Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Aceh yang memiliki banyak pengalaman sejarah telah menjadi perhatian pihak luar baik nasional maupun internasional. Fase demi fase konflik kekerasan menjadi sejarah yang tidak pernah surut di Aceh. Sejak zaman pra-kolonial yaitu abad ke-17 sampai terjadinya sebuah fenomena dimana masyarakat Aceh mengalami ketidak adilan politik, ekonomi serta penerapan DOM tahun 1989- 1998 yang banyak menimbulkan korban sipil. Pada era orde baru, nyaris persoalan Aceh tidak pernah tersentuh oleh upaya penyelesaian konflik secara damai kecuali melalui pendekatan militer yang banyak memakan korban jiwa. Maka setelah masa orde baru berakhir, barulah pemerintah Indonesia berusaha menyelesaikan permasalahan ini dengan mulai dibuka dan melibatkan pihak ketiga yaitu melalui kesepakatan penghentian permusuhan Cesseation of Hostilities Agreement atau CoHA 1 Pada 9 Desember 2002 lalu di Jenewa swiss, serta dibentuk Komisi keamanan bersama Joint Security Committee atau JSC yang terdiri atas unsur TNIPOLRI. GAM dengan Hendry Dunant Centre HDC sebagai fasilitator yang salah satu alternatif penyelesaiannya adalah pemberian otonomi khusus dalam kerangka NKRI. Namun dalam penyelesaian konflik didalamnya hanya menimbulkan krisis sosial, budaya, dan politik yang serius bagi masyarakat Aceh serta berakhir dengan kegagalan. 1 Persetujuan RI-GAM di Tokyo Gagal Capai Kesepakatan: Operasi Pemulihan Keamanan di Mulai, Kompas, 19 Mei 2003 Universitas Sumatera Utara Pada akhir tahun 2004 tepatnya Tanggal 26 Desember Aceh dilanda musibah dalam skala besar yaitu bencana Tsunami yang menimpa bagian pesisir Aceh, termasuk ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam NAD yang 80 2 persen infrastruktur hancur, akibat bencana ini. Penderitaan rakyat Aceh lengkap sudah dan perdamaian menjadi harapan besar bagi masyarakat Aceh. Bersamaan dengan keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM atau Non Goverment Organization NGO baik lokal maupun asing dalam penyaluran bantuan pasca bencana baik proses rehabilitasi, serta rekonstruksi dalam berbagai kegiatan sosial lainnya, kata sepakat yang tertuang dalam Nota Kesepahaman Memorandum Of Understanding atau MoU antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia pun pada akhirnya disepakati. MoU ini memiliki beberapa butir kesepakatan yaitu diantaranya pasca MoU segera mungkin direalisasikan penyelenggaraan pemerintahan Aceh dengan menyusun Undang-Undang pemerintahan Aceh UU PA, para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh Pasca tsunami dan dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Bersamaan dengan hal tersebut ratusan 3 NGO asing maupun lokal masuk dan tumbuh di Aceh bak jamur di musim hujan sebagai pendonor dalam membangun Aceh kembali, dengan kondisi tersebut menarik simpati dan empati masyarakat luar Aceh dan internasional untuk membantu meringankan beban masyarakat Aceh yang menjadi korban tsunami. Pada dasarnya kedatangan masyarakat diluar Aceh adalah untuk membantu korban tsunami dalam mengatasi berbagai penderitaan 2 www.modus.or.id tulisan Al-Mubarak.2006 3 http:www.acehinstitute.org . 2006 Universitas Sumatera Utara ssyang didera korban. Bantuan kemanusiaaan yang didatangkan dan diprioritaskan untuk mereka yang kehilangan tempat tinggal dan lahan usaha. Keberadaan berbagai NGO sebagai lembaga pendonor dalam menyalurkan bantuan diketahui bahwa tidak hanya memberikan bantuan dibidang sosial, tetapi lebih terfokus dalam bidang pembangunan infrastruktur, penguatan pemerintah dan penguatan masyarakat sipil civil society. Sepanjang penguatan lembaga- lembaga masyarakat tersebut diarahkan untuk membangun iklim demokrasi yang lebih sehat dan dinamis di Aceh, hal itu bahkan menjadi suatu hal yang positif. Untuk menjadi suatu sistem yang benar-benar menjamin terbentuknya wilayah yang memberi keadilan, kesejahteraan dan tercapainya konsolidasi demokrasi tidak terlepas dari kontribusi peran masyarakat sipil dan berbagai NGO yang berada di Aceh. Berkaitan dengan hal itu Larry Diamond 4 mencirikan pencapaian program penguatan Civil society kedalam 5 tujuan yaitu : pertama, masyarakat sipil lebih memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik, dan bukannya tujuan kelompok atau golongan. Kedua, masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan dengan Negara, tetapi diarahkan untuk tidak berusaha merebut kekuasaan atas Negara atau mendapat posisi dalam Negara, posisinya tidak untuk usaha mengendalikan politik secara menyeluruh. Ketiga, masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keberagaman artinya tidak sektarian atau memonopoli ruang fungsional. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan-kepentingan pribadi atau komunitas. Namun kelompok-kelompok yang berbeda akan menampilkan atau mencakup kepentingan berbeda pula. 4 Indra J piliang dalam seminar Masa Depan Aceh pasca MoU Helsinki dalam kerangka keutuhan NKRI. Di Universitas Indonesia, kamis 29 November 2007. Universitas Sumatera Utara Kelima, masyarakat sipil haruslah dibedakan dari fenomena civic community yang lebih jelas meningkatkan demokrasi. 5 Aceh yang semenjak pasca reformasi hingga sekarang telah mendapatkan payung hukum, mulai dari UU No. 44 tahun 1999 tentang keistemewaan Aceh, UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi daerah Pelaksanaan syariat islam , UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dan yang terakhir UU No.11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Pada rentang waktu tersebut politik dan kondisi sosial di Aceh mengalami perubahan yang sangat cepat. Namun tsunami bukanlah momentum yang lahir dari proses sosial, namun dampak bencana tsunami mampu merubah sistem dan formasi sosial masyarakat dan pemerintahan. Tsunami turut mendesain terwujudnya perjanjian politik Kesepahaman Perdamaian yang membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat Aceh. Secara keseluruhan dari segi sosial, politik, ekonomi dan budaya, kedua momentum tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat Aceh, yaitu makin terbukanya ruang-ruang publik dalam berbagai hal. Selain itu, tsunami juga telah meninggalkan imbas dalam bentuk hancurnya infrastruktur dan sufrastruktur masyarakat Aceh. Paska tsunami, berbagai negara dan organisasi-organisasi luar negeri masuk ke Aceh untuk membantu masyarakat Aceh yang dilanda bencana. Dua momentum tersebut jelas memberi ruang-ruang publik yang sangat besar bagi proses perdamaian dan demokratisasi serta dinamika sosial di Aceh. Proses dinamika sosial tersebut terus berjalan seiring perubahan bagi masyarakat itu sendiri. Ruang demokrasi yang selama ini ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang sebelumnya terbungkam secara signifikan mulai muncul ditandai dengan 5 http:www.Acehrecovery forum.org Universitas Sumatera Utara tumbuhnya berbagai organisasi-organisasi sipil yang menuntut perubahan- perubahan sosial, ekonomi, dan politik dari dalam komunitas masyarakat aceh yang disebut dengan LSMNGO lokal beberapa diantaranya yaitu Aceh Institute, Aceh People Forum, Yayasan Bungoeng Jeumpa, Badan Reintegrasi Aceh, dan Forum LSM Aceh. Salah satu diantara NGO lokal yang terbentuk dari formasi sosial masyarakat aceh yang menjadi pusat penelitian ini adalah Aceh People Forum atau yang biasa disebut dengan APF, APF ini merupakan NGO lokal yang bergerak dalam mendampingi masyarakat Aceh. Perubahan signifikan yang terjadi di Aceh tentunya tidak terlepas dari peran masyarakat sipil dan organisasi- organisasi yang tumbuh dalam masyarakat Aceh sendiri. Meskipun sebenarnya tidak ada pengalaman dinegeri ini membangun demokrasi pasca konflik dan tsunami, namun ini merupakan tantangan yang begitu berat, karena sumber daya manusia dan infrastruktur di beberapa daerah diwilayah Aceh hancur. Maka dalam penelitian ini peneliti mencoba mengangkat bagaimana peranan NGO Lokal yaitu Aceh People Forum dalam membangun demokrasi di Aceh pasca penandatanganan perjanjian damai MoU Helsinki pada tahun 2006-2007. Aceh People Forum ini adalah sebuah organisasi non pemerintahan yang terbentuk ketika konflik terjadi di Aceh yaitu sekitar tahun 1999, namun ketika itu APF ini masih berupa sebuah forum perkumpulan masyarakat yang terdiri dari beberapa orang saja dalam mendampingi masyarakatnya sampai kemudian pada Agustus 2005 pasca tsunami APF disahkan menjadi sebuah lembaga swadaya masyarakat Aceh dan menjadi payung organisasi untuk NGO lokal lain seperti mitranya yang menjadi partner kerja dalam menjalankan programnya yang berada Universitas Sumatera Utara di daerah-daerah di Nanggroe Aceh Darussalam untuk mendampingi masyarakat Aceh yang korban konflik dan bencana tsunami, serta menumbuhkan rasa kesadaran dalam masyarakat Aceh untuk membangun demokratisasi di Aceh pasca konflik.

1.2 Perumusan Masalah