“Al-Iktisa>b” sebagai Proposal

C. “Al-Iktisa>b” sebagai Proposal

Kerangka kerja Richard Layard di atas nampaknya relevan bila difungsikan pada gagasan al-Shayba>ni> terkait permasalahan pengangguran. Al-Shayba>ni> menawarkan empat satuan kerang- ka strategi untuk “menekan” pengangguran yaitu : (1) pendekatan persepsi; (2) urgensi “pelatihan” dan spesialisasi; (3) kebijakan in- come dan jaminan sosial; (4) pola hidup “secukupnya/kifa>yah”. Apa yang ditawarkan oleh al-Shayba>ni> ini bila dibaca dengan kerangka kerja (framework) Richard Layard, dapat dinilai sebagai strategi penyeimbang dua sisi: supply dan demand dalam pasar pekerja. Letak distingsi yang membedakan antara kedua gagasan terletak pada gagasan terkait pendekatan persepsi yang digunakan oleh al-Shayba>ni>. Nampaknya, bagi al-Shayba>ni> pandangan atau daya memahami (persepsi) seseorang terhadap sesuatu dapat mempengaruhi mekanisme supply dan demand dalam pasar peker- ja.

Tawaran al-Shayba>ni> dalam al-Iktisa>b sendiri memiliki korelasi dengan kebijakan pemerintahan al-Ma’mu>n karena da- lam beberapa dasawarsa sebelumnya, jabatan Qad}i (Jaksa Agung) bidang hukum dipegang oleh ahli hukum dari aliran H{anafi>yyah, atau pengikut metodologi Abu> H{ani>fah. Meski al-Shayba>ni sudah keburu meninggal, saat menjabat al-Ma’mu>n mengangkat penukil al-Iktisa>b yaitu Muh{ammad ibn Sam- ma>’ah—yang notabene salah seorang murid senior Muh}ammad

per, no. 41 (2002): 1-27; N. Meager, “The Role of Training and Skills Develop- ment in Active Market Policies” Working Paper 15, Institute of Employment Studies (2008).

15 Richard Layard, How to Beat Unemployment (Oxford: Oxford Universi- ty Press, 1986), 3-6.

ibn al-H{asan al-Shayba>ni>--sebagai Hakim Agung (al- Qa>d}i>). Bahkan setelah Ibn Samma>’ah mengundurkan diri, al- Ma’mu>n masih mengangkat ahli hukum bermazhab Hanafiyah yaitu Isma>’i>l ibn Hamma>d ibn Abi> H{ani>fah untuk mengisi

posisi tersebut. 16 Di beberapa daerah hal senada juga terjadi, misal- nya putera Abu> Hani>fah 17 sebagai Tuan Kadi (al-Qa>d}i)> di

kota Kufah dan ‘Abd Alla>h ibn Suwa>r di kota Basrah. Ini setid- aknya dapat menunjukkan bahwa mazhab negara lebih didominasi oleh aliran agamis-rasional. Di sisi lain, hal ini menunjukkan bah- wa sumber-sumber primer mazhab ini, seperti yang ditulis al- Shayba>ni>, mendapat tempat khusus dalam pengambilan ke- bijakan pemerintahan.

Dalam kapasitas sebagai cendikia filsafat-pemerintahan, Ibn Khaldu>n secara lebih khusus menyebut bahwa jabatan qad}i memiliki posisi yang cukup signifikan dalam pemerintahan. Jab- atan Qa>d}i> pada dasarnya mengurus perkara-perkara pengadi- lan yang sebenarnya bersifat menyerap (absorptive) terhadap dua poros, baik kekuasaan ataupun magistrasi. Pada masa al-Ma’mu>n misalnya, seorang Qa>d}i> bahkan dapat memimpin bala tentara

yang dikirim ke wilayah Romawi. 18 Hal ini berarti bahwa posisi Qa>d}i> sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah (khali>fah)

yang sangat sentralistik dan terlampau besar. Meski penulis belum mendapat informasi primer yang bersifat langsung dari sumber pertama seperti al-Ma’mu>n atau ibn Sam- ma>‘ah terkait hubungan kebijakan pemerintah dan konten gaga- san dalam al-Iktisa>b, namun beberapa informasi tentang pemerintahan al-Ma’mu>n dapat menunjukkan bahwa terdapat ko- relasi antara gagasan al-Shayba>ni dan kebijakan al-Ma’mu>n da- lam mengatasi krisis ekonomi, terutama pengangguran. Secara metodologis, ini setidaknya dapat dilihat dari fah}wa> khit}a>b al-ta>ri>kh (sejarah subtantif) yang bersumber dari data-data se- jarah yang akan diuraikan pada bagian nanti.

16 Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al-Mulu>k, vol. 5, 164.

17 Lihat misalnya keterangan sejarawan Khali>fah ibn Khayya>t} al- Laythi> terkait nama-nama pejabat Hakim Agung (Qud}a>t}) (Khali>fah ibn

Khayya>t} al-Laythi>, Ta>ri>kh Khali>fah ibn Khayya>t}, vol.1 (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1397 H.), 140.

18 Ibn Khaldu>n, Ta>ri>kh ibn Khaldu>n, vol. 1, 116.

Secara khusus, terdapat diktum al-Ma’mu>n terkait orang- orang pengangguran yang sejatinya bekerja atau bila tidak menjadi beban atas pemerintah. Ini berarti ada ongkos sosial yang harus dibayar oleh masyarakat sehingga menjadi tugas pemerintah untuk “menekan atau mengelola” jumlah penganggur. Diktum al- Ma’mu>n itu sebagai berikut:

“Pekerjaan masyarakat kita ada empat varian: pertanian, industri, perdagangan, dan pemerintahan. Barang siapa yang tidak bekerja dalam bagi-

an-bagian ini,

maka orang itu adalah beban atas kami ”.

1. Pendekatan Persepsi

Gagasan pertama al-Shayba>ni> dalam melakukan reformasi pasar pekerja adalah melalui pendekatan persepsi baik dari pihak pekerja, pedagang ataupun dari para pemegang kebijakan. Uniknya, pembentukan persepsi yang dimaksud menyentuh paradigma ber- pikir yang bercorak rasional-agamis. Disebut demikian karena al- Shayba>ni> menawarkan pendekatan-pendekatan normatif yang kental dengan argumentasi al-Qur’an maupun al-Sunnah, namun tidak meninggalkan penggunaan analisis rasional terhadap realitas baik sebagai ilustrasi-instrumen sekunder atau argumentasi em- pirik-primer. Inilah yang nampaknya menjadi titik distingtif pada konstruk berfikir al-Shayba>ni> yang agak membedakannya dengan sementara pemikir Islam lainnya. Sebagai contoh, hasil formulasi al-Shayba>ni> terkait hukum mencari rezeki atau be- rusaha (al-kasb). Sebagian pemikir hukum Islam yang lain menga-

takan bahwa berusaha itu hukumnya boleh-boleh saja (muba>h}), 20

19 Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Uthma>n al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al- Isla>m, ed. ‘Umar ‘Abd al-Sala>m Tadmuri>, vol. 1 (Damaskus: Da>r al-Fikr,

1996), 1903. 20 Abu> Muh}ammad al-H{usayn ibn Mah}mu>d al-Baghawi>, Ma‘a>lim

al-Tanzi>l, vol. 1, ed. Muh}ammad ‘Abd Alla>h al-Namir, dkk. (Madinah: Da>r T{aybah li al-Nashr wa al-Tawzi>’i, 1997), 329.

atau paling tidak, hukumnya dianjurkan (mandu>b). 21 Al- Shayba>ni> malah menyimpulkan bahwa berusaha mencari rezeki

untuk keperluan mendasar (ma> la> budda minhu”) hukumnya adalah wajib (fari>d}ah). 22 Perbedaan beberapa cara pandang ter-

hadap “aktivitas bekerja mencari rezeki” ini kiranya berakar dari identifikasi terhadap defenisi “al-kasb” dan terhadap dalil hukum yang tersedia. Di samping itu, asumsi-asumsi terhadap perkem- bangan realitas yang berkembang terkait obyek hukum juga dapat

mempengaruhi perbedaan formulasi persepsi hukum. 23 Di lain kes- empatan, al-Shayba>ni> menjelaskan apa yang dimaksudnya se-

bagai keperluan mendasar ini. Yaitu, ma> yuqi>mu bihi> s}ulbahu (makanan pokok untuk hidup sehari-hari), dan ma> yatawas}s}alu ila> iqa>mat al-fara>id} (hal lain yang menunjang pelaksanaan

kewajiban). 24 Penjelasan yang belum gamblang ini kemudian dirinci kembali oleh al-Shayba>ni dengan menyebut empat keperluan

mendasar yang bersifat materil, yaitu (1) pangan [al-t}a’a>m]; (2) air [al-shara>b]; (3) sandang; [al-liba>s] dan (4) tempat tinggal [al-kinn]. 25

Al-Shayba>ni> yang meninggal di Rhages 26 telah berbicara tentang produksi yang ia titik beratkan pada pekerjaan produktif

(al-kasb). Sebagaimana nanti disampaikan, ia membagi pekerjaan ini menjadi empat varian: sewa-menyewa; perdagangan; pertanian,

21 Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Shan’a>ni>, Subul al-Sala>m Sharh} Bu- lu>gh al-Mara>m, ed. Ibra>hi>m ‘Ashr, vol. 4, cet. 7 (Cairo: Da>r al-

Hadi>th,1992), 1558. 22 Muh}ammad ibnal-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-

Mustat}a>b, 27; Wahbah al-Zuhayli> menulis bahwa berusaha itu merupakan kewajiban (fari>d}ah) bagi orang yang mampu (Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu>, vol.7, cet. 2 (Damaskus, Da>r al-Fikr, 1985), 16.

23 Lihat pendekatan yang digunakan oleh al-Ghaza>li> dalam Ih}ya> terkait pelbagai dinamika pada obyek hukum (al-mukallaf) dalam topik mencari rezeki

(al-kasb) (al-Ghaza>li, Ih}ya> ’Ulu>m al-Di>n, vol.2, 64). 24 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-

Mustat}a>b, 35. 25 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-

Mustat}a>b, 47. 26 Rayy atau Rhages adalah kota yang dibuka oleh Nu‘aym ibn Muqarran,

pada masa ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b. Di kota ini, khali>fah terkenal Ha>ru>n al- Rashid dilahirkan. Lihat: Ami>n Wa>s}if Bek, Mu‘jam al-Khari>t}ah al- Ta>ri>khiyyah li al-Mama>li>k al-Isla>miyyah, ed. Ah}mad Dhaki> Basha> (Cairo: Maktabat al-Thaqa>fah al-Isla>miyyah, 1998), 60.

dan industri. 27 Selain itu, al-Shayba>ni> juga membahas aktivitas distributif (al-tawzi>‘), yang difokuskan pada aktivitas derma. 28

Kemudian, yang terakhir, ia mengangkat diskursus konsumtif (al- istihla>k) yang dia sebut harus seimbang dan sesuai dengan norma

agama. 29 Dalam konteks perubahan persepsi, dapat dikatakan bahwa al-Shayba>ni> menyentuh hulu dan hilir aktivitas perekonomian.

Dalam konteks kajian kekinian, gagasan al-Shayba>ni> ini rel- evan bila dibaca dalam kerangka psikologi kerja dan perusahaan. Liat Kulik, misalnya, melakukan survey kepada 594 responden warga Israel terkait intensitas pencarian kerja antara laki-laki dan perempuan. Hasilnya, peran pendidikan, latar belakang, dan im- plikasi kerja sangat mempengaruhi psikologi seseorang dalam

melihat suatu pekerjaan. 30

a. Doktrin Keagamaan dan Pengangguran

Meski demikian, nampaknya masih relatif sedikit studi-studi mendalam terkait pengangguran dalam kerangka ekonomi yang menganalisis terkait hubungan antara doktrin agama dan pengaruhnya terhadap tingkat pengangguran. Di antara penelitian itu apa yang ditemukan oleh Andrew Clark dan Orsolya Lelkes misalnya. Mereka menyampaikan bahwa secara konsisten, tingkat pengganti pengangguran (unemployment replacement) pada masyarakat religius di seluruh Eropa cenderung lebih rendah. Ini berimplikasi bahwa penganggur religius cenderung kurang aktif dalam mencari pekerjaan. Namun demikian, penelitian ini tidak menutup sama sekali peran agama dalam konteks lain. Peran yang ditemukan barangkali akan berbeda dalam konteks sistem

ekonomi-sosial yang lain. 31

27 Al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-Mustat}a>b, 63-65. 28 Al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-Mustat}a>b, 78-98. 29 Al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-Mustat}a>b, 114-120. 30 Liat Kulik, “Jobless Men and Women: a Comparative Analysis of Job

Search Intensity, Attitudes Toward Unemployment, and Related Responses,” Journal of Occupational and Organizational Psychology, vol. 73, no. 4 (2000): 487-500.

31 Anderw Clark & Orsolya Lelkes, “Deliver Us from Evil: Religion as In- surance,” Paris-Jourdan Sciences Economiques’s Working Paper, no. 43 (2005):

1-38.

Terkait doktrin agama Islam, ada beberapa kalangan yang “sedikit menyentuh” korelasi konsepsi zuhd dan pengangguran. Monzer Kahf dalam artikelnya “The Economic Role of State in Is-

lam”, 32 misalnya yang meluruskan pemahaman—yang menurut- nya—negatif, terkait dengan doktrin zuhd atau ‘asketisme’ Islam.

Demikian juga M. Umer Chapra dalam “ Monetary and Fiscal Eco- nomics of Islam” 33 yang kembali menegaskan bahwa pada dasarnya,

Islam bukan agama pertapa, tetapi Islam memiliki pandangan yang positif terhadap kehidupan berdasarkan prinsip manusia sebagai khalifah di bumi. Sayangnya, Chapra dalam hal ini terjebak pada logika-linier bahwa prinsip kekhalifahan sama dengan atau identik dengan kekayaan, kelayakan hidup, dan tidak kesulitan. Padahal prinsip kekhalifahan di muka bumi sesungguhnya dan faktanya tid- ak selalu identik dengan kehidupan yang layak, yang tentu bersifat profan. Di samping itu, penulis belum menemukan penelitian kuantitatif terkait hubungan tingkat pengangguran dan persepsi terkait zuhd.

Terlepas dari beberapa penelitian di atas, bila merujuk pada keterangan di naskah “al-Kasb”, al-Shayba>ni> memotret fenome- na pengangguran yang nampaknya justru dilahirkan oleh pema- haman terkait sejauh mana kedudukan “usaha” dalam kehidupan muslim. Hal ini terlihat dari munculnya gerakan keagamaan yang menyerukan sikap berpangku tangan atau tidak bekerja sebagai perwujudan dari iman yang mendalam dan berserah diri kepada

Tuhan (tawakkul). Michael Bonner 34 menangkap realitas ini dan menyampaikannya dengan cukup gamblang dalam artikelnya.

Al-Shayba>ni> sendiri mengungkap bahwa pengangguran yang terjadi pada saat itu disebabkan pula oleh adanya pemahaman keagamaan yang keliru terkait konsep zuhud atau asketisme. Dalam hal ini, asketisme dimaknai oleh sebagian penganut agama Islam sebagai gaya hidup yang nyaris meninggalkan kehidupan duniawi.

32 Monzer Kahf, “The Economic Role of State in Islam,” paper presented at conference on Islamic Economics in Dakka (1991): 9.

33 Monetary and Fiscal Economics of Islam, ed. Mohamed Ariff (Jeddah: International Centre For Research in Islamic Economics King Abdul Aziz Uni-

versity, 2008), 145-186. 34 Michael Bonner, “the Kitab al-Kasb Attributed to al-Shayba>ni>: Pov-

erty, Surplus, and the Circulation of Wealth,” Journal of the American Oriental Soceity, 121. 3,

Pemahaman ini pada gilirannya berimplikasi terhadap pendekatan terhadap interaksi sosial, di antaranya dalam bekerja mencari nafkah.

Dalam menangggapi hal itu, al-Shayba>ni> sembari menggunakan pendekatan fiqh, menandaskan bahwa mencari nafkah itu dapat terbagi pada tiga kategori: (1) wajib: yaitu atas se- tiap yang mampu melakukannya, untuk memenuhi “kebutuhan

kifa>yah” dirinya dan orang yang di bawah tanggungjawabnya; 35 (2) terpuji (mandu>b): yang ditujukan untuk memenuhi “kebu-

tuhan kifa>yah” selain orang yang dibawah tanggungannya, mak- sudnya adalah selain orang tua, anak dan isteri-nya. Kategori kedua

ini dapat berlaku dan legal bila kategori pertama telah terlaksana 36 ; (3) boleh (muba>h}): aktivitas mencari nafkah dengan penggunaan

yang selebihnya dari dua kategori di atas. Al-Shayba>ni> mem- bangun argumen untuk kategori ketiga, bercermin pada sejarah pa- ra orang-orang saleh yang terdahulu.

Dari kategorisasi ini, kita dapat melihat bahwa al-Shayba>ni belum menggunakan terminologi “awla>wiyyah” yang terkait dengan kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Ia nampaknya menginisiasi terminologi “kifa>yah” yang artinya cukup. Ini berarti bila dinilai sudah cukup, kebutuhan-kebutuhan ekonomis berupa sandang-pangan-papan, telah terpenuhi. Namun tentu saja, penilaian cukup ini sendiri menghajatkan adanya ukuran yang jelas.

Tawaran pendekatan persepsi al-Shayba>ni> nampaknya juga berkelindan dengan ranah ideologis. Latar belakang yang terlihat adalah terkait dengan adanya keyakinan sementara kelompok masyarakat bahwa bekerja mencari rezeki itu mengurangi kualitas “tawakkal” (totalitas dalam menyerahkan jiwa) kepada Tuhan. Ka- takanlah, sikap al-Shayba>ni> merupakan respon (raddat fi’il) ter- hadap realitas yang dianggapnya tidak ideal. Dalam sejarahnya ka-

35 Al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-Mustat}a>b, 57. Salah satu argumentasi yang disampaikan adalah Hadis Nabi yang berbunyi: ﻰﻓ ﺎﻧﻣأ ﺢﺑﺻأ نﻣ

ﺎھرﯾﻓاذﺣﺑ ﺎﯾﻧدﻟا ﮫﻟ تزﯾﺣ ﺎﻣﻧﺄﻛﻓ ﮫﻣوﯾ توﻗ هدﻧﻋ ﮫﻧدﺑ ﻰﻓ ﺎﻓﺎﻌﻣ ﮫﺑرﺳ (H.R. al-Tirmidhi>, vol. 4, no. 2449, 5; Sunan Ibn Ma>jah,vol. 4, no. 4141, 442. Kualitas hadis dinilai “H{asan Ghari>b”).

36 Al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b…, 59. Sebagian ulama yang lain seperti al- Sarakhsi> cenderung lebih memilih bahwa setelah kategori pertama terpenuhi,

aktivitas ibadah ritual adalah lebih diutamakan ketimbang menyibukkan diri dengan mencari nafkah (Lihat: al-Kasb, 47).

langan di atas sering mendaku sebagai orang-orang suci (s}u>fi>), meski di sisi lain tidak sedikit kalangan s}u>fi> yang berkerja mencari rezeki dan menolak klaim bahwa kerja mengurangi kuali- tas tawakkal, karena baik “tawakkal” ataupun “berusaha” (kasb) itu

diperintahkan oleh Tuhan. 37 Dengan demikian, keduanya, baik “kasb” atau “tawakkal” adalah dua entitas berbeda dengan ranah

dan aktualisasi yang berbeda pula. Dalam bukunya al-Kasb, juga disebut-sebut nama “al- Kara>miyah” yang didentifikasi sebagai kalangan yang berangga- pan bahwa mencari rezeki untuk keperluan mendasar itu mubah atau “boleh-boleh saja”. Meski ada perdebatan terkait siapa al-

Karamiyah 38 yang dimaksud, dapat ditegaskan bahwa al- Shayba>ni> dengan tegas menolak pendapat semacam ini. Argu-

mentasi utama yang digunakan oleh al-Shayba>ni, selain dalil-dalil normatif yang berasal dari teks-teks agama, adalah kedudukan mencari rezeki yang halal demi kebutuhan mendasar adalah “sistem

vital semesta” (nizha>m al-‘a>lam). 39 Dengan inilah, semesta dapat bertahan hingga titik terakhirnya.

Yang menarik, pendekatan persepsi ini dapat dipandang mem- iliki implikasi terhadap angka pengangguran. Ah}mad Sulayma>n Mah}mu>d Khas}a>winah, misalnya, melihat hal senada. Dikatakannya bahwa perspektif al-Shayba>ni> ini berarti ide untuk

mengakhiri problematika pengangguran. 40 Dalam hal ini, surplus

37 Di antara kalangan kedua adalah: al-Fud}ayl ibn ‘Iya>d} (w. 187 H.), Ma‘ru>f al-Karkhi> (w. 200 H.), Abu> Sulayma>n ‘Abd al-Rah}ma>n ibn

‘At}iyyah al-Da>ra>ni> (w. 215 H.), Bishr ibn al-Ha>rith al-H{a>fi> (w. 227 H.).

38 Sebagian peneliti seperti Michael Bonner berpendapat bahwa al- Karramiyyah yang dimaksud adalah sekte teologis pengikut ibn Karra>m (w.

190/806-255/869). Sementara yang lain seperti Mah}mu>d ‘Arnu>s berpendapat bahwa al-Karramiyyah adalah salah satu aliran sufi namun tidak menentukannya secara distingtif (Lihat: Michael Bonner, “the Kita>b al-Kasb attributed to al- Shayba>ni>: Poverty,Surplus, and the Circulation of Wealth,” Journal of the American Oriental Soceity, 121, 3 [2001]: 413-414; Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-Mustat}a>b, Mah}mu>d ‘Arnu>s, ed. (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), 27-28.

39 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 29.

40 Ah}mad Sulayma>n Mah}mu>d Khas}a>winah, al-Fikr al- Iqtisha>di> ‘inda al-Shayba>ni>, 233.

output pekerja sejatinya dialokasikan untuk kegiatan filantropi, se- hingga income masyarakat kurang mampu dapat menempati batas “kifa>yah” atau berkecukupan. Berbeda dengan Ah}mad Sulay- ma>n, J. C. Wichard secara persuasif membangun argumentasi bahwa buku al-Kasb mengajak kepada nilai yang adil di antara si- kap asketis yang ekstrim dan sikap “pamer/berlagak” (ostentatious) dalam hal terkait pendapatan dan konsumsi. Di samping itu, Wich- ard lebih menekankan perhatian generasi awal dari para ahli hukum Islam

krusialnya masalah nan. 41 Dengan demikian, Wichard tidak memsberikan perhatian ter-

aliran H{anafi,

terkait

hadap masalah pengangguran, secara khusus. Hal senada dengan Wichard dilakukan oleh Michael Bonner yang menekankan pada titik kemiskinan dan sedekah (almsgiving). Yang membedakan Wichard dengan Bonner setidaknya adalah per- spektif terkait dua hal: (1) penekanan Bonner yang lebih mendalam terkait kemiskinan dan sedekah, (2) pendekatan filologis cukup mendalam yang digunakan oleh Bonner, yang nampaknya tidak dilakukan oleh Wichard. Ini membuat studi Richard terhadap al-

Kasb agak simplistis, tidak komposit. 42 Meskipun demikian, Bon- ner tidak mendiskusikan tema pengangguran (al-bat}a>lah) yang

sejatinya berkolerasi dengan topik kemiskinan. Beberapa perspektif cendikia di atas menunjukkan bahwa kar- ya al-Shayba>ni> memiliki berbagai dimensi. Maka sah-sah saja bila dalam perspektif pasar pekerja, pendekatan persepsi ini dapat dilihat dalam dua sisi baik dari sisi penawaran ataupun permintaan. Pendekatan lain untuk lebih memudahkan gambarannya adalah berbagai analisis terkait “pengaruh persepsi terhadap permintaan dan penawaran dalam pasar pekerja”. Beberapa tulisan dan penelitian menemukan adanya korelasi—baik yang positif ataupun negatif—antara persepsi dan mekanisme supply dan demand.

41 J. C.Wichard, Zwischen Markt und Moschee: Wirtschaftliche Bedürf- nisse und Religiöse Anforderungen im Frühen Islamichen Vertragsrecht (Pader-

born: 1995), 37-44. 42 Pada kenyataannya, beberapa naskah al-Kasb yang ditemukan setid-

aknya tidak lepas dari dua orang komentator atau penukil. Mereka adalah Muh}ammad ibn Samma>’ah dan al-Sarkhasi> (Michael Bonner, “the Kita>b al- Kasb attributed to al-Shayba>ni>: Poverty,Surplus, and the Circulation of Wealth” Journal of the American Oriental Soceity, 121, 3 [2001]: 410-427).

2. Spesialisasi dan “Training”

Pada kesempatan yang lain, al-Shayba>ni> juga mengintro- duksi adanya pembagian kerja dan spesialisasi. 43 Gagasan ini

mendapatkan relevansi dalam kerangka pengangguran struktural yang disebabkan absennya titik temu antara struktur angkatan kerja berdasarkan keterampilan, jenis pekerjaan, industri, dan lokasi geo- grafis dengan struktur permintaan kerja. Hal inilah yang disebut nobelis 2010, Peter Diamond sebagai “mismatch” yang memer- lukan transformasi pada ranah pekerja dari yang sebelumnya meru- pakan “pekerja konstruksi” menjadi “pekerja yang mempabrikasi”

(manufacturing workers). 44 Dalam perspektif supply dan demand pada pasar pekerja, pengangguran jenis ini memang disebabkan

oleh adanya perubahan-perubahan dalam komposisi dan ketidakco- cokan pada penawaran dan permintaan para tenaga kerja. Ketid- akcocokan ini sendiri dapat terjadi saat meningkatnya permintaan terhadap suatu jenis pekerjaan, sementara permintaan jenis suatu pekerjaan lain justru menurun. Hal ini ditambah dengan tidak lancarnya fungsi penyesuaian dari mekanisme penawaran (sup-

ply). 45 Dalam konteks pasar pekerja, adanya mismatch atau pengang-

guran struktural tersebut dapat disebabkan setidaknya oleh empat hal: (1) imobilitas kerja yang terjadi karena kesulitan dalam pem- belajaran kemampuan baru yang dituntut dalam pekerjaan, seperti pembelajaran untuk perubahan dalam teknologi dan industri ba-

ru; 46 (2) imobilitas geografi yang terjadi dikarenakan kesulitan akses daerah; 47 (3) perubahan teknologi. Karena bila terdapat

43 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 40.

44 Peter Diamond, “Unemployment, Vacancies, Wages,” Nobel Lecture : 8.

45 Lihat: Campbell R. McConnell, et al.,Contemporary Labor Economics, 7 th Edition (New York: McGraw-Hill/Irwin, 2006), 546; Paul A. Samuelson &

William D. Nordhaus, Economics, 8 th Edition (New York: McGraw-Hill/Irwin, 2005), 655.

46 Dale T. Mortensen, Christopher A. Pissarides, “Unemployment Re- sponses to ‘Skill-biased’ Technology Shocks: the Role of Labour Market Poli-

cy,” The Economic Journal, vol. 109, no. 455 (1999): 245-265. 47 Quentin David, Alexander Janiak, & E. Wasmer,”Local Social Capital,

Geographical Mobility, and Unemployment in Europe,” IZA Working Paper (2007): 1-65.

pengembangan dalam menghemat teknologi kerja, maka umumnya akan terjadi penurunan permintaan tenaga kerja; 48 (4) perubahan

struktural dalam perekonomian. 49 Dalam konteks Abbasiyah era al- Ma’mu>n, ini dapat dilihat dari adanya pekerja non-Arab yang pa-

da umumnya bekerja di berbagai sektor. Dengan demikian, apa yang digagas oleh al-Shayba>ni> terkait spesialisasi dan pembagian kerja dapat dipandang sebagai strategi terhadap problematika ketidakcocokan dan perubahan- perubahan dalam pasar kerja. Namun, untuk melihat lebih utuh keadaan fikiran (state of mind) al-Shayba>ni> maka perlu didedahkan konteks perekonomian yang terjadi saat itu.

Setidaknya ada empat varian spesialisasi yang disebut oleh al- Shayba>ni dalam al-Iktisa>b. Empat ini yaitu: (1) al-ija>rah [‘leasing’, yang dapat mewakili sektor jasa]; (2) al-tija>rah [perdagangan]; (3) al-zira>‘ah [pertanian]; dan (4) al-s}ina>‘ah

[perindustrian]. 50 Empat varian pekerjaan ini dapat dilihat sebagai sektor-sektor ekonomi utama pada jaman-nya. Berbagai laporan

sejarah mengungkap bahwa pada masa awal Negara Abbasiyah hingga masa al-Ma’mu>n, pada umumnya empat sektor ekonomi tersebut berkembang dengan cukup pesat.

Sektor pertanian yang berasal dari Irak (al-sawa>d), misalnya, menyumbang sekitar 120 juta dirham atau 1/3 pemasukan Negara. Produk pertanian utama dan terbesar dari daerah ini adalah hint}ah (gandum dengan sisi yang tidak halus) dan sha‘i>r (gandum dengan sisi yang halus). Dokumentasi sejarah, seperti al-Fakhri>, menyimpulkan bahwa pada masa dinasti Umayyah (terutama pada pra-keruntuhan) sektor pertanian tidak mendapat posisi yang layak dalam “blue print” perekonomian Negara. Bahkan, masyarakat petani cenderung mendapat perlakuan kasar dan tidak layak dari patron pemungut pajak. Maka wajarlah bila masyarakat melawan dengan melakukan mogok “mengolah lahan”, sehingga sektor per-

48 Udo Kreickemeier & D. Nelson, “Fair Wages, Unemployment, and Technological Change in a Global Economy,” Research Paper of Leverhulme

Centre, no. 5 (2005): 1-30. 49 Jan Fagerberg, “Technological Progress, Structural Change and Produc-

tivity Growth: a Comparative Study,” Journal of Structural Change and Eco- nomic Dynamics, vol. 11 (2000): 394-411.

50 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 40.

tanian dan banyak tanah malah terbengkalai, tidak produktif. Hal ini berbeda dengan kebijakan pemerintah Abbasiyah pada periode

pertama. 51 Dalam hal ini, pakar sejarah dan etnografi Ibnu al-Athi>r (w. 630 H./ 1233 M.) memuji perlakuan penguasa masa-masa per-

tama Abbasiyah yang mengaktualkan rasa aman, mengayomi masyarakat, dan meningkatkan pembangunan. 52

Untuk lebih memahami sektor pertanian ini maka perlu dise- butkan bahwa tanah pada masa pemerintahan Abbasiyah paling tid- ak dikategorikan pada lima jenis: (1) al-ara>d}i> al-sult}a>niyyah (tanah pemerintah, public property); (2) ara>d}i> al-milk (tanah hak milik); (3) al-ara>d}i> al-musha>‘ah (tanah tanpa pemilik); (4) ara>d}i> al-waqf (tanah wakaf); dan (5) al-iqt}a‘a>t (hasil

persengketaan). 53 Tanah pemerintah umumnya berasal dari tanah hasil sitaan (confiscation) dari pemerintahan Umayyah, kemudian

semakin meluas lewat pembelian, penyitaan dari pegawai yang dipecat, meninggal, atau sebab yang lain. Tanah ini, pada umumnya dapat disewakan oleh pemerintah kepada investor, se- bagaimana pembahasan selanjutnya dalam tesis ini.

Adapun tanah hak milik pribadi (‘private-ownership land’) be- rasal dari berbagai latar belakang. Secara historis, hak milik ini

diberikan oleh penguasa terkait penyitaan 54 atau terkait dengan pen- golahan tanah tak bertuan (ih}ya>’ al-mawa>t) dan pengurukan

dianjurkan oleh pemerintah. 55 Sebagai contoh, pengolahan tanah-tanah tak bertuan

rawa-rawa (impolder)

yang

sangat

51 Bandingkan dengan: Jaakko Hämeen Anttila, the Last Pagans of Iraq: Ibn Wah}shiyya and His Nabatean Agriculture (Leiden: Brill, 2006).

52 Ibn al-Athi>r, al-Ka>mil fi> al-Ta>ri>kh, ; Bandingkan dengan Chris- tian Lange, Justice, Punishment, and the Medieval Muslim Imagination (Cam-

bridge: Cambridge University Press, 2008). 53 Lihat misalnya: Ibn Quda>mah, al-Khara>j wa Shun‘at al-Kita>bah,

vol. 9 (Leiden: Maktabat al-Jugra>fiyyah al-‘Arabiyyah, 1889), 241; Muh}ammad ibn ‘Abdu>s al-Jihshaya>ri>, al-Wuzara’> wa al-Kutta>b (Cairo: t.p., 1928), 90; al-Khawa>rizmi>, Mafa>fi>h} al-‘Ulu>m (Cairo: t.p., 1930), 39; Urayb ibn Sa‘i>d al-Qurt}ubi>, S{ilat al-T{abari> (Leiden: De Goge, 1897), 145; al-Ma>wardi>, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah (Cairo: Da>r al-Sala>m), 183.

54 Al-Ma>wardi>, al-Ah}kam al-Sult}a>niyyah, 186-187. 55 Ibn Miskawayh, vol. 2, 88; Ibn Quda>mah, al-Khara>j wa Shun‘at al-

Kita>bah, 241; al-Ma>wardi>, al-Ah}ka>am al-Sult}a>niyyah, 174.

di kawasan sekeliling Basrah 56 dan pengeringan daerah rawa (al- mustanqa‘a>t) di bilangan al-Bat}i>hah. 57 Prosedur kepemilikian

lain yaitu melalui penjualan tanah perbendaharaan Negara atau tanah pemerintah yang dijual karena faktor ekonomi. 58 Masing-

masing dari laporan Ibn Miskawayh (w. 421 H./ 1030 M.) dan al- Tanu>khi> (w. 384 H./ 994 M.) menunjukkan adanya minat yang besar dari berbagai kalangan, baik pegawai negara ataupun non pegawai untuk berinvestasi pada sektor tanah ini karena sifat kepemilikannya yang mutlak (freehold) dan tingkat return yang

diinginkan (expected rate of return) relatif menjanjikan. 59 Meskipun di sisi lain, juga ada kewajiban atas mereka seperti membayar pajak

dan membayar iuran pemeliharaan saluran air yang melewati tanah mereka. 60 Laporan lain seperti dari ensiklopedis Ya>qu<t al-

H{amawi> (w. 626 H./1229 M.) dan sejarawan al-S{a>bi> mengindikasikan bahwa plot-plot tanah yang luas dan terpencar justru banyak dimiliki oleh para elit pemerintah. Misalnya, seorang menteri pada pemerintahan Haru>n al-Rashi>d dan al-Ami>n yang bernama ‘Ali ibn ‘Isa> (w. 195 H./810 M.) memiliki tanah di ka- wasan Rabi>‘ah, Mosul, Sawa>d, Damaskus, dan Me-

sir. 61 Kedudukan para elit juga dimanfaatkan oleh sementara pem- ilik tanah untuk memproteksi kepemilikan mereka dan terkadang

untuk mengurangi beban pajak (ilja>’). Caranya dengan meminta kepada elit tertentu agar bersedia didaftarkan namanya sebagai

pemilik tanah tersebut, dengan kompensasi tertentu. 62 Namun ka-

56 Al-Ishtakhri>, Masa>lik al-Mama>lik, 80; Ibn H{awqal, al-Masa>lik wa al-Mama>lik, 239.

57 Al-Ma>wardi>, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, 173. 58 Ah}mad ibn ‘Umar ibn Rustah, al-A‘ala>q al-Nafi>sah (Leiden: Ma- katabat al-Jugra>fiyyah al-‘Arabiyyah, 1892), 150.

59 Ibn Miskawayh, Taja>rib al-Umam, vol. 1, 4-253, 238-241; al- Muh}sin ibn ‘Ali> ibn Muh}ammad al-Tanu>khi>, al-Faraj ba‘da al-Shiddah,

vol. 1 (Cairo: t.p., 1904), 93. 60 Hila>l al-S{a>bi, Tuh}fat al-Umara> bi Ta>ri>kh al-Wuzara’> (Cai-

ro: Maktabat ‘Abd al-Sattar Faraj Ah}mad, 1958), 257; al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Rusul wa al-Mulu>k , vol. 3, 2153.

61 Hila>l al-S{a>bi>, Tuh}fat al-Umara’> bi Ta>ri>kh al-Wuzara’>, 304-321, Ya>qu>t al-H{amawi>, Mu’jam al-Udaba>’, vol. 5, 278.

62 Lihat: George Zaydan, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 2, 130; Al-Is}takhri>, Masa>lik al-Mama>lik, 128; al-Muh}sin ibn ‘Ali> ibn 62 Lihat: George Zaydan, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 2, 130; Al-Is}takhri>, Masa>lik al-Mama>lik, 128; al-Muh}sin ibn ‘Ali> ibn

sendiri. 63

Sementara tanah tanpa pemilik (al-musha>‘ah) biasanya juga disebut sebagai tanah mati. Pada umumnya, tanah ini terbiarkan karena dianggap tidak menguntungkan atau bernilai ekonomis. Secara utilitas, tanah ini tidak ekonomis karena banyak faktor, misalnya perlu biaya yang cukup untuk mengolahnya, atau bisa ju-

ga karena letak tanah yang jauh dari tempat tinggal penduduk, dan faktor-faktor lainnya. Dari penelusuran penulis, tak banyak narasi sejarah yang mengungkap tanah ini secara khusus, hanya pragmen- pragmen berserakan terkait pengeringan daerah rawa (mus- tanqa‘a>t) di daerah al-Bat}i>h}ah seperti laporan al-Ma>wardi> dan pemberdayaan tanah-tanah mati di sekitar Basrah seperti cata- tan yang bersumber dari al-Is}takhri> dan Ibn H{awqal, seperti di- tulis sebelumnya.

Jenis tanah berikutnya adalah tanah wakaf. Secara tradisi, tanah ini diperuntukkan khusus untuk keperluan keagamaan. Re- turn yang didapat dialokasikan untuk keperluan terkait (a) tanah suci (Mekkah dan Madinah), (b) pasukan perang resmi (al-jiha>d), (c) orang fakir dan yang miskin, (d) anak yatim, (e) tebusan untuk membebaskan perbudakan, (f) biaya membangun mesjid dan pos

pertahanan Negara, (g) atau hal-hal yang bermanfaat lainnya. 64 Ini berarti tanah wakaf dapat bersifat produktif, tidak seperti pada

umumnya yang terjadi di Indonesia saat ini. Sementara tanah pertanian (farmland) umumnya terletak pada tanah pemberian (iqt}a>‘a>t): yaitu tanah hasil vonis pemerintah terkait sengketa pihak-pihak terkait. Ibn Miskawayh dan al-

Muh}ammad al-Tanu>khi>, al-Faraj ba’da al-Shiddah, vol. 8, 76; Muh}ammad ibn ‘Abdu>s al-Jihshaya>ri>, al-Wuzara>’ wa al-Kutta>b, 118.

63 Al-Bala>dhuri>, Futu>h} al-Bulda>n (Leiden: t.p., 1866),311, 323, 371; al-Is}takhri>, Masa>lik al-Mama>lik, 158.

64 Hila>l al-S{a>bi>, Tuh}fat al-Umara>’ bi Ta>ri>kh al-Wuzara>’, 286; Ibn al-Athi>r, al-Ka>mil fi>al-Ta>ri>kh, vol.8, 182; Muh}ammad ibn

‘Ali> ibn Muh}ammad ibn T{aba>t}aba ibn al-T{aqtaqi>, al-Fakhri> fi> al- A<da>b al-Sult}a>niyyah, 364; Hila>l Rabi>‘at al-Ra’yi, Ah}ka>m al-Waqf (Heydar Abad, 1327 H.), 10-12.

T{abari> mencatat bahwa tanah ini—meski secara yuridis harus berasal dari tanah pemerintah—tetap saja pada praktiknya tanpa

aturan yang definitif. 65 Ketika al-Muqtadir menjabat sebagai kha- lifah, Negara Abbasiyah diguncang krisis ekonomi. Akibatnya,

tanah-tanah hasil sengketa direkuisisi pemerintah untuk mengatasi krisis. 66 Ini berarti tanah-tanah pemberian dapat diambil sewaktu-

waktu oleh pemerintah atau pemberi tanah. Tanah jenis ini, bila dilihat dari nilai legitimasinya, dapat dikategorikan pada dua varian: (1) tanah pemberian untuk hak kepemilikan (proprietary rights); dan (2) tanah pemberian untuk

hak pengusahaan (land cultivation rights). 67 Namun demikian, ka- rena struktur masyarakat yang masih bersifat patriarkis, yang malah

berlaku adalah hak legitimasi ini sangat bergantung pada status so- sial pemilik tanah. Ketika tanah diberikan oleh pemerintah kepada kalangan pegawai pemerintah maka tanah ini dapat dianggap se-

bagai “tanah (pemberian) sipil” (iqt}a>‘a>t madaniyyah). 68 Atau ketika pemerintah memberikan tanah kepada kalangan profesional

seperti penyair, musisi, ilmuan, atau yang semacamnya, maka tanah itu dapat dikategorikan sebagai “tanah (pemberian) spesial”

(iqt}a>‘a>t kha>shah). 69 Juga terdapat tanah pemberian dari pihak militer (iqt}a>‘a>t ‘askariyyah), 70 dan tanah pemberian yang khu-

sus diberikan oleh khalifah kepada elit, seperti para panglima perang (iqt}a>‘a>t al-khali>fah). 71

Dari beberapa narasi sejarah, nampaknya “tanah pemberian special” merupakan tanah dengan kekuatan hukum (force of law)

65 Ibn Miskawayh, Taja>rib al-Umam, vol. 1 (Cairo, t.p., 1920), 136; al- T{abari>, Akhba>r al-Rusul wa al-Mulu>k, vol. 3, 2153.

66 ‘Urayb ibn Sa‘i>d al-Qurt}ubi>, S{ilat al-T{abari>, 145. 67 Al-Khawa>rizmi>, Mafa>fi>h} al-‘Ulu>m, 60; al-Ma>wardi>, al- Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, 7-186; Al-Qalaqshandi>, S{ubh} al-A‘asha>, vol. 13, 113-115.

68 Ibn Miskawayh mencatat bahwa pada tahun 325 H./936 M., Ibn Ra>iq, kepala pemerintahan daerah Bajkam, Turki mengajukan tanah pemberian yang

return-nya mencapai 50 ribu Dinar/tahun kepada pegawai dinas penjaminan ka- wasan al-Ahwa>z (Ibn Miskawayh, Taja>rib al-Umam, vol. 1, 374).

69 Al-Is}faha>ni>, al-Agha>ni>, vol. 5, 168; vol. 9, 9-348; al-Khati>b al- Baghda>di>, Ta>ri>kh Baghda>d, vol. 6, 368.

70 Al-Du>ri>, Dira>sa>t fi> al-‘Us}u>r al-‘Abba>siyyah al- Mutaakhkhirah, 258.

71 Ibn Miskawayh, Taja>rib al-Umam, vol. 2, 97, 98-99.

terkuat. Tidak mengherankan bila tidak sedikit kalangan profesion- al tertentu yang mengharapkan mendapat tanah pemberian jenis ini—dan berusaha mendekati penguasa. Tanah jenis ini pada prak- tiknya juga mencakup tanah yang ditinggalkan dan tanah mati yang akan diberdayakan. Para petani diberikan oleh pemegang hak pem- berian untuk mengolah tanah. Biasanya pemegang hak tanah pem- berian yang menyediakan biaya pengolahan dan bibit tanaman ter- tentu. Ketika telah panen, maka sebagian hasil tahunannya dibayar- kan ke kas negara. Setelah itu, para pemegang hak dapat menikmati hak kepemilikan (proprietary rights) penuh—termasuk di da- lamnya dapat mewariskan kepemilikan ini, bebas pajak lain (tax-

exempt), dan terhindar dari intervensi pemerintah. 72 Meski demikian kondisi para pemilik tanah pemberian spesial,

keadaan para petani pengerja lahan justru tidak lebih baik. Ibnu Miskawayh menulis bahwa meskipun petani memiliki peran strate- gis dalam pemasukan negara, kesejahteraan mereka tidak pernah diperhatikan dengan serius (lam yu’khadh khayr al-falla>h}

da>iman bi ‘ayn al-i‘itiba>r). 73 Dalam bahasa lain, belum ada strategi integral dalam politik pertanian. Yang terjadi justru politik

pertanian sangat tergantung dengan kebijakan-kebijakan personal baik dari khalifah, kemudian wazir, dan selanjutnya amir. 74 Im-

plikasinya, kebijakan-kebijakan pemerintah biasanya akan selalu berubah sepanjang terjadinya pergantian kepala pemerintahan.

Struktur penduduk kawasan pertanian al-Sawa>d Irak, misal- nya, mayoritas terdiri atas kalangan yang lazim disebut “petani dusun” (nabt}i>) yang berasal dari non-arab yang masuk Islam dan

masih mempertahankan tradisi mereka. 75 Kalangan ini menempati simpul-simpul perkampungan yang laksana terisolir dari perkem-

bangan dan pembangunan perkotaan. Tidak ada alih teknologi

72 Lihat: al-Qalaqshandi>, Subh} al-A‘asha>, vol. 13, 123-131; 139-143; al-S{u>li>, Adab al-Kutta>b, 212; al-Khati>b al-Baghda>di>, Ta>ri>kh Bagh-

da>d, vol. 8, 493. 73 Ibn Miskawayh, Taja>rib al-Umam, vol. 1, 27.

74 ‘Abd al-‘Azi>z al-Du>ri>, Ta>ri>kh al-‘Ira>q al-Iqtis}a>di> fi> al- Qarn al-Ra>bi‘ al-Hijri>, Cet. 3 (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wih}dah al-

‘Arabiyyah, 1995), 59. 75 Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abu> Bakr al-Banna> al-Maqdisi>,

Ah}san al-Taqa>si>m fi> Ma‘rifat al-Aqa>li>m,108; al-Muh}sin ibn ‘Ali> ibn Muh}ammad al-Tanu>khi>, al-Faraj ba‘da al-Shiddah, vol. 8, 100.

(transfer of technology) dalam bidang pertanian, sebagai efek turunan dari pertumbuhan ekonomi perkotaan. Kalaupun ada, maka

pengaruh yang menerpa perkampungan dirasa sangat sedikit. 76

Dalam ruang dan konteks ironi sektor pertanian inilah, inisiasi al-Shayba>ni> terkait urgensi pertanian menjadi relevan. Seakan- akan al-Shayba>ni> memprotes kebijakan dan sikap pihak-pihak yang dianggapnya hanya mengambil keuntungan dari sektor per- tanian namun tidak menaruh perhatian atas kesejahteraan dan pengembangan (keahlian) dalam sektor ini. Sembari menukil hadis Nabi terkait urgensi “sektor bumi”, al-Shayba>ni sebenarnya

menekankan perlunya peningkatan kesejahteraaan bagi petani. 77

Ini juga berarti bahwa untuk kawasan penangguran di pedesaaan (rural unemployment), pemberdayaan sektor pertanian menjadi sangat signifikan.

Pos strategis ekonomi yang lain adalah berasal dari aktivitas perdagangan. Meski kita belum menemukan total nominal pema- sukan defenitif dari sektor perdagangan ini, namun sebagai ilustrasi dapat disebut bahwa pajak penghasilan perdagangan laut (a‘asha>r al-sufun) dari salah satu saudagar laut yang bernama H{asan ibn al-

‘Abba>s, mencapai 100 ribu Dinar dalam satu tahun. 78 Bila meng- ingat skala perdagangan internasional Abbasiyah yang telah

menembus ujung India dan China, maka tentu saja pemasukan dari sektor ini cukup besar. 79 Di antara komoditi dagang yang cukup be-

sar memberi pemasukan untuk kas Negara adalah berasal dari hasil bumi (cash crop) baik yang berada di permukaan atau yang ada di perut bumi. Pajak yang diperuntukkan adalah seperlima (akhma>s al-ma‘a>din) dan berasal dari berbagai penjuru negeri, seperti emas dan perak di daerah Transoxiana dan Karman, Zabarjad (batu

berwarna aquamarine) dari kawasan selatan Nil. 80 Al-Maqdisi>, misalnya, bernarasi bahwa harga jaminan produk batu mulia Pirus

76 Bandingkan dengan keterangan sejarawan George Zayda>n dalam Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 2, 179.

77 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 40.

78 Ibn H{awqal, al-Masa>lik wa al-Mama>lik, efilog. 79 George Zayda>n, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 2, 86.

80 Ibra>hi>m ibn Muh}ammad al-Fa>risi> al-Is}takhri>, Masa>lik al- Mama>lik, 51.

dari tambang-tambang Naisabur mencapai angka 758.720 Dir- ham. 81

Sementara itu, ada jenis cukai produk industri (muku>s) dan pajak daerah (mara>s}id) yang turut menyumbang pendapatan Negara. Namun sebagaimana sebelumnya, kedua jenis pendapatan dari sektor ini jumlah nominalnya tidak diketahui secara pasti na- mun dapat disinyalir bahwa jumlahnya cukup besar. Hal ini dapat diketahui dari narasi al-Maqdisi> dan Ibn H{awqal dalam catatan sejarah mereka. Al-Maqdisi> menulis cukai yang dibebankan pada setiap proses industri pemintalan kain di daerah Mesir, produk minyak, dan lain-lain. Ia juga merekam pendapatan seorang petu- gas pabean di kawasan Tunais di Mesir yang menarik cukai seribu

Dinar per harinya. 82 Sementara Ibnu H{awqal memotret dengan cukup baik pajak daerah Azerbejan yang mencapai angka 1 juta

Dirham dalam setahun. Pajak ini meliputi sektor perbudakan, transportasi, dan peternakan. 83

Adapun sektor jasa, maka dapat dilihat dari bayaran yang dibebankan kepada para penyewa tanah pemerintah (al- mustaghalla>t). Tanah ini digunakan sebagai lahan usaha baik un- tuk pasar, tempat menginap, dan lain-lain. Sejarawan Ibnu Khur- dadhbuh menceritakan bahwa return yang didapatkan pemerintah dari pasar, tempat peristirahatan, dan Balai Logam (dawr al-d}arb) yang berada di kota Baghdad mencapai 1,5 juta Dirham dalam se-

tahun. 84 Daerah Samarra di Irak menyumbang sekitar 10 juta Dir- ham yang berasal dari return dan hasil sewa tanah pemerintah di

sektor jasa yang merupakan investasi pemerintah ini menempati pos yang cukup strategis karena memberi income yang cukup be- sar, meski porsinya tidak sebesar apa yang dihasilkan dari sektor

pajak al-khara>j (tanah dan produk pertanian). 85 Terkait sektor ini,

81 Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abu> Bakr al-Banna> al-Maqdisi>, Ah}san al-Taqa>si>m fi> Ma’rifat al-Aqa>li>m, 341.

82 Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abu> Bakr al-Banna> al-Maqdisi>, Ah}san al-Taqa>si>m fi> Ma’rifat al-Aqa>li>m, 88-89.

83 Ibn H{awqal, al-Masa>lik wa al-Mama>lik, 303. 84 ‘Ubayd Alla>h ibn Ah}mad ibn Khurda>dhbuh /ibn Khurda>dhibbah,

al-Masa>lik wa al-Mama>lik, 125.

85 George Zaydan, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 2, 89.

al-Shayba>ni> menekankan akan pentingnya internalisasi nilai ket- aatan pada Tuhan. 86

Dari uraian sejarah di atas, kita dapat melihat bahwa sektor pertanian mendapat porsi terpenting dalam peta perekonomian Negara Abbasiyah. Maka wajar bila kemudian, al-Shayba>ni> me- nyebut pertanian sebagai pekerjaan yang terbaik karena manfaat total (total utility) yang dihasilkan juga paling besar. Manfaat ini tidak hanya dikalkulasikan dari segi materil namun juga dari segi adanya nilai filantropi yang mencakup hasil-hasil pertanian (agri- cultural produces) yang susut karena dimakan oleh hama atau bi-

natang lain. 87 Penekanan terhadap adanya spesialisasi dapat dilihat dari

lanjutan uraiannya setelah gagasan pembagian kerja. Dalam hal ini al-Shayba>ni> kemudian menginisiasi diskursus “thalab al-‘ilm” (menuntut ilmu pengetahuan). Diktum populis yang disampaikan oleh dia adalah “t}alab al-kasb fari>d}atun kama> anna t}alab al- ‘ilmi fari>d}ah” (menuntut rezeki yang halal adalah kewajiban se- bagaimana menuntut ilmu/spesialisasi). Pengertian mengenai “spesialisasi” yang dapat disampaikan adalah terkait dengan kewajiban menuntut ilmu yang sesuai dengan kondisi orang per orang. Misalnya, ketika menjadi seorang pedagang, maka seseorang diwajibkan menuntut ilmu perdagangan untuk menghindari riba> dan kontrak-kontrak yang rusak (al-‘uqu>d al-

fa>sidah). 88 Tentang pelatihan, dapat diambil dari diktum al-Shayba>ni>

selanjutnya: “wa kama> anna t}alaba al-ilmi fari>d}ah fa ada>u al-‘ilmi ila> al-na>s fari>d}ah” 89 (sebagaimana menuntut ilmu itu

kewajiban maka menyampaikan ilmu kepada masyarakat juga merupakan kewajiban).

86 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 48.

87 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 41-42.

88 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 42. Bandingkan misalnya dengan keterangan Franz Rosenthal da-

lam Knowlegde Triumphant: the Concept of Knowledge in Medieval Islam (Lei- den:Brill, 2007).

89 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 43.

Yang cukup menarik adalah ide al-Shayba>ni> terkait tema ini dengan membatasi spesifikasi ‘trainer’ kepada orang-orang yang terkenal mumpuni atau kompeten dalam bidangnya (ushtuhiru> bi

al-‘ilm kha>s}s}ah). 90 Kepada orang-orang inilah, kewajiban trans- fer keilmuan sejatinya berproses. Nampaknya item “terkenal” juga

diintroduksi agar mereka yang mendapat pelatihan dapat percaya dengan kompetensi dan otoritas keilmuan sang pelatih. Pada titik ini, kita dapat melihat bahwa al-Shayba>ni> memasukkan salah satu elemen akuntabilitas yaitu integritas.

Dalam sejarahnya, pemerintahan al-Ma’mu>n juga tercatat melakukan prinsip keahlian. Nampaknya ukuran keahlian ini ada- lah kepatuhan pegawai kekhalifahan kepada instruksi dan arah pemerintahan pusat. Hal ini misalnya dapat dilihat dari dua kejadi- an: yang pertama, al-Ma’mu>n pernah melakukan eksekusi mati kepada pejabat negara yang bernama ‘Ali ibn Hisha>m (w. 217 H.) karena manajemen yang buruk dan tindakan semena-mena kepada

masyarakat Azerbejan dan beberapa daerah lain. 91 Yang kedua, al- Ma’mu>n memberhentikan pejabat bernama Bishr ibn Da}wu>d

yang tidak mengirim hasil pajaknya kepada pemerintah pusat. 92 Pa-

da berbagai kesempatan, al-Ma’mu>n juga mengirim instruksi terkait kebijakan-kebijakan pemerintahan. Di antaranya adalah in- stuksinya kepada gubernur Khurasa>n, ‘Abd Alla>h ibn T{a>hir untuk mengurus dengan baik reformasi pemerintah dan rakyat, memelihara stabilitas, menaati pemerintah pusat, dan menyokong kemajuan negara. Bahkan oleh beberapa sejarawan, di antaranya al- T{abari>, instruksi ini dikirimkan kepada pejabat dan pegawai dae- rah yang lain. ‘Abd Alla>h ibn T{ahir sendiri dinilai berhasil

melaksanakan instruksi tersebut. 93

90 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 43.

91 Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al- Mulu>k, vol. 5, 184; al-S{ifdi>, al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t, vol. 7, 89; Ibn

‘Asa>kir, Ta>ri>kh Dimashq, vol.43, 266. 92 Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al-

Mulu>k, vol. 5, 179. 93 Instruksi lengkap pada lampiran II. Instruksi ini awalnya adalah tulisan

T{a>hir ibn al-Husayn,ayahanda dari ‘Abd Alla>h. Menanggapi gonjang-ganjing seputar tulisan ini, al-Ma’mun menanggapinya dengan positif bahkan me- merintahkan untuk memperbanyak tulisan dan mengirimnya kepada para pejabat.

3. Kebijakan Income

Sementara kebijakan income, yang dapat dilihat sebagai ke- bijakan moneter, dilihat dari inisiasi al-Shayba>ni> terkait pent- ingnya aktivitas derma yang ia dedahkan pada hampir satu per

delapan isi buku al-Iktisa>b. 94 Kebijakan moneter ini sendiri ter- fokus pada titik memperlancar fluktuasi nominal income atau nom-

inal output. Pada level yang paling mendasar, targetnya adalah dua fitur yang dijadikan dua strategi moneter penting. Dua hal ini ada- lah (1) penentuan pergerakan harga dan output riil. (2) bertindak sebagai jangkar kebijakan moneter terhadap nominal dalam jangka

yang panjang. 95 Dalam konteks pasca krisis ekonomi fase al-Ami>n, kebijakan

income dapat dilihat sebagai sistem asistensi pemasukan yang di- peruntukkan untuk populasi usia pekerja yang bertujuan men- dorong para penganggur melampaui masa transisi (untuk mendapatkan) pekerjaan. Tren kebijakan sosial yang berdimensi pekerjaan-sentris ini dilaksanakan melalui multi kombinasi: asistensi bertarget, reformasi pajak keuntungan, dan pengaktivan kebijakan-kebijakan lainnya.

Namun bila melihat seluruh gagasan terkait derma yang disampaikan oleh al-Shayba>ni, maka poin yang nampaknya paling menarik adalah program income tidak diperbolehkan diperuntuk-

kan kepada orang yang kaya. 96 Maka wajarlah bila dalam konteks kebijakan pemerintahan al-Ma’mu>n ini dapat dilihat sebagai ke-

bijakan kesejahteraan (welfare) yang pada prinsipnya melengkapi

Ia memuji Abu> al-T{ayyib atau T{a>hir ibn al-Husayn, sang penulis dengan perkataan berikut:

(Lihat: Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al-Mulu>k, vol. 5, 161; Ibn al-Athi>r, al-Ka>mil fi> al-Ta>ri>kh, vol.3, 162-166; Ibn Khaldu>n, Ta>ri>kh ibn Khaldu>n, vol. 1,166).

94 Al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi al-Rizq al-Mustat}a>b, 59-67.

95 Gleen D. Rudebusch, “Assesing Nominal Income Rulesfor Monetary Policy with Model and Data Uncertainty,” The Economic Journal, vol. 112, no.

479 (2002): 402. 96 Al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi al-Rizq al-Mustat}a>b, 59.

97 income orang-orang yang memerlukan 98 dan tidak dapat berusaha. Ide terkait kebijakan income ini dapat direfleksikan dari beberapa

kebijakan pemerintahan al-Ma’mu>n. Pada masa pemerintahannya, al-Ma’mu>n dikenal sebagai orang yang memiliki berbagai kelebi-

han. 99 Beberapa narator seperti al-T{abari> dan al-Suyu>t}i> menggambarkan bahwa al-Ma’mu>n terkenal dengan kebijakan

yang baik dan mendukung kesejahteraan rakyat. 100 Dalam wasiat terakhirnya, al-Ma’mu>n sangat menekankan pentingnya memper-

hatikan dan mensejahterakan masyarakat umum. Hal ini misalnya dapat terlihat dari pengulangan (takri>r) yang ia ucapkan saat memberi arahan terkait kewajiban atau tugas pemerintah: ”al- ra‘iyyah-al-ra‘iyyah, al-‘awwa>m-al-‘awwa>m” ([utamakan]

rakyat, rakyat!, masyarakat luas, [sekali lagi] masyarakat luas!). 101 Suatu ketika saat berkunjung ke Damaskus, ia merasa keku-

rangan uang. Hal itu dia sampaikan kepada putera mahkota al- Mu‘tas}im. Al-Mu‘tas}im pun berjanji untuk menyediakan uang setelah salat Jumat. Uang yang dijanjikan pun tiba dan berjumlah sekitar 30 juta dirham atau mencapai 1.920.000.000.000 Rupiah yang berasal dari pajak daerah kekuasaannya. Bukannya mengam- bil semua uang itu, al-Ma’mu>n justru memerintahkan kepada Muh}ammad ibn Radda>d/Yazda>d untuk membaginya kepada para penduduk yang memerlukan hingga jumlah seluruh pendistri-

97 Bandingkan: Gregory Mankiw, Principles of Economics, (New York: Prentice-Hall, Inc., 2001),452.

98 OECD, OECD Employment Outlook (Paris: OECD Publishing, 2006). 99 Al-Ma’mu>n dikenal memiliki kontribusi dalam beberapa kajian

keilmuan. Di antara kata mutiara yang ia buat terkait ilmu pemerintahan:

(Al-Jibriti>, ‘Aja>‘ib al-A<tha>r fi> al-Tara>jim wa al-A>tha>r, vol. 1 [Bei- rut: Da>r al-Jayl, t.t.], 22).

Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al- Mulu>k, vol. 5, 184, 198. 101 Wasiat lengkap al-Ma’mu>n yang disaksikan oleh pejabat sekitar ista-

na sebagaimana didokumentasikan oleh al-T{abari> berisikan instruksi penguru- san jenazahnya dan arahan kebijakan khalifah setelahnya (Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al-Mulu>k, vol. 5, 195).

busian mencapai 24 juta dirham 102 atau sekitar 1.536.000.000.000 Rupiah. Al-T{abari> bahkan menceritakan kisah terkait penerus

kekhalifahan setelah al-Ma’mu>n yaitu al-Mu‘tas{im yang seakan iri karena tidak berhasil meneladani keberhasilan al-Ma’mu>n da-

lam melahirkan kader-kader terbaik pemerintahan. 103 Kebijakan income pada masa al-Ma’mu>n juga dapat tergam-

bar dari nominal gaji yang dia berikan kepada para “pegawai” negara. Untuk para prajurit, hal ini dapat dilihat dari surat instruksi yang dikeluarkan oleh al-Ma’mu>n. Di situ ia memerintahkan un- tuk membayar masing-masing prajurit kavaleri gaji sebesar 100 dirham atau setara dengan 6.400.000 Rupiah, dan kepada prajurit

infantri sebesar 40 dirham atau sekitar 2.560.000 Rupiah. 104 Gaji ini kadang, masih ditambah insentif-instentif tertentu yang sulit

diketahui barometernya. Pada suatu kesempatan, ia memberi in- stentif yang cukup besar—dalam narasi al-T{abari>, dikatakan “tidak pernah sebesar itu”—yang diberikan masing-masing kepada gubernur Syiria dan Mesir dan Gubernur al-Jazi>rah, al-Thugu>r dan al-‘Awa>s}im. Jumlah masing-masingnya disebut mencapai

500 ribu Dinar. 105 Namun bila melihat secara keseluruhan narasi sejarahnya, nampaknya duit sebesar ini merupakan biaya untuk

pemerintahan baru, meski pada kenyataannya dapat saja Gubernur memakainya untuk keperluan pribadi.

Kebijakan seperti ini tidak hanya disokong oleh besarnya pemasukan negara, namun juga disertai kebijakan untuk merasion- alisasi pajak yang diambil dari masing-masing daerah. Inilah yang nampaknya, salah satu faktor mengapa kemudian besaran pajak daerah Rhages berbeda dengan Khurasa>n. Al-Ma’mu>n juga

(‘Abd al-Rah}ma>n ibn al-H{asan al-Jibriti>, Ta>ri>kh ‘Aja>’ib al- Atha>r fi> al-Tara>jim wa al-Akhba>r, vol. 1, 22).

102 Bandingkan: Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al-Mulu>k, vol. 5, 198; Isma>‘i>l ibn Abi> al-Fida>’, Ta>ri>kh Abi> al-

Fida’>, vol.1, 384.

Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al- Mulu>k, vol. 5 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1407 H.), 272.

Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al- Mulu>k, vol. 5, 186.

Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al- Mulu>k, vol. 5, 179; Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Uthma>n al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m, ed. ‘Umar ‘Abd al-Sala>m Tadmuri>,vol. 1, 1594.

daerah al-Sawa>d, Irak. Dengan nisbah bagi hasil, petani agaknya lebih menerima kebijakan pajak ini karena dianggap lebih berkeadilan.

Sebaliknya, al-Ami>n dikenal cukup pelit mengeluarkan uang untuk kepentingan umum, terutama terkait hal pangan (al- t}a‘a>m), namun demikian demi kepentingan tertentu yang be- raroma pribadi justru ia sangat royal. Ini misalnya terlihat dari be- berapa narasi seperti narasi Ibn Kathi>r yang mencatat uang yang dihamburkan oleh al-Ami>n untuk memanjakan para pembantu dan orang dekatnya. Ia juga memerintahkan untuk dibuatkan lima kapal besar dengan berbagai bentuk hewan seperti singa, gajah, kalajeng- king, ular, dan kuda. Pembuatan kapal-kapal ini—meski tidak me- nyebut nominal secara gamblang—memakan biaya yang sangat

besar (ma>lan az}i>man). 107 Dalam catatan yang lain, ia rela mer- ogoh sekitar tiga juta Dirham hanya untuk dibagikan kepada

penduduk ibukota Baghdad. 108 Selama pemerintahan al-Ami>n ter- dapat indikasi yang kuat bahwa banyak dari pekerja yang tidak

mendapatkan gajinya. Oleh karena itu kita akan menemukan adan- ya narasi setelah al-Ami>n dibunuh dan kepalanya diarak kepada al-Ma’mu>n terkait “cacian” para pekerja di hadapan penggalan

kepala al-Ami>n karena rezeki mereka yang tidak dibayar. 109 Taruhlah kita asumsikan bahwa kebijakan income yang tidak

berbiaya tersedia. Lalu akan banyak orang yang setuju dengan ini, karena alasan ekonomi tertentu, seperti tingkat inflasi yang tinggi, sehingga kebijakan income untuk sementara waktu menjadi ide yang cukup bagus—dengan tujuan agar inflasi turun. Namun, ma- salahnya, ketika tingkat inflasi telah turun, maka masyarakat akan dibiarkan terlalu jauh ke arah tingkat pengangguran. Hanya income yang permanen yang nampaknya secara mendasar dapat menekan

Muh}ammad Qal’aji> dan H{a>mid S{a>diq Qunaybi>, Mu‘jam Lughat al-Fuqaha>’, vol. 1, 194; Bandingkan dengan keterangan Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al-Mulu>k, vol. 5, 174.

107 Isma>’i>l ibn Abu> al-Fida’>, Ta>ri>kh Abi> al-Fida’>, vol. 1, 366.

Muh}ammad ibn Sha>kir al-Kutbi>, Fawa>t al-Wafaya>t, vol. 4 (Beirut: Da>r S}a>dir, 1974), 46.

Al-Mas’u>di>, Muru>j al-Dhahab wa Ma‘a>din al-Jawhar, vol. 2, 35.

tingkat pengangguran yang tidak beresiko pada inflasi (non- inflationary level of unemployment). 110

Bagaimanapun, ongkos sebuah kebijakan income tentu saja ha- rus diatur sedemikian rupa terhadap keuntungan-keuntungan yang diakibatkan. Kebijakan income yang konvensional yang bergan- tung pada adanya tawar-menawar kolektif tidak akan relevan dalam konteks masyarakat yang bebas. Namun beberapa fakta justru menunjukkan bahwa tawar menawar itu justru terjadi yang menan- dai bahwa masyarakat Abbasiyah tidak sepenuhnya bebas. Oleh karena itu, bila tawar menawar ini ada, maka kebijakan income yang dilakukan oleh khalifah dapat dilihat sebagai regulasi, bukan murni insentif.

Maka masyarakat Abbasiyah memiliki struktur yang cukup jelas. Menurut Allan McDonald, salah satu ciri masyarakat ber- struktur jelas adalah adanya kesiapan anggota masyarakat itu untuk membantu mereka yang tidak mampu agar dapat membantu diri mereka untuk mandiri. Dalam masyarakat kapitalis, kesigapan un- tuk membantu orang lain ini direfleksikan dalam konsep “welfare

state” atau negara kesejahteraan. 111

4. Jaminan Sosial

Dalam tradisi ekonomi modern, konsepsi jaminan sosial sendiri dianggap tidak begitu jelas. Begitu banyak defenisi yang ditawar- kan, seperti yang belakangan dikembangkan oleh Amartya Sen, hingga social security atau social protection dapat diekuivalensikan dengan semua kebijakan yang mendorong dan melindungi standar

hidup. 112 Namun demikian, yang jelas setidaknya terdapat tiga komponen utama jaminan sosial (social protection), yaitu (1)

kompensasi terhadap penganggur, (2) transfer uang tunai, dan (3)

dana perawatan kesehatan. 113

Richard Layard, “Is Income Policy the Answer to Unemployment?,” Economica, vol. 49 (1982): 219-239. 111 Allan McDonald, Unemployment Forever or a Support Income System

and Work for All (Urangan: A & D McDonald, 1995), 3. 112 Wouter van Ginneken, “Extending Social Security: Policies for Devel-

oping Countries,” Extension of Social Security Paper, no.13 (2003): 10. 113 OECD, OECD Employment Outlook 2011 (Paris, OECD Publishing,

2011), 85-141.

Dalam konteks sejarah ekonomi, jaminan sosial dapat dilihat secara berbeda dan khas. Sejarawan al-Ya‘qu>bi>, misalnya, mendedahkan bahwa pada masa dinasti Cina telah memiliki sema- cam jaminan sosial untuk para penganggur terpaksa yang berhenti bekerja karena penyakit atau faktor usia. Namun demikian, kekaisaran China saat itu juga menerapkan kewajiban bekerja un-

tuk laki-laki. 114 Dalam tradisi sejarah pemerintahan Islam abad pertengahan, tentu saja belum ada istilah khusus yang menyebut

jaminan sosial (al-d}ama>n al-ijtima>i>‘), namun ditemukan ter- ma-terma yang sangat berkaitan erat dengan fungsi jaminan kese- jahteraan masyarakat luas.

Terkait fungsi jaminan kesejahteraan sosial tersebut, maka ini dapat diambil dari diktum al-Shayba>ni> berikutnya yang berbun- yi: “qa>la: wa yuftrad}u ‘ala> al-na>s it}‘a>mu al-muh}ta>j fi>

al-waqt al-ladhi> ya‘jazu ‘an al-khuru>j wa al-t}alab” 115 (menurut al-Shayba>ni>: masyarakat berkewajiban untuk memberi “insentif”

kepada orang yang memerlukan, ketika orang tersebut tidak kuasa untuk menemui masyarakat dan mencari rezeki). Nampaknya spirit diktum ini berasal dari hadis Nabi terkait struktur masyarakat mus-

lim yang sejatinya eka dan padu. 116 Dalam hal ini, inisiasi al-Shayba>ni> ini cukup relevan bila

dihubungkan dengan diskursus modern terkait social security. Namun, dalam batas tertentu, kewajiban seperti ini (haqq al-ma>l) adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang kaya dan didis- tribusikan kepada orang-orang fakir. Sungguhpun demikian, justru orang-orang fakir dianjurkan untuk tidak mengambil kewajiban ini

demi menjaga harga diri. 117 Terkait hal ini, ada sebuah fragmen di mana seseorang yang bernama al-‘Ata>bi> menghadap kepada al-

Ma’mu>n. Sang khali>fah berniat untuk mengujinya dengan menawarkan 1000 dinar, namun orang itu selalu menolak pem- berian itu. Al-Ma’mu>n dan kaki tangannya, Ish}a>q ibn

Ah}mad ibn Ish}a>q ibn Ja’far ibn Wahab al-Ya’qu>bi>, Ta>ri>kh al-Ya’qu>bi>, vol. 1, 158. 115 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-

Mustat}a>b, 58. 116 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-

Mustat}a>b, 41. 117 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-

Mustat}a>b, 64-66.

Ibra>hi>m al-Mu>s}ili> kembali menawarkan pemberian dengan nominal yang lebih besar, namun orang itu tidak menggubrisnya. Justru akhirnya orang yang bernama al-‘Ata>bi> ini menjadi akrab

dengan al-Mu>s}ili> dan menginap di tempat tinggalnya. 118 Kisah ini—meski tidak menyebut apakah pada akhirnya al-

‘Atta>bi> mengambil pemberian itu—menunjukkan bahwa aktivi- tas derma yang dapat dilihat sebagai penjaminan sosial dari pemerintah sejatinya juga didasari oleh mekanisme pengujian dan kelayakan. Karakter al-‘Atta>bi mewakili orang-orang yang masih memiliki harga diri (’iffah).

Sebetulnya, perhatian yang cukup besar dari al-Shayba>ni> terhadap mereka yang kurang berlimpah materi ini juga terlihat dari

“dukungannya” kepada pola hidup fakir. 119 Dukungan ini berada pada konteks terbatas yaitu diskursus terkait dua pilihan pola

hidup: fakir dan kaya. Tumpuan utama dukungan al-Shayba>ni> sangat terkait dengan diktum: “kefakiran itu lebih aman dari kon- taminasi-kontaminasi yang dapat merusak “status kehambaan” kepada Tuhan”. Sekali lagi, pengaruh ideologi dan analisis komparatif al-Shayba>ni> sangat terlihat pada uraian-uraiannya. Analisis komparatif ini dapat dibaca pada analogi dan contoh- contoh realitas yang berbeda dan implikasi dari masing-masingnya.

Di sisi lain, al-Shayba>ni> sangat menekankan adanya “kesadaran komunal lintas status” baik status ekonomi dan sosial. Dalam hal ini, al-Shayba>ni> menyebut: anna al-faqi>r yah}ta>j ila> ma>l al-ghaniyy wa al-ghanyy yah}ta>j ila> ‘amal al-faqi>r (orang fakir sesungguhnya memerlukan harta orang kaya, se- bagaimana orang kaya itu juga memerlukan kinerja orang fakir). Al-Shayba>ni> juga menyadari adanya interdependensi (saling

ketergantungan) dalam lintas status itu, satu sama lain. 120

Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al- Mulu>k, vol. 5, 204; al-Mas’u>di>, Muru>j al-Dhahab wa Ma‘a>din al-Jawhar , vol. 2, 41.

119 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 32.

120 Al-Shayba>ni> menyebut contoh di antaranya ketergantungan antara dua profesi, penjahit dan petani. Penjahit memerlukan makanan untuk bekerja,

seperti petani juga memerlukan penjahit untuk berpakaian (Muh}ammad ibn al- H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-Mustat}a>b, 47-48).

Namun demikian, al-Shayba>ni> tidak secara gamblang men- jelaskan apa yang dimaksud dengan orang fakir tersebut. Pola hidup fakir ini, nampaknya tidak identik pola hidup kifa>yah, yang sekadar untuk menutupi kebutuhan mendasar (keperluan sandang pokok dan keperluan lain yang menunjang pelaksanaan kewajiban).

Nampaknya gagasan al-Shayba>ni ini menemukan refleksi sa- lah satunya pada kebijakan al-Ma’mu>n saat menyelesaikan kesusahan dan utang seseorang yang bernama al-Yazi>di>. Awal- nya al-Ma’mu>n mengaku bahwa ia tidak memiliki uang untuk membantu orang tersebut. Namun ia menjanjikan dapat mem- berinya salah seorang pejabat istana. Dengan kecerdikannya, al- Ma’mu>n bersiasat memberi al-Yazi>di> kesempatan memilih sa- lah seorang pejabat agar dapat dijadikan asistennya. Tentu saja sang pejabat istana lebih memilih tetap sebagai pegawai al- Ma’mu>n ketimbang “terbuang” menjadi hadiah bagi al-Yazi>di>. Sejarawan al-T{abari> menulis bahwa orang ini akhirnya meneri- ma uang sejumlah 100 ribu Dirham dari si pejabat. Ia berdusta bahwa uang itu adalah jumlah hutangnya kepada al-Yazi>di>. Ber- kat “kecerdikannya”, al-Ma’mu>n dapat “mengerjai” pejabat kaya

di istana dan membantu orang yang kesusahan tersebut. 121 Juga ter- dapat plot terkait pelunasan pemerintah al-Ma’mu>n atas hutang

seseorang bernama Muh}ammad ibn ‘Abbad. Hutang itu mencapai angka 60 ribu Dinar. Oleh pemerintah, ibn ‘Abbad menerima ban-

tuan pelunasan hutang itu sebesar 100 ribu Dinar. 122 Di lain kesem- patan, al-Ma’mu>n juga pernah memerintahkan untuk mencukupi

keperluan keluarga tertentu yang berada di Suriah. 123 Sejarawan al-Mas‘u>di> juga melansir kejadian terkait

seorang orang tua yang tidak dapat lagi bekerja, mendapat musibah alam sehingga kekayaannya habis dan memiliki hutang dan tanggungan anggota keluarganya. Orang ini kemudian diberi dana

sebesar 50 ribu Dirham. 124 Juga disampaikan plot terkait pemberian

Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al- Mulu>k, vol. 5, 203.

Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Uthma>n al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al- Isla>m, ‘Umar ‘Abd al-Sala>m Tadmuri>, ed.,vol. 1, 1658.

Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al- Mulu>k, vol. 5, 200.

Al-Mas‘u>di>, Muru>j al-Dhahab wa Ma‘a>din al-Jawhar , vol. 2, 42.

“insentif” oleh pemerintah kepada para sufi yang menilai baik pemerintahan al-Ma’mu>n. Sebelumnya utusan mereka datang kepada al-Ma’mu>n dan berdialog dengannya. Al-Ma’mu>n kemudian memerintah agar menginspeksi kemana dan bagaimana orang itu kembali. Ternyata orang itu kembali ke komunitas sufi dan menilai baik pemerintahan al-Ma’mu>n. Al-Ma’mu>n pun memerintahkan agar keperluan komunitas itu dicukupi (kafayna> mu’nata> ha>ula>’ bi aysar al-khat}b). 125

Namun yang agak menarik adalah adanya semacam penja- minan kebutuhan hidup bagi keluarga kerajaan yang terdiri dari keturunan al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Mut}t}alib paman Nabi Muh}ammad yang pada pemerintahan al-Ma’mu>n berhasil disen- sus. Jumlah keturunan ini baik laki-laki ataupun perempuan men-

capai 30 ribu orang. 126 Tidak diketahui secara pasti alasan khusus pemerintah al-Ma’mu>n dari penjaminan ini kecuali bahwa me-

mang terdapat perintah sang Nabi agar keluarganya dijamin oleh Bayt al-Ma>l.

Dari beberapa narasi sejarah yang berhasil penulis telusuri, dapat dikatakan bahwa penjaminan sosial dalam konteks pemerintahan al-Ma’mu>n berkolerasi dengan kriteria utama beru- pa: (1) keperluan hidup yang tercermin baik dari “ketidakmampu- an” seseorang secara ekonomi atau sosial, dan (2) menjadi warga yang baik dengan tiga pra syarat: 1. loyalitas yang baik 2. tidak menyebarkan rahasia negara, dan 3. menjauhi larangan-larangan

yang ditetapkan oleh pemerintah. 127 (3) kriteria khusus berupa “ke- turunan darah biru”. Kriteria-kriteria ini terutama yang kedua,

memiliki potensi tendensi subyektifitas akan sangat besar sehingga menghajatkan pada sistem informasi terkait obyek warga negara tersebut. Oleh karena inilah, pada umumnya para khali>fah mem- iliki banyak informan dan orang-orang kepercayaan.

Penjaminan sosial yang dilakukan oleh pemerintahan al- Ma’mu>n ini pada dasarnya bersumber dari dana pajak yang men-

Al-Mas‘u>di>, Muru>j al-Dhahab wa Ma‘a>din al-Jawhar, vol. 2, 44; al-Dhahabi>, Siyar A‘ala>m al-Nubala’>, vol. 10, 278; al-Suyu>t}i>, Ta>ri>kh al-Khulafa’>, 327.

126 Ibn Khaldu>n, Ta>rikh ibn Khaldu>n, vol. 1, 88.

Al-Mas’u>di>, Muru>j al-Dhahab wa MA’a>din al-Jawhar , vol. 2, 37.

capai angka 200 dirham/tahun yang mayoritasnya disumbang oleh sektor pertanian yang mencapai sepertiga total pemasukan negara. Namun nominal pajak juga amat ditentukan oleh kondisi pembayar pajak. Sebagai ilustrasi, penduduk Khurasa>n yang sangat produk- tif secara ekonomi dan geografis menyumbang pajak yang sangat besar. Data yang disampaikan oleh al-T{abari> menyebut kisaran 2 juta dirham. Namun untuk penduduk daerah Rhages, jumlah total pajak tidak sebesar itu, bahkan belakangan dikurangi oleh al-

Ma’mu>n. 128 Namun, tercatat juga tercatat penjaminan masyarakat yang berasal dari bahwa suatu ketika al-Ma’mu>n mengeluarkan

gajinya sebanyak 2 juta dirham ketika sampai di daerah Rhages atau al-Rayy. 129

Jizyah dan zakat juga diyakini menempati pos ekonomi yang strategis. Hal ini terutama pada masa abad pertama Hijrah hingga akhirnya kurang dilirik sebagai instrumen fundamental ekonomi berefek panjang-luas. Padahal dalam perspektif beberapa ahli “keu- angan publik” khila>fah, seperti al-Ma>wardi, sejatinya zakat men- jadi instrumen utama dalam pemasukan negara. Disusul oleh pos- pos pemasukan lain seperti al-Khara>j, al-Jizyah, dan lain-lain.

5. Hirarki al-Ma‘ru>f

Inisasi terkait pola hidup sederhana dapat diambil dari gagasan berikutnya. Al-Shayba>ni> dalam hal ini, inisiasi terhadap adanya empat keperluan sangat mendasar: (1) pangan [al-t}a‘a>m]; (2) air [al-shara>b]; (3) sandang; [al-liba>s] dan (4) tempat tinggal [al-

kinn]. 130 Setidaknya dapat diambil kesimpulan bahwa pola hidup

Bandingkan dengan keterangan Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al-Mulu>k, vol. 5, 174.

Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al- Mulu>k, vol. 5, 146.

130 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 47. Argumentasi Qur’ani yang digunakan oleh al-Shayba>ni> un-

tuk keperluan pangan adalah Q.S. al-Anbiya>: 8 dan Q.S. T{aha>: 81. Untuk keperluan air yaitu Q.S. al-Anbiya>: 30 dan Q.S. al-Baqarah: 60. Adapun keper- luan sandang yaitu Q.S. al-A’ara>f: 26, 31. Sementara keperluan tempat tinggal yaitu dari Q.S. al-Nisa>:28. Al-Shayba>ni juga menyitir hadis bahwa seorang mukmin tidak akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat terkait tiga hal: (1) pakaian yang menutupi aurat; (2) makanan sekadar keperluan aktivitas; (3)tempat tinggal yang layak. Artinya dapat melindungi dari panas dan dingin tuk keperluan pangan adalah Q.S. al-Anbiya>: 8 dan Q.S. T{aha>: 81. Untuk keperluan air yaitu Q.S. al-Anbiya>: 30 dan Q.S. al-Baqarah: 60. Adapun keper- luan sandang yaitu Q.S. al-A’ara>f: 26, 31. Sementara keperluan tempat tinggal yaitu dari Q.S. al-Nisa>:28. Al-Shayba>ni juga menyitir hadis bahwa seorang mukmin tidak akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat terkait tiga hal: (1) pakaian yang menutupi aurat; (2) makanan sekadar keperluan aktivitas; (3)tempat tinggal yang layak. Artinya dapat melindungi dari panas dan dingin

oleh al-Shayba>ni sebagai “batas bertahan”/al-baqa>’. 131 Artinya ini adalah batas minimal yang sejatinya didapatkan oleh setiap

warga negara, khususnya pekerja. Keperluan lainnya adalah al-tawassut}/keperluan yang

secukupnya/sedang-sedang saja. 132 Menurut al-Shayba>ni, ukuran tawassut} ini adalah di antara isra>f (berlebih-lebihan) dan taqti>r

(di luar ambang batas dapat bertahan/survival needs). 133 Dalam kes- empatan yang lain, al-Shayba>ni> mengunakan terma Qurani “al-

ma‘ru>f” sebagai kata sepadan dengan “tawassut}.” 134

Sayangnya al-Shayba>ni tidak secara gamblang menyebutkan ukuran jelas dalam konsepsi-konsepsinya itu, terutama terkait dengan konsepsi al-isra>f. Justru ia hanya menunjukkan secara acak dan dalam lingkup yang sangat terbatas—aktivitas makan dan keperluan sandang—yang menurut pemahamannya termasuk dalam kategori al-isra>f. Sebagai contoh, memakan bagian tengah roti karena lebih lezat dan membiarkan bagian pinggir sisanya tidak

termakan dianggap sebagai salah satu tindakan isra>f. 135 Dari contoh-contoh yang diberikan oleh al-Shayba>ni>, penu-

lis secara induktif ingin mencari ukuran “al-isra>f”. Dalam hal ini, al-Shayba>ni paling tidak menyebutkan sembilan contoh kasus se- bagai berikut.

(Lihat: Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 67)

131 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 47.

132 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 50.

133 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 50.

134 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 55.

135 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 52-53.

No Contoh Kasus Barometer

1. Makan di atas kenyang, tanpa keperluan yang Adanya bahaya dibenarkan seperti agar kuat beribadah. 136 kesehatan (mad}arrah) 137

2. Memperbanyak varian masakan. 1. Tidak disediakan dalam satu waktu (perasmanan/ba>jah ) 2. Diluar

keperluan, maksudnya

tidak termakan 138 3. Makan bagian tengah roti saja dan meninggal-

1. Makanan ter- kan bagian yang lain.

buang/tidak ter- makan. 139

4. Meraba-raba makanan, namun tidak dimakan Orang menanggap- nya “jorok”.

5. Tidak memungut makanan yang dijatuhkan Tidak memuliakan padahal masih layak dimakan

makanan/nikmat Tuhan 140

6. Luxuritas (kemewahan) yang menjadi gaya Dibenci Allah, sep- hidup yang dibanggakan (al-taka>thur dan al-

erti disebut dalam tafa>khur)

beberapa ayat Alqura>n. 141 7. Memakai pakaian terlewat (niha>yah) mewah

1. Hadis terkait atau pakaian yang terlewat usang.

larangan “al-

136 Makan melebihi batas kenyang namun dengan tujuan bekal ibadah di- anggap boleh menurut sebagian ulama pasca-salaf [pasca 3 Abad setelah Hijri-

yah]. Artinya, dalam hal ini kalangan salaf masih agak relatif ketat dan tegas ketimbang ulama setelahnya (Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al- Iktisa>b fi> al-Rizq al-Mustat}a>b, 51-52).

137 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 50.

138 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 52.

139 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 52-53.

140 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 53.

Q.S. al-H{adi>d: 20; Q.S. al-Muddathir: 6; Q.S. al-Qalam: 14; Q.S> al-Taka>thur: 1 (Lihat: Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-Mustat}a>b, 54).

orang lain/yusha>ru ilayhi bi al-as}a>bi‘ 142

8. Memaksakan diri agar dapat memakai pakaian Memaksakan diri yang baru

(takalluf) 9. Mempertontonkan dua-tiga lapis pakaian pada

1. Melahirkan kecem- musim dingin.

buruan sosial bagi orang yang memang memerlukannya. 2. Bila satu pakaian sudah cukup mena- han dingin. Artinya lapisan

pakaian yang lain sebenarn- ya

tidak diper- lukan. 143

Dalam sejarah elit negara Abbasiyah sendiri, gaya hidup “al- badhkh” atau “mewah” dipelopori oleh khalifah al-Mahdi>. 144 Gaya

hidup ini pada awalnya dapat dilihat secara mencolok pada ke- bijakan khalifah untuk memperbanyak “pembantu” kerajaan yang berasal dari beberapa ras bangsa. Kebijakan yang awalnya dite- lurkan oleh khalifah al-Ami>n ini mengakibatkan membludaknya jumlah pembantu hingga mencapai angka 11 ribu orang pada saat

pemerintahan al-Muqtadir bi Alla>h. 145

Namun demikian, al-Ma’mu>n dikenal cukup mendukung pola hidup secukupnya. Dalam suatu informasi sejarah, al-Ma’mu>n pernah melarang fasilitas lilin yang berbahan dari ambergris harum yang diletakkan di mangkuk emas. Padahal fasilitas itu pada da- sarnya disediakan sebagai penerang ruangan al-Ma’mu>n

142 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 54.

143 Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shayba>ni>, al-Iktisa>b fi> al-Rizq al- Mustat}a>b, 55.

144 Al-T{abari>, Ta>ri>kh al-T{abari>, vol. 8, 156-172.

Muh}ammad ibn Ali> ibn Muh}ammad ibn T{aba>t}aba> ibn al- T{aqtaqi>, al-Fakhri> fi> al-A<da>b al-Sult}a>niyyah, 234; George Zayda>n, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 4, 182-184.

ini. Pada saat resepsi perkawinannya, al-Ma’mu>n malah memper- tontonkan “gaya hidup mewah”. Ini terlihat dari mahar yang diberikannya kepada mempelai perempuan yang bernama Bu>ra>n binti al-H{asan ibn Sahl berupa 1000 yaqut, beberapa lilin amber- gris yang masing-masing berisi 100 hadiah, dan permadani bertenun emas berhiaskan permata dan yaqut. Ini belum termasuk fasilitas kapal penumpang sebanyak 30 ribu buah bagi para un- dangan resepsi dan hidangan yang menghabiskan kayu yang bi-

asanya cukup untuk tiga tahun hidangan. 147 Namun demikian, “in- formasi tunggal” ini tidak kemudian dapat menjadi suatu konfirma-

si bahwa memang begitulah gaya hidup al-Ma’mu>n secara kese- luruhan. Karena sifatnya yang terbatas pada konteks resepsi negara, maka klaim bahwa al-Ma’mu>n adalah seorang “borjuis nan ber- lebih-lebihan” tidak dapat disematkan begitu saja kepadanya.

Berlebihan

Al-Isra>f

Standar al-Tawassut}/al-Ma‘ru>f

Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Umam wa al- Mulu>k, vol. 5, 171.

147 Ibn Khaldu>n, Muqaddimah Ta>ri>kh ibn Khaldu>n, vol. 1, 87.

al-Baqa> (1) pangan [al-t}a‘a>m]; Bertahan/

(2) air [al-shara>b]; (3) sandang; Survival [al-liba>s] dan (4) tempat tinggal

[al-kinn]

Kurang al-Taqti>r (di luar ambang batas dapat bertahan)

Gambar 2. Ilustrasi hirarki pola ekonomi dalam kehidupan manu-

sia/pekerja dalam kategorisasi al-Shayba>ni>. 148