Penyebab langsung dari hal ini tentunya, karena iklim yang tidak baik dalam birokrasi, kurangnya akuntabilitas dan profesionalisme birokrasi, serta kurangnya kesejahteraan yang
diberikan kepada aparat birokrasi, khususnya pegawai yang dalam pangkat dan jabatan yang masih rendah.
78
3.7.3 Elite Lokal dalam Pertarungan politik
Dalam teori elite
79
Maka yang terjadi adalah, setiap elite yang memerintah akan mencoba mempertahankan kekuasaan status quo, bagaimanapun caranya. Karena kekuasaan hanya
dapat bertahan, apabila secara kontinuitas memperoleh dukungan mayoritas dari masyarakat bawah, karena logika demokrasi adalah logika mayoritas masyarakat yang kemudian menjadi
konsesus. dikatakan bahwa ada sirkulasi elit. Karena di setiap
masyarakat, yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Maka akan muncul konflik dengan sendirinya, antara
pihak yang memiliki kekuasaan dan hendak mempertahankannya, dengan pihak lain yang menghendaki kekuasaan atau pihak yang diperintah. Karena pada dasarnya, hasrat akan
kepemilikan kekuasan merupakan watak yang ada dalam diri setiap manusia. Sebagai konsekuensi dari kepemilikan kekuasaan, karena dengan kekuasaan setiap orang dapat
melakukan setiap fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan memperoleh semua keuntungan yang timbul karena kekuasaannya, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan keras.
Kekuasaan besar yang dimiliki oleh pemerintah, tentunya dapat menghimpun seluruh kekuatan politik yang ada dalam pemerintahan, sebagai instrument untuk
mempertahankan kekuasaan, dan termasuk lah didalamnya kepemilikan akses untuk mengkondisikan seluruh perangkat pelaksana pemerintahan, atau Birokrasi pemerintah.
80
Seperti yang sudah di paparkan sebelumnya bagaimana budaya yang melekat di dalam organisasi Birokrasi, menyebabkan pemimpin menjadi seorang yang super power
untuk mengatur seluruh jajaran pegawai di dalam instansi pemerintah. Maka dalam hal ini
78
Gunawan Samuel, Budaya Birokrasi, Penerbit Erlangga. PT Gelora Aksara Prima, 2003, Jakarta: hal 23-41
79
Elite umumnya digunakan untuk menyebut kelompok-kelompok fungsional, dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi dalam suatu masyarakat.
80
Agus Setiyanto, Elit Pribumi Bengkulu, Penerbit Balai Pustaka, 2001,Jakarta: hal 25-30
Universitas Sumatera Utara
akan dilihat sejauh mana Golkar, sebagai partai pemerintahan menggunakan Birokrasi, sebagai instrument pemenangannya dalam Pemilihan Umum.
3.7.4 Penggunaan Mesin Birokrasi dalam mendukung pemenangan Partai Golkar dalam Pemilu 2009 di Mandailing Natal
Fenomena melibatkan birokrasi dalam arena pertarungan politik marak terjadi menjelang pesta demokrasi seperti pemilihan umum, atau pemilihan kepala daerah langsung
Pemilukada. Posisi strategis Birokrasi yang memiliki keunggulan, dalam memobilisasi massa sekaligus kemampuan untuk memanfaatkan setiap fasilitas dalam rangka mendukung
partai poltik dalam Pemilu, atau seorang pasangan calon yang hendak duduk nyaman di kursi kekuasaan.
Eksistensi birokrasi itu sendiri tergantung pada penguasa, karena keberadaannya yang menentukan besaran anggaran bagi kebutuhan birokrasi. Pemerintah juga yang
menentukan setiap kebijakan strategis menyangkut masa depan birokrasi, seperti penentuan jabatan struktural atau fungsional tertentu. Dari sinilah dimulai hubungan yang bersifat
pragmatistis antara birokrasi dengan elit politik terjadi. Mengingat pimpinan birokrasi adalah orang yang memiliki kekuatan politik. maka pemerintah memiliki kekuasaan menentukan
masa jabatan para birokrat sesuai dengan kepentingan elit itu sendiri. Maka dengan cara demikian, birokrat akan senantiasa tergantung pada pemerintah.
Dalam praktek kekuasaan , sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrat yang dianggap tidak “koperatif’ dengan pemerintah yang berkuasa, dipastikan akan sulit mendapat
posisi jabatan dengan kriteria “basah”. Minimal setiap birokrat pastilah tidak pernah mendambakan akan menghabiskan kariernya di “lahan-lahan kering”. Oleh karena itu logika
bahwa jenjang karier sangat ditentukan oleh hubungan baik dengan penguasa, menjadi satu kemutlakan.
81
Selanjutnya, untuk memahi bagaimana posisi Birokrasi dan Partai Golkar dalam Pemilu, penulis melakukan wawancara mendalam dengan koordinator Golkar daerah
pemilihan 3. Kemudan beliau menyampaikan beberapa hal, saat ditanyakan penulis tentang “bagaimana hubungan Golkar dan Birokrasi, serta kemampuan Golkar untuk menggunakan
81
Netralitas Birokrasi dalam Pemilu: Teuku Harits Muzani Harian Kompas 22 Januari 2010
Universitas Sumatera Utara
mesin Birokrasi dalam rangka memenangkan Partai Golkar dalam Pemilu 2009”. Maka beliaupun menyatakan bahwa, Satuan kerja Pemerintah Daerah SKPD MADINA, pada
prinsipnya tidak semuanya dapat menjadi alat pemenangan Golkar, walaupun tetap ada yang mendukung Golkar pada Pemilu. Artinya tidak secara general seluruh SKPD dan jajaran
Pegawai Negri Sipil berada di dalam barisan Golkar, apalagi orang dalam barisan sakit, karena merasa dikecewakan pemerintahan Amru Daulay.
Memang tidak dipungkiri menurutnya, secara kenyataan ada SKPD yang mendukung partai Golkar, karena pada dasarnya Pegawai Negri Sipil masih memiliki hak
demokratis, bisa saja dia tidak melakukan dukungan melalui jabatan fungsional yang dimilikinya, tetapi secara individu ia mengarahkan stafnya itu untuk mendukung golkar, dan
tentu saja SKPD yang berkontribusi bagi GOLKAR akan diapresiasi dengan sangat baik oleh Partai Golkar
Selanjutnya, dalam perjalanan suksesi Partai Golkar yang dihubungkan dengan SKPD Mandailing Natal, menurutnya ada dilema tersendiri bagi Partai Golkar, yang
didukung oleh SKPD tertentu. Dimana banyak SKPD yang tidak di senangi masyarakat, karenanya sepang terjang pun sehingga dapat mempengaruhi pandangan masyarakat kepada
Golkar. Kemudian barisan SKPD yang tidak mendukung partai Golkar, banyak yang
memperburuk citra Golkar kepada masyarakat ini banyak terjadi di lapangan. Di depan Amru Daulay, bisa saja dikatakan akan mendukung sepenuhnya Partai Golkar, tetapi kondisi di
lapangan bisa sangat berbeda. Seperti bisa dilihat, bahwa disalah satu Ibukota kecamatan suara golkar bisa
tidak ada sama sekali, padahal daearah itu merupakan sentral pemerintahan kecamatan, dan Camat tentu ikut memilih di daearah itu maka kalau dia mendukung Golkar maka dengan
sendirinya Golkar akan memperoleh suara, tetapi dengan kondisi itu bisa dikatakan bahwa SKPD yang tidak mendukung Golkar, dan bermain dengan Partai lain.
Walaupun menurutnya, selama lima tahun ini Partai Golkar sudah berusaha, untuk merealisasikan APBD pemerintah dan mempertahankan posisi SKPD dari serangan
Partai lain, karena dalam kenyataannya pun DPRD Madina tidak akan mungkin satu suara.
Universitas Sumatera Utara
Tetapi dalam kenyataan di pemilihan umum banyak SKPD, yang bertolak belakang dengan Partai Golkar, maka beliau pun menyampaikan kekecewaan yang mendalam atas hal itu.
82
Dalam pandangan penulis sesuai dengan fakta yang ada, secara umum partai Golkar memiliki kemampuan untuk mengkondisikan barisan Pegawai Negri Sipil yang
tergabung dalam Birokrasi pemerintah Mandailing Natal, untuk mendukung dan serta merta memilih Partai Golkar dalam Pemilu 2009. Hal ini pun dibenarkan oleh pimpinan kecamatan
Partai Golkar, dimana beliau mengatakan dalam PEMILU 2009 yang lalu, seluruh perangkat pemerintah mulai dari tingkat Camat hingga kepada Kepala Desa, disuruh untuk mendukung
Golkar. Maka, dengan hal itu Golkar mendapatkan keuntungan, dan memperoleh kemenangan baik ditingkat Pemilihan DPR Pusat, DPRD Provinsi, hingga ketingkat DPRD
Kabupaten Madina. Keberadaan Golkar di dalam Pemilu, yang mendapat dukungan dari Birokrasi dan
seluruh jajarannya, juga dinyatakan secara eksplisit oleh Camat Lembah Sorik Marapi, saat ditanyakan oleh penulis apakah ada keharusan bagi seluruh Pegawai Negeri Sipil di
Mandailing Natal, khususnya di Lembah Sorik Marapi untuk memilih partai Golkar.
3.8 Politik Uang dalam Pemilu 2009