Kebijakan Sisi Supply

C. Kebijakan Sisi Supply

Sementara tipologi ketiga adalah kebijakan sisi supply (supply- side policies). Kebijakan ini didesain untuk meningkatkan produk- tivitas pekerja lintas sektor. Ia diharapkan dapat menutup keku-

rangan berbagai ukuran yang ada. 36 Kekurangan ini berkisar pada pengurangan pajak daftar gaji (payroll taxes), investasi pemerintah

di sektor infrastruktur, hingga pada improvisasi penyebaran infor- masi.

Di antara ciri kebijakan sisi supply ini yaitu yang pertama, fokusnya pada pembentukan modal fisik. Dalam hal ini, kebijakan berkisar dari investasi infrastruktur, kebijakan yang dapat mening- katkan tingkat utilisasi modal, merangsang masuknya perusahaan baru, atau mempromosikan pembentukan modal fisik dengan men- gurangi bea pengguna modal. Hal-hal ini memiliki fungsi yang sa- ma: meningkatkan tingkat pelayanan terhadap modal dalam ekonomi. Konsekunesinya, karena tenaga kerja dan modal saling

35 N. Meager, “The Role of Training and Skills Development in Active Market Policies” Institute of Employment Studies Working Paper 15 (2008). 36 Gary Burtless, “Can Supply-Side Policies Reduce Unemployment?: Lesson from North America,” Center for Economic Policy Research Discussion

Paper, ANU. No. 440 (November, 2001).

melengkapi dalam proses produksi, maka produk marjinal tenaga kerja juga akan meningkat.

Ciri yang kedua adalah fokusnya kebijakan pada pembentukan modal manusia (human capital) yang mencakup program training pemerintah, subsidi pelatihan kepada perusahaan dan pekerja. Secara lebih luas, hal ini dapat berupa kebijakan untuk mengurangi tingkat bunga dan yang dengan demikian dapat mengurangi tingkat return masa datang dari pembentukan modal manusia yang telah berkurang.

Beberapa kegagalan pasar yang ditangani dengan kebijakan ini dapat dianalisis dengan teori pencarian dan penyesuaian (the theory

of search and matching). 37 Dalam teori tersebut, tenaga kerja tidak secara utuh dapat informasi terkait pekerjaan yang tersedia dan pe-

rusahaan juga tidak secara sempurna dapat informasi tentang tena-

ga kerja yang tersedia. Kedua sisi ini akhirnya terlibat dalam proses pencarian. Setiap agen memperoleh informasi sampai titik di mana biaya mencari pekerjaan tambahan (atau tena ga kerja) adalah sama dengan aliran terpotong (discounted stream) dari return masa de- pan yang dapat diprediksikan dari pekerjaan (atau tenaga kerja) ter- sebut.

Dalam konteks ini, peningkatan angka pengangguran disebab- kan pekerja yang menganggur tahu bahwa ada pekerjaan kosong dengan upah yang cukup tinggi karena return yang lebih besar dari biaya pencarian yang ditetapkan. Namun karena tidak tahu secara pasti di mana pekerjaan ini, mereka tidak mungkin segera menemukannya. Maka terjadilah: pengangguran friksional (pengangguran karena pergeseran waktu mencari pekerjaan) yang akan selalu ditemukan sepanjang masih terjadi mekanisme pemecatan, rekruitmen, dan pensiun. Sementara “fungsi matching” ditemukan pada tahap sentral pada semua model pencarian. Fungsi ini bekerja untuk menentukan bagaimana relasi jumlah yang telah

37 Lihat misalnya: O. Blanchard & P. Diamond, “The Beveridge Curve,” Brookings Papers on Economic Activity, vol. 1 (1989): 1-60; P. Diamond, ”Ag-

gregate Demands Management in Search Equilbrium,”Journal of Political Econ- omy, 881-894; D. T. Mortensen, “Job Search and Labor Market Analysis” dalam Handbook of Labor Economics, ed. O. C. Ashenfalter & R. Layard, vol. 2 (Am- sterdam: North-Holland, 1986), 849-919; C. A. Pissarides, Unemployment and Vacacies in Britain,” Economic Policy, vol. 3 (1986): 499-559.

diekspektasi terhadap jumlah tenaga kerja menanggur dan jumlah lowongan kerja.

Seiring dengan perputaran waktu yang mengakibatkan adanya diseminasi informasi terkait pasar pekerja, maka terjadinya hal bu- ruk dalam penyesuaian teknologi justru dianggap dapat menunjuk- kan fenomena pengangguran di sebagian negara. Pada saat yang

sama, Lilien 38 mengenalkan adanya “hipotesis turbulansi” namun tidak sepenuhnya didukung oleh data empiris yang signifikan sep-

erti yang ditemukan oleh Abraham dan Katz. 39 Model search dan matching sendiri dapat digunakan untuk

menjelaskan bagaimana tingkat pengangguran meningkat terkait dengan kegagalan pasar dalam hal permintaan dan penawaran

pelatihan. 40 Pertama-tama karena orang yang menganggur relatif tidak memiliki skil yang dibutuhkan perusahaan, melatih mereka

berarti seperti berburu di alam luar. Khususnya, bila orang menganggur itu telah diberi pelatihan, share yang relatif besar dari keuntungan pelatihan itu—dalam konteks pasar pekerja kompetitif sempurna—tidak akan jatuh pada perusahaan yang menyuplai training, tidak juga jatuh pada para pekerja peserta training. Share yang lebih besar itu justru diperoleh oleh pihak ketiga: yaitu perus- ahaan yang berhasil “memburu” jebolan training tersebut. Ini berar- ti bahwa dalam even macam ini, keuntungan sosial melampaui ke- untungan pribadi—terlepas dari bagaimana distribusi biaya pelati- han pada pelatih dan peserta. Dengan ini, kebebasan pasar akan menyediakan rangkaian pertandingan antara perusahaan dan peker- ja yang telah mengikuti training. Hasilnya, sejumlah besar pekerja

38 D. M. Lilien, “Sectoral Shifts and Cyclical Unemployment,” Journal of Political Economy, vol. 90 (1982): 235.

39 K. Abraham & L. F. Katz, “Cyclical Unemployment: Sectoral Shifts or Aggregate Disturbances?,” Journal of Political Economy, vol. 94, no. 3 (1986):

507-522. 40 Ada berbagai kegagalan pasar dalam penyediaan pelatihan yang berla-

ku untuk semua pekerja. Beberapa kegagalan pasar terjadi justru dengan kepara- han tertentu kepada kalangan penganggur. Lihat misalnya: G. Becker, K. M. Murphy, dan R. Tamura, “Human Capital, Fertility, and Economic Growth,” dalam Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis with Special Ref- erence to Education (Chicago: The University of Chicago Press, 1994): 323-350; Acquiring Skills: Markets Failures, Their Symptoms, and Policy Responses, ed.

A. Booth dan D. J. Snower (Cambridge: Cambridge University Press, 1994).

yang tidak efisien tetap akan menganggur. 41 Masalah ini dapat men- jadi bertambah besar melalui perangkap “skill-rendah dan peker-

jaan yang buruk”. 42 Maka kekurangan pasokan pencari kerja terlatih mendorong perusahaan untuk membuat jumlah berlebih dari

lowongan kerja rendah skill. Ini pada gilirannya, mengurangi insen- tif bagi pekerja untuk mengikuti pelatihan. Bahkan ini akan mengarah pada munculnya lowongan dengan skill yang lebih buruk lagi.

Respon pemerintah dengan menggelar pelatihan atau mem- berikan insentif demi pelaksanaan pelatihan/diklat mungkin mem- iliki peran dalam memerangi pengangguran—terutama penganggu- ran jangka panjang. Namun beberapa pengalaman seperti di Jer- man, insentif harus dikawal oleh lembaga independen dan melalui

program yang diakreditasi secara nasional oleh pemerintah. 43 Desentralisasi ini dilakukan karena program pelatihan yang dise-

diakan pemerintah justru tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh perusahaan.

Ciri yang ketiga dari kebijakan sisi supply adalah adanya dukungan pada pencarian kerja dan penyebarluasan informasi. Hal ini misalnya tergambar dari pelaksanaan konseling dan membantu para penganggur terutama dari masalah-masalah pribadi mereka, dan mengingatkan terkait adanya kesempatan pelatihan-pelatihan

kerja. 44 Nampaknya asistensi ini diperlukan agar intensitas dan se- mangat mencari kerja mereka tidak kendur, sebagaimana masa

menganggur itu mengakibatkan perubahan dalam preferensi mere- ka. 45

41 Espen Moen & Asa Rosen, “Does Poaching Distort Training?,” Discus- sion Paper CEPR, no. 3468 (2002): 1-38.

42 D. J. Snower, “The Low-Skill, Bad Job Trap,” IMF Working Paper (1994); Stephen Redding, “The Low-Skill, Low Quality Trap: Strategic Com-

plementarities Between Human Capital and R&D,” The Economic Journal, vol. 106 (1996): 458-470.

43 Lihat misalnya: Damon Clark & R. Fahr, The Promise of Workplace Training for Non-Collage Bound Youth: Theory and Evidence from German Ap-

prenticeship (London: CEP London School of Economics and Political Science, 2001), 18-19.

45 Dapat dikatakan bahwa mereka lebih tepatnya “kecanduan” untuk menganggur. Teori-teori terkait adiksi dapat memberi pencerahan yang berguna.

Lihat misalnya G. Becker dan K. M. Murphy, “A Theory of Rational Addiction,” Journal of Political Economy, vol. 96 (1988): 675-700; D. S. Kenkel, et al. “Ra-

Terkait penyebaran informasi, nampaknya teori efisiensi upah (efficiency wage theory) dapat menjadi pijakan. Alasan yang dapat dikemukakan adalah tawaran upah yang tinggi dapat memung- kinkan perusahaan untuk merekrut karyawan yang berkualifikasi

lebih atau untuk memotivasi mereka agar bekerja lebih keras. 46 Da- lam varian lain dari teori ini, upah yang tinggi akan mengurangi

karyawan yang akan berhenti dari perusahaan untuk selanjutnya menekan biaya pergantian pekerja yang harus dikeluarkan oleh pe-

rusahaan. 47 Implementasi teori ini misalnya dapat dilihat dari lebih cepatnya pemulihan pengangguran di Amerika Serikat ketimbang

Eropa karena perusahaan-perusahaan di AS cenderung lebih ban- yak memiliki informasi terkait karyawan mereka 48 .

Ciri keempat dari kebijakan sisi supply adalah kebijakan se- bagai stimulator atas mobilitas pekerja. Misalnya, dalam konteks beberapa negara OECD kebijakan ini dikeluarkan terkait problem

beban harga perumahan untuk orang miskin. 49 Kebijakan intervensi

tional Addiction, Feer Externalities and Long Run Effects of Public Policy,” NBER Working Paper, no. 9249 (2002):1-47; Knut R. Wangen, “Some Funda- mental Problems in Becker, Grossman and Murphy’s Implementation of Ration- al Addiction Theory,” Statistics Norway’s Discussion Paper, no. 375 (2004): 1- 13.

46 Tawaran upah yang tinggi mendorong pekerja dengan skill tinggi yang sebelumnya berwirausaha untuk bergabung dengan perusahaan (A. Weiss, “Job

Queues and Layoff in Labor Markets with Flexible Wage,” Journal of Political Economy, vol. 88 [1980]: 526-538). Tawaran upah yang lebih tinggi menigkat- kan usaha dengan menaikkan hukuman atas kelalaian (C. Shapiro dan J. E. Stiglitz, “Equilibrium Unemployment as a Discipline Device,” American Eco- nomic Review, vol.74 [1984]: 433-444). Tawaran upah tinggi juga mendorong pekerja untuk mencari pekerjaan lain dan meningkatkan produktivitas (D. Snow- er, “Search, Flexible Wages, and Involuntary Unemployment,” Birkbeck Col- lege’s Discussion Paper, 132 [1983]. Upah tinggi juga mendorong pekerja untuk bekerja melebihi apa yang sebelumnya disepakati dalam kontrak (G. A. Akerlof, “Labour Contracts as Partial Gift Exchange,” The Quarterly Journal of Econom- ics, vol. 97 [1982]: 543-569.