempunyai arti kiasan.
2.3 Tinjauan Pustaka