Kebudayaan Masyarakat Mandailing Underbouw

Prof. Muhammad Yamin didalam bukunya naskah persiapan UUD 1945, menyebutkan bahwa seluruh wilayah yang disebutkan oleh Empu Prapanca didalam buku negarakertagama adalah wilayah nusantaraIndonesia. Kutipan-kutipan diatas telah memperlihatkan bahwa Mandailing sudah dikenal di Nusantara sejak berabad-abad lalu sebelum kurun negarakertagama ada, karena daerah-daerah lama yang penting dan sudah mapan yang mungkin dicatat oleh Empu Prapanca. Kabupaten Mandailing Natal yang di diami mayoritas etnis Mandailing adalah daerah yang menjadi penyangga antara dua komunitas yang berbeda sistem kekerabatannya, yaitu batak toba di Tapanuli Utara yang menganut sistem patrilineal garis keturunan laki- laki, dan Minangkabau yang menganut sistem matrilineal garis keturunan perempuan di Sumatera Barat. Sebagai penyangga dua kebudayaan yang ada orang Mandailing mengalami proses akulturasi budaya dari kedua komunitas ini. Melalui kontak budaya yang intensif itu mereka dapat memperkaya budi pekerti mereka, antara lain berupa kepribadian yang menonjolkan kelugasan dan ketegaran dari utara dan kecerdikan dari selatan. 22 Selanjutnya, ada satu identitas masyarakat yang tidak terlepas dari adat istiadat masyarakat Mandailing sejak zaman dulu, bernama Markoum Marsisolkot. Markoum artinya berkaum kerabat dengan orang yang berlain marga, sedangkan Marsisolkot artinya mendekatkan yang sudah dekat atau kasih mengasihi diantara satu klan atau marga.

2.7 Kebudayaan Masyarakat Mandailing

Secara harfiahnya, kebudayaan merupakan keseluruhan sistem ,tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat dengan proses pemahaman, dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan tindakan manusia adalah kebudayaan karna 21 Mhd. Arbain Lubis, Sejarah Marga-marga Asli di Mandailing. DEPDIKBUD Prov. SUMUT. Medan. 1992. Hal 11- 27 22 Basyral Hamidy Harahap. Madina yang Madani. Penerbit PEMDA kab. Madina, Panyabungan. 2004: Hal 124-151 Universitas Sumatera Utara hanya sedikit tindakan manusia yang dilakukan tanpa proses pemahaman , seperti tidakan yang berasal dari rasa naluriah, atau refleks. 23 Talcott Parsson, dalam teori tindakan theory of action, memberi pandangan bahwa kebudayaan adalah satu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep sebagai satu tindakan dari aktivitas manusia yang berpola, maka dirumuskan kedalam 3 hal yakni: 1. Wujud Kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, serta norma-norma peraturan 2. Wujud Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat 3. Wujud Kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia. Pada tahap yang paling tinggi, kebudayaan dihayati sebagai sistem kognitif berupa suatu kerangka pengetahuan dan keyakinan yang memberikan pedoman bagi orientasi orang yang hidup dalam budaya itu. Demikian kata Ignes Kleden Kleden ,1986, yang selanjutnya mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan kognitif, yang menentukan persepsi dan defenisi yang diberikan oleh penganut kebudayaan tersebut terhadap realitas. Selanjutnya kebudayaan merupakan sumber pertama untuk pandangan hidup, yang memungkinkan seseorang berperilaku dalam kehidupannya sesuai dengan persepsi yang dimilikinya, dan memahami kebudayaan itu sebagai suatu nilai yang beraturan dan bermakna kosmologi. Maka dalam konteks ini, masyarakat Mandailing sebagai objek kajian peneliti memiliki cara pandang yang berasal dari nilai-nilai luhur yang sudah ada dan berkembang sejak awal mula sejarah berdirinya masyarakat Mandailing, sebagai suatu identitas masyarakat yang berbudaya hingga kondisi kekinian. Budaya masyarakat Mandailing itu tercermin dari satu kesatuan nilai yang berasal dari filosofi Dalian Na Tolu, yang merupakan simbolis kebudayaan yang tercermin dalam kebiasaan adat-istiadat yang berasal dari hubungan kompleks di dalam interaksi masyarakat, dengan kedekatan hubungan kekerabatan yang di milikinya, atau disebut dengan Markoum Marsisolkot. 23 Basyarah Hamidi harahap,Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak, Jakarta, Sanggar Willem Iskandar, 1987: hal 97 Universitas Sumatera Utara Nilai dasar Dalian Natolu, adalah keseimbangan, kepatuhan, motivasi hidup, cara pandang yang menentukan sikap dan perilaku seorang individu, serta kondisi yang menempatkan kesetaraan bagi setiap individu dalam satu komunitas masyarakat masyarakat komunal , yang tidak melihat konteks material atau ekonomi menjadi alat stratifikasi sosial. Refleksi dari konsepsi Dalian Natolu , dapat di lihat dari tekstur bangunan rumah adat Mandailing, beserta ukiran-ukiran yang ada di dalamnya. Bila diperhatikan hiasan- hiasan rumah adat dari daerah Mandailing, maka pada bagian atasnya akan terukir 13 macam lambang dalam figura segi tiga sama sisi yang disebut dengan Bindu Matogu. Semua lambang-lambang tersebut mempunyai arti dan makna tersendiri, sebagai figura yang melingkari semua lambang-lambang tersebut adalah melambangkan adat-istiadat Markoum Marsisolkot. Maksudnya terdiri dari 3 kelompok yang berlainan marga rangkul-merangkul dan harus bersatu padu menjadi satu. Ketiga komponen kelompok yang berlainan marga itu disebut sebagai, Mora, Kahanggi, dan Anak Boru, dengan nama lainnya Dalian Na Tolu. Maka konsepsi adat-istiadat Markoum Marsisolkot ini , diterjemahkan dalam konsepsi nilai Dalihan Natolu”. Dalihan artinya batu tungku sedangkan Natolu artinya yang tiga. Maksud dari pemahaman ini adalah persaudaraan itu diumpamakan seperti tungku yang memiliki tiga kaki yang saling melengkapi , dan apabila salah satu diantaranya tidak ada maka tungku itu tidak akan berdiri dengan baik atau ketiga komponen ini harus saling melengkapi. 24 Dengan memahami konsepsi ini dalam realitas kehidupan masyarakat Mandailing maka pemahaman Dalian Natolu dapat dikatakan adalah penyangga kehidupan keseluruhan tatanan kebudayaan masyarakat Mandailing. Disaat Dalian Natolu, adalah satu nilai yang diadopsi dalam pemahaman masyarakat Mandailing maka ini adalah satu sistem,maka secara fungsional nilai ini harus mampu beradaptasi, mencapai tujuan memelihara pola dan mempertahankan kesatuannya, hal ini harus dimiliki tentunya untuk mencapai satu keseimbangan. Maka keseimbangan dalam konsepsi nilai ini dapat dilihat dalam satu untaian kata yang pengaplikasian nilai Dalian na tolu, yakni “Hormat Mar Mora, Domu Mar 24 Ibid: hal 23 Universitas Sumatera Utara Kahanggi, Elek Maranak Boru”, yang diartikan hormat kepada kelompok Mora, erat bersaudara, santun kepada barisan Anak Boru. Adapun pengertian dari Mora, Kahanggi, Anak Boru adalah: 1. MORA Yang dikatakan komponen Mora adalah, dari kelompok tempat pengambilan anak gadis tulang dalam perkawinan atau orang tua serta saudara-saudara dari pihak istri selain itu, sebutan Mora juga diberikan kepada saudara laki-laki satu marga bagi seorang perempuan. 2. KAHANGGI Yang dikatakan komponen Kahanggi yaitu kita sendiri dengan saudara-saudara, kita baik yang sekandung maupun tidak, atau kelompok yang memiliki marga yang sama, ataupun disebut juga dengan Dongan Sabutuha . Kahanggi dalam adat Mandailing, adalah ahli waris selain anak bagi setiap orang Mandailing. 3. ANAK BORU Yang dikatakan komponen Anak Boru, yaitu tempat pemberian anak-anak gadis Babere bersama orang tua dan saudara-saudaranya. Anak Boru juga berlaku kepada saudara perempuan dalam satu marga. Secara lebih luas seorang Mora dianggap sebagai figur yang mengisyaratkan fungsi sebagai pengayom, bagi anak borunya, KahanggiDongan Sabutuha mengisyaratkan kebersamaan untuk menanggung susah dan senang, ringan sama di jingjing, berat sama dipikul, sedangkan Anak Boru mengisyaratkan untuk melakukan segala pengorbanan kepada Mora . 25 Perumpamaan nilai sikap ini dapat tercermin di dalam satu untai kata dalam Bahasa Mandailing yang dapat ditauladani yakni istilah , “Ditoru tangan Mangido”, yang artinya 25 Ibid : hal 53-54 Universitas Sumatera Utara dibawah tangan meminta, dan Toruk Ni Roha ,yang artinya merendah diri. Ini menjadi sikap yang menjadi norma hidup masyarakat , serta cara pandang untuk mencapai tujuan hidup sebagai bangsa yang berbudaya

2.8 Pemerintahan Adat Mandailing