Perkembangan Golkar di Mandailing Natal

5. Wahono 1988–1993 6. Harmoko 1993–1998 7. Akbar Tandjung 1998–2004 8. Jusuf Kalla 2004–2009 9. Aburizal Bakrie 2009–sekarang

3.1.3 Perkembangan Golkar di Mandailing Natal

Sejarah dan perkembangan Partai Golkar di Madina juga mengalami proses yang sama, yakni kekuatan partai Golkar yang sangat mengakar dan masuk ke dalam pelosok desa di daerah Mandailing. Fenomena politik ini, tentu saja terjadi karna akses yang dimiliki partai Golkar begitu besar hingga ke masyarakat pelosok desa, akibat dari kuatnya cengkaraman pemerintahan orde baru sebagai pemegang kekuasaan, dan tidak berdayanya partai lain pesaing partai Golkar. Sejak Mandailing Natal masih menjadi satu kesatuan dengan daerah Tapanuli Selatan Kabupaten Mandailing Natal dimekarkan tahun 1999, golkar adalah kekuatan politik yang sangat berpengaruh. Beberapa faktor yang menyebabkannya, termasuk karena banyak masyarakat yang meyakini bahwa pembangunan di daerah ini, disebabkan oleh keberadaan Golkar sejak zaman dahulu, sehingga memunculkan pemilih loyalis golkar yang secara turun temurun telah memilih GOLKAR. Eksistensi partai Golkar pun terpelihara dengan baik, karna dipengaruhi oleh dukungan luas para pemimpin adat ataupun tokoh masyarakat setempat, karena para tokoh masyarakat ini memiliki kedekatan dengan kekuasaan atau pun pemerintah saat itu. Mereka ini menjadi sangat berpengaruh di setiap desa, karena Raja-raja adat ini tentunya masih memiliki keterikatan budaya, dan ekonomi dengan masyarakat. Dilihat dari rivalitas politik, pesaing terberat partai Golkar pada setiap hajatan Pemilu, praktis hanya partai yang berbasis Islam ataupun PPP. Hal ini dikarenakan basis Islam tradisional yang begitu melekat kuat di daerah Mandailing, serta ditunjang keberadaan pondok pesantren yang membawa simbol-simbol tradisionalisme Islam. Sehingga di Madina sampai sekarang ini, selain Golkar yang memiliki masa pemelih tradisional, PPP juga tercatat tetap memiliki basis pemilih tradisional Universitas Sumatera Utara Selanjutnya kekuatan politik diluar itu atau PDI, yang membawa pandangan Marhaenisme, dan falsafah Nasionalisme, dengan memunculkan warna Soekarnoisme, kurang bisa diterima masyarakat, karna dianggap kurang melekat dengan budaya masyarakat Mandailing, yang menjungjung tinggi nilai-nilai budaya dan Keislaman yang begitu kental. Bahkan ada asumsi yang menjadi pembenaran bagi sebahagian masyarakat bahwa, PDI ataupun PDI-Perjuangan pada kondisi saat ini adalah basis kekuatan bagi masyarakat diluar Agama Islam, dikarenakan masyarakat melihat bahwa banyak fungsionaris PDI-Perjuangan yang berasal dari Tapanuli bagian Utara yang notabene beragama diluar Islam, sehingga ini mempengaruhi pencitraan PDI ataupun PDI-Perjuangan saat ini ditengah-tengah masyarakat Mandailing secara luas Kejatuhan rezim Orde Baru, pada 1998 dan dimulainya era Reformasi memberikan dampak besar terhadap eksistensi partai Golkar di Mandailing Natal, karna pada Pemilu 1999, untuk pertama kalinya Golkar sejak berakhirnya periode Orde Baru mengalami kekalahan dalam Pemilu. Yakni menjadi partai yang hanya memperoleh suara terbanyak kedua setelah PPP di Mandailing Natal , dan secara nasional juga dikalahkan oleh PDI-Perjuangan, dengan slogan khas partainya, yang mencitrakan diri sebagai partainya “wong cilik” atau yang mewakili rakyat kecil. Hal ini tentu saja di pengaruhi oleh arus bawah yang merubah konstelasi politik tanah air waktu itu, yang menghendaki perubahan secara fundamental terhadap keseluruhan sendi-sendi kehidupan ketatanegaraan Indonesia serta perwacanaan yang di bangun melalui publikasi media, yang seakan-akan menyatakan bahwa Golkar adalah penyebab krisis 1998, maka disitulah Golkar masa-masa kemunduran Golkar, bahkan banyak dijumpai masyarakat yang sengaja menghindari segala sesuatu yang melekat dengan symbol-simbol orde baru, termasuk partai Golkar yang dicitrakan sebagai bagian dan kekuatan politik Orde baru. Kondisi politik pasca Reformasi, disadari memang mengalami perubahan yang sangat signifikan terhadap proses pemenangan suatu partai politik, dimana pertarungan politik lebih terbuka dapat terjadi bagi setiap partai kontestan Pemilu. Dimana setiap partai memiliki peluang untuk memenangkan Pemilu, tergantung bagaimana mesin Partai berjuang untuk mendapatkan suara dari konstituen, hingga meraih kemenangan dalam Pemilu. Tidak ada lagi intervensi yang dilakukan untuk memaksakan pilihan politik tertentu dalam pemilu, ataupun pilihan partai yang sangat terbatas seperti yang terjadi semasa Orde Baru. Universitas Sumatera Utara Maka menyikapi hal itu, partai Golkar pun melakukan metamorfosa melalui program pembaharuan yang dilakukannya, dengan memunculkan wajah baru Golkar, dengan apa di sebut sebagai “paradigma golkar baru”. Penguatan Kader menjadi konsentrasi Partai Golkar, program kerja yang real bagi masyarakat menjadi karya nyata Golkar untuk memperoleh simpatik konstituen. Hal yang sama pun dilakukan oleh seluruh fungsionaris Partai Golkar di Mandailing Natal, yang bahu-membahu sebagai mesin politik partai golkar untuk memenangkan Pemilu di Mandailing Natal Selanjutnya sebagai Partai yang memiliki mesin politik yang cukup kuat, karena sudah sejak lama dibangun, dan pengaruhnya yang masih cukup sentral ditengah masyarakat. Maka dalam Pemilu 2004 Golkar kembali menjadi Partai pemenang Pemilu di Mandailing Natal, sekaligus menjawab kekalahan Golkar pada Pemilu 1999. Kemenangan Golkar pun berlanjut pada Pemilu 2009 Golkar, dimana secara keseluruhan Partai Golkar pun masih menjadi pilihan mayoritas masyarakat Mandailing Natal. walaupun suara yang di peroleh tidak sebesar Pemilu 2004. 33

3.2 Pertarungan Partai politik dalam Pemilu 2009 di Kabupaten Mandailing Natal