Sebagai mediator APF sebagai pendamping berperan sebagai perantara dan penghubung anatara pihak-pihak yang berkonflik atau antara masyarakat yang
didampinginya dengan pihak pemerintah atau politisi karena salah satunya perananan pendamping itu adalah sebagai perantara antara kepentingan, masalah
dan mencari jalan keluar dari permasalahan yang timbul dan dihadapi dalam masyarakat. Peranan sebagai transformator adalah APF merupakan motor
penggerak untuk menyampaikan sesuatu yang ada dalam masyarakat. Dan peranan sebagai evaluator APF harus mampu melakukan evaluasi tehadap
perencanaan kegiatan dari kelompok-kelompok. Dan temuan dari hasil evaluasi tersebut akan menjadi dasar perencanaan kegiatan berikutnya atau memeprbaiki
cara kerja yang sedang dilakukan bersama. Dan peranan sebagai inisiator ini merupakan peranan yang bisa memikirkan sesuatu atau inisiatif yang belum
ditemukan oleh masyarakat dan inisiatif ini tidak bertentangan dengan kaidah masyarakat dan jika memilki pemikiran yang baru APF sebagai pendamping harus
memilki cara agar dapat diterima oleh masyarakat. Adapun beberapa peranan APF dalam hal tersebut adalah sebagai berikut
yaitu :
3.2.1 Membangun Partisipasi Masyarakat Sipil
Hancurnya system demokrasi sebuah negara adalah dimana saat seluruh komponen rakyat hidup dalam ketakutan dan baying-bayang rezim militeristik.
Tidak ada gebebasan berekspresi dan tertutupnya ruang gerak mereka dalam mengemukakan pendapat politiknya. Dalam kondisi demikian APF tidak akan
melepasakan begitu saja kesempatan berdemokrasi tanpa melakukan tindakan politik di Aceh, mengingat masyarakat Aceh yang trauma akibat konflik dan
Universitas Sumatera Utara
kemudian tsunami menjadi semakin apatis terhadap kesempatan berdemokrasi mereka.
Sebelum tanggal 26 Desember 2004 akses dalam membantu masalah yang dihadapi masyarakat Aceh oleh pihak luar baik NGO asing, Nasional maupun
lokal sangat dibatasi oleh serangkaian peraturan pemerintah dan operasi militer. Hal ini terutama disebabkan karena situasi konflik yang berkepanjangan antara
Pemerintah RI dan GAM. Pada situasi saat itu pengembangan gerakan masyarakat sipil di Aceh amat terbatas. Kebanyakan organisasi masyarakat sipil di aceh dapat
digambarkan sebagai aktor-aktor alternative dan independen yang bekerja untuk isu HAM, hukum dan keadilan. Sehingga kebanyakan masyarakat sipil di Aceh
malas berpolitik mereka lebih sering menghabiskan waktu dengan duduk di warung kopi dan membicarakan hal-hal yang berbaur politik dengan seadanya
yang mereka ketahui saja, tidak ada sebuah wadah atau lembaga yang bisa menampung aspirasi mereka untuk berpendapat.
Mengingat hal yang memprihatinkan tersebut Maka APF sebagai Organisasi masyarkat menjalankan peranannya dalam memberikan pendidikan
politik terhadap masyarakat Aceh dalam bentuk training dan workshop-workshop dengan bekerja sama dengan berbagai NGO-NGO asing dan nasional seperti Aceh
Development Found dan Yayasan Persahabatan Indonesi Kanada YAPPIKA pelatihan yang diberikan adalah berupa bantuan teknis dan pendampingan secara
terus menerus dalam memberdayakan dan peningkatan peran masyarakat untuk mengembangkan partisipasi publik yang inklusif, mempengaruhi kebijakan dan
peningkatan keterampilan masyarakat dalam bidang analisis kebijakan misalnya
Universitas Sumatera Utara
dapat, membangun kepercayaan diri dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses penyusunan kebijakan.
3.2.2 Membangun Lembaga Mitra di Daerah