Punguan Marga sebagai modal dan jaringan mendapatkan suara masyarakat

Nasib Sihombing selaku tim Sukses dari Luhut Matondang menyampaikan hal yang senada : “...kontribusi yang kita butuhkan dari mereka adalah mereka sepakat untuk mendukung ini. Karena ada semacam kontrak politik. Kalau dari punguan marga matondang sendiri, seperti yang saya bilang tadi, lebih terstruktur, punguan Naimarata dan Borbor Marsada...” sumber wawancara : Nasib Sihombing, 32 tahun, 2017. Berdasarkan dari hasil wawancara dengan informan dari punguan marga diatas, peneliti menarik kesimpulan bahwa punguan marga aktif dalam mendukung pasangan calon berdasarkan marganya. Berbagai tindakan dilakukan oleh pengurus punguan marga masing masing untuk dapat mendapatkan suara dari anggota punguannya dan masyarakat seperti menghimpun kekuatan marga, kampanye visi dan misi dari para calon yang akan menjabat di 2017.

4.4.4. Punguan Marga sebagai modal dan jaringan mendapatkan suara masyarakat

Suatu negara dapat dikatakan demokratis apabila ada kontribusi dari masyarakatnya dalam pengambilan suatu kebijakan atau keputusan. Masyarakat sebagai tokoh utama dalam sebuah negara demokrasi memiliki peran yang sangat penting, mengingat bahwa defenisi sesungguhnya dari demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Nova A.Malau dalam tulisannya yang berjudul Perilaku Etnis Batak Toba Dalam Pemilukada Kota Medan 2010 menjelaskan bahwa etnis Batak Toba cenderung memilih pemimpin berdasarkan pendekatan kepada punguan marga. Jaringan-jaringan paguyuban, termasuk hubungan-hubungan patron-klien etnik, relatif tersedia dan mudah digunakan untuk penggalangan kekuatan Universitas Sumatera Utara politik.Dengan katalain, penggunaan sarana etnik, jaringankomunikasi dan komponen-komponensentimental etnik affective component ofethnicity dapat dieksploitisir dalam usahapenggalangan kekuatan politik untukkepentingan pilkada. Kelompok etnik itutidak lagi dilihat sebagai kelompokbudaya, bahasa, atau agama tetapi telah diberiperan baru sebagai kelompok kepentinganpolitik. Demikian pula dengan punguan marga yang merupakan organisasi kebudayaan. Adapun temuan data dilapangan yang didapatkan oleh peneliti ketika melakukan wawancara dengan informan bahwa para paslon mendapatkan dukungan suara dari punguan marga dengan cara sebagai berikut : 1. Modal Sosial dalam pemanfaatan jaringan punguan marga. Modal sosial juga didefinisikan sebagai kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat tersebut. Dengan membangun hubungan dengan sesama, dan menjaganya agar terus berlangsung sepanjang waktu, orang mampu bekerja bersama-sama untuk mencapai berbagai hal yang tidak dapat mereka lakukan sendirian, atau yang dapat mereka capai dengan susah payah. Orang berhubungan melalui serangkaian jaringan dan mereka cenderung memiliki kesamaan nilai dengan anggota lain dalam jaringan tersebut, sejauh jaringan tersebut menjadi sumber daya, dia dapat dipandang sebagai modal. Johnny Sitohang sebagai pemenang dari Pilkada Dairi 2013 melakukan strategi ini dalam mendukung kemenangannya : “...margaisme itu menonjol khususnya kepada marga kita sendiri sepanjang kita mendekatkan diri kepada marga itu....Kalau saya tidak mendekatkan diri kepada marga sitohang, maka marga sitohang itu tentu akan benci...” Universitas Sumatera Utara Beliau juga menambahkan : “...tetap juga individu bahwa sudah tertanam di hati sanubari orang Batak ini kayaknya ia lebih besar dia pada fanatisme marga tadi. Walaupun kita dekati pengurusnya ya memang seperti itu. Bahkan kepada yang kita tidak kenalpun cenderung dia memilih berdasarkan margaisme tadi. Bahkan timbul rasa berdosa kalau tidak memilih paslon semarganya tadi...” sumber wawancara : Johnny Sitohang, 61 tahun, 2017. Johnny Sitohang memanfaatkan fanatisme marganya agar dapat mendulang suara pada saat Pilkada. Fanatisme marga dalam mendukungnya juga semakin dipertegas dengan penjelasan dari H. Situmorang : “...ada fanatismenya. Artinya kalau misalnya ada calon yang marga kita kan ndak mungkin kita kemarga yang lain. Fanatisme marga untuk Pilkada itu kuat kali itu...” Beliau juga menambahkan : “...jadi untuk bisa menang cemana kami dirikanlah posko namanya Patungkoan Pomparan ni op Tuan Situmorang boru bere dohot ibebere. Dari posko ini kami bentuk lagi cabang cabangnya diseluruh kecamatan yang ada dikabupaten Dairi. Jadi semua pengurus di posko cabang mendata seluruh boru bere dohot ibebere. Kemudian setelah didata, dibawa ke posko kami, kami hitung semuanya berapa jumlah suara itu berapa yang mau memilih dia...” sumber wawancara : H. Situmorang, 59 tahun, 2017. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan peneliti melihat bahwa fanatisme dari marga itu sangat kuat sehingga timbul inisiatif dari punguan marga tersebut membentuk perkumpulan khusus marga partungkoan : pertemuan dimana orang-orang dapat berkumpul untuk minum kopi sambil membahas hal- hal apa saja yang dapat dilakukan untuk memenangkan calon yang didukung. 2. Memanfaatkan sistem dalihan na tolu : kekerabatan. Seperti yang telah dijelaskan diawal bahwa konsep hamoraon, hagabeon, hasangapon juga diatur oleh struktur dalihan Na Natolu 3 tunggu perapian. J.C.Vergouwen dalam bukunya Masyarakat dan Hukum Adat Batak Universitas Sumatera Utara Toba menjelaskan konsep dalihan na toluy yaitu merupakan kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan suatu kelompok kekerabatan yang terdiri dari laki-laki yang seketurunan, yang telah mengawinkan anak perempunannya dengan laki-lakiyang berasal dari kelompok kekerabatan pertama kali kelompok pertama itu adalah kelompok ego dan pada pihak kedua, laki-laki seketurunan yang telah mengambil istri dari kelompok kekerabatan ego. Secara lebih jelas, dalihan na tolu adalah suatu kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan suatu kelompok kekerabatan. Dalihan na tolu terdiri dari hula-hula sumber istri,dongan sabutuhasaudara semarga, boru penerima istri. Dalam umpasa Batak toba yaitu somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru.Dalihan na tolu dan pandangan 3 H tersebut tidak dapat dipisahkan, sehingga orang-orang Batak Toba ketika merantau dimanapun dapat menguasai suatu daerah dan hidup hanya dengan mengandalkan etnisnya. Seperti yang dijelaskan oleh H. Situmorang selaku pengurus dari punguan marga Sipitu Ama Kecamatan Sidikalang : “...memang orang Batak seperti itu. Seperti dalihan natolu : hula-hula pangalapan pasu-pasu, dongan sabutuha pangalapan sangap, boru pangalapan gogo. Kalau kita dengan teman semarga kita, ya kita harus berbaur dan menghargai mereka, karena mereka pangalapan sangap kita. Dan itu tidak cukup. Kalau dengan satu marga saja dan tidak menghormati hula-hula, ya omong kosong juga. Semua orang batak tidak memungkiri bahwa hula-hula adalah sumber pasu-pasu atau berkat. Dan kalau kita juga tidak baik sama borunya, tidak di elek, tidak dibujuk, ya sama juga gak ada gunanya. Makamya dalihan na tolu tadi saling berkaitan semuanya...” sumber wawancara : H. Situmorang, 59 tahun, 2017. Untuk memperebutkan kekuasaan penggunaan konsep dalihan na tolu sebagai jaringan mendulang suara juga dianggap ampuh karena memunculkan Universitas Sumatera Utara rasa fanatisme sendiri atas dasar kekerabatan. Sering dikatakan bahwa orang batak membeli istri, walaupun hal tersebut terkesan negatif namun gambaran membeli tidaklah sesuai dengan makna sebenarnya. Jika seorang perempuan meninggalkan keluarganya untuk dikawinkan maka ia telah menciptakan hubungan baru dengan keluarga suaminya yaitu hubungan partondongan besan yang terus mengikatnya, suaminya dan keturunannya kelak. Hubungan partondongan tersebut kemudian juga dimanfaatkan untuk mendulang suara dari calon bupati. Bupati Dairi yang menjabat saat ini Johnny Sitohang menyampaikan hal yang senada seperti berikut : “...ada falsafah Batak mengatakan silua gunung sibaen na las, partuturan si baen na horas. Artinya kalau kita membuka kultur budaya atau karna perkawinan, kalo kita saling mengasihi maka fanatisme pasti timbul. Kalau tidak, justru kebencian yang datang...”. Beliau juga menambahkan : “...iya,betul pihak istri saya juga mendukung. Seperti pepatah yang saya katakan tadi. Saya menikah dengan br sianturi. Sepanjang yang saya sadari, saya selalu hormat dan dekat dengan marga sianturi dan saya pasti mengharapkan balas dong dari mereka untuk mendukung saya. Dan ternyata mereka mendukung saya. Orang lain tidak didukung mungkin karena pendekatannya kurang selama ini.Saling menunjukkan kasih sayanglah, kita tanamkan kasih sayang dan mereka menyayangi kita.Kalo kita saling menunjukkan kasih kita, otomatis suara margaisme pasti mendukung kita. Dan kontribusi dari pihak marga istri sangat besar...” sumber wawancara : Johnny Sitohang, 61 tahun, 2017. Passiona Sihombing selaku pihak yang kalah di Pilkada 2013 silam juga menyatakan pendapatnya akan dukungan dari pihak marga istrinya : “...tetap berperan, ada. Sedikit banyak berperan juga...” sumber wawancara : Passiona Sihombing, 53 tahun, 2017. Universitas Sumatera Utara Pernyataan beliau juga semakin dipertegas oleh Vincent Tumanggor selaku tim sukses calon Passiona Sihombing : “...ya, pasti ada. Dukungan hula-hula tetap ada. Semua itu, semua calon. Contohnya si Passiona hula-hulanya kan Sirait, ada itu pendekatan khususnya. Kalau si Parlemen kemaren pendekatan kepada hula-hulanya Manik, kalau incumbent hula-hulanya Sianturi, si Matondang kemaren Sembiring. Ya seperti itu. Begitulah orang Batak ini. Kalau kita datang dengan membawa posisi kita sebagai bagian dari paradatan, disambut jugalah dengan paradatan. Jadi konsep dalihan na tolu itu sebagai akses pertama bagi para calon...”sumber wawancara : Vincent Tumanggor, 41 tahun, 2017. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diatas bahwa sistem dalihan na tolu mendukung kemenangan dari calon Bupati, baik dari punguan marga dari marga sendiri dan punguan marga dari marga istri hula-hula. Pendekatan kepada punguan marga tidak hanya sebatas semarga yang sama, tetapi juga hula-hula dari calon itu sendiri. 3. Memanfaatkan modal ekonomi. Berdasarkan penjelasan dari informan selama wawancara berlangsung, informan tidak menampik bahwa untuk mendapatkan suara dari masyarakat juga tidak terlepas dari adanya modal ekonomi berupa cost politik yang dikeluarkan selama Pilkada 2013. Salah satu konsep 3H, yaitu hamoraon kekayaan juga menjadi faktor pendukung bagi para paslon selama pelaksanaan kampanye. Pandangan hidup tersebut kemudian dikembangkan oleh para tim sukses dari para calon dan tim suksesnya masing-masing sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Vinccent Tumanggor selaku tim Sukses Passiona Sihombing : “...orang Batak memang kek gitunya. Dari awal paradatan itu pasti uangnya semua. Sewaktu kampanye ada dikasih togu-togu-ro, sesudah itu dikasih lagi siingot-ingot nya, ada lagi si rambe manis. Uang itu semua. Udah dikasih semuanya dikasih lagi sipaingot tondi didalan. Marnortor Universitas Sumatera Utara hula-hula, kan uang juga kan? Jadi budaya batak seperti itu, dipesta uang, dikampanye uang, diperpolitikan juga uang. Meninggal juga pake uang...” sumber wawancara : Vincent Tumanggor, 41 tahun, 2017. Uang menjadi hal yang sangat dibutuhkan bagi setiap orang mengingat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pasti memerlukan uang. Demikian pula halnya dengan orang Batak. Semakin banyak uang yang dikeluarkan si calon kepada masyarakat semakin tinggi pula posisinya dalam adat, menunjukkan hamoraon-nya. Tentunya hal tersebut berdampak kepada dukungan masyarakat. Nasib Matondang selaku tim sukses dari Luhut Matondang menyampaikan strategi yang dilakukannya : “...kalau cost politik itu kan relatif karena adanya cost politik bukan berarti manipolitik. Kalau kita buat kampanye akbar sudah pasti kita akan kasih makan, kasih ongkos pulang, kan begitu. Kalau soal jumpa, tergantung juga. Setahu saya cost politik yang besar itu ketika pelaksanaan kampanye akbar. Semua pendukung dari desa-kabupaten berkumpul di stadion. Dan otomatis cost politik tinggi, apalagi di cost mobilisasi. Tapi soal yang lain-lain saya gak tahu, karna saya bukan jurkam. Berbicara soal serangan fajar, itulah realita yang terjadi. Masyarakat tahu tapi pura-pura tidak tahu. Tapi bagaimana mereka supaya mau memilih? Diluar dari uang, tentu mereka itung-itung dulu. Kalau dia tidak bekerja satu hari berapa kerugiannya. Maka kami buat pertimbangan, dan bukan manipolitik, tapi bagaimana jika masyarakat dapat makan tanpa bekerja. Itu Trik yang kami buat...” sumber wawancara : Nasib Sihombing, 32 tahun, 2017. Hal yang senada juga disampaikan Johnny Sitohang selaku pemenang dari Pilkada 2013 : “...kalo saya mengatakan, justru PILBUB itu tidak perlu keluar uang, pemilihan legislatif pasti pake uang. Memang ada cost politic yang keluar untuk biaya spanduk dan yang lain. Tapikebanyakan adalah dari sumbangan para relawan...” sumber wawancara : Johnny Sitohang, 61 tahun, 2017. Universitas Sumatera Utara Hal tersebut juga dipertegas dengan penjelasan dari Parlemen Sinaga : “...pasti kita juga mengeluarkan uang untuk biaya operasionalnya seperti uang saksi dan lain lainnya. Yang pasti, cost politik itu pasti keluar dari kantong kita...”sumber wawancara : Parlemen Sinaga, 59 tahun, 2017. Demikian pulanya dengan penjelasan dari Passiona Sihombing mengenai cost politik : “...kalau kampanye saya kemaren, sama sekali tidak ada. Kita haramkan, saya ndak mau. Sama sekali tidak ada politik uang. Tapi cost politik tetap ada. Misalnya ketika pertemuan perlu makan, perlu minum, perlu bensin, Itu aja. Yang normal sajalah. Untuk manipolitik kita tidak ada, dari awal sudah kita haramkan itu...” sumber wawancara : Passiona Sihombing, 53 tahun, 2017. Kekalahan dari Passiona Sihombing juga disebabkan oleh tidak adanya uang yang dimiliki untuk membiayai cost politik selama pelaksanaan kampanye Pilkada 2013. Hal tersebut disampaikan oleh Vincent Tumanggor : “...dulu pas pilkada gak ada uang kita untuk membayar uang saksi. Pas kampanye saja mamak-mamak yang mengumpulkan beras dan dimasak dipos kita. Jadi pas kampanye kita makan dijalanlah,naik truk terus kita kumpulin orang. Kita memang pada waktu itu tidak ada uang, malahan orang yang memberi kita, parpungu tangan namanya di punguan marga dulu.Kita disumbang dan bukan kita yang nyumbang orang...”sumber wawancara : Vincent Tumanggor, 41 tahun, 2017. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diatas maka peneliti menarik kesimpulan bahwa modal ekonomi berupa cost politik mempengaruhi dukungan dari masyarakat terhadap kemenangan calon Bupati dalam pilkada Dairi 2013. Modal jaringan punguan marga baik dari marga sendiri dan dari pihak istri juga turut menjadi modal dalam meraih kemenangan pada Pilkada Dairi 2013. Dalam teori ekonomi juga dijelaskan bahwa pemanfaatan modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial sangatlah penting untuk diaplikasikan, demikian juga diaplikasikan di dunia politik, seperti halnya yang terjadi didaerah yang memiliki Universitas Sumatera Utara suku dan agama yang sama. Kemenangan dari paslon pada Pilkada 2013 ditentukan dengan keseimbangan antara modal jaringan marga dan adanya modal ekonomi. Apabila seorang paslon dia memiliki status dan citra yang baik dimasyarakat namun tidak memiliki uang, belum tentu paslon tersebut dapat menang. Keseimbangan dalam penggunaan kedua modal tersebutlah yang menjadi sebab utama yang digunakan oleh paslon untuk dapat memenangkan pertarungan Pilkada Dairi tahun 2013. Berdasarkan temuan data dilapangan dan hasil wawancara jaringan yang dibangun dengan punguan marga adalah sebagai berikut : a. Jaringan individu egosentris yaitu jaringan yang berhubungan dengan modal tunggal atau individu. b. Jaringan sosial social-centric digambarkan dalam model dan batasan analisisnya. c. Jaringan terbuka open system yaitu batasan tidakdianggap penting. Universitas Sumatera Utara

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan oleh peneliti dari Bab I sd Bab IV, ada banyak hal yang ditemukan sehingga menjadi fenomena dalam dunia perpolitikan daerah, baik secara teknis maupun teoritis dan berhubungan dengan judul yang telah diteliti oleh peneliti dan kesimpulan dari hasil interpretasi data wawancara terhadap para informan. Kesimpulan tersebut antara lain : 1. Pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Dairi pada tahun 2013 berjalan dengan baik mulai dari kampanye hingga pelaksanaan Pilkada. Sempat terjadi perselisihan antara kandidat Luhut Matondang dan Parlemen Sinaga dengan incumbent Kra. Johnny Sitohang Adinegoro yang diakibatkan oleh hasil perolehan suara, sehingga kedua calon tersebut mengajukan banding kepada Mahkamah Konstitusi. Namun pada akhirnya kasus tersebut tidak terbukti dan pelantikan Bupati dan Wakil Bupati tetap dilaksanakan pada 24 April 2014. 2. Salah satu cara yang dilakukan oleh seorang aktor politik untuk mendapatkan peningkatan suara dalam konteks Pilkada adalah dengan cara melakukan pendekatan kepada masyarakat. para paslon melakukan berbagai bentuk pendekatan kepada masyarakat. Pendekatan kepada keluarga, organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan dan organisasi kedaerahan seperti punguan marga. Pendekatan tersebut juga didukung dengan kegiatan-kegiatan seperti arisan, kegiatan olahraga serta menghadiri pesta-pesta masyarakat sebagai bentuk pendekatan kepada masyarakat. Universitas Sumatera Utara