3.1.2 Hegemoni Golkar dan kebijakan Kristalisasi Partai Politik
Pemilu 1971 menampilkan Golkar sebagai pemenang dan menyapu bersih lawan- lawan politiknya secara nasional, maka hal ini dimanfaatkan oleh Soeharto untuk
memperkuat posisi Golkar di parlemen dengan lebih menyederhanakan jumlah partai-partai- partai politik, dengan dalih bahwa Sistem politik dengan menjalankan multipartai, sangat
mengganggu jalannya pembangunan di era orde baru. Maka pada 4 maret 1970 terbentuklah kelompok nasionalis yang merupakan
gabungan PNI, IPKI, MURBA, PARKINDO dan partai katolik. Tanggal 14 maret 1970 terbentuk kelompok spiritual yang terdiri dari NU, PARMUSI, PSII dan PERTI. Kemudian
kelompok nasionalis diberi nama kelompok demokrasi pembangunan, sedangkan kelompok kedua diberi nama kelompok persatuan.
Pengelompokan ini kemudian berlanjut dalam pembagian fraksi di DPR dan MPR hasil pemilu 1971, dan keadaan seperti ini tentunya tidak memberi pilihan pada partai-partai
politik lainnya untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan otoriter Orde baru, maka pada tahun 1973 partai nasionalis yang kemudian disebut kelompok demokrasi pembangunan
menjadi partai demokrasi Indonesia pada tanggal 10 januari 1973. Lalu kelompok spiritual yang kemudian menjadi kelompok persatuan, pada
tanggal 19 februari 1973 menggabungkan kegiatan politiknya kedalam wadah partai persatuan pembangunan. Selanjutnya tindak lanjut dari isu peleburan partai ini, maka pada
tanggal 6 desember 1974 pemerintah orde baru menyampaikan rencana UU partai politik dan Golongan Karya kepada DPR, sebagai aturan hukum peleburan partai politik secara besar-
besaran, yang terjadi pertama kalinya dalam sejarah kepartaian Indonesia. Implikasi dari kebijakan itu yakni fusi partai politik, Golkar kemudian menjelma
menjadi organisasi politik dengan kekuatan yang tidak bisa di saingi oleh dua kekuatan politik lainnya, sehingga dalam pemilu 1977 Golongan Karya adalah kekuatan politik yang
sudah mempunyai identitas, sedangkan kedua partai lainya adalah dua partai baru yang mencoba mempertaruhkan identitasnya untuk menarik masa pendukung dalam pemilu.
PPP menangkap isu agama, sebagai satu-satunya pelekat utama bagi partainya. Sasaran utamanya adalah umat Islam dan organisasi-organisasi islam pendukungnya seperti
NU, PSII, Muslimin Indonesia dan PERTI. Sasaran lain adalah pemilih rasional yang
Universitas Sumatera Utara
mengganggap PPP sebagai alternatif pilihan politik bagi masyarakat, serta perwacanaan yang dibangun, bahwa PPP adalah satu-satunya wadah bagi umat Islam.
Disisi lain Golkar sangat sadar dengan hal ini, dan dengan kekuatan yang dimilikinya menetralisir isu yang menjadi senjata PPP itu, dengan menyatakan bahwa politik
itu adalah urusan duniawi, maka umat islam berhak untuk memilih partai politik sesuai dengan keyakinannya, dan tidak berarti bahwa yang berada dalam barisan Golkar adalah
umat islam yang tidak mementingkan Islam. Disisi lain, PDI adalah partai politik yang sangat bersusah payah merumuskan
identitas dirinya kepada massa pemilihnya sendiri. PDI yang bercirikan demokrasi Indonesia kebangsaan dan keadilan sosial, mencoba membangun citranya sebagai partai rakyat kecil,
walaupun praktis tidak terlalu besar manfaatnya. Hal ini tentunya karena ketidakmampuan partai tersebut untuk merumuskan siapa dirinya, maka diapun tidak mampu menumbuhkan
proses identifikasi pemilih dengan dirinya. Golkar sebagai kekuatan politik tidak mampu disaingi oleh dua partai pesaingnya,
Golkar dalam Pemilu menjual jargon “politik no pembangunan yes” pada massa pemilihnya. Kemudian, Golkar mengidentifikasi dirinya sebagai golongan yang terdiri dari manusia
modern, yang mengusahakan modernisasi dan pembangunan bagi masyarakat. Disamping karena kuatnya pengaruh Golkar ditengah masyarakat, dan ditopang
oleh birokrasi dan ABRI yang menjadi landasan kekuatan politik orde baru, maka tak pelak lagi, Golkar menjadi pemenang mutlak dalam setiap pemilu Orde Baru dan menjadi Absolute
Majority di parlemen. Kemudian dalam meraih dukungan dari pemilih di seluruh pelosok daerah, Orde
baru memberlakukan kebijakan bahwa partai-partai politik hanya bisa menjangkau masyarakat di tingkat kabupaten, yang tentu saja membatasi ruang gerak partai pesaingnya.
Di sisi lain karena Golkar dianggap bukan partai, maka organisasi ini mampu dengan leluasa melakukan pengorganisiran massa hingga ke tingkat grass roud akar rumput, sampai ke
tingkat desa dan kelurahan. Kebijakan lain untuk strategi mendapatkan pemilih mengambang, dilakukan dengan mengasingkan para pemimpin partai PPP dan PDI dari pengikut mereka,
yang memiliki akar-akar historis, dengan tokoh tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya, ada pembentukan keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, yang dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal, yaitu jalur
A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap
Golkar melalui Dewan Pembina yang mempunyai peran sangat strategis.
31
Serangkaian peraturan pun dikeluarkan pemerintah, seperti peraturan Monoloyalitas yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil PNS untuk menyalurkan
aspirasi politiknya kepada Golongan Karya
Dengan iklim politik yang seperti ini, maka selama rezim orde baru jadilah Golkar dan ABRI, sebagai tulang punggung pemerintahan, dimana semua politik Orde Baru
diciptakan, dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar, dimana selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan
yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar Maka dapat dikatakan bahwa, selama periode pemerintahan orde baru dalam fakta
politiknya terjadi proses demoktratisasi, tetapi dalam realitasnya hanya menjadi agenda seremonial 5 tahunan sekali, untuk melegitimasi pemerintahan orde baru. Dimana
kondisinya, sebelum PEMILU itupun dilaksanakan the rulling party’s, atau partai pemenangnya telah diketahui, karena begitu kuatnya cengkeraman kekuatan politik Golkar
ke dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat, dan ditunjang oleh kondisi pemerintahan yang otoriter authoritharyan bieuratic selama rezim pemerintah Soeharto, maka tidak dipungkiri
lagi dalam masa itu, Golkar menjadi kekuatan politik terbesar dengan infrastruktrur politik yang sangat mumpuni sebagai partai penguasa, 32 tahun pemerintahan orde baru.
32
1.
Daftar Nama Ketua Umum DPP Golkar Djuhartono 1964-1969
2.
Suprapto Sukowati 1969–1973
3.
Amir Moertono 1973–1983
4.
Sudharmono 1983–1988
31
Burhanuddin Napitupulu, HARAKIRI POLITIK TOKOH NASIONAL DAN ELITE GOLKAR. RMBOOKS. Jakarta.2007hal 43-48
32
Ibid hal 56-69
Universitas Sumatera Utara
5.
Wahono 1988–1993
6.
Harmoko 1993–1998
7.
Akbar Tandjung 1998–2004
8.
Jusuf Kalla 2004–2009
9.
Aburizal Bakrie 2009–sekarang
3.1.3 Perkembangan Golkar di Mandailing Natal