84
kepada Tuhan bisa dilakukan setiap hari dirumah masing-masing, misalnya pada pagi hari sebelum melakukan aktivitas atau malam sebelum tidur. Pada hari biasa
agama Buddha yang di Vihara Avalokitesvara juga melangsungkan ibadah pada jam 5 pagi dan jam 5 sore, dan itu dilakukan oleh orang dalam saja yang ada di
Vihara Avalokitesvara. Pada saat waisak, banyak pengunjung yang berasal dari luar kota memilih untuk melangsungkan beribadah di Vihara Avalokitesvara, dan
itu juga mereka manfaatkan untuk berwisata di Vihara Avalokitesvara tersebut. Adapun syarat jamaat beribadah di Vihara Avalokitesvara adalah para
jemaat harus bersih, berpakaian rapi, sopan, dan vegetarian, dan larangan untuk non Buddha harus tau diri dan tidak melakukan hal-hal aneh di tempat ibadah
umat Buddha tersebut. Hal ini di ungkapkan oleh Bhiksu Dhityadaya selaku Pimpinan Vihara
Avalokitesvara : “ Tidak ada larangan untuk para agama Buddha untuk
beribadah kesini. Hanya saja jemaat yang beribadah harus bersih, rapi, sopan, dan vegetarian. Tidak ada
larangan kepada jemaat wanita untuk tidak bisa beribadah karena mengalami menstruasi seperti di agama
Islam. Dan larangan untuk para pengunjung non Buddha bebas-bebas saja, yang penting tidak aneh-aneh
tingkahnya, misalnya berbuat hal seronoh bersama pasangan, dan merusak tanaman atau benda-benda di
lingkungan Vihara Avalokitesvara, yang penting tau diri
saja.”
3.4. Motivasi Wisatawan
Menurut Cohen motivasi wisatawan adalah untuk melepaskan diri sejenak dari kegiatan rutin berfungsi untuk mengembalikan harmoni di masyarakat terapi
sosial. Pada dasarnya seseorang melakukan perjalanan dimotivasi oleh beberapa
Universitas Sumatera Utara
85
hal. Dari berbagai motivasi yang mendorong perjalanan, McIntosh 1977 dan Murphy 1985 mengatakan bahwa motivasi dapat dikelompokkan menjadi empat
kelompok besar yaitu sebagai berikut: 1. Physical or physiological motivation motivasi yang bersifat fisik atau
fisiologis, antara lain untuk relaksasi, kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, bersantai dan sebagainya.
2. Cultural motivation motivasi budaya, yaitu keinginan untuk mengetahui budaya, adat, tradisi dan kesenian daerah lain. Termasuk juga ketertarikan
akan berbagai objek tinggalan budaya banggunan bersejarah. 3. Social motivation atau interpersonal motivation motivasi yang bersifat sosial,
seperti mengunjungi teman dan keluarga, menemui mitra kerja, melakukan hal yang dianggap mendatangkan gengsi nilai prestise, melakukan ziarah,
pelarian dari situasi-situasi yang membosankan dan sebagainya. 4. Fantasy motivation motivasi karena fantasi, yaitu adanya fantasi bahwa di
daerah lain seseorang kan bisa lepas dari rutinitas keseharian yang menjemukan, dan ego-enhancement yang memberikan kepuasan psikologis.
Disebut juga sebagai status and prestige motivation. Cohen dalam perspektif fungsionalisme mengatakan motivasi wisatawan
untuk melepaskan diri sejenak dari kegiatan rutin berfungsi untuk mengembalikan harmoni di masyarakat terapi sosial
14
. Seperti halnya salah satu informan yang berkunjung ke Vihara Avalokitesvara, ia adalah seorang yang bekerja sebagai
14
http:file.upi.eduDirektoriFPIPSJUR._PEND._GEOGRAFI197210242001121- BAGJA_WALUYASOSIOLOGI_PARIWISATAHO_Sosantroppar.pdf
Universitas Sumatera Utara
86
wirausaha yang terbilang sangat sibuk. Tetapi meskipun begitu ia meluangkan waktunya untuk berwisata.
“Saya selalu membuat jadwal untuk berwisata sebulan sekali, karena menurut saya berwisata itu salah satu cara
untuk mengembalikan energi saya yang telah terbuang saat bekerja. Saya memiliki usaha menjual bahan-bahan
bangunan dan sangat menyita banyak waktu. Jadi saya menyempatkan diri dengan keluarga untuk berwisata.
Saya tau tempat ini dari saudara saya yang tinggal disini. Jadi saya datang ke Vihara ini karena saya penasaran.
Menurut saya bisa dibilang bagus lah”. Bapak Satya
15
Ada motivasi yang kuat dari seseorang ketika melakukan perjalanan wisata, bagi seorang wisatawan, perjalanan tersebut memiliki beberapa manfaat,
antara lain sebagai berikut: 1. Perjalanan wisata adalah wahana penyegaran dan regenerasi fisik dan mental.
2. Perjalanan wisata berkaitan dengan kompensasi terhadap berbagai hal yang melelahkan, dan hal itu juga berfungsi sebagai wahana integrasi sosial bagi
mereka yang di rumahnya merasa terkena teralienasi. 3. Perjalanan wisata mempunyai manfaat dalam pelarian dari situasi keseharian
yang penuh dengan ketegangan, rutinitas yang menjemukan dan berbagai macam kejenuhan-kejenuhan karena beban dari pekerjaan yang berat.
4. Perjalanan wisata merupakan mekanisme bagi seseorang agar bisa mengeluarkan perasaannya, melalui komunikasi dengan orang lain termasuk
dengan masyarakat lokal yang ada di daerah tujuan wisata. 5. Perjalanan wisata adalah salah satu wahana yang berfungsi untuk
mengembangkan wawasan pariwisata.
15
Hasil wawancara dengan informan
Universitas Sumatera Utara
87
6. Perjalanan wisata adalah wahana yang mempunyai fungsi untuk mendapatkan kebebasan.
7. Perjalanan wisata adalah wahana yang bisa digunakan untuk realisasi diri. 8. Perjalanan wisata adalah sesuatu yang menyenangkan, dan bisa membuat hidup
lebih bahagia. Motivasi perjalanan seseorang dipengaruhi oleh faktor internal wisatawan
itu sendiri dan faktor eksternal. Secara intrinsik, motivasi terbentuk karena adanya kebutuhan danatau keinginan manusia itu sendiri, sesuai dengan teori hirarki
kebutuhan Maslow. Kebutuhan tersebut dimulai dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan prestise dan kebutuhan akan
aktualisasi diri. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang terbentuknya dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal, seperti norma sosial, pengaruh atau tekanan keluarga dan situasi kerja yang terinternalisasi dan kemudian berkembang menjadi kebutuhan
psikologis. Motivasi wisatawan untuk melepaskn diri sejenak dari kegiatan rutin berfungsi untuk melepaskan diri sejenak dari kegiatan rutinuntuk mengembalikan
harmoni di masyarakat, sehingga pariwisata dapat dipandang sebagai salah satu bentuk terapi sosial.
Motivasi merupakan faktor penting bagi calan wisatawan di dalam mengambil keputusan mengenai daerah tujuan wisata yang akan dikunjungi.
Calon wisatawan akan mempersepsi daerah tujuan wisata yang memungkinkan, di mana persepsi ini dihasilkan oleh preferensi individual, pengalaman sebelumnya
dan informasi yang didapatkannya.
Universitas Sumatera Utara
88
Apapun motivasi seseorang melakukan perjalanan wisata, maka bagi seorang wisatawan perjalanan tersebut akan mempunyai beberapa manfaat, antara
lain sebagai berikut: a.
Perjalanan wisata merupakan wahana penyegaran dan regenerasi fisik dan mental.
b. Perjalanan wisata merupakan kompensasi terhadap berbagai hal yang
melelahkan, sekaligus juga sebagai wahana integrasi sosial bagi mereka yang di rumahnya merasa teralienasi.
c. Perjalanan wisata merupakan pelarian dari situasi keseharian yang penuh
ketegangan, rutinitas yang menjemukan, atau kejenuhan-kejenuhan karena beban kerja.
d. Perjalanan wisata merupakan mekanisme bagi seseorang untuk dapat
mengeluarkan perasaannya, melalui komunikasi dengan orang lain termasuk dengan masyarakat lokal.
e. Perjalanan wisata merupakan wahana untuk mengembangkan wawasan.
f. Perjalanan wisata merupakan wahana untuk mendapatkan kebebasan.
g. Perjalanan wisata merupakan wahana untuk realisasi diri.
h. Perjalanan wisata memang merupakan sesuatu yang menyenagkan, membuat
hidup lebih bahagia.
16
16
http:jembatan4.blogspot.co.id201310motivasi-perjalanan-wisata.html
Universitas Sumatera Utara
89
BAB IV PENAMBAHAN FUNGSI VIHARA AVALOKITESVARA MENURUT
PANDANGAN BHIKKSU DAN PENGUNJUNG
Bronislaw Malinowski 1884 – 1942 merupakan salah satu tokoh
antropologi yang menggagas dan berhasil mengembangkan teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi. Dan yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa
teorinya ia kembangkan dengan menekuni penelitian lapangan. Kepulauan Trobriand diwilayah pasifik dipilihnya menjadi objek penelitian dan dari daerah
itu pula dari tangan Malinowski lahir berbagai karya tulisan yang sangat dikagumi dikalangan antropologi, salah satu adalah “Argonauts Of The Western Pacific”.
Secara garis besar Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sutu teori fungsional tentang
kebudayaan atau “A Functional Theory of Culuture”. Melalui teori ini banyak antropolog yang sering menggunakan teori
tersebut sebagai landasan teoritis hingga dekade tahun 1990-an, bahkan dikalangan mahasiswa menggunakan teori ini untuk menganalisis data penelitian
untuk keperluan skripsi dan sebagainya. Tulisan “Argonauts of the Western
Pacific” 1922 melukiskan tentang sistem Kula yakni berdagang yang disertai upacara ritual yang dilakoni oleh penduduk di kepulauan Trobriand dan kepulauan
sekitarnya. Perdagangan tersebut dilakukan dengan menggunakan perahu kecil bercadik menuju pulau lainnya yang jaraknya cukup jauh. Benda-benda yang
diperdagangkan dilakukan dengan tukar menukar barter berupa berbagai macam bahan makanan, barang-barang kerajinan, alat-alat perikanan, selain daripada itu
Universitas Sumatera Utara
90
yang paling menonjol dan menarik perhatian adalah bentuk pertukaran perhiasan yang oleh penduduk Trobriand sangat berharga dan bernialai tinggi. Yakni kalung
kerang sulava yang beradar satu arah mengikuti arah jarum jam, dan sebaliknya gelang-gelang kerang mwali yang beredar berlawanan dari arah kalung kerang
dipertukarkan. Karangan etnografi dari hasil penelitian lapangan tersebut tidak lain adalah
bentuk perkeonomian masyarakat di kepulauan Trobriand dengan kepulauan sekitarnya. Hanya dengan menggunakan teknologi sederhana dalam mengarungi
topografi lautan pasifik, namun disisi lain tidak hanya itu, tetapi yang menraik dalam karangan tersebut ialah keterkaitan sistem perdagangan atau ekonomi yang
saling terkait dengan unsur kebudayaan lainnya seperti kepercayaan, sistem kekerabatan dan organisasi sosial yang berlaku pada masyarakat Trobriand. Dari
berbagai aspek tersebut terbentuk kerangka etnografi yang saling berhubungan satu sama lain melalui fungsi dari aktifitas tersebut.
Pokok dari tulisan tersebut oleh Malinowski ditegaskan sebagai bentuk Etnografi yang berintegrasi secara fungsional. Selain dari hasil karya
etnografinya, tentunya harus diperhatikan pula upaya-upaya Malinowski dalam mengembangkan konsep teknik dan metode penelitian, dan sangat lugas
ditekankan pentingnya penelitian yang turun langsung ketengah-tengah objek masyarakat yang diteliti, menguasai bahasa mereka agar dapat memahami apa
yang objek lakukan sesuai dengan konsep yang berlaku pada masyarakat itu sendiri dan kebiasaan yang dikembangkan menjadi metode adalah pencatatan.
Mencatat seluruh aktivitas dan kegiatan atau suatu kasus yang konkret dari unsur
Universitas Sumatera Utara
91
kehidupan. Selain dari pada itu yang patut untuk para peneliti menurut Malinowski adalah kemampuan keterampilan analitik agar dapat memahami latar
dan fungsi dari aspek yang diteliti, adat dan pranata sosial dalam masyarakat. Konsep tersebut dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek
kebudayaan, yakni : 1.
Saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lainnya.
2. Konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.
3. Knsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara
fungsional. 4.
Esensi atau inti dari kegiatanaktivitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan kebu
tuhan dasar “biologis” manusia.
Melalui tingkatan abstraksi tersebut Malinowski kemudian mempertegas inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatanaktivitas manusia
dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan
dengan seluruh kehidupannya. Jadi ketika kita berbicara mengenai perubahan fungsi budaya di penelitian
saya tentang Vihara Avalokitesvara, alangkah baiknya kita melihat dari 4 aspek yang diterangkan Malinowski :
1. Saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek
lainnya : maksudnya adalah dahulu Vihara Avalokitesvara difungsikan sebagai tempat ibadah saja namun sekarang Vihara avalokitesvara bertambah
Universitas Sumatera Utara
92
fungsinya menjadi sebuah objek wisata. Keberadaan Vihara Avalokitesvara inilah yang menjadi multifungsi.
2. Konsep oleh masyarakat yang bersangkutan : perubahan konsep masyarakat
tentang keberadaan Vihara Avalokitesvara, dahulu keberadaan Vihara dalam perspektif masyarakat di Pematangsiantar hanya tempat beribadah namun
sekarang selain tempat ibadah menjadi tempat wisata. 3.
Unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional. Di Vihara Avalokitesvara proses penyesuaian di antara unsur-
unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi.
Dikatakan demikian karena setelah dijadikan tempat wisata, Vihara ini banyak non Buddha datang ke tempat ibadah umat Buddha. Ini menjadikan
umat Buddha menyesuaikan diri dengan terjadi penambahan fungsi di Vihara Avalokitesvara. Umat Buddha menerima baik pengunjung non Buddha yang
berkunjung ke tempat ibadah mereka, dengan ini terjadi keserasian fungsi. 4.
Esensi atau inti dari kegiatanaktivitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dasar “biologis” manusia. Maksudnya berwisata religi
di Vihara Avalokitesvara baik umat Buddha maupun non Buddha dapat mempengaruhi biologis. Seperti halnya umat Buddha yang beribadah ke
Vihara, mereka merasakan perubahan pada biologis mereka setelah beribadah. Ketika beribadah mereka menggunakan Dupa yang memiliki
bermacam efek pada biologis mereka. Seperti Dupa yang tidak begagang
Universitas Sumatera Utara
93
berbentuk piramida atau serbuk berguna untuk menentramkan pikiran, mengheningkan cipta dan mengusir arwah jahat.
4.1. Pandangan Bhikksu