37 Menurut Abdurrahman 2005 banyak kerja sama daerah maupun
regionalisasi masih berhenti pada tataran MoU surat kesepakatan bersama atau kurang terasa manfaatnya. Hal ini antara lain disebabkan: a minimnya kesiapan
perangkat per-undangundangan yang mendukung proses tersebut, terutama yang melekat pada Undang-undang otonomi daerah. b masih adanya kebiasaan strategi
regionalisasi desentralistik yang sesuai dengan situasi serta kondisi di lapangan oleh para pelaku pembangunan.
Sedangkan menurut Setiawan Winarso ed, 2002 permasalahan yang dapat diindentifikasi secara umum dari kerja sama daerah selama ini adalah belum
tumbuhnya kesadaran akan pentingnya melakukan kerja sama oleh sebagian besar pemerintah lokal. Permasalahan berikutnya adalah apabila kesadaran untuk
melakukan kerja sama antar pemerintah lokal sudah mulai muncul, maka perlu ada mekanisme dan prosedur yang jelas, aplikatif dan tepat proper sebagai
stimulannya.
2.4 Keberhasilan Kerja Sama Daerah
Faktor yang dapat dijadikan dasar untuk mengukur keberhasilan sebuah kerja sama adalah adanya kinerja yang baik dari pihak yang ikut di dalam kerja
sama. Yang dimaksud kinerja adalah setiap gerakan, perbuatan, pelaksanaan, kegiatan atau tindakan radar vang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan atau
target tertentu. Tanpa adanya kinerja berarti tidak ada upaya untuk mencapai hasil atau target. Jika manusia mempunyai tujuan yang tidak diiringi dengan kinerja,
maka manusia itu hanya sekedar berangan-angan yang tidak akan pernah terwujud menjadi kenyataan. Tanpa adanya kinerja, maka tidak akan terjadi sesuatu pe-
rubahan sedikitpun. Dari kualitas kinerja inilah nantinya yang berpengaruh kepada hasil. Kualitas kinerja berkorelasi positif dengan hasil.
Kinerja yang baik dari sebuah kerja sama sebaiknya memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut Kusnadi, 2002:
1. Rasional. Kinerja yang baik seharusnya diterima oleh akal sehat. Tidak
ada kinerja yang baik yang tidak rasional
-
2. Konsisten. Kinerja yang baik seharusnya sejalan dengan nilai-nilai yang
ada di dalam sebuah lembaga institusiorganisasi dan tujuan-tujuannya.
38
3. Tepat. Kinerja yang baik harus dapat dinyatakan secara tepat dan jelas
serta tidak menimbulkan kemenduaan penafsiran.
4. Efisien. Kinerja yang baik sedapat mungkin melalui pengorbanan dana
yang minim dengan hasil yang memuaskan.
5. Tertantang. Kinerja yang baik sebaiknya memberikan tantangan yang
tinggi bagi pelakunya dan diupayakan menjadi motivator yang efektif
6. Terarah. Kinerja yang baik seharusnya terarah kepada suatu tujuan
tertentu, dapat menjadi garis komando atau lepas.
7. Disiplin. Kinerja yang baik seharusnya dikerjakan melalui disiplin yang
tinggi dan penuh ketekunan.
8. Sistematis. Kinerja sebaiknya dilakukan secara sistematis, teratur, tidak
melompat-lompat, dan tidak acak.
9. Dapat Dicapai. Kinerja yang benar sebaiknya diarahkan dapat mencapai
target atau tujuan yang telah ditetapkan.
10. Disepakati. Kinerja yang baik seharusnya disepakati oleh semua pihak
yang terkait dalam kerja sama tersebut.
11. Terkait dengan Waktu. Kinerja yang baik seharusnya dikaitkan dengan
waktu yang telah terukur. Pencapaian dari tujuan diberi batas waktu tertentu dan dituntut menggunakan waktu seefektif dan seefisien
mungkin.
12. Berorientasi kepada Kerja sama Bersama. Kinerja yang baik
seharusnya diarahkan kepada kerja sama bersama. Kinerja bersama umumnya lebih efektif dan efisien dibandingkan kinerja individu.
Sedangkan untuk mewujudkan kerja sama yang efektif dan efisien terdapat beberapa garis pedoman yang harus dipatuhi Kusnadi, 2002, dan
Onstrom dalam Winarso, 2002, yaitu:
1. Kesadaran diri. Semua pihak yang terlibat dalam proses kerja sama harus
menyadari target dan tujuan yang diharapkan tidak mungkin dapat dicapai seorang diri. Bantuan pihak lain mutlak diperlukan agar apa yang
diharapkan menjadi kenyataan.
2. Memahami persamaan dan perbedaan. Setiap pihak yang melakukan
kerja sama harus mengerti bahwa semua hal itu mempunyai persamaan
39 dan perbedaan. persamaan dan perbedaan ini akan memberikan
kontribusi positif bagi iklim kerja sama yang harmonis.
3. Adanya tujuan dan target yang jelas. Karena kerja sama akan diarahkan
kepada pencapaian tertentu, maka perumusan tujuan dan target yang akan dicapai harus dirumuskan dan ditetapkan secara jelas dan tegas.
Ketidakjelasan tujuan dan target akan memperlemah proses kerja sama.
4. Adanya ilmu dan teknologi yang relevan. Ilmu dan teknologi akan
sangat membantu memperlancar dan meningkatkan kualitas kerja sama. Dengan adanya ilmu dan teknologi yang relevan akan membuat kerja
sama akan semakin kondusif.
5. Menghindari ketegangan. Iklim kerja sama diupayakan tidak ada
ketegangan sehingga semua pihak akan senang, dan tidak terpaksa melaksanakan tugasnya masing-masing, yang penting pelaksanaan kerja
sama akan berlangsung, secara sistemik dan tidak acak.
6. Komunikasi yang baik. Tanpa adanya komunikasi yang baik dan efektif
serta efisien maka akan sulit menciptakan suatu kerja sama. Ketika kerja sama berlangsung maka semua pihak harus dalam keadaan yang tenang
serta kondusif dan jika muncul suatu masalah maka akan dibicarakan bersama untuk diselesaikan.
7. Dukungan yang menyeluruh. Semua pihak yang terlibat di dalam kerja
sama harus mendukung pentingnya kerja sama dilakukan dan hanya dengan kerja samalah semua masalah seberat apapun akan dengan mudah
dapat diselesaikan. Sesempurnanya manusia masih tetap memerlukan kerja sama karena kerja sama merupakan upaya untuk menutupi
kelemahan manusia lainnya.
8. Adanya perhatian. Kerja sama akan terwujud jika ada perhatian dari
berbagai pihak yang berkompeten. Tanpa adanya perhatian maka tidak akan tercipta kerja sama yang baik.
9. Adanya kewajaran. Setiap kerja sama sebaiknya dilakukan secara wajar
tanpa paksaan sesuai dengan kapasitas dan derajat kepentingannya. Tidak harus semua hal dilakukan melalui kerja sama. Ada hal-hal yang hanya
40 bisa dikerjakan tanpa melalui kerja sama dan malahan jika dilakukan
melalui kerja sama akan menimbulkan dissinergi paradok kerja sama.
10. Adanya keterbukaan. Kerja sama memerlukan keterbukaan dari semua
pihak yang terkait. Tanpa adanya keterbukaan, maka jalannya kerja sama akan pincang tidak seimbang dan akan banyak menimbulkan masalah.
11. Dapat memberi harapan masa depan. Kerja sama harus diarahkan
kepada kondisi masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan. Semua pihak harus tertanam sikap bahwa tak seorangpun dapat bekerja efektif
dan efisien tanpa melalui kerja sama, bahwa kerja sama akan mengarah kepada pencapaian bersama yang diharapkan dan mengarah kepada suatu
keadaan yang lebih baik.
12. Adanya kompetensi. Setiap kerja sama umumnya diarahkan kepada
suatu kompetensi tertentu. Tidak ada suatu tindakan yang bersifat acak dan setiap tindakan pasti mengarah kepada kompetensi tertentu. Yang
penting kompetensi harus berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan.
13. Adanya keeratan. Kesetiakawanan sangat perlu di dalam membangun
iklim kerja sama. Dengan adanya kesetiakawanan yang kuat dan erat maka semua pihak yang terkait akan sama-sama menyadari bahwa
mereka tidak akan dapat lepas dari yang lain. Kesadaran semua pihak bahwa mereka merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dan keber-
samaan mereka sangat kondusif terhadap pencapaian tujuan kerja sama. Kerja sama yang berhasil akan berdampak positif kepada keberhasilan
dan harapan masing-masing pihak.
14. Adanya kemauan untuk bekerja sama. 15. Adanya asas keterpaduan dalam bersikap.
16. Perlunya menumbuhkan asas resiprokal dan kepercayaan.
Selain itu agar berhasil melaksanakan kerja sama tersebut dibutuhkan prinsip-
prinsip umum sebagaimana terdapat dalam prinsip “good governance” Edralin, 1997. Beberapa prinsip diantara prinsip good governance yang ada
dapat dijadikan pedoman dalam melakukan kerja sama antar Pemda yaitu:
41
1. Transparansi. Pemerintahan Daerah yang telah bersepakat untuk
melakukan kerja sama harus transparan dalam memberikan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan dalam rangka kerja sama tersebut, tanpa
ditutup-tutup.
2. Akuntabilitas. Pemerintah Daerah yang telah bersepakat untuk
melakukan kerja sama harus bersedia untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan
kegiatan yang terkait dengan kegiatan kerja sama, termasuk kepada DPRD sebagai wakil rakyat, atau kepada para pengguna pelayanan
publik.
3. Partisipatif. Dalam lingkup kerja sama antar Pemerintah Daerah, prinsip
partisipasi harus digunakan dalam bentuk konsultasi, dialog, dan negosiasi dalam menentukan tujuan yang harus dicapai, cara
mencapainya dan mengukur kinerjanya, termasuk cara membagi kompensasi dan risiko.
4. Efisiensi. Dalam melaksanakan kerja sama antar Pemerintah Daerah ini
harus dipertimbangkan nilai efisiensi yaitu bagaimana menekan biaya untuk memperoleh suatu hasil tertentu, atau bagaimana menggunakan
biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang lebih tinggi.
5. Efektivitas. Dalam melaksanakan kerja sama antar Pemerintah Daerah ini
harus dipertimbangkan nilai efektivitas yaitu selalu mengukur keberhasilan dengan membandingkan target atau tujuan yang telah
ditetapkan dalam kerja sama dengan hasil yang nyata diperoleh.
6. Konsensus. Dalam melaksanakan kerja sama tersebut harus dicari titik
temu agar masing-masing pihak yang terlibat dalam kerja sama tersebut dapat menyetujui suatu keputusan. Atau dengan kata lain, keputusan
yang sepihak tidak dapat diterima dalam kerja sama tersebut.
7. Saling menguntungkan dan memajukan. Dalam kerja sama antar
Pemerintah Daerah harus dipegang teguh prinsip saling menguntungkan dan saling menghargai. Prinsip ini harus menjadi pegangan dalam setiap
keputusan dan mekanisme kerja sama
42 Sedangkan kendala-kendala yang berpotensi mempengaruhi kinerja kerja
sama adalah beberapa isu sentral yang muncul ke permukaan dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu: pertama, bergesernya egoisme sektoral menjadi fanatisme
daerah yang ditandai dengan adanya istilah putra daerah dan aset daerah; kedua, ada tendensi masing-masing daerah mementingkan daerahnya sendiri dan bahkan
bersaing satu sama lain dalam berbagai hal terutama mengumpulkan PAD pendapatan asli daerah yang kemudian diidentikkan dengan automoney; ketiga,
terkait dengan timing dan political will, yang dikarenakan otonomi daerah dicanangkan pada saat pemerintah pusat mulai goyah basis kredibilitas dan
legitimasinya; keempat, masih adanya grey area kewengangan antara pusat, provinsi, kabupatenkota karena belum tuntasnya penyerahan saranaprasarana
maupun pengalihan pegawai pusat ke daerah; kelima, tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik sehingga diharapkan pelayanan
publik lebih efektif dan efisien; keenam, lemahnya koordinasi antar sektor dan antar daerah. Kuncoro, 2004.
2.5 Pengelolaan dan Pengembangan Pariwisata