Strategi Punguan Marga dalam memperebutkan Kekuasaan.

kita seleksi dia jangan nanti jadi penghianat didalam...” sumber wawancara : Dahlan Sianturi, 44 tahun, 2017. Berdasarkan wawancara diatas peneliti melihat bahwa adanya struktur yang dibentuk oleh masing-masing tim sukses dari pasangan calon untuk dapat menarik simpati dari masyarakat di Kabupaten Dairi baik dari desa, kecamatan hingga kabupaten.

4.4.2. Strategi Punguan Marga dalam memperebutkan Kekuasaan.

Strategi dalam pengertian sempit maupun luas terdiri dari tiga unsur, yaitu tujuan ends, sarana means, dan cara ways. Dengan demikian strategi adalah cara yang digunakan dengan menggunakan sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan Nasution, 2006. Punguan marga merupakan salah satu unsur dari masyarakat yang kerap dimanfaatkan oleh elite-elite politik untuk mendapatkan dukungan suara. Tujuan punguan marga dalam konteks pemilihan kepala daerah adalah untuk membawa calon Bupati yang didukungnya untuk dapat menduduki jabatan Bupati dalam mekanisme pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat. Punguan marga menjadi tempat pertama bagi para paslon untuk mendapatkan dukungan dari rakyat. Oleh sebab itu, pendekatan pertama yang dilakukan paslon ketika hendak mencalonkan diri sebagai Bupati. Hal ini diperkuat oleh penjelasan Markus Sinaga 55 tahun : “...kalau yang semarga, kan kita orang batak mayoritas punya punguan sehingga kita lebih mudah masuk kepada akar rumput...” sumber wawancara : Markus Sinaga, 55 tahun, 2017. Hal yang senada juga dijelaskan oleh Pa Edo Sihombing 49 tahun: “...sewaktu dulu ada pertemuan marga sihombing dirumah ini, datang pengurus marga sihombing sekabupaten dairi ketika itu, dan belum ada Universitas Sumatera Utara calon yang naik dari marga lain. Cuma hanya Johnny yang maju. Kalau tidak salah 8 bulan sebelum pelaksanaan pilkada. Makanya sewaktu ada pertemuan di desa, kami mengangkat koordinatornya marga Sihombing...” sumber wawancara : Pa Edo Sihombing, 49 tahun, 2017. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Johnny Sitohang : “...karena kita yang bermarga ini pendekatan kultur budaya masih sangat menonjol dan tentunya kita manfaatkan juga pendekatan marga kepada dongan sabutuha, keluarga hula-hula, keluarga boru...” sumber wawancara : Johnny Sitohang, 61 tahun, 2017. Hal diatas semakin dipertegas dengan penjelasan dari bapak H. Situmorang 59 tahun : “...menurut falsafah batak kawan semarga itu adalah pangalapan sangap. Dulu ketika dia sempat menceritakan bahwa dia punya mimpi untuk memimpin dairi, dan minta doa restu dari kami. Jadi dikumpulkannyalah dulu kami kemudian mendaftarkan dirilah dia jadi calon bupati, dan setelah dia mendaftarkan diri menjadi calon bupati kemudian kami pengurus marga sipitu ama se-Dairi pun rapat menanggapi mimpi si Johnny dulu, bagaimana kita untuk dapat memenangkan si Johnny. Tentu semua Acc untuk memenangkan dia...” sumber wawancara : H. Situmorang, 59 tahun, 2017. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa punguan marga menjadi tempat pertama bagi para paslon untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. Adanya faktor kesamaan marga menjadi alasan bagi paslon untuk mendapatkan perhatian dan simpati dari rakyat, terutama punguan marga. Max Weber menyatakan bahwa didalam kekuasaan terdapat kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain,walaupun orang lain itu mengadakan perlawanan atau penolakan Simanjuntak : 228. Model kekuasaan di tataran keagenan dari pemikiran Max Weber adalah kekuasaan sebagaikemungkinan seorang aktor atau sekelompok aktor dalam suaturelasi sosial mengambil posisi untuk mewujudkan ambisinya terlepasdari resistensi yang Universitas Sumatera Utara dihadapinya; dengan demikian berpotensiuntuk melahirkan konflik. Jadi kekuasaan menurut Weber adalah kesempatan untuk menguasai orang lain, sehingga orang lain mematuhi gagasan seseorang atau sekelompok orang. Berdasarkan defenisi diatas, kesempatan dapat dihubungkandengan ekonomi, kehormatan,partai politik atau dengan apa sajayang merupakan sumber kekuasaanbagi seseorang. Kesempatan seorangpejabat untuk melaksanakankemauannya tentu lebih besar dibanding kesempatan rakyat bisa. Kesempatan ini yang kemudian dimanfaatkan oleh elite politik untuk dapat berada posisi yang paling tinggi di masyarakat. Dalam hal ini, pendekatan kepada punguan marga menjadi kesempatan bagi paslon sebagai tempat utama untuk mendekatkan diri dengan rakyat, khususnya sesama marganya. Weber kemudian juga mendefenisikan konsep wewenang sebagai kemampuan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota – anggota masyarakat. Weber membagi wewenang menjadi 3 ; yang pertama adalah rational-legal authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern dan biasanya terdapat pada organisasi politik. Kedua adalah traditional authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci.Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama Universitas Sumatera Utara dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya. Yang terakhir charismatic authority, yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas yang luar biasa dari dirinya.Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku, pemimpin partai, dan sebagainya. Berdasarkan defenisi diatas punguan marga termasuk kedalam wewenang traditional authority, yaitu wewenang yang didapatkan dari tradisi dan kebudayaan leluhur yang dianggap suci. Hal ini dapat dibuktikan dengan penjelasan dari H. Situmorang selaku ketua dari punguan marga Sipitu Ama : “... fanatisme itu kita tanamkan. Kalau ada satu marga, kenapa harus orang lain. Apalagi kami yang sipitu ama ini, kan ada 7 anaknya, 3 situmorang, 1 siringo-ringo, 3 sitohang. Dulu ketika di bona pasogit kami, 7 marga itu berikrar sisada lului anak, sisada lulu boru, kami tambah lagi sisada lului harajaon. Kalau misalnya ada calon dari marga sipitu ama, adalah hal yang haram bagi kami kalau kami tidak memilih dia. Itu nasehat opung kami dulu. Harus kami turutin itu, mungkin akan ada malapetaka kalau tidak diturutin. Sehingga kami turuti untuk memilih kawan satu marga...” sumber wawancara : H. Situmorang, 59 tahun, 2017. Bagi orang Batak Toba, fenomena kekuasaan adalah hal yang sangat penting. Hal tersebut tergambar dari falsafah hidup orang Batak Toba yaitu 3 H Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon. Ketiga unsur tersebut berjalan beriringan dan dipercaya menjadi batu loncatan untuk memperoleh kekuasaan.Seperti yang dijelaskan oleh Pa Edo Sihombing 49 tahun selaku ketua punguan marga Sihombing kecamatan Sidikalang : “...yang jelas adalah itu. Karena yang kita raih itu adalah sebagai pemimpin. Keturunannya secara turun temurun membantu. Dari hasangaponlah dulu, kalau sudah ada orang yang sangap pasti sudah diakui. Hamoraon itu sudah datang sendiri itu kalau kita sangap. Kalau gabe itu datangnya dari Tuhan...” sumber wawancara : Pa Edo Sihombing, 49 tahun, 2017. Universitas Sumatera Utara Hamoraon, hagabeon, dan hasangapon menjadi tolak ukur masyarakat dalam memilih calon pemimpin yang dikehendaki. Masyarakat kerap kali melihat kulit luar dari paslon terlebih dahulu baru melihat visi dan misinya. Hal tersebut menjadi suatu kesempatan emas bagi paslon untuk menunjukkan bagaimana kualitas pribadinya untuk memimpin berdasarkan 3 H tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Passiona Sihombing 53tahun selaku calon Bupati : “...orang akan tetap melihat figur, terutama hamoraon. Orang masih tetap akan melihat ‘kulit’ luarnya. Orang masih melihat penampilannya, pada belum tentu kaya. Ada orang kaya karena korupsi, tapi tetap dihargai disini. Kekayaannya yang dilihat, bukan orangnya. Nah itu yang sebaiknya perlu kita hilangkan. Jangan lihat dari penampilan semata, isinya gak liat. Latar belakangnya juga gak dilihat. Nah itu yang mau kita rubah melalui pendidikan politik. Jangan pernah melihat orang seperti itu, harus liat latar belakanya seperti apa, visi dan misinya seperti apa, itu yang harus dilihat kalau memilih pemimpin. Kalau disidikalang belum seperti itulah. Dan sebagai manusia orang bisa bermimpi untuk jadi kaya, punya keturunan banyak dan punya kemuliaan. Tapi itu kan cita-cita, belum tentu kita dapat mencapainya. Dan jarang orang yang memiliki ketiganya...” sumber wawancara : Passiona Sihombing, 53 tahun, 2017. Dalam konteks politik prinsip Batak Toba tersebut tergolong kepada revitalisasi dan budaya politik familisme. Umumnya, para elite politik yang melakukan pendekatan berdasarkan familisme tersebut menjadi kuat posisinya karena budaya politik tersebut melemahkan kekuatan dari partai politik. Paslon lebih mudah diterima oleh rakyat ketika melakukan pendekatan dari punguan marga. Universitas Sumatera Utara

4.4.3. Partisipasi Punguan Marga dalam Pilkada Dairi 2017